Sisi 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bayu memarkir motornya asal-asalan dan langsung berlari menuju Instalasi Gawat Darurat RS Wirosaban. Omelan petugas parkir sama sekali tak didengarnya. Benaknya terlalu panik. Kalut. Sampai-sampai ia hampir menabrak seorang perawat yang sedang mendorong kursi roda.

Suatu saat kita pasti akan dipisahkan oleh maut.

Ratna pernah berkata demikian dua bulan yang lalu, usai mereka makan malam dengan Raja dan Gita, tetapi hal itu tidak akan terjadi hari ini, bukan? Bayu menepis kuat dugaan buruk itu. Ratna pasti baik-baik saja.

Mata Bayu nyalang memindai seisi ruangan bercat hijau, meneliti dengan cepat wajah-wajah yang hilir mudik di sana hingga ia menemukan sosok Gian sedang berdiri di depan sebuah pintu yang tertutup. Cepat Bayu menghampiri kakak sepupunya itu. "Bang, gimana Ratna?"

Raut wajah Gian terlihat cemas. "Dokter obgyn baru datang. Ratna masih belum sadar."

Bayu mengusap wajah dengan gusar. Beragam skenario buruk terbentuk dalam ruang pikirnya terkait kondisi bayi dalam kandungan Ratna. Rasa takut mencengkeram dadanya.

"Kejadiannya gimana, Bang? Kenapa Ratna bisa begini?" tanyanya parau. Dunia Bayu bagaikan dihantam tsunami ketika Gian meneleponnya dan mengabarkan bahwa Ratna mengalami kecelakaan.

"Ratna baru saja keluar dari parkiran PE. Aku baru  akan masuk mobil ketika tiba-tiba orang-orang di jalan berteriak ada kecelakaaan. Menurut saksi, motor Ratna hilang kendali lalu nabrak trotoar," papar Gian.

Bayu terduduk lemas di kursi tunggu terdekat. Tangannya menjambak rambut dengan frustrasi. Seharusnya ia tidak meloloskan permintaan Ratna untuk mengendarai motor sendiri. Seharusnya ia bersikeras memaksa istrinya naik taksi online. Seharusnya---

"Keluarga Ibu Ratna Anjani," seru sebuah suara wanita memotong pengandaian yang tengah terajut di pikiran Bayu.

"Saya suaminya," jawab Bayu. Seketika ia bangkit, berhadapan dengan wanita berhijab biru dengan sneli putih.

"Istri Bapak mengalami perdarahan hebat, harus segera dioperasi. Kami minta persetujuan Bapak selaku suami," terang dokter itu.

"Bayinya, Dok?"

Dokter itu menggeleng. Wajahnya menyampaikan permintaan maaf tanpa suara.  "Janin terkena benturan, tidak bisa diselamatkan. Air ketuban juga sudah pecah.  Sekarang yang bisa kita lakukan adalah menyelamatkan nyawa ibunya. Ibu Ratna harus segera dioperasi caesar."

Gian menepuk punggung Bayu, mencoba memberi kekuatan. "Sabar, Bay. Yang tabah," ucapnya.

Bayu membenamkan wajah di bahu kakak sepupunya. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Adakah hal yang lebih menyedihkan dibandingkan kehilangan bayi yang telah ia nantikan selama lima tahun?

***

Segalanya berlangsung cepat. Ratna dioperasi, Bayu diperlihatkan pada jasad putri kecilnya, lalu pihak rumah sakit membantu pengurusan jenazah. Bayi mungil itu dimandikan dan dikafani. Bayu dan Gian membawanya pulang untuk disalatkan lalu dimakamkan.

Bungkusan kain kaffan itu begitu mungil dan ringan. Beratnya hanya sekitar 500 gram. Namun, Bayu merasakan beban mahaberat ketika harus memasukkan jenazah putrinya ke dalam liang lahat. Ia tahu sebagian jiwanya ikut pergi bersama sang anak.

"Anakmu sudah beristirahat dengan tenang. Ikhlaskan dia. Sekarang kamu temani Ratna. Dia butuh kamu," nasihat Gian ketika mereka berjalan keluar dari kompleks pemakaman.

Para tetangga yang ikut mengantarkan jenazah juga mencoba membesarkan hati. Bahkan Raja pun hadir, dan kali ini Bayu sama sekali tidak keberatan dengan kehadiran pria itu. 

"Mandi dan gantilah pakaianmu lalu bawa beberapa barang keperluan Ratna. Kalau ada apa-apa hubungi Pakde atau Abangmu." Burhan Hanafi, ayah Gian turut memberi saran.

Mendengar itu, Bayu baru menyadari bahwa ia belum berganti pakaian. Kemeja dan celana panjang yang melekat di tubuhnya adalah baju yang sama yang ia pakai saat berangkat ke kantor pagi ini.

Bayu menuruti saran pamannya kemudian dengan ditemani Gian, ia kembali ke rumah sakit. Bayu mengetuk lalu membuka pintu kamar rawat yang ditempati Ratna. Istrinya tengah tertidur, suara rintihan sesekali keluar dari mulutnya. Gita dan Adisti yang dengan sukarela menawarkan diri menunggui Ratna sementara Bayu mengurus pemakaman, bangkit dari kursi begitu Bayu datang.

"Biar aku yang jagain Ratna, Mbak. Mbak Adisti pulang saja. Adel dan Lio pasti nungguin," ucap Bayu pada istri Gian, lalu ia menoleh pada Gita. "Kamu pulang ke rumahku malam ini, Git. Jaga-jaga, kalau-kalau ada tetangga yang datang dan bertanya."

"Iya, Mas." Gita mengambil tasnya lalu mencium tangan Bayu, Gian, dan Adisti. "Kabari aku kalau perlu dibawain sesuatu."

Bayu mengangguk. Ia meletakkan tas berisi pakaian ganti untuknya dan Ratna, lalu duduk di kursi sebelah ranjang. Matanya mengamati sekujur tubuh Ratna.

Wajah istrinya pucat, sehingga lebam keunguan di pipi kiri terlihat kontras. Kaki dan lengan kirinya terluka. Luka di lengan bahkan perlu mendapat lima jahitan. Menurut cerita yang Gian dengar, motor Ratna sudah ambruk tetapi terus melaju, hingga menyeret tubuh Ratna, memaksanya bergesekan dengan aspal.

"Tadi begitu sadar, Ratna langsung nanyain bayinya," lapor Adisti.

"Mbak Adisti jawab apa?"

"Aku bingung mau jawab gimana. Akhirnya, aku cuma minta dia tidur aja."

Bayu mengangguk. "Makasih, Mbak."

"Bay, be strong ya," lirih Adisti dan dibalas anggukan oleh Bayu.

Adisti dan Gian mungkin yang paling memahami perasaan kehilangan ini. Adisti pernah mengalami keguguran dua kali. Hanya saja, peristiwa itu terjadi sebelum kandungan Adisti berusia 4 bulan. Menurut agama, belum ada ruh yang ditiupkan.

"Besok kami ke sini lagi," ucap Gian berpamitan, lalu merangkul istrinya keluar kamar.

Bayu mengembuskan napas panjang, meluruskan kaki dan menyandarkan kepala ke tembok. Lelah dan duka berkelindan menjadi satu, menciptakan nestapa yang mengakar kuat dalam hati. Satu hal yang Bayu ketahui, perlu waktu lama baginya untuk berdamai dengan rasa pilu ini.

Di atas kasur, Ratna merintih lagi. Bayu kontan duduk tegak lalu mengusap-usap kerutan di dahi istrinya, hingga perlahan-lahan mata Ratna terbuka. 

"Bay..." Suara Ratna pelan sekali, hampir seperti bisikan.

"Ya, Sayang. Mau minum?" tawar Bayu. Ratna menggeleng lemah.

"Ada yang sakit? Mau aku panggilin suster?" tanya Bayu lagi. Dan Ratna kembali menggeleng.

"Dedek gimana?"

Bayu tertegun sejenak. Jika memang ada cara untuk menyembunyikan duka sebesar ini, Bayu ingin tahu. Namun sayangnya, hal itu mustahil.  Maka, ia hanya menggeleng sambil menggenggam tangan Ratna, lalu mencium dahi istrinya. "Percaya sama aku, Na. Kita akan mendapat gantinya. Kita pasti bisa punya anak lagi."

Air mata Ratna luruh begitu saja. Tangannya melepaskan genggaman tangan Bayu lalu turun meraba perut yang kini terasa empuk. Tidak ada lagi bulatan keras di bawah lapisan kulit, tempat bayinya meringkuk. "Maafin aku. Aku nggak bisa jagain Dedek. Aku yang bikin Dedek celaka."

Kepala Bayu menggeleng. Matanya kembali berkaca-kaca. Pilu kembali menghunjam jantungnya. Teringat saat-saat terakhir ia memandang wajah bayinya sebelum kain kafan ditutup. "Ssssttt.... jangan bilang begitu. Sudah takdir dari-Nya harus begini."

"Harusnya aku nggak nekat bawa motor sendiri." Ratna mulai sesenggukan.

"Sudah, Na. Sekarang kita hanya harus ikhlas. Yuna sudah tenang, sudah dimakamkan."

"Yuna?"

"Namanya Putri Yuna. Singkatan dari nama kita, Bayu dan Ratna. Hanya nama itu yang terpikir olehku, karena Dedek harus cepat dikebumikan."

Jika situasinya berbeda, Bayu mungkin bisa memikirkan nama yang lebih indah, dengan makna yang lebih dalam. Namun, sekali lagi, keadaan memaksanya bertindak cepat. Mengikuti saran tetangga yang lebih paham agama, Bayu memutuskan untuk tidak menunda hak jenazah putrinya, yakni hak untuk dimakamkan secepat mungkin, bahkan tanpa menunggu kehadiran orangtua atau mertuanya.

"Yuna..." Ratna terus menggumamkan nama itu di sela-sela tangisnya. Air mata Ratna merebak semakin deras, hingga membasahi bantal. "Yuna... maafin Mama, Nak."

---------------

Aku nulis bab ini juga sambil mewek.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro