Dia Daisy 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terjebak di generasi, di mana cinta hanyalah kutipan dan kebohongan.

__________________________________

Tak seperti minggu-minggu yang lalu, air mata dari netra coklat terang itu tak lagi terjun ke pipi putih pucatnya.

Mungkin air matanya sudah mulai lelah keluar dari persembunyiannya berhari-hari.

"Udah hampir malam, pulang, ya?" Gadis itu menoleh pada pria yang sejak tadi menemaninya terduduk di depan dua gundukan tanah pemakaman, pertanda bahwa di dalam tanah itu sudah ada raga yang tidur dengan tenang. Tak lama ia mengangguk menyetujui ucapan pria itu.

Mereka berdua berdiri, meninggalkan dua makam dengan nisan bertuliskan atas nama George Axvelore dan Vania Adriana Mahveen. Ayah kandung dan ibu tiri gadis itu.

"Ichi, kamu mau beli sesuatu?" tanya pria dengan kemeja hitamnya itu pada gadis dengan nama asli Daisy, tapi kerap dipanggil Ichi.

Gadis dengan rambut hitam legamnya itu terdiam sebentar, lalu tak lama ia mengangguk pelan.

Pria di sampingnya menepikan mobil ke kafe Renjana sesuai permintaan Daisy. Kafe tersebut hampir setiap hari dikunjungi Daisy bersama kakak tirinya.

Ia sangat menyukai kafe itu, karena tempatnya yang hampir semua berwarna lavender, warna favorit Daisy sendiri. Di sini menyediakan ice cream rasa blueberry dengan bervariasi topping, porsi, dan bentuk.

Seketika suasana hati Daisy kembali membaik. Hanya dengan melahap sesendok ice cream rasa blueberry yang disuapkan kakaknya. Sesimpel itu memang.

"Enak?"

Daisy dengan antusias menganggukkan kepalanya, hingga poninya pun ikut bergoyang. "Selalu!"

Keduanya tertawa, kemudian kembali menikmati ice cream semangkuk berdua.

•••

"Dara!"

Orang yang dipanggil malah mendengkus tak suka. Ia heran sendiri, kenapa gadis itu suka sekali teriak-teriak tak jelas.

"Jangan teriak, Chi," tegur pria di sampingnya seraya melepas kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.

Daisy kini berlari ke arah gadis cantik dengan rambut sebahunya itu. Sebelum itu ia menunjukkan peace pada kakaknya.

Daisy duduk di permadani tebal di sebelah Dara yang sedang sibuk dengan kanvas dan kuasnya.

"Dara ngelukis apa?" tanya Daisy pada sepupu satu-satunya itu.

"Lo punya mata," balas Dara yang tetap setia menari-narikan kuas di atas kanvas dengan wajah datarnya.

Daisy mencebikkan bibir, kesal dengan jawaban sepupunya. "Aku ke belakang dulu deh, nyari makan."

Dara tetap tak peduli.

Daisy bangkit, ia berjalan menuju dapur lalu tersenyum senang saat menemukan cake di dalam kulkas. Ia mengambil delapan blueberry macaron cake dan sekotak yoghurt blueberry.

Ia dengan santai berjalan menuju di mana Dara dan kakaknya berada. Gadis itu memicingkan matanya saat mendapati jumlah orang di ruangan itu bertambah dua. Mungkin sahabat kakaknya.

Salah satu di antara orang baru itu tak sengaja menoleh pada Daisy yang membawa nampan di tangannya. "Eh, Ichi. Ngapain bengong di situ, sini!"

Daisy tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda. Mendudukkan diri di samping kakaknya.

"Adek lo tambah cantik, Gar. Bikin khilaf aja."

Gara menoleh ke arah sahabatnya yang baru saja bersuara. "Lo mau gua cincang, Yan?"

Fabian yang mendengar itu bukannya takut tapi ia malah menye-menye, meskipun suara Gara sedikit menyeramkan tadi.

"Chi, ambilin minum dong."

Daisy mengerjap pelan. "Oke, Kak Liam tunggu bentar."

Daisy berjalan ke arah dapur, dan mulai membuat lima gelas jus jeruk. Setelah rampung, ia dengan segera membawanya ke ruang tamu.

Namun, dengan ceroboh Daisy malah menumpahkan minuman yang ia bawa. Alhasil, kanvas putih milik Dara dengan lukisan aesthetic itu rusak.

Pupil mata Dara sontak melebar. "Daisy, fast attention, ma peinture est ruinée."

Daisy menelengkan kepalanya, pertanda tak paham sehuruf pun dengan bahasa yang dilontarkan Dara. Meskipun ia tahu, Dara pasti kesal.

"Dara mau ke mana?" tanya Daisy saat sepupunya berdiri meringkus alat lukisnya.

Dara hanya diam tak menjawab. Tapi sebelum itu Daisy sempat mendengar Dara bergumam 'Tu crains' apa lagi itu? Apakah Dara memujinya cantik?

Setelah terdengar suara pintu kamar yang ditutup sedikit keras, Daisy menoleh pada Kakaknya yang terdiam sambil memperlihatkan wajah bingung begitu juga Fabian dan Liam.

"Bang!" panggilan dari Daisy membuat Gara mengalihkan penuh fokusnya pada adik tirinya itu.

"Dara ngomong apa sih. Em, ma peinture ... Apa sih kak tadi! Susah banget niruinnya," gerutu Daisy kesal.

Fabian mengangguk menyetujui ucapan Daisy. "Bener tuh, bikin lidah keseleo aja kalo niruin."

Daisy dapat melihat segaris senyuman di bibir Gara. "Abang juga nggak ngerti, yang pasti Dara mungkin lagi kesel." Pria itu mengusap pelan rambut adiknya yang masih diam mendengarkannya bicara. "Lain kali nggak boleh gitu, hati-hati, jangan ceroboh."

Daisy kembali menatap Gara. "Bang, kalau Dara marah banget sama Ichi, terus ngusir kita dari sini gimana?" ucap Daisy resah.

Ya memang, semenjak papa dan mama tirinya meninggal, Daisy dan kakaknya dipaksa tinggal di rumah Karina. Pemilik rumah yang dipijaknya sekarang, mama Dara dan adik dari almarhum papanya.

Karina tidak ingin anak kakaknya akan tambah terpuruk, juga kesepian di rumah peninggalan George.

Rumah itu sekarang menjadi tempat pulangnya anak-anak kecil yang terbuang oleh orang-orang biadab. Baik Daisy, Gara, maupun Dara, mereka sangat dekat dengan anak-anak yang masih berusia 8 bulan hingga 14 tahun di sana.

"Minta maaf, terus coba beliin apa yang dia suka, mungkin nggak kesel lagi." Daisy diam, mengingat apa yang disukai Dara. Tiba-tiba Daisy bangkit, lalu berlari menuju kamarnya.

"Chi, mau ke mana?"

Daisy tak menyahut, hingga deringan ponsel Liam yang menyahut.

"Halo, Mi?"

"Kamu ke mana sih?! Disuruh cebokin adiknya malah kabur! Mau jadi anak durjana kamu?!"

"Maaf, Mi. I-ini lagi beli nasi bebek. Bentar ya, Mi."

"Kalo lima belas menit nggak sampai rumah, nggak Mami kasih jatah nasi kamu!”

"Iy–"

Liam menatap datar ponselnya saat panggilan dari maminya diputuskan sepihak.

"Yan, pulang yuk gua dicariin istrinya papi nih."

Fabian menjitak gemas dahi lebar sahabatnya. "Mami lo, bego!"

"Bodo! Pulang yuk! mau lo ngerangkak dari sini ke rumah?" ajaknya lagi, mengingat tadi Fabian menumpang padanya.

"Yaudah, kita pulang Gar," pamit keduanya. Gara hanya mengangguk singkat menanggapinya.

Sedetik setelah pintu utama tertutup, Daisy turun dari lantai dua dengan dress casual lengan pendek melekat di tubuhnya.

"Mau ke mana?" tanya Gara.

"Mau cari perlengkapan alat lukis, Bang. Anterin ya." Gara langsung mengangguk tanpa penolakan.

•••

Gara merangkul bahu Daisy hangat, saat gadis itu dengan riangnya berjalan sambil membawa beberapa paper bag berisi kanvas, cat air, kuas, beserta kawan-kawannya.

Indra penglihatan Daisy menangkap netra yang sedari tadi terasa mengawasinya.

Dia laki-laki. Kepalanya tertutup tudung hoodie hitamnya. Sebagian wajah putihnya juga tertutup masker.

Bisa Daisy lihat, netra biru itu memancarkan rindu yang membuncah, yang ingin diledakkan sekarang juga. Rapuh, sedih, sendiri, begitu jelas dalam pengamatan Daisy.

Siapa pria itu? Kenapa begitu tak asing dalam memorinya?

Small dictionary:

Daisy fast attention, ma peinture est ruinée: Daisy hati-hati, lukisanku jadi rusak.

Tu crains: kau menyebalkan.

To be continue ....

Salam manis,
Scorpiony_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp