Sisi 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ma, pagi-pagi kok udah sibuk di dapur. Biar Ratna saja yang masak."

Ratna sedikit salah tingkah dan malu ketika masuk ke dapur dan mendapati ibu mertuanya sudah berada di depan meja konter, sibuk meracik bumbu. Salahkan Bayu yang mendadak bergabung dengan Ratna saat ia sedang mandi. Tentu saja durasi mandi mereka jadi lebih lama karena aktivitas tambahan yang diminta Bayu.

Endah menoleh dan mahfum mengapa Ratna terlambat keluar kamar setelah melihat rambut sang menantu yang basah. "Nggak apa-apa. Mama kangen pengin masak nasi goreng pete buat Bayu. Nasi semalam masih sisa banyak. Tuh." Wanita paruh baya itu menunjuk magic com yang terbuka tutupnya. 

"Bayu itu paling suka makan pete. Waktu kecil, dia pernah malam-malam rewel minta makan pete. Karena Mama udah capek, petenya cuma Mama kukus. Eh, kata Bayu, enak. Dicemilin sampai habis," lanjut Endah bernostalgia.

"Unik ya, Ma. Ganteng-ganteng tapi sukanya pete." Karena menu sarapan sudah diambil alih Endah, Ratna pun memilih menyiapkan teh manis untuk mereka semua.

"Gimana, Ratna? Masih belum isi?"

Gerakan Ratna menyeduh teh terhenti beberapa detik. Suasana hati yang ceria setelah morning sex yang memuaskan, kini rusak sudah. Menggeleng lemah, ia menyahut,  "Belum, Ma."

"Kamu nggak mau ikut terapi kesuburan, atau program hamil di dokter spesialis? Mama udah pengin banget nimang cucu, nih. Kamu udah kosong lima tahun, lho."

Seolah Ratna perlu diingatkan pada 1800 hari yang ia lalui dengan mendambakan kehadiran buah hati. Ratna tahu, baik ibu mertuanya atau ibu kandungnya, tidak ada yang memiliki riwayat susah hamil. Mereka berdua langsung hamil satu bulan setelah pernikahan, membuat Ratna bertanya-tanya riwayatnya yang sulit hamil ini menurun dari mana.

"Untuk saat ini Bayu dan Ratna belum ada pembicaraan serius tentang itu, Ma." Sebenarnya Ratna sendiri yang terlalu sering dilanda ketakutan berlebihan dengan kondisinya yang tak subur.

"Tapi menstruasimu lancar, kan?"

"Setiap bulan, kok, Ma," jawab Ratna diplomatis. Rasanya fakta bahwa tanggal menstruasinya sering mundur, tak perlu disampaikan pada sang mertua.

"Atau coba setiap selesai berhubungan, pantatmu diganjal bantal. Supaya sperma Bayu nggak tumpah."

"I-iya, Ma. Nanti Ratna coba."

"Terus, kalau mau ejakulasi, Bayu aja yang di atas, ya. Nggak usah pakai gaya aneh-aneh."

Anak Mama tuh yang suka request gaya aneh-aneh. Ratna mengulas senyum terpaksa. Membicarakan urusan ranjang dengan orang lain tak pernah membuatnya nyaman. Bahkan dengan Fifi sekalipun, Ratna menyimpan rapat cerita tentang kegiatan panasnya dengan sang suami.

"Ratna aja yang tumis bumbunya, Ma." Ratna melihat kesempatan untuk mengalihkan topik pembicaraan begitu Endah selesai mencincang bawang. "Mau pakai bumbu penyedap, nggak, Ma?"

"Kasih dikit aja." Minyak panas dan cincangan bawang bertemu, menguarkan aroma lezat yang membuat perut keroncongan. "Dengar, ya, Ratna. Laki-laki asal staminanya bagus, pasti bisa ngehamilin." Rupanya Endah belum melepaskan topik ini.

"Coba kamu tanya teman-temanmu, pengobatan alternatif supaya cepat hamil. Atau bisa coba bikin sendiri ramuan tradisional. Mama baca di internet, katanya minum teh kayu manis atau jamu kencur dan bawang putih bisa bikin perempuan lebih subur."

Ratna merasa matanya mulai memanas. Mendengar penuturan Endah barusan, kesimpulannya jelas, di mata ibu mertuanya, pasti Ratna-lah yang mandul.

***

Beres mengerjakan pekerjaan rumah, Ratna merasa malas keluar kamar. Toh, sekarang hari Minggu. Setiap orang berhak bermalas-malasan hari ini. Maka Ratna hanya berbaring miring di kasur. Benaknya memutar kembali semua ucapan Endah. Batinnya pun gundah. Bagaimana jika Ratna benar-benar tidak bisa memberikan keturunan bagi Bayu? Apa ibu mertuanya akan meminta mereka bercerai? Atau menyuruh Bayu menikah lagi?

Tanpa terasa, air mata menitik membasahi bantal. Tangan Ratna merambat menyentuh perutnya yang rata. Setiap hari, sejak ia resmi menyandang gelar sebagai Nyonya Bayu Anggara, Ratna selalu mengharapkan ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam rahimnya. Janin yang awalnya berupa segumpal darah, lalu berkembang hingga menjadi manusia mungil yang sempurna.

Tuhan, mengapa belum Kau karuniakan anugerah itu pada kami?

"Na, kamu kenapa? Pusing?" Bayu heran melihat istrinya berbaring di kasur. Pasalnya, Ratna bukan tipe orang yang suka membuang waktu dengan leha-leha. Ada saja kegiatan yang dilakukan istrinya itu.

Mengetahui kedatangan Bayu, Ratna sontak menghapus air matanya. Tak ingin Bayu tahu ia lagi-lagi menangis karena topik momongan ini. "Nggak apa-apa. Capek aja."

"Aku mau antar Mama beli oleh-oleh." Terdengar suara lemari pakaian dibuka. Mungkin Bayu mengambil dompet.

Ratna bangkit dan duduk di tepi ranjang. "Papa ikut?"

"Nggak. Papa tidur di kamar." Bayu mengamati istrinya yang sedang menyisir rambut dengan jari. Ia tak mungkin salah, Ratna pasti baru saja menangis. Ada jejak basah di sekitar mata Ratna.

Bayu duduk di samping Ratna. Jarinya mendongakkan dagu sang istri, matanya menelisik. "Kamu habis nangis? Ada apa? Cerita sama aku."

Lama, Ratna menatap mata suaminya. Tidak ada gunanya menyimpan gundah sendirian. Bukankah tugas pasangan adalah untuk berbagai suka dan duka? "Bay, kalau aku nggak bisa kasih kamu anak, kamu bakal gimana?"

"Kenapa tanya begitu? Pasti Mama ada ngomong soal anak lagi sama kamu, ya?"

"Nggak. Aku tiba-tiba kepikiran aja."

Mata Bayu menyipit. Ia curiga Ratna sedang berbohong. Jika tidak ada pemicunya, tidak mungkin Ratna tiba-tiba memikirkan topik tersebut. Mengembuskan napas panjang, Bayu lalu duduk di samping Ratna. Merangkul bahu wanitanya, menyandarkan kepala cantik itu di bahunya.   "Anak itu kan rejeki, Na. Tiap orang, beda-beda rezekinya. Barangkali kita nggak dikasih anak, tapi dikasih rezeki umur panjang dan kesehatan. Iya, kan?"

"Kamu tanya, apa yang akan aku lakukan, jika nggak diberi anak. Jawabanku gampang sih. Aku bakal usaha bikin terus sama kamu. Kalau perlu sehari tiga kali kayak minum obat. Ada kok pasangan yang baru dikaruniai anak di usia empat puluhan."

"Kamu nggak mau cari istri lagi?"

"Nggak. Cari yang sesuai seleraku itu susah. Dia harus jago masak, bisa bikin sambal pete ekstra pedas yang nampol banget, terus harus punya bokong bahenol yang kalau nungging bikin aku auto mikir gaya doggy style."

Ratna tertawa, sadar bahwa kriteria yang disebutkan Bayu merujuk pada dirinya. "Makasih, ya. Karena udah balikin mood aku."

Bayu meremas sayang bahu Ratna. "Anything for you, baby," bisiknya.

***

Pusat oleh-oleh khas Yogyakarta yang didatangi Bayu dan Endah dikonsep seperti mini market. Pengunjung bebas memilih sendiri buah tangan yang diinginkan. Selain makanan, tersedia juga kaus khas anak muda, dompet batik, dan kain bahan batik. Area  kosong di samping toko dijadikan kafetaria kecil yang menyediakan aneka minuman dan camilan.

"Ayo pulang, Bay. Mama udah selesai belanja oleh-olehnya." Bayu memang tidak ikut memilih oleh-oleh, ia cukup menunggu sang mama berbelanja sambil memesan minuman di kafetaria.

"Duduk dulu, Ma. Udah Bayu pesenin wedang uwuh buat Mama." Bayu menarik kursi untuk Endah duduk. Di meja sudah ada secangkir minuman hangat berwarna cokelat bening yang di dalamnya terdapat potongan rempah-rempah. "Sekalian Bayu mau ngomong sesuatu."

"Ngomong apa? Soal Gita? Kamu kan udah bilang setuju, Bay."

"Bukan soal Gita. Ini tentang Ratna."

"Ada apa dengan istrimu?"

"Ma, jangan desak Ratna terus soal momongan. Dia sensitif sama topik itu."

"Sensitif gimana?" Endah mendengus.

"Ratna jadi kepikiran, terus murung. Sedih. Bayu nggak suka setiap kali Ratna begitu."

"Mama nggak mendesak, kok. Mama itu cuma memberi saran. Bukan salah Mama kalau Ratna baper."

"Ma, tolong lebih berempati dengan perasaan Ratna. Coba bayangkan kalau Mama yang lama nggak punya anak, pasti sensitif kan sama obrolan tentang itu. Lagian nih, kalau bukan karena bujukan Ratna, pasti Bayu udah nolak kemauan Mama supaya Gita tinggal di rumah Bayu."

"Ah, kamu itu. Bucin banget sama istrimu," sergah Endah tak suka. Sedikit kesal membayangkan putra sulungnya tunduk patuh pada sang istri. "Lama-lama kamu bisa jadi susis, suami takut istri."

"Bayu bisa jamin, hubungan Bayu dan Ratna itu setara, Ma. Kami saling menghormati dan mencintai. Bayu nggak pernah mendesak Ratna soal bayi karena Bayu nggak ingin Ratna stres. Kalau Ratna nggak bahagia, Bayu juga nggak akan bahagia."

Endah mengembuskan napas panjang. Tahu dirinya tidak akan memenangkan perdebatan ini. Ibu adalah tempat anak laki-laki mencurahkan bakti yang utama, tetapi setelah menikah, hati seorang anak laki-laki bukan lagi milik ibunya.

"Pokoknya jangan sampai Mama kasih Bayu saran yang aneh-aneh," lanjut Bayu lagi.

"Aneh-aneh apa?"

"Misalnya, Bayu disuruh nikah lagi, atau cerai. Pokoknya Bayu nggak mau."

"Memangnya kamu nggak ingin punya anak?"

"Ma, diberi anak atau nggak, Bayu tetep cinta Ratna. Titik. Kebahagiaan rumah tangga nggak dipatok dari adanya anak atau nggak." Bayu meraih tangan ibunya, melabuhkan kecupan di punggung tangan yang mulai keriput itu. "Bayu bahagia dengan Ratna, Ma. Itu yang penting, kan?"

=======

Bayu so sweet ya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro