Sisi 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang gadis mengintip ke dalam ruang Prodi Matematika melalui kaca kecil pada pintu. Senyumnya mengembang sewaktu melihat Bayu masih duduk di balik meja dengan laptop di hadapannya. Gadis itu duduk sejenak, merapikan rambut, mengambil cermin dan memulas ulang lipstik. Cermin digulirkan sedikit ke bawah, dua kancing kemeja sengaja ia buka. Push up bra yang dikenakan memberi efek sesuai yang ia harapkan. Payudaranya terlihat bulat dan padat dari balik kemeja ketat, belahan dada yang mengintip pun tampak menggiurkan. Setelah yakin semuanya sempurna, ia mengetuk pintu dan langsung melangkahkan kaki menuju meja Bayu.

"Pak Bayu, bisa minta waktu sebentar?"

Kepala Bayu terangkat cepat. Di depannya berdiri Yasmin, salah satu mahasiswi bimbingannya dalam menulis skripsi. Bayu memijit pangkal hidung dan beristighfar dalam hati saat menyadari Yasmin memakai rok plisket yang cukup pendek dan kemeja yang seolah hendak terbelah di bagian dada.  "Saya sudah mau pulang. Ada apa?"

"Bimbingan skripsi, Pak. Bab 3 sudah saya revisi." Yasmin meletakkan map plastik berisi draft skripsi. Gadis itu duduk di depan meja Bayu. Kini Bayu bisa melihat bahwa Yasmin sengaja memamerkan belahan dadanya. Astaga, apa urat malu gadis ini sudah putus?

"Kuesionernya sudah kamu perbaiki?" Bayu memutuskan untuk mengabaikan pemandangan yang sengaja disuguhkan Yasmin.

"Sudah, Pak," jawab Yasmin percaya diri.

"Sudah dikonsultasikan dengan guru kelas tempat penelitian? Penelitianmu di SD, kan?"

"Eh, harus dikonsulkan dengan guru kelas, Pak?" Ekspresi percaya diri hilang dalam sekejab dari wajah cantik Yasmin.

"Tentu saja, guru kelas yang paling mengerti kondisi siswanya. Waktu bimbingan terakhir kan saya sudah bilang. Kamu itu nyimak nggak?"

"Maaf, Pak," cicit Yasmin seraya menunduk. Tidak bisa berkonsentrasi merupakan risiko menjadi mahasiswa bimbingan Bayu. Bagaimana bisa fokus menyimak arahan Bayu, jika yang dilakukan Yasmin hanya memandangi wajah tampan dosennya itu? Otaknya pun sibuk mencari cara agar Bayu mau meliriknya. Yasmin rela menyerahkan tubuh pada Bayu jika itu bisa memuluskan proses bimbingannya. Tidur dengan Bayu sama sekali tidak rugi, lagipula Yasmin memang sudah lama menaruh hati pada dosen tampan yang satu ini.

"Ya sudah saya baca dulu revisian yang ini. Hari Jumat minggu depan temui saya jam delapan pagi. Selain jam itu, saya nggak bisa." Bayu meletakkan draft skripsi Yasmin di atas tumpukan skripsi-skripsi lain di mejanya. "Oya, Yasmin. Besok lagi kalau ke kampus, pakai baju yang sopan," tegurnya ketika Yasmin sudah bangkit dari kursi.

Mahasiswi itu keluar dengan wajah merah padam. Bayu hanya geleng-geleng kepala. Bukan sekali ini saja Yasmin meminta untuk bimbingan skripsi di sore hari, ketika kantor prodi sedang sepi. Awalnya Bayu mengiakan saja karena itu memang kewajibannya, tetapi gelagat menggoda yang ditunjukkan Yasmin membuatnya gerah. Sering kali, gadis itu  sengaja membuat gerakan yang selalu mengekspos belahan dada.

Jika tidak ditegur seperti tadi, Bayu takut dirinya lama-kelamaan bisa khilaf juga. Semoga teguran tegas bisa membuat Yasmin berhenti menggodanya.

Suara kekeh Anton, membuat Bayu menoleh. Di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua, sejawat lainnya sudah pulang atau masih mengajar kelas tambahan.

"Yasmin itu suka sama kamu. Harapannya sih bisa bimbingan skripsi 'private' sama kamu di atas ranjang," kelakar Anton.

"Gila! Aku udah punya istri."

"Hati kalau udah jatuh cinta nggak bisa diatur sama otak, Bay. Mau single, double, triple, nggak ada yang peduli. Kamu juga jangan pura-pura nggak tahu, mahasiswi banyak yang nge-fans sama kamu."

Apa benar populasi laki-laki itu lebih sedikit daripada perempuan? Mengapa pria beristri seperti dirinya masih saja digandrungi cewek-cewek muda nan genit? Seakan-akan jumlah lelaki lajang di dunia ini sudah sangat langka.

"Kalau nge-fans ya silakan. Tapi kalau sampai berani menggoda itu nggak tahu diri, namanya."

Anton menyeringai. "Kamu yakin nggak mau icip-icip Yasmin sedikit? Dia kayaknya lebih dari bersedia."

"Kamu ngajarin aku selingkuh?"

"Santai, Bro. Selingkuh itu kalau pakai hati, tapi bersenang-senang kan boleh, yang penting cintamu tetep utuh buat Ratna."

"Sesat kamu."

Anton terbahak. Ia mulai membereskan tas. Di mejanya, Bayu pun melakukan hal yang sama. Sudah lewat pukul empat, waktunya pulang dan melepas lelah bersama keluarga.

"Canda, ah. Tapi dianggap serius juga boleh. Aku tutup mulut, kok. Jaminan."

"Musnah sana," umpat Bayu.

Anton terbahak lagi. "Omong-omong, kalau ada cewek godain kamu kayak si Yasmin tadi, kamu cerita sama Ratna, nggak?" Anton kini mengangkat alis, menunggu jawaban Bayu.

"Nggaklah. Ngapain bikin istri kepikiran. Aku bisa dan tahu cara mengatasi jenis cewek kayak Yasmin."

Anton meninggalkan mejanya, menepuk bahu Bayu sekilas. "Sip. Besok jangan lupa bawa jaket, Malang itu dingin. Di sana nggak ada Ratna yang bisa bikin kamu anget," ujarnya seraya berlalu ke arah pintu.

Bayu mendengkus. Pekerjaan sebagai dosen mengharuskannya aktif melakukan publikasi ilmiah. Beberapa waktu yang lalu ia dan beberapa dosen lain mengirimkan abstrak penelitian untuk mendaftar seminar di Malang. Bayu, Anton, Anita dan Della termasuk yang lolos untuk melakukan presentasi di kampus Universitas Negeri Malang.

Bayu keluar dari ruang prodi setelah memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal. Dua malam di Malang tanpa Ratna, pasti akan membuatnya dilanda rindu.

***

Ratna kembali bersujud di atas sajadah. Bibirnya bergetar melirihkan kalimat yang sama, berulang-ulang. Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah, Allahumma anta salam wa minka salam, tabarakta ya dzal jalali wal ikram.

Mohon ampunan Allah atas dosa-dosa kita Insyaalah jalan mendapat keturunan dimudahkan.

Kata-kata Aisyah kembali terngiang di benak Ratna. Sejak pertemuannya dengan dosen berhijab lebar itu, Ratna selalu merasa dihantui oleh satu dosanya di masa lalu: membuat Bayu berpaling dari Ayu.

Ratna belum pernah meminta maaf pada Ayu, dan wanita itu pun belum memberikan kata maaf pada Ratna. Sampai saat ini. Seandainya Ratna tidak hadir di antara Bayu dan Ayu, mungkin saat ini Ayu-lah yang menjadi istri Bayu.

Aku memohon ampun kepada Allah. Wahai Allah, Engkaulah Dzat pemberi keselamatan, dan dari-Mu kudapatkan keselamatan. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Sang Pemilik keagungan dan kemuliaan. Ratna mengulang-ulang lafal permohonan ampun di dalam hatinya, hingga air matanya berlinangan dan ia pun menangis sesenggukkan.

Ratna tidak tahu sudah berapa lama ia menangis, sampai tiba-tiba punggungnya yang dilapisi mukena diusap dengan lembut oleh seseorang. Perlahan Ratna mengangkat kepala, bangkit dari sujudnya, hanya untuk mendapati Bayu sudah duduk di sampingnya.

Bayu masih memakai kaus dan celana bokser yang ia kenakan saat berangkat tidur, tetapi ekspresinya sudah terjaga sepenuhnya. Tidak ada jejak kantuk, justru raut bertanyalah yang nyata terlukis di wajah suaminya. Ratna bertanya-tanya apa isak tangisnya membangunkan sang suami?

"Kamu kok bangun?"

"Kamu lupa aku mau berangkat ke Malang?"

Ratna tersenyum sumir sambil menyeka pipinya yang basah karena air mata. Terlalu larut dalam gundah, ia sampai lupa jadwal kegiatan suaminya, padahal Ratna juga yang membantu Bayu mengemas pakaian.  "Maaf, aku lupa. Aku masakin air panas dulu buat kamu mandi."

Ratna melepas mukena, diliriknya jam dinding. Pukul 00.15. Masih cukup waktu. Kereta yang akan ditumpangi Bayu akan berangkat pukul 01.35 dari Stasiun Tugu.

"Kamu kenapa salat sambil nangis?" tanya Bayu sambil mengikuti Ratna keluar kamar, menuju dapur.

"Nggak apa-apa. Lama nggak salat tahajud, jadi begini."

Bayu mengamati gerakan Ratna mengisi air ke dalam ceret, dan menjerangnya di atas kompor. Mereka tidak cukup kaya untuk punya mesin pemanas air. Jika ingin mandi air hangat, maka harus menjerang dengan kompor.

"Na, jujur sama aku," pinta Bayu. Ia terlalu mengenal istrinya hingga bisa merasakan kapan Ratna berkata jujur atau sedang menghindar mengatakan yang sebenarnya.

Ratna membuang napas panjang lalu duduk di kursi makan. "Aku...aku ingat Ayu, Bay."

Bayu tersentak. Sudah lima tahun lebih nama itu tidak pernah disebut. "Kenapa dengan dia?" tanyanya tak nyaman.

"Aku punya salah sama dia. Aku belum minta maaf, Bay."

"Memangnya kamu salah apa?"

"Aku ngerebut kamu dari dia." Ratna menjawab lirih. Kepalanya tertunduk.

"Astaga. Na, kita udah nikah lima tahun dan kamu masih aja mikir kayak gitu." Di luar kontrol, suara Bayu pun meninggi. Sejak dulu, Bayu paling tidak suka jika Ratna memosisikan dirinya sebagai pelakor atau wanita penggoda.

"Tapi, Bay... mungkin aja karena kita punya salah sama Ayu, makanya kita belum diberi keturunan. Mungkin inilah karmaku."

"Jangan bikin cocoklogi sesukamu!" sentak Bayu keras. Pria itu menarik napas panjang dan mengembuskannya berkali-kali saat sadar dirinya baru saja membentak sang istri.  Setelah sedikit bisa meredakan amarah, ia ikut duduk di sebelah Ratna. "Kita manusia, nggak punya kuasa menebak rahasia ilahi. Alasan kenapa kita belum dikasih anak, itu perkara yang nggak bisa kita tebak.  Lagian, aku udah minta maaf sama Ayu. Ayu juga pasti sudah maafin kamu. Dia bukan tipe orang yang suka memendam kebencian."

Ratna menggeleng. "Kalau ternyata Ayu belum maafin aku, gimana? Allah juga nggak bakal mengampuni dosaku kalau Ayu sendiri belum maafin aku."

Siulan ceret melengking di belakang mereka, Bayu bangkit cepat dari kursi dan mematikan kompor. "Aku nggak suka kamu ngomong begitu. Dan aku nggak mau dengar nama Ayu disebut-sebut lagi di antara kita."

Bayu melenggang keluar dari dapur, dan masuk ke kamar mandi yang ada di kamar utama. Ia tidak membutuhkan air panas lagi, sebab tubuhnya sendiri sudah panas oleh amarah.





=======

Haduh, gimana itu? Bayu Ratna malah marahan padahal Bayu mau ke Malang dan di sana ada Della.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro