chapter 20: kutunggu sampai kamu dewasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"di umur 19, kamu menyadari bahwa banyak hal yang belum kamu ketahui dan pelajari, tapi tak apa, jangan telan semuanya dalam satu malam. satu persatu. tarik napas dalam-dalam. hari ini akan bermakna, percayalah."

Sejak pesta kecil-kecilan atas keberhasilan Rendra yang berujung drama, Ama merasa Rendra berubah. Laki-laki itu lebih sering menjauh, tidak melihat di matanya, dan tidak mengunjungi studio lagi, padahal album Ama sebentar lagi akan selesai.

Seperti siang ini, ketika Ama baru saja menyelesaikan kelas paginya.

Ama sedang berjalan bersama Tama ketika dirinya melihat Rendra sedang berjalan bersama teman sejurusannya. "Rendra!" panggil Ama dengan lantang.

Rendra menoleh, lalu melambaikan tangannya dengan canggung. Kemudian, tanpa menghampiri Ama, Rendra langsung berlalu begitu saja.

Ama menghela napas, lalu cemberut.

"Kenapa?" tanya Tari.

Ama menggelengkan kepalanya. "Ayo ke kantin."

Malamnya, Ama menyelesaikan albumnya seorang diri di studio. Ama merasa ada yang beda dengan keabsenan Rendra, namun dia memilih memendamnya. Meski dengan memendam tidak akan membuat semuanya baik-baik saja.

Karena keheningan ini sungguh membuat tidak nyaman, Ama memanggil satu-satunya orang yang bisa diajak ngobrol, Lestari. Perempuan itu sedang libur dari kerjaannya menjadi tukang antar makanan. Dengan umpan ayam sebasket, Tari datang dengan senyum lebar dan perut lapar.

"Tumben, biasanya kamu sama Rendra," celetuk Tari sambil menurunkan tasnya ke lantai studio.

Ama melirik garang Tari, membuat Tari menekap mulutnya. Kalau dia tidak menutup mulutnya yang seperti keran bocor ini, Tari tidak akan mendapat ayam yang ia inginkan. Yah, bukan berarti Tari ke sini hanya karena itu, sih, Tari juga ingin menemani Ama.

Tari kemudian menanyakan hal lain yang sekiranya bisa membuat perasaan Ama membaik. Juga, menceritakan tentang kegiatan di kampus  mereka, tentang launching album Ama akhir bulan ini. Hingga akhirnya, Ama mulai membaik dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya.

"Rendra ngejauh dari gue, Tar," mulai Ama.

Tari sudah siap dengan ayam di tangannya.

"Gue gak tau salah gue apa," tandas Ama, menutup buku catatannya lalu memeluk dirinya sendiri. "Bahkan Rendra gak mau ngobrol lagi atau sekedar bales pesan gue lagi. Gak ada Rendra di sini, gue ngerasa...."

"Sepi?" tanya Tari.

Ama diam, lalu mengambil ayam dan melahapnya.

Bila semua orang melihat sikap Ama, bahkan Tari, pun tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, namun orang yang merasakan tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah ironi, tapi memang begitulah keadaannya.

Ama menyukai Rendra. Dan, perasaan itu berbalas. Kalau tidak, mana mungkin Rendra marah tanpa sebab? Pasti ini semua karena ucapan Ama yang tidak menyukai siapa-siapa, yang membuat Rendra akhirnya merasa bahwa dirinya tidak akan pernah disukai oleh Ama.

Ah, Tari memang sangat pintar.

"Coba kamu jujur ke dia, kalo kamu kangen," usul Tari.

"Bilangnya gimana?" wajah Ama benar-benar seperti baju belum disetrika.

"Hmm..., mulai dari, 'Kemana aja loeeeh? What's up, Broooh?" Tari mencoba bergaya ala hip-hop yang membuat Ama melihatnya datar. "Kenapa? Gak cocok, ya? Hehehe, maap."

Ama tidak menghiraukan Tari dan mengambil ponselnya. Dilihatnya kolom obrolan dengan Rendra, kiriman pesannya yang terakhir tidak dibalas olehnya. Ama menggigit bibir bawahnya, berpikir apakah ia harus mengirim pesan pada Rendra atau tidak, hingga tiba-tiba Tari mengambil ponselnya dan melakukan hal yang, kalau bukan Tari, pasti sudah Ama lindas pakai pohon toge.

"Tar! Hape gue balikkin, ihhh," seru Ama sambil mencoba menggapai ponselnya dari tangan Tari. Tari sudah seperti belut kepanasan, susah sekali ditangkapnya.

"My Baby TralalaTrilili Rendra, I miss you so so so much. Can you call me phleazeee?" ucap Tari seiring mengitik pesan serupa di kolom obrolan antara Ama dan Rendra.

Lupakan kalau yang melakukan hal itu adalah Tari. Tari benar-benar ingin mati hari ini.

Tari menghadap ke arah Ama dan menaikkan alis ketika melihat wajah Ama yang super duper menyeramkan, "Kenapa? Aku kan cuma membantu."

Ama sudah bersiap ancang-ancang menerkam Tari ketika ponselnya berdering. Tidak ada yang bersuara. Ama perlahan menghampiri Tari dan mengambil ponselnya. Ternyata panggilan dari Rendra.

"Hmmm," ucap Tari membuat Ama lantas menatap ke arahnya dengan bengis. "Kalo gitu, aku tunggu di luar, ya."

Ketika Tari ke luar, Ama baru menerima telepon tersebut. Jantungnya berdegup kencang, entah kenapa, mengantisipasi tiap momen yang akan terjadi berikutnya.

"Jangan chat gue lagi," suara dingin Rendra terdengar.

Ama seperti diguyur seember air dingin.

"Ren?"

Tut..., tut..., tut....

Ama menatap kosong ruangan. Perlahan, dirinya duduk di lantai studio dan merenung untuk waktu yang cukup lama bagi Tari kembali dari luar studio dan menanyakan ada apa pada Ama dengan panik. Ama tidak menjawab. Sekarang, rasanya, semua menjadi kebas tak berbentuk.

***

SUDAH dua bulan berlalu.

Sudah dua bulan dan Ama seperti kembali menjadi Ama yang dulu, yang diam dan tidak bernyawa, kecuali, sekarang album barunya sudah rilis dan tepat hari ini, adalah hari launching album-nya. Ama sudah mendapatkan apa yang ia mau, membuat album yang personal, yang benar-benar tentang dirinya, namun sekarang dirinya malah tidak merasakan apa-apa, hampa.

Penata rambut membetulkan tatanan rambut Ama untuk yang terakhir kalinya sebelum dia ke panggung, menemui banyak orang, tersenyum ketika dirinya tidak ingin, dan bersikap seolah dirinya baik-baik saja.

"Selamat Amaaa," suara Ara dari pintu ruangan make-up ini membuat Ama menoleh ke asal suara. Ama tersenyum lebar, yang tulus, dan tak berapa lama dirinya sudah berada di pelukan sahabatnya itu. Di belakangnya, Depha berdiri dengan senyum yang sama tulusnya. "I'm so happy and proud for you, Sis."

"Makasih, Ra."

Mereka bertiga sedang berbincang-bincang ketika panitia acara meminta Ama untuk hadir bersama dengan produser dan yang lainnya. Ama mengangguk, ditemani oleh Ara dan Depha, menuju podium, Ama menjadi teringat tentang tiga orang anak berusia remaja tanggung yang belum mengerti dunia, ingin mengejar impian mereka, dengan naifnya. Tapi entah bagaimana caranya, bisa menggapai mimpi tersebut.

Ketika berbicara di depan podium, Ama seringkali mengingat masa lalu. Dan Ama tersenyum kecil, karena dirinya tidak menyerah untuk mengejar hal-hal yang membuatnya bahagia.

Kecuali satu hal.

Rendra.

Mendapatkan segala hal yang ia inginkan sejak lama saat ini, terasa tidak lengkap dengan absennya laki-laki itu. Ama terus bertanya apa yang salah di antara mereka, namun tidak ada jawaban.

Ama berharap Rendra akan datang di penghujung acara, dengan senyum jenakanya yang biasa, sambil membawa bunga kesukaan Ama.

Namun harapan terkadang tidak seperti yang diinginkan.

"Lo kenapa?" tanya Depha ketika Ama sedang duduk di salah satu sudut bangku, merasa lelah dengan pesta yang seharusnya ia rayakan ini.

"Gak apa-apa."

"Gak usah bohong. Kita bukan orang baru kenal."

Ama menatap Deph bengis. "Kalo gue bilang gue pengen pulang, pake daster, terus guling-guling di kasur sampe besok siang, apa itu bakal merubah fakta kalo sekarang gue terpaksa di sini sampai tengah malem?"

"Bukan itu yang lo mau," ucap Depha seolah tahu segalanya.

"Oke, orang sok pinter, terus apa yang gue mau?"

"Lo cuma perlu jujur."

"Jujur apa? Kenapa sih, semua orang pengen gue jujur?" decak Ama.

"Lo suka sama Rendra?" tembak Depha langsung.

Ama terdiam.

"Karena Rendra suka sama lo," lanjut Depha.

Ama mendongakkan kepalanya. Melihat Depha seolah kepalanya sudah terbelah menjadi dua.

"Rendra marah, karena berpikir selama ini lo manfaatin perasaannya, ketika lo bilang lo gak suka siapa-siapa," ucap Depha.

Melihat wajah Ama yang syok, Depha mengerjapkan matanya berkali-kali. "Serius lo gak tau?"

Ama menggeleng perlahan.

"Wah, kacau," decak Depha. "Ma, lo udah bikin anak orang galau, lo tau?"

"Rendra gak boleh suka sama gue, Deph," suara Ama mulai panik, "Jangan."

Wajah Depha kembali serius. Depha menarik tangan Ama dan menggenggamnya perlahan. "Ma."

Ama menatapnya.

"Lo inget gak waktu kita bertiga liburan di Jogja? Waktu kita terjun dari tebing ke laut lepas?"

Ama mengangguk.

"Lo bilang lo takut, but you did it, anyway."

Ama merenung cukup lama.

"Sama seperti perasaan yang lagi lo rasain ini, Ma. Jangan dorong perasaan itu terlalu jauh, nanti lo lupa sama beberapa hal yang penting di hidup lo."

Depha tersenyum sendu. "Jangan sampai hal yang terjadi sama gue, terjadi juga sama Rendra. Okay?"

Ama menatap Depha dalam-dalam. "Deph."

"Hm?"

"I almost love you," bisik Ama.

"I know," Depha melepas genggaman tangannya pada Ama. "You just scared."

***

AMA tahu kemungkinan dirinya bertemu dan mengobrol dengan Rendra adalah nol koma nol satu persen, tapi Ama tetap mencobanya. Dia tahu dirinya harus melakukan hal ini. Untuk meringankan beban yang sudah menghantuinya berbulan-bulan.

Seekor kumbang hinggap di jendela kafe, tempat Ama dan Rendra pertama bertemu. Rendra adalah teman pertama Ama. Rendra juga yang menyadarkan Ama tentang betapa banyak hal yang harus Ama syukuri karunianya. Rendra yang membuat Ama perlahan berubah menjadi Ama yang hangat, Rendra juga yang mengubahnya menjadi Ama yang dingin.

Kenyataan bahwa Rendra bisa melakukan hal itu membuat Ama sangat takut.

Pintu membuka, membuat bel di atasnya berdenting. Ama menegakkan posisi duduk ketika melihat Rendra di sana, dengan buku sketsanya yang biasa. Mata mereka bertemu, namun Rendra langsung membuang pandangannya ke arah lain. Rendra memesan minumannya, sementara Ama mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ama berharap Rendra akan duduk di hadapannya, namun laki-laki itu mengambil tempat duduk lain. Yang jauh dari jarak pandang Ama.

Ama merasa hatinya mencelus. Dia benar-benar sudah tidak dipedulikan.

Dengan hati yang terasa lunglai, Ama mencoba untuk menghampiri Rendra dan duduk di hadapannya. Rendra menyadari kehadirannya, tapi tetap fokus pada kertas di mejanya, menggambar sesuatu dengan pensilnya.

"Depha bilang lo marah karena merasa gue udah manfaatin lo," mulai Ama, tapi Rendra tetap fokus menggambar. "Maaf, karena gue gak sadar, kalau gue tahu dari awal, gue gak akan minta lo ini itu."

Ama menatap tangannya yang gemetar. "I loved you."

Pensil Rendra berhenti bergerak.

"I loved you and I'm scared to love you," ucap Ama. "Gue takut lo pergi. Gue takut lo memegang kendali atas diri gue. Gue takut kalo gue bukan apa-apa tanpa lo. So, I decided to control my own emotions. Gue mencoba melihat lo cuma sebagai temen, tapi berakhir gagal."

"Gue kangen sama lo, rasanya jalanin hari-hari tanpa lo bikin gue ngerasa hampa. Tapi," Ama mendongak, menahan air matanya yang akan tumpah ruah. Dia tidak akan dan tidak ingin menangis di depan Rendra. "Tapi, gue jadi sadar, kalo sebelum gue benar-benar sayang sama seseorang, gue harus sayang sama diri gue sendiri, Ren. Gue bener-bener harus lakuin hal itu."

"So, good bye," ucap Ama dengan senyuman. "It was nice meeting someone like you, Ren. Lo bikin gue menghargai hal-hal kecil yang ternyata besar di hidup gue."

Rendra masih diam.

"Hari ini, gue cuma mau mengucapkan selamat tinggal dengan baik, karena perkenalan kita juga dijalani dengan baik," Ama perlahan mengambil tasnya dan berdiri kemudian membungkukkan badannya. "Thank you for everything, Ren."

Ketika Ama hendak pergi, Rendra menahannya dengan suaranya yang Ama rindukan itu. "Gue bakal nunggu. Gue bakal nunggu sampai lo siap. Sampai lo menyayangi diri lo sendiri. Mungkin bukan di umur 19 ini, mungkin nanti, ketika waktunya udah tepat."

Ama terkesiap dengan ucapan Rendra hingga dirinya tak sanggup berkata-kata. Ketika bel pintu berdering, Ama kembali dari alam bawah sadarnya. Ama tersenyum kecil ke arah Rendra dan berbisik pelan sebelum benar-benar pergi meninggalkannya.

"Jangan bosen nunggu aku, ya."

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro