Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca...

**

Becca melambai kepada pelayan, memintanya mengambil piring waffle dan gelas minuman kami.

"Aku pergi dulu." Dia mencangklong tas. "Telepon aku kalau urusanmu sudah selesai."

"Jangan pergi terlalu jauh. Urusanku nggak makan waktu lama untuk diberesin."

Becca menatapku dengan sorot mencela, lalu menarik napas panjang. "Jangan terlalu galak sama orang setampan itu." Dia lalu berbalik pergi.

Laki-laki itu mengulurkan tangan begitu sampai di mejaku. "Dody." Dia menyebut namanya, seolah aku belum tahu.

"Rhe." Aku menyambut tangannya sebelum buru-buru melepaskan genggaman.

Dia duduk di depanku, terlihat tenang, seperti ini bukan pertemuan dengan orang asing. Dia kemudian melambai kepada pelayan dan meminta buku menu.

"Mau makan apa?" tanyanya sambil membolak-balik buku menu di hadapannya.

Aku tidak mau tinggal lama di situ. Aku hanya perlu memberitahu kalau pertemuan yang direncanakan orangtua kami tidak akan berhasil. Aku tidak akan menyerahkan hidup ke tangan orang yang tidak aku kenal. Aku tidak setolol itu.

"Tadi sudah makan waffle."

"Tidak apa-apa aku makan, kan?" Matanya masih menyusuri gambar makanan di menu. "Aku kelaparan."

"Silakan." Selama dia tidak menyuruhku menyuapnya, aku tidak peduli.

"Terima kasih sudah mau datang ke sini," katanya ketika pelayan yang mencatat pesanannya sudah pergi. "Ibuku terus menanyakan apakah aku sudah menghubungimu setelah dia memberiku nomormu."

Syukurlah, dia tidak terlihat antusias untuk melanjutkan pertemuan kami setelah ini. Dia pasti melakukan ini untuk menyenangkan ibunya. Sama sepertiku, dia anak yang patuh pada titah ibu.

"Tidak apa-apa," sambutku cepat. Ini lebih mudah daripada yang kubayangkan. "Aku juga melakukan ini untuk menghentikan Mama mencarikan jodoh untukku. Satu kali pertemuan tidak masalah."

Aku mengamati laki-laki di depanku dengan cermat. Dengan wajah dan penampilan seperti itu, dia jelas tidak butuh ibunya untuk mencari jodoh. Aku yakin banyak perempuan labil yang menjadikan tampang sebagai kriteria mencari pasangan bersedia antre untuk dipilih.

"Satu kali?" Dia mengulang kata-kataku seolah ingin menegaskan kalau dia tidak salah dengar.

Aku baru menyadari kalau matanya yang menyorot tajam itu terlihat indah. Wajah perseginya yang bersih memang menyenangkan untuk dilihat, tapi kurasa matanya adalah bagian yang terbaik.

Astaga, apa yang kupikirkan? Aku segera mengalihkan pandangan. "Aku janji sama Mama untuk menemuimu sekali. Itu cukup."

Dia menyipit melihatku, seolah tidak percaya pada apa yang aku katakan. Susah memang berurusan dengan laki-laki dengan kepercayaan diri luar biasa. Tipe orang yang tahu persis dirinya menarik.

"Tapi aku tidak menjanjikan satu kali pertemuan pada ibuku."

Aku ternyata salah menduga, dia bukan tidak percaya aku menolak bertemu dengannya lagi sebab imun dari pesonanya, tetapi karena dia ingin menepati janji kepada ibunya untuk menemuiku lebih dari sekali.

Aku teringat obrolan absurdku dengan Becca tadi. "Katakan pada ibumu kalau aku sama sekali tidak pantas untuk ditemui lagi." Aku mengembangkan tanganku di udara. "Bilang saja aku orang paling jelek, dekil, bau, dan tidak sopan yang pernah kamu lihat. Aku yakin ibumu tidak akan memintamu untuk menemui aku lagi."

Laki-laki di depanku itu tidak berusaha menyembunyikan senyumnya yang mengembang. "Masalahnya, ibuku sudah pernah bertemu kamu. Jadi aku tidak bisa memakai alasan itu."

"Di mana?" Aku tidak ingat pernah bertemu dengan Tante Aira. Aku bahkan tidak tahu orangnya seperti apa.

"Beberapa bulan lalu waktu dia ke Surabaya. Katanya Ibu ketemu kamu saat ke rumahmu."

Beberapa bulan lalu memang ada acara reuni yang digelar Mama di rumah. Aku kebetulan pulang. Berarti Tante Aira ada di antara teman-teman Mama waktu itu.

"Ya ampun!" Aku mengerang kecewa. Mau bohong saja susah.

"Terjebak seperti ini memang tidak nyaman, tapi aku tidak bisa mengecewakan ibuku." Dody benar-benar terlihat seperti anak berbakti kepada orangtua. Dia tampak berpikir. "Begini saja, kita bertemu sekali lagi. Setelah itu aku bisa memberi ibuku alasan yang tidak melibatkan fisik untuk menolak ide perjodohan ini."

Ucapannya membuatku lega. "Hanya satu kali lagi, kan?" Itu tidak akan sulit.

"Satu kali." Dia menarik piring pasta yang baru diantar pelayan mendekat ke depannya.

Tiba-tiba aku merasa lapar. Aku memang tidak makan waffle yang kupesan tadi. Becca yang menghabiskannya. Urusan perjodohan ini kelar, dan aku mendapatkan nafsu makanku kembali.

"Aku juga pesan satu," kataku kepada pelayan sambil menunjuk piring Dody. Aku meringis saat dia menatapku keheranan. "Aku selalu kelaparan kalau sudah menyelesaikan satu masalah."

"Kamu bisa makan yang ini." Dody mendorong piringnya ke depanku. "Biar aku yang menunggu."

Aku tidak berusaha untuk membuatnya terkesan dengan bersikap sopan, jadi langsung meraih piring itu sebelum Dody menawarkan dua kali.

"Jadi kapan kita bertemu lagi?" Aku mengarahkan bola mata ke atas. "Untuk yang terakhir, tentu saja."

"Nanti kukabari." Dody terus mengawasi aku mulai makan. Aku membiarkannya. Dia mungkin sedang menginventarisir daftar kekuranganku untuk disebutkan kepada ibunya. Tidak masalah. "Kamu sudah punya kekasih?"

Aku mengangkat kepala. Pertanyaan itu di luar dugaanku. "Tidak, aku tidak punya kekasih sekarang, tapi aku tidak butuh ibuku untuk menjadi makcombang. Astaga, aku tidak seputus asa itu."

Dody tersenyum lagi. Entah bagian mana dari jawabanku yang dianggapnya lucu. "Kamu memang tidak perlu makcomblang. Kelihatan jelas, kok."

Itu terdengar seperti pujian, tapi dia mengucapkannya dengan nada datar. Aku memilih mengabaikannya. Aku tidak bertanya balik apakah dia juga punya kekasih. Kesannya seperti ingin tahu. Dia bisa saja menyangka aku tertarik dan mengharapkan kelanjutan perjodohan ini.

Aku menunggu sampai Dody selesai makan sebelum pamit pergi lebih dulu. "Hubungi aku saja untuk pertemuan berikutnya," kataku, lalu menambahkan, "Yang terakhir."

"Oke, sampai ketemu nanti," jawabnya singkat sebelum sibuk dengan ponselnya yang berdering, tidak melihat ke arahku lagi. Lagi-lagi, syukurlah, dia tidak menanggapi serius ide perjodohan ini. Semoga dia sudah punya hubungan serius dengan perempuan lain. Hubungan yang akan dia pertahankan, dan tidak diputus begitu saja seperti yang dilakukan Ray padaku. Dan dia melakukan pertemuan ini sekadar menyenangkan mamanya yang terobsesi berbesan dengan sahabatnya.

Aku menemui Becca di Sogo.

"Bagaimana si tampan?" tanyanya. "Otaknya sama bagus dengan wajah dan bisepsnya?"

Dasar Becca. "Aku belum mengukur volume otaknya. Tapi pertemuannya nggak terlalu buruk kok."

"Pertemuan dengan orang seperti itu nggak pernah buruk." Becca mengerling jail. Kalau sudah begitu, kalimat absurd pasti akan meluncur deras dari bibirnya. "Kalau obrolannya membosankan, kamu bisa fokus pada wajah dan ototnya."

"Kami sudah sepakat." Aku tidak menghiraukan godaan Becca.

"Sepakat apa? Menentukan tanggal pernikahan?"

Aku tertawa. "Sayang sekali, tapi ini bukan lagi zamannya jodoh ditentukan orangtua. Kami sepakat untuk menolak rencana itu."

"Dia sudah punya pacar? Dan dia menemuimu hanya untuk mengatakan itu?"

Becca minta dijitak. "Aku yang menolaknya."

"Semoga kamu nggak menyesal, Rhe. Cakep gitu."

"Bungkusannya, Becca. Siapa yang tahu apa yang ada di dalam kepalanya? Di film-film, seseorang baru ketahuan kalau dia psikopat sesaat sebelum nyawa korbannya melayang."

"Mati di tangan orang setampan itu tidak terlalu buruk, Rhe."

Kami tertawa bersama. Hari ini tidak seburuk yang kubayangkan. Hanya tersisa satu kali pertemuan lagi dan usaha Mama menjadi cupid resmi gagal total. Satu kali, tidak lebih.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro