1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia. 

Cahaya matahari pagi menyelusup di antara dedaunan rimbun dari pepohonan setinggi 20 - 30 meter yang mendominasi hutan gambut di daerah Kutai, Kalimantan Timur. 

Di jalur yang jarang dilalui oleh manusia, terlihat empat orang berseragam cokelat dengan logo Rescue The Wild sedang melakukan diskusi serius. 

Nanjan, pria yang memiliki kulit cokelat gelap akibat terbakar matahari berdiri menghadap ketiga anggota timnya dan membuat keputusan. Dia menoleh ke satu-satunya wanita yang berada di sana sambil berkata, "Dokter, Anda dan Rambun tunggu di sini. Saya dan Labih akan keliling untuk nyari orang utannya."

Perempuan yang ditugasi untuk menjaga barang itu pun melirik masam ke arah empat buah ransel, sebuah kandang transport, sebuah jaring nilon biru, dan tas khusus peralatan medis yang berada di atas terpal biru. Ekspresi tidak terima terlihat pada wajah bulat telurnya yang ditutupi oleh rambut hitam sebahu yang dikuncir secara asal menggunakan karet gelang. 

Dia kemudian membuat kontak mata dengan sang ketua tim dan mengajukan protes. "Saya setidaknya butuh senapan untuk menjaga diri."

"Dana kita terbatas untuk membeli senjata baru," tolak Nanjan sambil mendekap senapan biusnya lebih erat. "Nanti akan datang orang dari pusat untuk melihat kinerja kita, berdoa saja mereka bersedia mengabulkan kenaikan anggaran untuk tahun depan."

Dasar kikir! 

Angelina memaki dalam hati. Kalau saja ada pilihan lain, tentu dia tidak bersedia berkeliling di hutan antah berantah bersama tim yang diragukan keprofesionalismenya, dengan keamanan yang tidak memadai. 

"Saya sudah mengirimkan lokasi GPS di sini untuk tamu kita. Jadi, Dokter, nanti tolong bersikap yang ramah agar tahun depan Anda bisa memiliki senapan sendiri," bujuk Nanjan saat wajah Angelina malah semakin kecut. Pria yang tidak sensitif itu pun menganggap rapat telah berakhir dan berjalan begitu saja sambil berseru, "Labih, ayo!"

Angelina menatapi kedua punggung yang semakin menjauh dengan jengkel. Wanita itu pun bergegas menuju ke tas yang berisi peralatan medis untuk mengambil sumpitan dan menakar dosis obat bius.

Kata korban, pongo jantan yang menyerangnya saat dia melintas sekitar 150 sentimeter, mungkin seberat 50 kilogram. Jadi, ….

"Dok-dokter …."

Suara gagap Rambun sontak membuyarkan kosentrasi Angelina. Wanita itu menoleh ke anggota termuda yang baru saja dipekerjakan Nanjan 35 jam silam setelah anggota tim mereka mengundurkan diri akibat mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi sebagai pemandu wisata pelancong luar negeri di Taman Kutai Nasional dibandingkan bekerja di organisasi nirlaba yang hanya bergantung pada sumbangan para donatur.

Pemuda berumur dua puluh tahun itu menelan ludah. Bulir-bulir keringat dingin menetes turun saat dia bertanya, "I-ini cara nem-nembak se-senapannya gi-gimana, ya? Sa-saya lupa."

Angelina mengamati lawan bicaranya yang sedang gemetar ketakutan dengan curiga yang menjadi-jadi. Wajah Rambun lebih layak dikategorikan sebagai anak baru lulus SMA dan setahu wanita itu, tidak mungkin orang yang sudah punya sertifikat menembak bisa lupa cara menggunakan senapan.

Angelina meletakkan sumpitan yang belum terisi obat bius. Dia kemudian bangkit berdiri dan berjalan mendekati orang yang bertanggung jawab atas keselamatan nyawanya dengan wajah masam.

Angelina pun mendorong ke atas ujung senjata yang sebelumnya bergerak liar sambil mendesis, "Pegang yang benar. Cara kamu tadi bisa mencelakakan orang lain."

Angelina menarik tangan kiri Rambun. Dia meletakkan telapak tangan pemuda itu di tengah-tengah bagian bawah senapan sambil melanjutkan dengan nada jengkel. 

"Pegang di sini. Kaki harus selebar bahu, lutut agak tertekuk, tubuh miring sekitar 40 derajat ke arah sasaran pada saat posisi tangan menembak."

Ekspresi kebingungan terlihat jelas pada wajah Rambun. Pemuda itu mencoba mengikuti petunjuk Angelina secara kikuk. Dia merentangkan kaki terlalu lebar dan memiringkan tubuh hingga hampir membentuk sudut 90 derajat. 

"Be-begini?"

"Bukan!" pekik Angelina dengan emosi menjadi-jadi. Wanita itu mundur lima langkah. Dia pun bertolak pinggang untuk menginterogasi lawan bicaranya. "Rambun, sebetulnya kamu udah pernah pakai senapan atau belum?"

"E-eh, u-udah, Tan … Eh, Dok."

Kicau burung Borneo terdengar mengisi keheningan alam saat Angelina berhalusinasi mencekik bocah bau kencur yang baru saja memanggil dirinya dengan sebutan Tante. Dia pun hendak merebut senjata yang masih dipegang Rambun dengan serampangan saat bunyi krak ranting terinjak membuat wanita itu refleks memutar tubuh.

Jantung Angelina sontak berdetak cepat saat melihat sosok yang baru saja melompat turun dari salah satu pohon. Makhluk itu memiliki tinggi 1,5 meter. Tubuh kekarnya diselimuti oleh bulu kusut cokelat kemerahan dan terdapat kelepak pada bagian pipi.

Pongo jantan! 

Angelina bergerak mundur secara hati-hati. Berdasarkan pengetahuannya, orang utan tidak akan aktif menyerang apabila manusia menyingkir secara perlahan dari daerah kekuasaan binatang itu. Posisi Rambun tepat untuk menembak, seharusnya semuanya akan baik-baik saja.

Mata Angelina menatap waspada ke arah orang utan khas Kalimantan itu. Tiga langkah berhasil dia dapatkan sebelum suara menggelegar dari Pongo masuk ke pendengarannya.

"A-aa! Orang utan!"

Jeritan Rambun yang tidak kalah heboh membuat Angelina refleks menoleh ke belakang. Pemuda yang seharusnya menembak itu kini malah memutar tubuh dan berlari terbirit-birit. 

"Rambun!" pekik Angelina kalap. Wajah wanita itu sontak memucat. Satu-satunya senapan bius sudah dibawa kabur oleh pengawalnya dan kini dia harus berhadap-hadapan langsung dengan binatang yang sepertinya dalam kondisi tidak siap menerima tamu.

Berat ternyata sekitar enam puluh kilogram. 

Angelina mempercepat langkah mundurnya. 

Usia sekitar lima belas tah--

Angelina berhenti melakukan observasi ketika pongo mulai melangkah maju dengan kecepatan menakjubkan. Wanita itu memekik histeris dan memutuskan untuk mencari bantuan.

Sayangnya, jambakan keras langsung dirasakan Angelina hingga kepalanya terentak ke belakang. Dia pun meronta panik. 

Mata Angelina berair dan napasnya menderu saat tarikan malah semakin kuat dirasakan. Jerit kesakitan keluar dari bibir wanita itu ketika auman harimau memekakkan telinganya.

Tubuh Angelina terbanting keras ke atas tanah. Pipi kiri wanita itu bahkan terhantam oleh gerakan tiba-tiba pongo. Pandangannya berkunang-kunang. Namun, dia masih dapat mendengar jelas raungan seekor harimau dan teriakan orang utan yang berkelahi.

Erang kesakitan lepas dari bibir Angelina.  Wanita itu membutuhkan waktu beberapa menit hingga pandangannya mulai jernih. 

Secara perlahan, Angelina bergerak untuk duduk. Ngilu dirasakan seluruh tubuhnya yang kotor oleh sisa daun dan tanah.

Suara benda berat terbanting di dekatnya membuat Angelina sontak menoleh. Napas wanita itu pun langsung tertahan saat melihat makhluk yang baru saja menyelamatkannya. 

Sosok setinggi 170 sentimeter itu sedang mencekik si pongo jantan dengan menggunakan lengan kiri yang diselimuti oleh loreng jingga hitam khas harimau Sumatera. Namun, dari wajah khas Asia yang tertutup oleh poni hitam panjang, maupun dari celana jins atau kaos hitam yang dipakainya, sudah jelas dia bukanlah seekor harimau.

Akan tetapi, orang utan jantan yang berada di usia produktif bukanlah lawan yang mudah ditaklukkan. Manusia harimau itu mengaum kesakitan saat pongo berhasil melepaskan diri dan menghajar kepalanya.

Jantung Angelina berdebar cepat ketika penolongnya terlihat kewalahan pongo. Wanita itu bangkit berdiri. Dia mengabaikan sekelompok bekantan yang menonton dari atas pohon maupun rasa sakit pada seluruh sendi tulang dan berlari ke sumpitan yang belum siap ditembakkan. 

Pergulatan di atas tanah terjadi saat Inyiak berhasil menerjang perut pongo hingga keduanya terguling. Angelina dengan panik menakar obat bius sesuai perkiraan berat badan tuan rumah mereka. 

Angelina kemudian menyasar bahu orang utan itu di jarak yang sesuai dan berseru, "Ramaik, awas!"

Manusia setengah harimau itu langsung mencekal leher pongo dari belakang. Dia mengaum marah ketika sebuah sikutan kuat menghajar dadanya. 

Angelina bertindak cepat. Wanita itu meniup sumpitan hingga jarum bius memelesat dan menembus kulit pongo.

Menit berlalu. Cekikan Inyiak dan pengaruh obat bius membuat gerakan orang utan jantan itu melemah. Detak jantung Angelina pun ikut melambat bersamaan dengan mata pongo yang terpejam.

Inyiak menurunkan lengan hingga pongo merosot jatuh di atas tanah. Mata kuning makhluk itu berangsur menghitam saat keempat taring juga bulu loreng yang melapisi punggung dan sepasang tangannya menyusut.

Napas Angelina pun tertahan ketika pria bisu yang ditinggalkannya begitu saja tiga tahun silam, kini membalas tatapannya dan menyapa wanita itu. "Halo, Angel."

1 April 2022

Benitobonita

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro