Caraphernelia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by:
wanderspace_
shalsabelle
ichaaurahmaa

•   •   •

Pernahkah kau merasakan sensasi meledak-ledak yang berada di luar kendalimu?

Itu yang selalu Lavina rasakan setiap kali memasuki laboratorium ternama di pusat kota, setelah berhasil lulus dari WGAVerse HighSchool beberapa tahun yang lalu. Bukan sekali dua kali Lavina dan Jeanette mengerjakan proyek mereka di ruang laboratorium di pusat kota sampai malam beranjak matang. Mereka senang melakukan penelitian bersama-sama. Bereksperimen, menganalisis data, beradu argumen, dan mengungkapkan ide gila masing-masing.

Saat ini, Lavina dan Jeanette ditugaskan dalam proyek yang sama, di laboratorium yang berada di wilayah kutub. Mereka berdua akan berhadapan dengan udara dingin yang mencekik dan Sir Peregrine yang tidak akan mengomel seraya bersungut-sungut sebal karenanya.

Hembusan angin dingin menerpa wajah Lavina, salju berguguran memenuhi pucuk kepalanya. Ia sudah memakai dua lapis jaket tebal, tetapi rasannya suhu dingin itu masih menusuk sampai ke tulang. Tidak ada kesibukan penduduk yang menggeliat ke sana-kemari seperti di pusat kota. Tidak terkecuali dengan Lavina dan beberapa ilmuwan lain yang sedang melakukan konferensi pers.

Lavina sudah berlarian dengan jaket tebal dan jas putih di tangan, menjemput datangnya hari yang baru di tempat paling dingin di dunia.

"Selamat pagi, Mr. Hudson!" Mr. Hudson, pria tua yang bertugas sebagai penjaga laboratorium tersebut memaksakan sebuah senyuman pahit mendengar seruan Lavina.

"Selamat pagi. Anda terlihat semangat sekali, seperti biasanya."

Tanpa sadar, Mr. Hudson mendengkus gemas. Tidak berbeda jauh dengan Sir Peregrine—penjaga laboratorium pusat kota. Oh, ayolah. Ia bahkan baru saja membuka kunci gerbang untuk memasuki area laboratorium, tetapi Lavina sudah sampai di sini?

"Tentu! Ini namanya hidup yang membara, Sir. Harus!" Lavina heboh mengacungkan sebelah tangannya yang sudah terkepal erat. Tampak sangat semangat, meskipun udara dingin semakin menjadi. Lavina pun melambaikan tangan pada Mr. Hudson, pamit undur diri lebih dulu.

Di tengah langkah yang menapaki koridor dengan senandung ringan, Lavina mengenakan jas laboratoriumnya tanpa perlu memelankan kecepatan kakinya sama sekali.

"Hai, Lav!"

"Oh, hai! Jean!" seru Lavina. Air mukanya bertambah cerah begitu mendapati kedatangan Jeanette dari balik punggungnya. Koridor dingin itu kembali hangat oleh diskusi kecil mereka mengenai proyek dan penemuan terbaru yang direncanakan Profesor Moody. Namun, beliau belum membicarakan penemuan tersebut kepada mereka berdua.

Di saat Jeanette sudah bersiap kembali bereksperimen dengan memakai perlengkapan laboratorium, Lavina masih sibuk membaca sesuatu dari tumpukan data penelitian di sudut ruangan dengan tampang serius. Detik berikutnya, perhatian Lavina teralihkan oleh suara derit halus yang dihasilkan ketika pintu ruang laboratorium dibuka dari luar.

"Prof!" Belum sempat menuntaskan kalimatnya, manik cokelat terang milik Lavina sudah terpaku pada figur lain yang ikut masuk di balik punggung Profesor Moody. Sosok yang akan selalu tersimpan rapi dalam memori Lavina.

Profesor Moody berdeham singkat, kemudian angkat suara. "Ya, terima kasih sudah datang awal, seperti biasa. Sesuai dengan yang saya bicarakan kemarin, kita akan mengerjakan proyek penemuan baru, bersama rekan yang baru juga."

Setelah selesai mengenakan sarung tangan dan kacamata laboratoriumnya, barulah Jeanette ikut memandangi orang lain di samping Profesor Moody. Jeanette melotot, tak percaya dengan siapa yang dilihatnya. Elving. Teman mereka di WGAVerse HighSchool, dan mereka pernah disatukan dalam tim yang sama ketika menjalankan misi mencari harta karun.

Siapa sangka mereka kembali dipertemukan dalam proyek ini? Profesor Moody menepuk bahu Elving dengan bangga. "Kalian tentu masih mengingat orang ini, 'kan? Elving akan ikut berkontribusi pada proyek penemuan terbaru kali ini, penemuan yang sangat mengejutkan."

Di tengah penjelasan singkat Profesor Moody, Lavina malah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Elving ... lelaki itu tidak berubah sama sekali, selain tinggi badan dan garis rahang yang tampak makin tegas. Sisanya masih sama. Netra hijau lime yang tak pernah gagal memenjarakan Lavina dalam sensasi menyenangkan tanpa alasan.

Elving juga yang turut berjasa mempertahankan Lavina untuk tetap menyelesaikan pendidikannya di WGAVerse HighSchool, hingga diandalkan dalam proyek semacam ini bersama Jeanette. Elving dan Jeanette, adalah dua orang yang sukses membebaskannya dari beban tuntutan kedua orang tua, dan menyadarkannya banyak hal.

Elving ... tatapan dalamnya tak pernah gagal untuk terus tinggal di penjuru ingatan Lavina, selama ini.

***

Elving berdehem lantas mengeratkan jas putih yang dikenakannya. Ia merasa kedinginan sekaligus canggung saat berhadapan dengan dua teman lamanya, mengingat sudah lama sekali mereka tak berjumpa, di tambah Lavina yang sejak tadi tak mengedarkan pandangannya sedikitpun darinya.

Elving meletakan tangannya di dada lalu sedikit membungkuk, memberikan salam kepada mereka berdua. Jeanette mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan lalu di susul Lavina yang tampak malu-malu menjabat tangan Elving.

"Senang bisa bertemu dan bekerja sama lagi, Tuan sarkas." Jeannete mengulas senyum lebar bak bulan sabit yang menggantung di langit malam.

"A-aku senang kita bisa berjumpa lagi," ujar Lavina sembari mengangkat alisnya tinggi. Jika Elving mengerti bahasa tubuh, laki-laki itu akan segera tahu jika Lavina menyukainya.

"Tentu saja, Nyonya pencuri." Ingatan itu masih melekat di dalam memori Elving tentang kejadian beberapa tahun lalu bagai sebuah benang merah yang saling terikat.

Pofesor Moody—guru yang dulu pernah mengomeli mereka habis-habisan, guru jenius yang terkenal moody-an—kembali dan membawa sebuah boks besar di bantu oleh dua petugas, salah satunya Mr.Hudson, ke dalam laboratorium. Ketika boks raksasa itu sudah berada lima sentimeter di hadapan ketiganya. profesor Moody  menepuk boks besi itu sambil terkekeh-kekeh.

"Ini merupakan sebuah penemuan besar!" Profesor Moody berseru girang.

"Penemuan besar apa? Apakah itu sebuah balok es?" Lavina mengernyitkan dahi. Ia berusaha menebak-nebak isi dari boks perak tersebut.

"Tepat, Mrs. Clarke! Aku tak tahu namanya, tapi ada sebuah mahluk yang terjebak di dalam balok es. Mahluk itu aneh dan tidak bisa ku jelaskan dengan kata-kata, mungkin semacam hewan dan yang aku perkirakan mahluk itu hanya tertidur untuk waktu yang sangat lama."

Profesor Moody mengeluarkan sebuah remote control dari dalam sakunya.  Pria paruh baya dengan pakaian putih tebal dari atas hingga bawah itu membuka boks dengan sebuah remote kecil di tangannya. Besi-besi itu terbuka perlahan, menampilkan balok es raksasa berukuran hampir setengah meter.

Di dalam balok es, nampak mahluk asing berkepala lonjong dan bertubuh besar, memiliki tanduk dan duri-duri runcing di bagian punggung, tangan dan kaki. Sangat mengejutkan jika ada spesies hewan yang mampu bertahan hingga jutaan, ribuan atau mungkin ratusan tahun lamanya di dalam balok es dari pecahan gunung es raksasa.

Profesor Moody mengambil remote control lain dari dalam saku baju sebelah kanan. Ia menekan salah satu tombol, lalu muncul belalai-belalai panjang dari langit-langit laboratorium dan perlahan mengangkat balok es besar tersebut ke dalam ruangan persegi berbentuk kubus, luasnya nyaris seperempat dari ruangan laboratorium.

"Apakah anda menjamin jika aku tidak akan mati diterkam mahluk buas itu?" Apabila kalian beranggapan jika pria bertelinga runcing itu takut, sesungguhnya salah. Elving hanya mengkhawatirkan tanaman-tanaman kesayangannya yang akan layu jika ia mati.

Profesor Moody terbahak, tanda jika mood-nya sedang berada dalam garis berwarna hijau—aman. "Sebenarnya, sesuatu sudah tertanam dalam diri kalian. Namun, kalian tidak menyadarinya.  Aku menjamin sesuatu dalam dirimu sendiri yang akan melindungimu. Silakan cari tahu, itu tugas kalian!" Pria jangkung itu tersenyum, walaupun garis garis penuaannya sudah terlihat sangat jelas, tetapi hal itu tidak membuat senyum lebarnya kadaluwarsa.

Lavina kembali melirik Elving, sosok pria itu bagai matahari yang menghangatkannya. Entah kenapa, berada di dekat Elving, perasaan nyaman dan aman itu mendadak timbul.

Jeanette sejak tadi memperhatikan tingkah laku sahabatnya yang tak biasa, terutama sejak bertemu dengan Elving. Ia yang sangat peka jika menyangkut orang terdekatnya, jelas tahu apa yang sedang melanda hati sahabatnya. Lavina jelas menyukai Elving.

Profesor Moody harus meninggalkan mereka untuk sementara karena pria tua itu juga sedang ditugaskan ke dalam misi lain bersama ilmuwan-ilmuwan senior, meneliti beberapa fosil yang telah ditemukan di bawah tumpukan salju.

Sebagai gantinya, ada tiga ilmuwan yang sudah berpengalaman dalam berbagai misi dan bidang studi. Mereka akan membantu Lavina, Elving dan Jeantte dalam proyek penelitian ini.  Balok es tersebut dipanaskan di dalam ruangan kubus sampai mencair dan menyisakan tubuh objek penelitian.

Mereka menyebut hewan itu dengan sebutan Flare, karena duri tajamnya yang panjang seperti suar matahari. Belalai-belalai robot mengambil sampel DNA dari Flare. Sampel DNA itu dibawa ke meja laboratorium untuk di teliti. Namun, tidak ada yang menyadari jika mahluk itu membuka kelopak matanya lebar, menampakan iris mata berwarna merah bak semerah fajar.

"Ini sungguh tidak biasa." Elving berdecak kagum. Jemari tangannya membolak-balikan potongan duri kecil yang diambil dari tubuh Flare. Dilihat melalui mikroskop, atom-atom penyusun duri runcing Flare memiliki pola yang rumit dan indah, tidak pernah dimiliki oleh bagian tubuh mahluk hidup di bumi. Bagi Elving, hal itu bahkan lebih indah daripada berlian.

"Kau benar.” Jeanette menimpali.

"Aku baru memperkirakan kalau mahluk ini terjebak di dalam es selama seribu tahun, es itu seolah memperlambat usianya." Lavina memperlihatkan kalkulasi yang di kerjakannya. Elving dan Jeanette mengangguk-angguk mengerti sekaligus takjub.

Elving berpikir, mungkin dulunya, kutub adalah benua subur yang diselimuti oleh hutan hujan tropis. Aneka flora dan fauna khas hanya dapat ditemukan di benua itu. Beberapa bulan lalu para ilmuwan dan arkeolog melakukan konferensi pers setelah menemukan perhiasan-perhiasan dan perkakas dari batu yang dibuat oleh manusia. Dimungkinkan pernah ada peradaban maju di kutub sebelum wilayah itu bergeser hingga berada tepat di ujung.

Mendadak, mereka merasakan guncangan kecil, tetapi semakin lama guncangan itu bertambah besar. Tabung-tabung kaca pecah dan cairan-cairan kimia tumpah berserakan.

Flare sudah terbangun sepenuhnya. Hewan itu mengamuk, teriakannya bisa membuat listrik menjadi padam. Mahluk buas itu berusaha keluar dari ruangan kubus, tangan-tangan besarnya menggedor-gedor dinding kubus transparan. Lavina memekik ngeri dan refleks memeluk lengan Elving. Jeanette berusaha menghubungi profesor Moody, tetapi sambungan komunikasi terputus secara tiba-tiba.

Satu dua ilmuwan berlari ke arah pintu laboratorium. Namun, pintu sudah tertutup oleh reruntuhan bangunan meskipun ruangan itu dirancang anti terhadap gempa. Tidak ada yang bisa menahan kekuatan monster tersebut.

Ruangan kubus hancur dan Flare berhasil keluar. Monster itu meraung murka, menghancurkan apa saja yang menghalangi jalannya.

Pintu laboratorium terdengar di buka paksa dari luar. Jeanette sontak berlari seraya berteriak. "Tolong kami!"

Flare bergerak mendekati Jeanette, Elving dengan tangkas melemparkan benda-benda yang ada di sekitarnya, membuat Flare teralihkan padanya.

"Lavina! Ambil dan selamatkan barang-barang penting!" Elving berlari menghindari kejaran Flare.

Lavina yang sejak tadi tidak berada jauh jauh dari Elving segera menuruti perintahnya. Dengan kaki dan tangan gemetar, ia memasukan barang-barang yang kiranya penting ke dalam tas kecil. Namun, tidak disengaja, Lavina menumpahkan cairan kimia yang diracik oleh Elving ke tanaman kesayangan milik pria itu. Seketika tanaman itu berbuah menjadi abnormal. Ranting serta daunnya beracun dan berbau menyengat. tanaman itu juga biasa mengamuk seperti Flare. Lavina terkejut, tanaman itu melukai bahu Lavina, membuatnya terjatuh.

Jeanette yang semakin ketakutan, memundurkan langkah hingga membentur tembok yang ada di ujung ruangan. Ia berpikir, nyawanya akan melayang setelah ini. Namun, tembok itu terbuka secara tiba-tiba, menampakkan sebuah pintu lift tersembunyi. Tanpa pikir panjang, Jeanette segera menekan tombol lift. Ia berharap semoga lift itu masih berfungsi.

Melihat Jeanette, Elving buru-buru menggendong tubuh Lavina dan tas kecilnya ke arah lift yang sudah terbuka. Jeanette yang lebih dulu masuk ke dalam lift berteriak, meminta Elving agar lebih cepat berlari dan segera memasuki lift sebelum pintu lift tertutup. Seperskian detik sebelum pintu lift tertutup, Elving dengan membawa Lavina di punggungnya berhasil memasuki lift. Mereka terpaksa meninggalkan tiga ilmuwan yang sudah terinfeksi virus dari lendir Flare. Ketiga ilmuwan bernasib malang itu menjadi sangat buas, mereka mengejar-ngejar ketiganya seolah tak membiarkan mereka hidup.

***

Lavina terus meraung kesakitan, tubuhnya menjadi tidak terkontrol, cairan hitam terus keluar dari mulutnya. Jeanette panik, ia menangis melihat kondisi sahabatnya yang mengenaskan. Elving berusaha mengeluarkan racun tanaman itu dari tubuh Lavina dengan teknik pengobatan yang di kuasainya.

Ditengah keadaan genting itu, pintu lift terbuka. Jeanette dan Elving terpaku sejenak melihat sebuah ruang rahasia yang terletak dua puluh meter di bawah tanah berada di hadapan mereka.

"Bertahanlah Lavina! Aku mohon!" seru Jeanette, tangisannya pecah.

Elving tidak pantang menyerah. Ia berusaha menyelamatkan nyawa Lavina. Elving segera membuka tas dan mengeluarkan botol-botol kecil itu dengan cepat. Ia mencampur beberapa cairan dalam satu tabung kaca lalu menyedot cairan itu menggunakan jarum suntik, sebelum akhirnya menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuh Lavina.

Dada Jeanette menghangat saat menatap Elving. Melihat bagaimana cekatannya Elving untuk menyelamatkan Lavina, membuat jantung Jeanette berdetak abnormal. Elving memang memiliki pesona yang luar biasa. Namun Jeanette bersikeras untuk tidak menyukai Elving.

Mata Lavina terlihat sayu. Ia seperti melihat cahaya terang memancar dari wajah Elving. Pria itu terlihat semakin rupawan dengan garis tegas di dagunya dan manik hijau limenya yang mengkilap-kilap memesona. Ya, Lavina benar-benar telah jatuh hati dengan pria yang berusaha menyelamatkan nyawanya.

Lavina tersenyum di antara sadar dan tidak sadar. "Aku tahu, kau pasti bisa menyelamatkanku, Elv. Seharusnya ku katakan hal ini lebih awal. Tapi, selama aku masih bernapas, akan ku katakan padamu. Aku mencintaimu. Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku ..."

Elving mendongak. Pria itu menatap Jeanette yang dari tadi menatapnya. Jeanette terpaku, begitu pula dengan Elving, tetapi ia hanya mengira bahwa Lavina tengah mengiggau.

Menyadari sudah menatap Elving terlalu lama, Jeanette menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit dan sesak yang menghimpit dadanya.

"Sepertinya Lavina mengiggau Jean, kau tidak perlu merisaukannya." Elving sedikit mengangkat ujung bibirnya ke atas, membuat Jeanette tak bisa menebak apakah itu senyuman atau memang seperti itu cara pria itu mengejeknya. Mereka membiarkan Lavina terlelap di sudut ruangan, menunggu obat itu bekerja, sedangkan Elving dan Jeanette duduk tak jauh darinya.

"Jean, ada yang ingin aku bicarakan." Elving meremas jarinya gugup.

"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Jeanette seraya memberanikan diri menatap kedua bola mata milik Elving.

"Soal perasaan kalian berdua padaku." Elving menatap lurus ke dalam bola mata Jeanette, tanda ia sedang serius.

Jeanette terkejut. Hanya Lavina yang mengatakan perasaannya kepada seorang Elving. Mengapa Elving bisa mengetahui apa yang ia rasakan pada pria itu? Apakah Elving bisa membaca pikiran?

"Aku tidak bisa membaca pikiran, aku juga tidak peka, tapi aku menyadari sesuatu saat memikirkan ucapan Lav saat mengigau tadi. Lav menyukaiku. Tatapan matanya memang sangat berbeda saat dia menatapku. Jujur, aku tidak tahu apa arti tatapannya sampai Lav mengatakannya. Dan aku baru menyadari, tatapan matamu sama dengannya. Cara kalian berdua menatapku ... aku baru menyadari kalau kau juga menyukaiku."

"Elv, aku tidak bermaksud merebutmu dari Lav. Hanya saja, perasaan ini tidak bisa ku kendalikan. Lav lebih dulu menyukaimu. Tenang saja, aku tidak akan menjadi orang ketiga di antara kalian." Jeanette mendongak ke atas mencegah air matanya jatuh membasahi pipinya.

Elving menghembuskan napas berat. "Maaf, tapi aku tidak bisa menerima perasaanmu, juga perasaan Lav."

"Kenapa? Kenapa kau tidak bisa menerima perasaan Lavina? Dia jelas-jelas tulus mencintaimu." Nada bicara Jeanette terdengar cukup nyaring. Kenapa Lavina? Kenapa ia tidak memperdulikan perasaanya sendiri?

Lavina yang sudah terbangun, diam-diam menguping pembicaraan, hingga tak terasa air matanya mengalir begitu saja.

"Karena aku sudah berjanji pada seorang wanita. Kami sudah berjanji akan hidup bersama sampai perah anak Galad menjemput dan membawa kami berlabuh ke tanah abadi,” jawab Elving sembari menatap Jeanette dengan tatapan penuh arti.

Tanpa disadari, Jeanette tersenyum. Wanita itu pastilah sangat berarti bagi Elving. Ia mencoba memahami sudut pandang pria itu. Meskipun ia merasa, ada sebuah peluru yang menembus jantungnya. Terasa sakit sekali.

"Aku ingin persahabatan kita terus berlanjut tanpa ada campur tangan perasaan." Elving kembali bersuara setelah hening beberapa saat.

Apa yang di katakan oleh pria itu ada benarnya. Cinta tidak harus memiliki, tetapi persahabatan mereka saat ini sangatlah berharga dari apapun.

Elving, Lavina dan Jeanette menggunakan sinyal S.O.S untuk meminta bantuan dengan alat rusak yang mereka perbaiki di laboratorium bekas terbengkalai. Masih ingat jaminan profesor? Ya. Cinta dan keberanian. Mereka berhasil menemukannya.

Elving berhasil melumpuhkan Flare dengan merusak jaringan jamur yang memenuhi punggung monster buas itu. Alasan kenapa mahluk itu masih bertahan karena fungi yang mengendalikan tubuhnya. Lavina dan Jeanette yang  bekerja sama membuat zat perusak tersebut. Tanaman kesayangan Elving yang tumbuh abnormal berhasil di tebas habis-habisan dan tim darurat berhasil menyelamatkan mereka. Sayangnya dua di antara tiga ilmuwan tewas terserang virus.

Lavina pulih dengan cepat berkat cairan yang di suntikan oleh Elving. Sebelum kembali ke kota asalnya, wanita bersurai pendek tersebut menatap Elving untuk terakhir kalinya.

"Sampai jumpa, sekali lagi, terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku. Semoga kau bisa hidup bahagia dengan wanita itu selamanya. Dia pasti sangat cantik, kan?" Lavina berusaha tersenyum, menahan cairan bening itu keluar dari matanya.

"Ayo Lavi!" Seru Profesor Moody samar di tengah dengung suara helikopter.

"Aku punya permintaan terakhir, bisakah aku tetap mencintaimu?"

Setelah proyek penelitian selesai, Lavina dan Jeanette harus meminta izin cuti untuk berlibur menyembuhkan luka hati dan menemukan tempat ke mana hati mereka akan berlabuh.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro