( DyBL - Bagian V )

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

( ⚘ )

"Kamu udah datang, Bang?"

Kalimat interogatif tersebut menghentikan niatan Langit yang ingin mencuci pisau buah. Ia menoleh ke suara yang berasal dari pintu. Ternyata Kejora. Di tangan wanita tersebut ada plastik yang memuat obat-obatan. Langit yakin, pasti itu yang tadi ditebusnya.

"Kapan datangnya?" tambah Kejora.

"Barusan, Bun."

Pisau yang berada di tangan Langit mengambil minat Kejora. Perempuan tersebut melangkah lebih dalam ke ruangan sambil bertanya, "Itu kenapa?"

"Tadi Tata jatuhin pisau ini." Tatapan Langit turut jatuh pada tangannya. "Dia mau makan buah. Jadi, aku mau cuci."

Alis Kejora menyatu. Kepalanya menoleh ke arah si anak gadis yang membeku di tempat tidur. "Mau makan buah?"

"Iya."

"Tadi pas sama Bunda, Tata nggak mau nyentuh makanan sama sekali."

Otak Langit bekerja. Kening pemuda itu ikut berkerut. Wajahnya memancarkan kebingungan, persis seperti yang Kejora tampilkan sekarang. "Mungkin ... Tata udah pengin makan," ujar Langit seraya mengalihkan hadapan untuk memandang Semesta.

"I-iya." Semesta mengangguk semangat. Bertolak belakang dengan ekspresi yang menegang, juga kalimat terbata-batanya. "Tata─sekarang Tata lapar, Bunda."

"Oke ...." Kejora mengambil pisau dari Langit dengan hati-hati. Lantas menaruh kantong plastik yang tadi ia pegang di tangan remaja tersebut. "Biar Bunda aja. Kamu kasih Tata makan, terus diminumin obat, ya, Bang."

"Aku aja." Langit maju selangkah. Seakan tak rela pisau tadi direnggut darinya. "Bunda tetap di sini. Istirahat sekalian."

"Nggak pa-pa. Bunda belum capek." Kejora tersenyum hangat. Mencoba menyalurkan ketenangan untuk putra dan putrinya. Meredamkan setiap gelisah yang mungkin masih menghantui mereka. "Udah, ya, Bunda cuci dulu," imbuh wanita itu sembari mengelus puncak kepala Langit sejenak.

Tidak mau membantah─sekaligus tahu tak bisa mencegah─Langit dengan berat hati berpasrah, meski tahu jelas bahwa Kejora berbohong. Jika diukur dengan skala, ia seratus persen yakin kalau sang ibu pasti menyimpan lelah. Bisa dilihat dari sorot mata Kejora yang tak secerah umumnya, walaupun bibir perempuan tersebut melengkung hangat seperti biasa.

"Bunda habis kerja, terus ngurusin masalah ini. Pasti Bunda capek, 'kan?"

Pertanyaan pelan dari Semesta membuat Langit berbalik. Memberi perhatian penuh pada dara itu. Ia sedikit takjub karena mempunyai pikiran yang sama, kendati hal ini sering terjadi sebelumnya.

"Aku ngerepotin, ya?"

"Nggak," jawab Langit cepat dan tegas. Tak suka dengan pernyataan yang dilontarkan Semesta. Lalu bergerak mendekati gadis tersebut. Membuka laci nakas di sebelah brankarnya, serta mengeluarkan seporsi makanan dari sana. "Jangan ngomong kayak gitu."

Semesta tak menyahut. Memilih mengaplikasikan geming ketika Langit menyiapkan makanannya. Lantas menyantap hidangan itu dalam hening.

Sambil duduk dan membuka beberapa bungkus obat dari plastik pemberian Kejora, Langit menaruh atensi penuh untuk Semesta. Setiap pergerakan gadis tersebut, dimulai dari memasukkan makanan dengan mimik enggan dan hampir muntah di kunyahan pertama, tak luput darinya. Mengakibatkan pikiran pemuda itu mulai berkelana, menyusuri tiap sekon kejadian-kejadian beberapa menit lalu. Kemudian, mengulurkan air saat Semesta lagi-lagi terlihat mual.

Apakah benar nafsu makan Semesta sudah kembali?

( ⚘ )

"Ini."

Aksi Langit yang sedang menggiring bola ke ring terhenti karena sehelai kantong berisi kapas dan merkurokrom menutupi visinya. Ia menelengkan kepala. Menemukan Falin yang terbalut rapi dengan seragam pemandu sorak sebagai pelaku hal tersebut.

"Kebetulan di loker gue ada nyimpen obat. Lo pake a─"

"Boong!" teriak Kimyera, teman sebangku Falin, juga salah satu anggota ekskul pemandu sorak, dari tribune. Dara itu tertawa bersama Grisel─Ratu Batu Candramawa, sekaligus sepupu kandung Falin─karena berhasil mengemukakan rahasia sahabatnya. "Tadi Falin baru beli obatnya kok. Katanya, khawatir lihat muka lo."

Dari bagian tribune yang dipakai tim basket sebagai tempat peristirahatan, Doni beranjak dengan siulan nyaring. Menghampiri Langit dan Falin yang masih berhadapan di tengah lapangan. Lelaki tersebut memutari si gadis seraya mengudarakan kalimat interogatif, "Karena takut ditikung anak cheers sekolah sebelah jadi langsung tancap gas juga, ya?"

"Apaan sih? Pada alay deh." Wajah Falin yang memerah mulai cemberut. Bibirnya mencebik gemas dengan alis yang bertaut lucu. "Cuma khawatir sama temen doang masa nggak boleh?"

"Temen apa temen?" Kimyera belum menyerah untuk terus menggoda. Dengan posisi yang masih berdiri di bangku penonton, gadis itu melipat tangan di depan dada. Menyebabkan Falin menurunkan tangannya yang memegang kantong dan menghentakkan kaki keras-keras. Berusaha mengeluarkan kekesalan, serta memohon agar tak diusili dengan tindakan tersebut. Namun, malar-malar makin dihadiahi kikikan dari Kimyera dan Grisel.

"Makasih." Langit mengesampingkan bola. Meraih pelan kantong yang Falin ulurkan. Lantas mengulas senyum simpul. "Nanti gue pake."

Saliva Falin tertelan perlahan tatkala menoleh ke Langit yang sudah menerima pemberiannya. "Sama-sama," ucap dara itu rendah, tetap dengan wajah merona. Bahkan perubahan warnanya sudah sampai ke telinga.

"Semangat, Lin." Doni yang masih berada di belakang Falin terkekeh pelan. "Hari ini obat yang diterima, nanti gue doain besok hati lo yang keterima."

"Berisik banget." Bola mata Falin berotasi karena mendapat satu godaan lagi. Ia berbalik cepat, membuat rambut panjangnya yang tergerai mengikuti gerakan. Kemudian, mengangkat kepalan tangan. "Gue tonjok, ya, Don?"

Kedua tangan Doni teracung. Berlagak seolah meminta ampun ketika tawanya mengudara kencang. Hampir mengisi seluru rongga kosong lapangan dalam ruangan yang mereka tempati. Mengakibatkan Falin lekas angkat kaki dari sana karena latihan ekskulnya sudah selesai.

Setelah satu mangsa menyerah, Doni mengusik lainnya. Ia merangkul Langit dan berjalan beriringan menuju tribune. Bermaksud menghampiri Detzki yang terlihat megap-megap karena kelelahan.

Lilitan tangan Doni mengerat pada leher Langit. Menyebabkan sahabatnya tersebut harus sedikit menunduk. "Apa gue bilang, Falin tuh suka sama lo. Masih nggak percaya juga sekarang?"

"Diem." Langit menyingkirkan tangan Doni dari tubuhnya. Lalu kembali menegapkan badan.

"Iya, deh, iya." Doni berjalan santai. Merebut bola yang Langit pegang dan memantul-mantulkannya ke udara. "Tapi serius nih nggak mau ngasih tahu tuh muka kena apa?"

"Gue bakal cerita," ungkap Langit dengan netra terarah pada persatuan bola dan telapak tangan Doni.

Kegiatan Doni berhenti. Bola yang ia pegang didiamkan di depan perut. Wajahnya menunjukkan antusias. Tak sabar mendengar kronologi kecelakaan yang Langit bilang. "Nah, kok bisa gitu?"

"Nanti ceritanya."

"Nantinya kapan?"

"Kalau pengin."

"Halah, anjir!" geram Doni yang spontan melemparkan bola ke arah Langit. Menyebabkan sejawatnya itu yang terkikik sekarang.

Di tengah kekehan Langit, suara peluit menggema ke seluruh penjuru lapangan. Membuat kedua anak laki-laki tersebut menoleh─bersama anggota tim basket lainnya─ke arah Tito yang mengisyaratkan mereka bahwa latihan hari ini selesai.

"Tolong simpenin di ruang olahraga, ya," pinta Langit sembari mengoper bola ke Doni.

Refleks Doni menyambut kiriman Langit. "Mau ke mana lo?"

"Gue mau cepet cabut. Ada urusan."

"Ya, elah. Dari kemarin nggak kelar-kelar," gerutu Doni sambil melihat punggung Langit yang mulai menjauh. "Pokoknya lo harus cerita sama gue nanti!"

( ⚘ )

Urusan yang Langit maksud adalah pergi ke rumah sakit untuk berjumpa dengan Semesta. Beberapa bulan hampir tidak pernah bersua mengakibatkan lelaki itu semangat karena, dihitung mulai kemarin, sudah dua hari berturut-turut ia dapat bertemu kembarannya tersebut tanpa halangan.

Dengan kaki yang melangkah lapang, Langit berjalan menuju kamar inap Semesta, yang kemungkinan hanya di isi oleh gadis itu sendiri bersama salah satu karyawan Kejora, Daha. Untuk hari ini, ibunya tersebut izin absen mengurusi Semesta sebab memiliki jadwal yang padat, tetapi ia berjanji akan segera menyelesaikan urusannya secepat mungkin.

Sama seperti hari sebelumnya, sesampai di ruangan, Langit masuk dengan salam tanpa mengetuk. Indra penglihatan pemuda itu melebar saat mendapati Kejora tengah berberes dibantu Daha, sementara Semesta duduk tenang di sofa dengan infus yang masih menempel di punggung tangan.

"Kenapa baru pulang, Bang?" Kalimat interogatif Kejora keluar usai membalas salam Langit.

"Baru kelar latihan, Bun." Tungkai Langit bergerak menghampiri Semesta. Lantas menempatkan diri di sebelahnya. "Bunda bukannya sibuk? Terus kenapa barang Tata diberesin?"

"Oh, iya, Bunda lupa ini hari Selasa, jadwal ekskulmu." Kejora menoleh ke Langit sekilas. Kemudian, kembali berkonsentrasi pada apa yang ia kerjakan. "Bunda udah nyelesaiin semua urusan Bunda kok. Terus ini Tata mau pulang."

Kepala Langit berpaling ke Semesta. Memfokuskan tatapan pada dara tersebut. "Kenapa pulang? Emangnya udah boleh?"

"Aku nggak suka di sini, Lang. Aku juga kangen rumah, soalnya." Mata elok Semesta meletakkan pandangan ke pualam yang mengilat, senada dengan dinding berwarna putih di sekitar mereka. Bibirnya melengkung tipis. "Tadi Bunda udah tanya kok ke dokter. Katanya, boleh asalkan aku rutin minum obat."

Pernyataan Semesta ambigu. Itu pendapat Langit, di bagian tentang perempuan tersebut yang rindu dengan rumah. Menyebabkan satu pertanyaan timbul di otaknya: kediaman siapa yang Semesta maksud?

Meski agak skeptis, di lubuk hatinya, Langit berharap bahwa yang Semesta bilang rumah adalah kediaman Kejora, bukan milik Guntur, yang menurut Langit, merupakan neraka dunia bagi mereka, karena tempat itu adalah definisi nyata dari saksi bisu mengenai kekejaman Guntur yang selama ini tersembunyi. Seharusnya, Semesta tak memiliki afeksi untuk bangunan bermemori kelam tersebut.

"Oh, gitu," sahut Langit singkat. Tak seperti benaknya yang masih terbelenggu dengan dugaan-dugaan tadi.

Netra Semesta mengangkat penglihatan dari lantai. Memandang Langit kemudian. "Sekolah kamu gimana tadi?"

Wajah Langit mengukir segaris senyum. Menyembunyikan tiap keping pikirannya. "Lancar, kayak biasa."

Kurvaan bibir Semesta melebar. "Alhamdulillah, bagus deh."

( ⚘ )

Makan malam kali ini berbeda. Ada banyak santapan di atas meja. Didominasi oleh hidangan-hidangan kesukaan si kembar yang kebetulan mempunyai selera persis. Tanpa perlu dijelaskan, Langit mengerti, Kejora mencoba untuk membuat Semesta kembali betah. Sebab setelah sekian lama, ini adalah malam pertama Semesta tidur di rumah mereka selepas dibawa Guntur dua tahun lalu.

"Nah, udah beres semuanya." Kejora menaruh satu hidangan terakhir di atas meja. Lalu duduk di kursinya. "Ayo, makan."

Jejeran gigi rapi Semesta terpajang kala indra penglihatannya menyisir pandang semua santapan yang tersaji. "Makasih, ya, Bunda."

"Nggak perlu makasih." Jari-jari Kejora mengusap sayang lengan kedua buah hatinya. "Ini, 'kan, emang tugas Bunda nyiapin makanan buat kalian."

Tanggapan Langit dan Semesta hanya membentuk senyuman di waktu yang hampir bersamaan. Lantas ketiganya memulai acara makan malam dengan hangat, walaupun tahu masih ada kekacauan yang memomoki mereka. Namun, untuk sekarang, ibu dan anak-anaknya itu berusaha tak acuh dan menikmati setiap detik yang lewat di antara mereka.

Di sela aktivitas, Langit tidak bisa menahan kedutan di sudut bibirnya yang memaksakan sebuah lengkungan. Remaja tersebut terlampau senang. Ia merasa keluarganya sudah kembali lengkap. Mengakibatkannya mengingat perkataan Kejora beberapa waktu lalu, mereka hanya perlu sabar menunggu demi mengecap kehangatan lagi. Kendati, sebenarnya, Langit tak bersyukur secara penuh akan itu, karena alasan Semesta kembali ke pelukan mereka diakibatkan malapetaka.

"Ta."

Sekelar menelan makanan, Semesta menoleh ke arah sang ibu yang memanggilnya. "Iya, Bunda?"

"Hak asuh kamu udah ada di tangan Bunda. Jadi, mulai sekarang kamu bakal tinggal di sini sama Bunda, sama Langit juga," papar Kejora penuh gebu kegembiraan. Senang hanya dengan membayangkan tentang hari-hari yang akan dipenuhi putra-putrinya.

Kabar bahagia yang Kejora udarakan seumpama katastrofe untuk Semesta. Alat makan yang gadis tersebut pegang jatuh sempurna di atas piring. Kurvaan lebar yang sejak tadi menghuni wajahnya pun turut sirna. Akan tetapi, dengan cepat ia sembunyikan agar tertutupi, tanpa tahu bahwa Langit menangkap semua itu.

"Bunda udah bawa beberapa baju kamu kemarin, tapi kamu pasti masih perlu beberapa barang yang ada di rumah sana, 'kan?" Kejora masih semangat melanjutkan. Tak menyadari atmosfer dingin yang melingkupi si kembar. "Catat aja, ya, apa yang masih mau kamu simpen. Nanti Bunda ambilin."

"Tata mau ikut aja ..., boleh, Bunda?" Napas Semesta mulai memburu. Bibirnya yang tersenyum bergetar samar-samar. "Tata mau pilih barangnya sendiri."

"Oh, mau ikut?" Kepala Kejora bergerak naik-turun. "Oke, nanti kita bareng ke sana, ya."

"Iya." Semesta menunduk dalam sejenak. Kemudian, mendongak sekelar berdeham pelan. "Tata udah, ya, makannya? Tata mau istirahat."

"Lho?" Kejora menilik piring Semesta. "Kok dikit makannya? Nggak enak, ya? Hambar atau keasinan?"

"Enak kok, Bunda. Cuma ... Tata capek, Tata mau tidur." Kikikan Semesta terlontar lembut. Menenangkan Kejora yang tampak khawatir. Mata dara tersebut bergulir ke arah Langit, yang sejak tadi diam, sedang memasang tampang tak bersahabat. Menyebabkan Semesta sontak mundur hingga punggungnya menyentuh sandaran kursi. Bulir-bulir keringat juga tiba di pelipis gadis itu. Gelagatnya tampak seperti penjahat yang tertangkap basah. "Tata ..., Tata janji besok makan banyak," lanjut Semesta dengan tatapan tetap pada Langit. Ia terintimidasi. Namun, tak mau beralih.

"Ya, udah, iya." Kejora mengelus lembut punggung Semesta. "Jangan lupa minum obat, terus langsung tidur, ya."

"Iya, Bunda." Semesta bangkit dari bangkunya. Ia beranjak setelah berujar, "Tata ke kamar dulu."

Langit sudah kenal Semesta sejak lahir. Mereka selalu dibesarkan bersama─sebelum perceraian Kejora dan Guntur terjadi. Oleh karena hal tersebut, ia mengerti Semesta.

Contohnya tadi, Langit tahu, gerak-gerik yang dara itu aplikasikan adalah simbol dari kesedihan. Meski Semesta mempresentasikan senyum dan tawa, Langit sadar bahwa semua merupakan kamuflase agar perasaan yang menerjangnya tak terdeteksi. Makanya Langit sedikit gusar sebab, menurut pemuda tersebut, tak ada yang perlu dinestapakan mengenai kejadian ini. Apalagi tindakan Kejora akan membebaskan Semesta dari pasung yang Guntur ciptakan.

"Bang."

Teguran Kejora menjenggut Langit dari lamunan. Mengubah tolehan anak laki-laki itu dari arah kepergian Semesta ke sang ibu. "Iya, Bun?"

"Ayahmu mau ketemu," ungkap Kejora, diikuti segores senyuman kecil yang entah apa artinya.

Tubuh Langit mematung mendengar curaian Kejora. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap selama beberapa detik. Memastikan bahwa ia tak salah dengar. "Ayah?"

"Iya, ayahmu minta kamu jenguk. Pengin ketemu, katanya." Kejora menghela napas pelan. "Ayahmu bilang tadi pas Bunda ngurus surat pengalihan hak asuh Tata."

Syok menandangi Langit. Membuat remaja tersebut tak memberi respons dalam bentuk apa pun. Lebih-lebih kegiatan makannya sungguhan berhenti. Ia tak bergerak sama sekali bak es yang benar-benar beku.

Semenjak perceraian, Guntur tak pernah sama sekali membagi acuh untuk Langit. Bahkan ketika persidangan mengenai hak asuh digelar, ikhtiar Guntur tak ada untuk memperjuangkan si sulung. Hanya Semesta yang pria itu peduli dan inginkan. Sebab tersebut Langit bertanya-tanya: buat apa?

"Bunda nggak maksa sama sekali. Semua keputusan ada di tangan kamu," tutur Kejora. Sepertinya menyadari kebimbangan yang memayungi si buah hati. "Tapi kalau kamu emang mau, bilang ke Bunda. Nanti Bunda anterin, soalnya harus pake kartu identitas buat masuk."

"Iya ..., nanti aku pikirin."

( ⚘ )

Jarum panjang jam sudah melewati angka dua belas, sementara yang pendek mengarah ke pukul sebelas. Akan tetapi, Langit masih setia bergelut dengan rumus-rumus memusingkan di atas buku. Soal-soal fisika itu menuntut untuk segera diselesaikan karena harus dikumpulkan besok. Bukannya Langit malas-malasan dan memilih untuk menerapkan sistem kebut semalam. Namun, Yohanes, guru fisikanya, sedang dalam suasana hati tak baik saat memutuskan untuk memberi siswa-siswinya lima puluh nomor tugas, dalam waktu seminggu.

Benar-benar gila, tetapi tak ada yang berani membantah.

Suasana di sekitar Langit sudah sunyi. Hanya terdengar deru napas pemuda itu sendiri. Sebenarnya, itu poin plus karena ia dapat menumpatkan konsentrasi untuk soal-soal tersebut.

Namun, di tengah keheningan, tiba-tiba terdengar isakan samar. Mengakibatkan Langit sontak menghentikan aktivitas. Dari lengkingan yang feminin, lelaki itu menebak bahwa yang menangis adalah seorang gadis.

Di sekon-sekon berikutnya, sedu sedan tersebut kian jelas. Gemanya sampai ke kamar Langit. Menyebabkan remaja itu impuls menegang. Ia kenal sekali suara itu.

Suara Semesta.

Buru-buru Langit bangkit dari posisinya. Membuat bangku belajar yang ia gunakan tak sengaja terjatuh hingga menimbulkan dentingan nyaring, tetapi tidak pemuda tersebut hiraukan, karena tungkainya kontan bergerak kilat menuju kamar Semesta tanpa dikomando.

Tatkala jarak Langit dan ruang pribadi Semesta sudah menipis, isakan itu makin keras. Seolah dinding-dinding di sekitar anak laki-laki itu membenarkan dugaannya beberapa detik lalu. Mengakibatkan ia mempercepat langkah akibat penasaran dan cemas yang siap berangkat untuk melebur.

Sesampai di depan daun pintu, Langit menekan knop selekas mungkin. Menghadiahi indra penglihatannya sebuah pemandangan di mana Semesta, yang duduk di lantai, tersengut-sengut dengan luka di pergelangan tangan. Di depan dara tersebut terdapat cutter yang ditemani genangan cairan merah kental.

"Tata!" pekau Langit. Tak peduli dengan malam yang sudah larut. Pemuda itu berlari mendekati kembarannya. Ia ikut duduk. Mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Lantas membuang benda berlumuran darah tersebut ke arah pintu yang jauh dari posisi mereka.

Telapak tangan Langit menyentuh luka Semesta. Mendekapnya erat-erat, berharap mampu menghentikan cucuran deras darah di sana. Netra lelaki itu mengamati sekitar. Kemudian, berhenti pada bantal yang berada di atas ranjang.

Dengan gesit, Langit sedikit mengangkat tubuh. Meraih bantal dengan satu tangan yang bebas dan membuka sarungnya. Lalu melilitkan kain tersebut ke pergelangan Semesta. Menjadikannya sebagai perban sementara.

"Ta ...." Langit menangkup wajah adiknya. Mendongakkan muka lembab itu agar mata mereka saling bersobok. "Kenapa kamu─"

"Harusnya kamu nggak usah datang, Lang." Semesta menggeleng di dalam lekapan tangan Langit. Meluruhkan air mata ke permukaan pipinya. "Harusnya kamu nggak datang. Biarin ..., biarin aja aku pergi ...."

Napas Langit tertahan. Kalimat dan keadaan Semesta menyesakkan dada anak laki-laki itu. Menyebabkan pautan tangannya melemah. Jari-jarinya pun bergegar dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Langit menarik dalam-dalam udara di sekitar. Mencoba untuk menetralkan perasaan yang gundah, sekaligus menahan bulir yang bertengger di sudut matanya. Remaja tersebut tak mau menangis, atau lebih tepat, tidak di depan Semesta. Ia ingin terlihat kuat agar dara itu turut melakukan hal yang sama.

"Kamu ngomong apaan sih, Ta?" tanya Langit pelan. Ia menarik Semesta ke dalam dekapan. Membuat tubuhnya ikut bergetar karena rintihan perempuan itu.

"Aku cuma sampah di keluarga kita. Aku cuma penggangu kehidupan orang lain. Aku ngerepotin semua orang, termasuk kamu." Semesta menolak Langit. Melepaskan pelukan mereka. Lantas bergeser mundur. Lengan-lengan langsingnya dibiarkan melingkari tubuh. "Aku selalu nyusahain orang lain. Aku yang bikin hancur semuanya. Gara-gara aku sekarang kamu benci sama Ayah. Bunda juga jadi masukin Ayah ke penjara. Semuanya jadi repot karena aku, Lang. Bahkan Kak Gege yang bukan siapa-siapa juga jadi kalut .... Aku cuma nyusahin. Makanya, mending aku nggak ada .... Biar kalian tenang."

"Ta ..., nggak gitu," lirih Langit. Air mata yang ia tahan tak mampu untuk tidak terjun. Luapan perasaan Semesta terlalu sakit untuk didengar. Memecahkan hatinya hingga serupa serpihan. "Ini bukan salah kamu. Aku juga nggak merasa disusahin dan, aku yakin, yang lain juga ngerasa kayak gitu. Terus untuk Ayah, itu emang balasan yang setimpal─"

"Ayah tuh nggak suka tempat pengap, Lang!" potong Semesta berapi-api. Warna merah pada mata dan wajahnya sebab tangis tampak kian lekat. "Kalau malam-malam mati listrik, Ayah pasti cari angin di teras! Kalau dipenjara terus listriknya mati, gimana?! Bukan cuma itu! Masih ada banyak! Kamu nggak tahu!"

Satu tombak tak kasatmata berhasil menembus dada Langit. Mengakibatkan beberapa bulir air sekali lagi turun dari matanya. Namun, dengan cepat pemuda tersebut singkirkan ketika membalas, "Iya, aku emang nggak tahu, karena Ayah yang nggak pernah mau aku tahu soal dia."

Merasa tertampar dan spontan sadar, kelopak mata Semesta melebar. Rasa bersalah sontak menguasai dirinya bagaikan efek samping dari emosi tadi, sebab ia mengerti bahwa topik itu sangat sensitif untuk Langit.

"Lang, maaf ...." Semesta perlahan-lahan menyeret diri mendekati Langit. Menyentuh pelan lengan laki-laki tersebut. Bibirnya yang agak pucat mencebik menyedihkan. "Maaf, Langit, aku nggak bermaksud─"

"Nggak pa-pa ...." Langit tersenyum kecil. Menyembunyikan luka yang akan ia anggap tak pernah ada. Kemudian, membawa Semesta kembali ke pagutannya. "Tapi aku minta jangan ngelakuin ini lagi, Ta. Kamu berharga buat aku dan semuanya."

( Dia yang Bernama Langit - Bagian 5 )

Halo!

M balik lagi dengan seri Bianglara.

Gimana chapter ini? M nangis masa buatnya. Ya, gimana, ya, si kembar ini menyedihkan banget. Bukan cuma karena Semesta yang kena KDRT, kisah Langit yang kayak nggak dianggap juga bikin nyesek. ( TДT)

Oke, sekian.

See you di chapter selanjutnya: chapter terkahir, btw. Hehe.

The simple but weird,
MaaLjs.

11 Juni 2019 | 06.26

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro