3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia. 

Pencipta Wulan Benitobonita

[ Bab 4 - tamat hanya tersedia lengkap di Karyakarsa Benitobonita]

Dua kendaraan berjalan beriringan. Nanjan bersama Ramaik berada di mobil bak terbuka yang membawa kandang transport berisi pongo,  sedangkan Angelina mendapatkan kehormatan untuk duduk di sebelah Labih yang menyetir Taruna biru.

Kening Angelina mengerut saat kedua ibu jarinya bergerak cepat untuk memeriksa lowongan kerja dokter hewan di pulau terdekat. Wanita itu berdecak kesal ketika membaca spesifikasi yang dibutuhkan. 

Harus sudah ada pengalaman kerja.

Akibat ulah seorang psikopat, dia sudah dinyatakan tewas dan tidak dapat lagi memakai identitas aslinya. Sekarang, dia hanyalah seorang dokter hewan dari universitas tidak terkenal dan satu-satunya pengalaman wanita itu adalah bekerja di organisasi non profit tak ternama dengan jam kerja yang tidak jelas.

"Dokter, i-itu ada tanah di rambutnya," ucap Labih dengan ekspresi resah. Mata pria itu berulang kali mengamati kursi mobil kesayangannya yang kini mulai berwarna cokelat.

Angelina sontak mengibas asal kepalanya. Kedua ibu jari wanita itu pun kembali sibuk menekan huruf demi huruf di papan gawai.

"Em …, tiket ke Papua," gumam Angelina saat mencari biro perjalanan termurah. Atau, ke Timor Leste? Tidak perlu pakai visa, 'kan?

Labih menatap pasrah kondisi kursinya. Pria itu pun bertanya dengan nada heran.

"Eh? Ngapain ke Papua, Dokter? Kan, Mas Nanjan sudah bilang enggak ada cuti sampai tahun baru. Dia juga lagi pusing cari pengacara buat nuntut ganti rugi ke Rambun karena berhenti tiba-tiba."

Hah?!

Angelina sontak teringat akan pasal denda seratus juta rupiah apabila mengundurkan diri sebelum kontrak per tahunnya selesai. Wanita itu menelan ludah saat menghitung jumlah tabungannya yang tidak terlalu banyak. 

Rumah mungilnya di Jakarta telah diambil alih oleh bank akibat debitur tewas diserang hewan buas dan satu-satunya pewaris malah dinyatakan telah meninggal lebih dulu dalam kecelakaan helikopter. Mobil wanita itu juga sudah dijual dengan harga rendah karena dianggap barang curian dari pemiliknya yang telah tiada.

Mata Angelina mendadak terasa panas. Beberapa tahun silam, dia adalah seorang lajang yang bahagia, memiliki pekerjaan yang menyenangkan dan rumah untuk berteduh.

Akan tetapi, kini, semuanya hilang begitu saja dan satu-satunya yang bisa dia pertahankan hanyalah nama depannya.

"Eh, ta-tapi tadi saya dengar senapan yang masih dipegang Rambun nanti dikasih ke Dokter, loh," hibur Labih saat melihat wajah keruh Angelina. Pria besar itu menyeringai lebar, berusaha mencerahkan perasaan rekan kerjanya.

Kendaraan di depan mereka tiba-tiba menepi. Angelina menghela napas panjang. Sudah dua jam perjalanan, waktunya ngecek pongo.

Hanya ada satu dua kendaraan roda dua di jalanan beraspal menuju hutan suaka, sedangkan sisi kanan kiri tempat itu lebih didominasi lapangan kosong dibandingkan rumah penduduk.

Angelina membuka pintu kendaraan. Dia hendak melangkah turun saat hewan buas yang menyerang almarhum suaminya sudah lebih dulu keluar dari mobil di depan dan dengan lincah melompat ke sisi kandang. 

Labih keluar tanpa mematikan mesin saat dia melihat Angelina malah refleks menutup pintu dan kembali sibuk mengutak-ngatik gawai dengan kening berkerut. Pria berewok itu memutuskan untuk membuka bagasi dan mengambil tiga buah pisang sebagai kudapan untuk si pongo.

Angelina menggigit pelan bibir. Wanita itu kini mengalihkan pencarian mengenai cara berhenti kerja dengan elegan. Apa ada cara membatalkan kontrak kerja tanpa terkena denda?

Ketukan pada jendela membuat Angelina terlonjak kaget. Dia menengok dan menemukan wajah jelek Nanjan berada di sana.

Angelina langsung mematikan layar gawai. Wanita itu menurunkan kaca jendela dan bertanya, "Ada apa, Pak?"

Aroma tidak segar tercium dari pria yang tampaknya belum mandi sejak kemarin. Hidung Angelina sedikit mengernyit saat pria itu malah balik bertanya dengan nada ketus. 

"Dokter, sedang apa Anda di situ?"

"Saya sedang menjaga mobil," jawab Angelina dengan nada meyakinkan. 

Angelina melirik cepat ke arah Ramaik yang kini duduk santai di sebelah kandang. Pria itu sedang memasukkan pisang pemberian Labih ke lubang khusus untuk orang utan jantan yang sepertinya sedang mengamuk.

"Kita tidak boleh mengabaikan keamanan, Pak."

"Keluar dan periksa kondisi pongo itu." Nanjan tanpa sopan santun membuka pintu. Dia menatap galak Angelina yang masih melekat kuat pada kursinya dan berkata tegas. "Sekarang, Dokter!"

Wajah Angelina kontan menjadi masam. Wanita itu mencebik sambil menarik kasar ransel yang tergeletak di antara kakinya. Dia kemudian melangkah turun dan berjalan menuju lokasi pasiennya dengan enggan.

Raungan pongo yang menolak pisang pemberian Ramaik terdengar membahana. Kandang besi itu bahkan sedikit bergoyang akibat sang penghuni menolak dikungkung kebebasannya.

Kepala Ramaik menoleh ketika Angelina meletakkan ransel di atas bak. Dia pun tanpa bertanya bergerak mendekat dan menangkap lengan wanita itu untuk membantunya naik.

Denyut familier seketika terasa saat kulit mereka bersentuhan. Namun, wanita itu langsung menarik lepas tangannya saat sudah berada di atas bak dan mendesis galak. "Saya bisa sendiri."

Ramaik tidak berkomentar. Pria itu kembali duduk di posisi awal dan hanya menatapi wanita yang kini bersimpuh di dekatnya sambil membongkar isi ransel.

Senter, di mana barang keparat itu?!

Wajah Angelina sekecut jeruk saat teriakan buas pongo menyerang gendang telinganya. Apa sekalian lakban untuk menutup mulutnya?  

"Labih! Makan dulu kita!" 

"Siap, Bos!"

Suara Nanjan terdengar saat Angelina baru berhasil menemukan senter di antara stetoskop, suntikan, tensimeter, dan peralatan medis lainnya. Kepala wanita itu pun berputar cepat ketika kedua manusia yang tidak setia kawan beranjak pergi ke warung makan di sisi kiri jalan.

Angelina mengabaikan kedua makhluk hidup yang berada di dekatnya dan langsung berseru, "Loh, Pak! Saya kok ditinggal sendirian?!"

"Giliranlah. Nanti dua jam lagi, kalian yang istirahat. Kami yang urus pongo."

Nanjan melengos saat Angelina menunjukkan ekspresi keberatan. Pria itu menepuk bahu Labih, yang tampaknya lebih memiliki empati, agar melanjutkan langkahnya. 

Oh! Dasar siluman biawak!

Akan tetapi, jantung Angelina sontak melompat kaget saat seseorang membelai kepalanya. Dia spontan menoleh ke si pelaku dan mendapati Ramaik sedang memegang sehelai daun kering. Mata pria itu berbinar jenaka ketika berkata, "Rambutnya kotor."

Mata Angelina refleks mengamati penampilan Ramaik yang bebas tanah. Pria itu sepertinya telah berganti pakaian dan mencuci wajah, entah kapan.

Niat untuk merapikan diri akhirnya muncul. Angelina melepas kunciran hingga rambut hitam sebahu wanita itu tergerai. Namun, saat dia merogoh ransel untuk mencari sisir, belaian lain dirasakan kepalanya.

"Ramaik, berhenti menyentuh saya!" 

Angelina bergeser menjauh. Dia melotot galak ke arah pria yang baru saja mencuri sebatang ranting mungil dari rambutnya yang sekusut bulu pongo.

Angelina menunduk dan kembali mengaduk-aduk isi ransel saat manusia kucing itu tidak menunjukkan protes atas larangan yang baru saja diberikan. Dalam waktu lima menit, dia akhirnya berhasil menemukan sisir bulatnya dan mulai menyisir di sebelah kadang yang bergetar riuh.

Ramaik menyandarkan lengan kanan pada lutut yang tertekuk. Dia mengamati Angelina selama beberapa saat sebelum bergumam, "Kamu lebih kurus."

Gerakan Angelina melambat seiring detak jantungnya mendadak perih. Namun, bibir wanita itu terkatup rapat dan kepalanya tetap menoleh ke arah lain.

"Maaf."

Tubuh Angelina bergeming seketika saat jeda panjang terjadi. Menit berlalu, Ramaik dengan nada menyesal kemudian melanjutkan, "Aku datang untuk minta maaf."

Mata Angelina meredup. Sebuah pertanyaan yang sering terucap dalam batin wanita itu kembali meminta jawaban. Apakah adil menyalahkannya atas semua yang terjadi? Dia bahkan terkurung di dalam sel hampir selama tiga puluh tahun sebelumnya.

"Aku tidak tahu kalau …."

"Ramaik ...," potong Angelina pelan. Wanita itu masih tidak mau menoleh. Dia belum mampu berkontak mata dengan sumber petaka dalam hidupnya. 

Sunyi yang hanya diisi gerutuan protes pongo lagi-lagi terjadi. Pandangan Angelina menatap jauh ke jalanan yang sepi sebelum wanita itu melanjutkan, "Cukup. Sudah cukup."

"Angel …."

Kepala Angelina akhirnya menoleh ke lawan bicaranya. Tatapan mereka pun bertaut.

Detik berlalu, sorot Ramaik perlahan melembut saat pria itu bergumam halus. "Terima kasih. Terima kasih telah menyelamatkanku dari sana."

 3 April 2022

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro