Dua : Panti Jompo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

📕📕📕

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan, silakan tekan 1 untuk meninggalkan pesan suara dengan biaya tambahan sebesar tiga ratus rupiah..."

Kuhela napas dan menekan angka satu yang tertera pada layar ponsel. Setelahnya, hitungan detik dimulai seakan mengalegorikan waktu yang diberikan Papa untuk membersamaiku. Tentunya itu hanya ironi.

"Hai, Pa." Aku berdecak dengan tangan memelintir kancing baju. "Papa tahu, hari ini... maksudku tadi itu hari ambil rapor. Denti tahu Papa gak dateng, lagi pula menurut Denti memang nggak penting. Ambil rapor hanya bentuk formalitas sekolah untuk minta sumbangan dari wali siswa." Aku mengembuskan napas pelan dengan mata yang menilik gusar jutaan galaksi. "Hanya saja, jika Papa malam ini bisa pulang, Denti udah pesen pizza dari Fran. Fran kadang kasih tambahan pepperoni. Oke itu gak penting... intinya, Denti juara umum lagi di sekolah, gak perlu Papa ucapin selamat karena itu nggak sekeren juara olimpiade atau festival sains di Kanada. Hanya saja... ya, Denti harap Papa sehat."

Tiga ratus rupiahku terbuang untuk kalimat sampah itu. Lagipula Papa juga tidak akan sempat memeriksa satu dari ribuan voicemail yang aku kirimkan. Entahlah, kemunculan Papa di rumah adalah suatu hal yang terasa tiba-tiba dan mengejutkan. Keberadaan Papa lebih seperti donatur yang mendatangi rumah jompo, dia mungkin muncul sekali dan sekejap, tapi bantuan finansialnya selalu mengalir kapan saja.

Dan aku yakin, orang-orang jompo lebih membutuhkan kedatangan donatur itu—yang tak lain anak mereka sendiri—daripada menerima uang yang mereka sumbangkan.

Aku tidak percaya dengan yang namanya kebetulan, tapi aku rasa Kuasa Semesta sengaja menempatkanku di rumah jompo saat melengkapi tugas sosial di liburan semester genap. Di sana aku mulai berpikir, apakah mungkin aku akan menitipkan—membuang—Papa dan Mama ketika mereka sudah mati sendi untuk berjalan dan terlampau rematik untuk berdiri? Mungkin aku jadi anak durhaka dengan kedok donatur dan meninggalkan mereka demi dunia super sibukku.

Namun akhirnya aku sedikit menyadari, ada kemungkinan akulah orang jompo yang sebenarnya.

Mureen, perempuan delapan puluh tahun yang aku tangani liburan kemarin, menderita demensia. Namun, dia selalu ingat jadwal kunjungan yang anak-cucunya janjikan. Dan selama pengabdianku di sana, aku tak melihat batang hidung mereka sekalipun. Bahkan fotonya saja tidak sempat kuperiksa.

"Pada akhirnya, hidup kita dihabiskan menunggu orang yang kita sayang." Maureen melantur saat aku mencuci kakinya hari itu. "Aku tidak pernah berpikir kebersamaan hangat kami hanya sebatas usia lima puluh tahun."

Cukup mengagetkan dia mengingat rentang waktu kebersamaan dengan anak-anaknya. Hal itu sekaligus mengindikasi jika dia sudah terlantar lebih dari seperempat abad. "Apakah dulu kau selalu menghabiskan waktu dengan anak-anakmu, Maureen?" tanyaku sambil membersihkan kakinya. Jika aku mendapatkan umpan balik yang bagus dari para lansia, maka nilai A pada tugas sosialku menjadi garansi.

Kau dapat membayangkan jika aku menjadi satu-satunya orang dengan nilai A pada tugas sosial? Satu sekolah akan menyadari jika aku individu yang paling bermasyarakat, dan para siswi sepatutnya bangga jika nyatanya perempuanlah siswa pertama yang mendapat nilai tugas sosial A.

Hanya saja pada akhirnya nilai tugas sosialku tetap B. Jadi, mitos yang mengatakan tidak ada siswa yang akan mendapat nilai A pada tugas sosial benar adanya. Namun setidaknya aku sudah cukup telaten dalam merawat lansia itu dan aku layak dipuji.

"Ya, aku memandikan mereka, aku menyiapkan telur mata sapi setiap paginya, aku yang memilah kompres ketika mereka demam, aku menahan banting ketika ayah mereka kembali menggila." Demi apapun, aku sempat tidak percaya Maureen saat itu tersenyum padaku. "Hari-hariku dengan mereka sangat berharga."

Dahiku perlahan berkerut dan alisku terangkat sebelah. "Mungkin ini sebabnya keluarga kami tidak terlalu terikat. Aku hampir tidak pernah menghabiskan waktu dengan papaku, sementara mamaku terlalu sibuk dengan rumah barunya. Hubungan kami tidak terlalu mengikat, tidak ada minum teh sore, tidak ada olahraga pagi bersama, tidak ada acara televisi keluarga. Menurutku itu bagus karena hubungan seperti cinta dan sayanglah yang justru membuatmu seperti ini." Perlahan raut wajah Maureen berubah saat aku mulai mengeringkan kakinya dengan handuk.

"Aku rasa," tambahku, "jika papaku, mamaku, atau aku sendiri yang nantinya berakhir di tempat menyedihkan seperti panti jompo ini, kami tidak akan berduka. Kami akan tenang menghabiskan sisa waktu rehat kami tanpa harus memusingkan apakah orang lain baik-baik saja, dan apakah mereka masih memikirkan kami atau tidak."

Aku tersenyum lebar. Benar-benar puas akan argumen yang amat sangat mendasari logika. Satu-satunya yang tidak sesuai logika adalah emosi dan itu yang dirasakan Maureen dulu.

Hanya saja, perempuan itu justru menautkan alis menatapku bingung, atau lebih tepatnya sedih. Dan dia mengatakan, "kasihan sekali kamu."

Aku rasa tahun ini adalah pertama dan terakhir kalinya mendengar orang mengatakan kalimat hina itu padaku. Namun, Fran justru mengulanginya malam ini.

"Kasihan sekali kau."

Yap, kesalahanku menceritakan tentang Papa yang tidak akan pulang di malam perayaan Juara Umum Sekolah. Kadang aku berbuat bodoh di depan wanita bodoh seperti Fran. "Untung saja aku menambahkan pepperoni di pizzanya, apa ini membuatmu merasa lebih baik."

"Ya, amat sangat baik asalkan tidak kau campur dengan metil benzoate." Jujur saja parfum Fran benar-benar membuatku mual. Dia dandan terlalu berlebihan hanya agar mantan suaminya merasa menyesal telah meninggalkannya, yang mana hal itu membuatnya terlihat lemah dan idiot karena telah menggantungkan hidup terhadap laki-laki konyol.

Sekarang dia menderita sebagai pembuat dan pengantar pizza di gerai Eighties dekat ruko perumahan elit. Dan satu-satunya yang dapat kukasihani adalah Dahlia, anaknya.

"Apakah kau tak merasa hidup jika tidak mengoleskan minyak wangi di seluruh tubuh? Menurutku wangi pemanggangan pizza jauh lebih ramah." Aku menerima kotak pizza dan memberikannya lembaran uang.

"Aku lihat Jimmy di resto dan dia bawa perempuan Kebun Binatang itu dengannya. Kau dapat membayangkan itu?"

Aku menggeleng. "Tidak, karena aku belum pernah menikah dan tidak menggantungkan diri pada laki-laki tolol seperti Jimmy."

"Hei, dia kerja di BUMN, ingat?"

Nampaknya kami memiliki perbedaan arti 'tolol' di kamus masing-masing. Setelahnya aku memaksakan senyum pada Fran dan menyudahi percakapan ini.

"Denti," panggil Fran sebelum aku menutup pintu. "Aku bisa pulang lebih cepat dan bawa Dahlia untuk nonton film dokumenter bersamamu. Itu jika kau mau."

Aku tersentak, menundukkan pandangan sekejap. Namun, tak butuh waktu lama, daguku kembali terangkat. "Tidak perlu, aku tidak sendirian di rumah. Ada Auntie Jane yang menemaniku."

📕📕📕

.

.

.

.

DICTIONARY OF PERFECTION

Haloo semua, alhamdulillah kita bisa ketemu lagi!

Siapa di sini kalo kasih self rewards selalu dengan junk foods atau nggak gorengan🙌

Yok tos dulu karena aku juga gitu:" Di sini (bocoran) sebenernya pizza juga jadi salah satu klu, tapi memang nggak begitu jelas.

Yep, semoga Denti bisa bahagia dan terus menyapa kalian di satu bulan kedepan (Or 40 hari kedepan hehehe)

See Ya🎋 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro