7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aida berdiri di dekat lampu merah, menunggu angkutan yang harus dia tumpangi untuk kembali ke rumah. Sambil menunggu, gadis itu melakukan peregangan otot tangan dan kakinya yang terasa kaku. Setelah hari libur yang berantakan, yang harusnya gadis itu lakukan untuk memanjakan diri—karena kemarin yang Aida lakukan adalah mengasihani diri—hidup Aida tidak sama lagi ketika ternyata Nurma, tetangga yang sudah dia anggap sebagai adik, menjadi saksi tindak cabulnya. Gadis berumur sembilanbelas tahun itu menggodanya habis-habisan sampai Aida ingin melompat ke dalam sumur.

"Sendirian, Cantik?"

Aida menoleh ke arah sumber suara seseorang yang bertubuh kurus kerontang dan berambut gimbal. Gadis itu meneguk ludah susah payah. Tidak suka dengan keadaan di mana dia sedang tidak ingin mengobrol dengan siapa pun.

"Ng ... sama pohon," kata Aida sambil menunjuk pohon yang berdiri tak jauh darinya.

Laki-laki kurus kering itu tertawa terbahak-bahak. Aida mengernyit bingung. Gadis itu tidak merasa ada ucapannya yang salah atau pun lucu.

"Udah cantik, pinter ngelawak lagi." Laki-laki kurus kering itu menggelengkan kepala disisa tawanya, kemudian berdiri di samping Aida. "Mas temenin, ya?"

Aida menyipitkan mata, menatap tak suka seakan laki-laki itu gila.

Mas apaan? batin Aida menjerit.

"Nggak butuh," sahut Aida ketus dan sama sekali tidak berniat memperpanjang obrolan. Kemudian, dia sedapat mungkin berjalan menjauhi laki-laki itu dan berharap angkutan yang akan dia tumpangi segera muncul.

Diluar dugaan, tiba-tiba laki-laki itu merangkul Aida sok akrab. Untuk beberapa detik yang menggerikan, gadis itu terkejut bukan main. Aida berontak dan mencoba melepaskan rangkulan laki-laki itu. Namun, tangan kurus kering itu sangat kuat merangkul Aida sampai seperti mencekik gadis itu. Aida ingin berteriak meminta tolong, tetapi otaknya melarang. Dia tidak ingin mengundang perhatian orang-orang sekitar yang seperti pura-pura tak melihat.

"Lepasin nggak?" desis Aida muak, yang dibalas tatapan penuh arti dari laki-laki itu sampai Aida ingin meludahi wajahnya yang terlihat menjijikkan.

Laki-laki itu masih saja merangkul Aida, bahkan mulai coba-coba mendekatkan wajahnya ke leher Aida, membuat gadis itu tak tahan lagi. Dia memejamkan mata rapat-rapat dan berteriak sekuat tenaga. Sekencang mungkin.

Semuanya terjadi begitu cepat. Ketika Aida membuka mata, gadis itu melompat mundur dengan membekap mulut. Dia tidak tahu pasti bagaimana akhirnya laki-laki kurus kering itu bisa tergeletak tak berdaya di bawah kakinya. Yang pasti, ada yang memukulnya sampai pingsan.
 
"Kamu nggak apa-apa, Aida?" tanya seseorang yang entah sejak kapan berada di samping Aida.

Aida hanya menggeleng pelan setelah tahu ternyata itu Ardan. Jiwanya masih terguncang dan juga gadis itu merasa heran, kenapa tetangga barunya itu berada di sini? Aida tidak tahu. Namun gadis itu menebak, mungkin saja Ardan sedang mencari inspirasi untuk tulisannya.

Ardan memeriksa tubuh Aida seksama. Mulai dari menempelkan telapak tangan ke kening Aida untuk mengecek temperatur, memutar tubuh Aida, menepuk pelan pipi Aida, dan terakhir menyipratkan air mineral ke wajah Aida karena gadis itu diam kaku yang cukup mengkhawatirkan, menurutnya.

"Ardan, jahat ih! Basah nih!" sembur Aida marah.

"Alhamdulillah, akhirnya sadar juga." Ardan menghela napas panjang. "Yuk, pulang."

"Terus dia?" Aida menunjuk lelaki kurus kering.

"Udah biarin." Ardan tersenyum. "Nanti juga sadar sendiri."

Aida berdecak pelan melihat senyum Ardan. Senyum yang masih saja membuatnya terpana. Meski begitu, Aida cukup mengerti bahwa Ardan hanya lelaki yang enak dipandang. Sebatas mengagumi.

"Ayo!" kata Ardan sambil menarik tangan Aida.

Aida menurut. Gadis itu berjalan di belakang Ardan. Tangan mereka saling menggenggam dan tidak ada yang keberatan.

"Tunggu, Ar," ucap Aida, membuat Ardan menghentikan langkahnya lalu menoleh kepada Aida. "Kan harusnya nunggu angkotnya di situ," lanjut Aida baru sadar jalan yang mereka lewati salah. Gadis itu menoleh ke arah tempat lelaki kurus kering itu terkapar.

"Aku ada janji temu sama seseorang," jawab Ardan, membuat Aida menatapnya. "Aku ingin kamu menemaniku."

"Memangnya kapan aku bilang setuju?" tanya Aida heran.

"Kapan-kapan." Ardan tersenyum jahil dan berjalan lagi. Tangannya masih menggenggam tangan Aida yang sosoknya mendadak berubah menjadi seperti anak penurut dan manis. Aida sendiri bingung kenapa bisa begitu.

***

Ardan menatap gadis yang sedang membuka-buka novel miliknya tanpa ada minat untuk dibaca. Laki-laki itu menyukai wajahnya yang manis. Dia sudah mengakuinya dari awal bertemu. Gadis bertubuh mungil itu tidak mempunyai hidung yang mancung. Hidungnya kecil, tetapi runcing. Matanya besar seperti boneka. Rambutnya yang sepunggung lebih sering digelung tinggi-tinggi. Ada tahi lalat kecil di dagunya yang lancip.

Menarik, gumam Ardan dalam hati. Hari ini Aida memakai celana setengah tiang dan kaus putih berlengan panjang bertuliskan Guci.

"Kopi?" tawar Ardan.

Aida mendongak kemudian menggelengkan kepala. Ardan membalikkan badan dan membuat kopi untuk dirinya sendiri. Saat ini, mereka sedang berada di ruang tengah—tempat menonton TV—yang terhubung langsung dengan dapur. Ketika mendapati rumahnya terkunci, Aida sepakat menunggu ibu atau adiknya di rumah kontrakan Ardan karena gadis itu lupa tidak membawa kunci cadangan.

Tak lama Ardan menghampiri Aida dengan secangkir kopi yang mengepulkan uap dan satu botol softdrink. Diberikannya softdrink kepada Aida yang langsung tersenyum semringah dan mengucapkan terima kasih, sementara dia meniup dan menyeruput kopinya pelan-pelan.

"Perempuan tadi itu siapa?" tanya Aida memberanikan diri. Gadis itu penasaran karena saat dipertemuan tadi, baik Ardan maupun perempuan yang ditemui laki-laki itu tidak ada yang berbicara satu sama lain,  membuat Aida tidak enak hati dan berharap pertemuan itu cepat berakhir. Untungnya, harapan gadis mungil itu terkabul meski harus mendapatkan tatapan menilai dari atas sampai bawah oleh si perempuan—jenis tatapan yang paling Aida benci—sebelum akhirnya si perempuan pergi dengan menyeret kopernya dengan tergesa.

Ardan mengangkat pandangan, tetapi tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Kalo nggak mau dijawab juga nggak apa-apa kok." Aida meringis pelan.

Ardan meneliti Aida yang seperti tidak nyaman, yang entah mengapa wajahnya menjadi lucu di mata Ardan, membuat tawa kecil keluar dari mulutnya.

"Dia mantan istri aku," jawab Ardan santai.

Aida terdiam, hanya mampu menatap Ardan lama. Begitu pun sebaliknya.

"Kami bercerai setahun yang lalu," tambah Ardan kemudian.

"Kenapa?" tanya Aida begitu saja dan langsung membekap mulut.

Ardan hanya tersenyum. Tidak berniat menjawab. Aida yang sadar sudah salah memilih topik pembicaraan langsung membuka tutup botol softdrink dan meminumnya banyak-banyak. Gadis itu ingin meminta maaf, tetapi kata maafnya tersangkut di tenggorokan.

"Menurutmu, menikah itu apa Aida?" tanya Ardan tiba-tiba.

Aida mengelap mulutnya sebelum menjawab, "Ibadah. Begitu, kan, kata agama?"

Ardan tertawa. "Pinter banget sih? Anaknya siapa coba?"

Aida mendengus setengah tertawa.

"Ada yang bilang, nikah itu 5%-nya enak dan 95%-nya enak banget," kata Aida kemudian.

Ardan manggut-manggut sok iya dengan senyum yang terkesan sinis.

"Ada yang nafkahin dan bikin bobonya nyenyak." Wajah Aida sedikit memanas saat mengatakannya.

Ardan menatap Aida. Pandangan gadis itu menerawang lurus seperti sedang membayangkan sesuatu.

"Juga, ada banyak impian di dalemnya. Nanti setelah ini harus ngapain, ya? Pastinya, harus jadi yang lebih baik lagi. Nggak perlu ngeributin soal rumah yang dibangun bareng-bareng. Buat istri nggak kabur kalo lagi ada masalah aja sudah pentol. Kan nikah itu tujuannya sama-sama. Sama-sama berbagi, sama-sama nyelesain masalah." Senyum Aida tersungging tipis di akhir kalimat. Kemudian, gadis itu menoleh, menatap Ardan yang sedang menatapnya.

"Sotoy, ya?" tanya Aida, menyengir lebar.

Ardan menggeleng. "Nah, kalo nikah itu enak banget, terus kamu kapan mau nikahnya, Aida? Tuh keriputmu udah banyak."

Aida mendesis kesal. "Ngeselin banget sih!"

Ardan tertawa puas. Refleks, Aida mengambil novel yang tadi sempat dibukanya lalu memukulkannya ke lengan Ardan, membuat laki-laki itu mengaduh. Namun, tidak membuatnya jera, malah semakin gencar meledek Aida yang pada akhirnya tertawa bersama dengannya.

***

Ibnu tertidur pulas di meja makan. Semalam laki-laki itu bergadang. Bukan karena memikirkan wacana tentang kafenya (yang pada akhirnya belum menemukan titik terang), melainkan karena gadis yang tiba-tiba menciumnya di siang bolong. Padahal, Ibnu sudah menahan otaknya untuk tidak memikirkan hal remeh-temeh seperti kemarin, tetapi tidak bisa. Kejadian kemarin begitu menyita pikirannya sampai laki-laki itu merasa mau gila.

Handi bilang, gadis itu bernama Aida. Nama yang sepertinya pernah dia dengar sebelumnya. Rumahnya di desa Kalisapu, satu desa dengan pamannya—entah di sebelah mana—yang juga dekat dengan perumahan Safira Land, tempat tinggalnya.

Kata Handi lagi, alasan gadis itu sengaja menciumnya adalah supaya terhindar dari mantannya yang bersikap menyebalkan. Ibnu mendengus keras saat itu. Terlihat dari raut wajahnya yang tidak menerima alasan seperti itu. Lalu, Ibnu meninggalkan Handi dan tidak mau mendengar apa-apa lagi.

Ibnu masih tertidur pulas. Bahkan, lelaki itu tetap bergeming meski berkali-kali telepon rumahnya berdering nyaring.

Yono, tukang bersih-bersih, yang kebetulan hari ini ada jadwalnya—karena dia hanya datang di hari Senin dan Kamis—tergopoh-gopoh menghampiri Ibnu. Dia menguncang-nguncang tubuh majikannya itu, barulah Ibnu terbangun dan merasa agak sebal karena seseorang mengganggu tidurnya.

"Maaf Pak Ibnu, niku wonten—" Yono berhenti bicara untuk meralat ucapannya. "Eh, itu ada telepon. Daritadi kring-kring-kring terus. Barangkali penting."

Ibnu mengangguk, masih mendengar dering telepon sebelum akhirnya dering itu berhenti bersamaan dengan Yono yang pamit undur diri. Menghela napas panjang, Ibnu meraih ponsel barunya yang berada di atas meja. Benda itu mati, sepertinya dia lupa mengisi daya baterai. Ibnu berdecak, tetapi tak berapa lama dering telepon rumahnya berbunyi kembali, membuat laki-laki itu segera mengangkatnya. Pikirnya, mungkin terjadi sesuatu di kafe.

"Ya."

"Taya." Terdengar suara Risa di seberang sana. "Kenapa lama sekali ngangkat teleponnya?"

"Ada apa?" tanya Ibnu malas dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Masalah," jawab Risa pendek.

Ibnu mengangkat satu alisnya tinggi. "Terus?"

"Cuma lo yang bisa nyelesain," kata Risa lemah.

Ibnu mendesah. Dia tidak menyahut lagi. Lelaki itu tahu akan dibawa ke mana arah pembicaraan ini jika diteruskan dan itu membuatnya tidak nyaman. Ibnu lebih menghargai Risa yang tidak ada urusan dengan perasaan apa pun itu terhadapnya.

"Sekarang gue ada di depan rumah lo, bukain pintunya, ya? Gue kangen. Bener-bener kangen," kata Risa manis, tetapi terdengar mengerikan di telinga Ibnu.

Note:

Pentol : Bagus. (kalo di Surabaya pentol itu cilok ya? Hehehe.... 😊)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro