Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rusun kumuh.

Sunyi dan gelap. Itulah gambaran suasana yang ada di sana. Benar-benar tidak seperti yang terpatri diingatan pemuda itu, yang selalu ramai dipenuhi bandit-bandit jalanan. Lantai satu hanya diisi oleh para pengedar yang sedang mabuk berat. Ada sorot kesedihan di mata pemuda itu saat melihat mereka. Dia memalingkan muka dan memilih berjalan seperti bayangan menuju lantai atas. Pemandangan yang dapat terlihat dari atas tidak begitu buruk. Sungai kumuh terbentang di bawah sana, sementara gang-gang kecil dengan rumah bedeng para pemulung berjajar di pinggiran sungai itu.

Di lorong lantai dua terlihat sepi. Pemuda itu tampak sedang mencari sesuatu. Atau seseorang. Dia membuka setiap pintu kamar yang ada di lantai itu dengan perlahan dan hati-hati, tetapi hasilnya nihil. Semua kamar kosong. Tidak ada aktivitas apa pun. Lalu, dia melesat pergi ke lantai tiga. Kali ini dengan tergesa. Namun, saat dirinya akan berbelok, pemuda itu melihat dua laki-laki yang memiliki wajah jelek baru saja keluar dari salah satu kamar dengan tampang puas. Hati pemuda itu mencelos. Dia sangat mengenal keduanya dan bisa menebak bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Kedua tangan pemuda itu mengepal erat di sisi tubuh lalu bergegas menuju kamar yang baru saja ditinggalkan oleh dua lelaki jelek itu setelah keduanya pergi ke sisi barat.

Dengan sekali sentakan, pintu itu terbuka. Dugaannya benar. Pemuda itu melihat seorang wanita tergeletak tak berdaya dengan tubuh nyaris telanjang. Wanita itu meringkuk menyembunyikan wajahnya. Salah satu tangannya diborgol di kepala ranjang. Pemuda itu mendekat dan menangkup wajah si wanita sambil menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Plong. Dia merasa lega. Pemuda itu keluar kamar---setelah menutupi tubuh wanita itu dengan selimut---untuk memeriksa kamar yang tersisa. Hasilnya tetap sama. Nihil.

Apa yang sebenarnya dia coba cari?

Pemuda itu mengusap wajahnya gusar. Sekuat tenaga dia menahan untuk tidak mengeram murka. Tanpa perlu berlama-lama lagi, dia memilih melesat ke lantai empat. Mengecek kamar yang ada di lantai itu satu per satu. Lalu, sayup-sayup terdengar teriakan, erangan, dan rintihan memilukan di salah satu kamar. Dengan perasaan yang berkecambuk di dada, pemuda itu mencari asal suara. Dia menempelkan telinganya di setiap pintu kamar.

Di kamar dengan pintu penuh coretan kata-kata kasar, suara mengganggu itu terdengar lebih jelas bercampur suara isak tangis. Setelah merasa yakin, pemuda itu membuka paksa pintu kamar.

Dengan napas tersenggal, pemuda itu menarik tubuh menjijikkan yang ada di hadapannya. Dia memukul dan menendangnya bertubi-tubi tanpa ampun, tanpa jeda, tanpa cela hingga tubuh itu terkapar. Mata pemuda itu melirik ke sosok perempuan yang terlihat mengenaskan. Keadaan perempuan itu tidak baik. Malah sangat buruk. Terdapat banyak lebam-lebam di sekujur tubuhnya yang polos. Saat mata sayu perempuan itu menatapnya, pemuda itu tersentak dan segera membuang muka, mendapati seorang laki-laki yang tadi dipukulnya. Laki-laki itu, bukan, dia belum pantas disebut laki-laki. Dia masih bocah. Pemuda itu terhuyung, melangkah mundur. Dia merasa lemas terus-menerus menatap wajah bocah itu.

Wajah itu ... wajah bocah itu ....

Mendadak pemuda itu dihantam rasa sesak yang menyiksa sampai air matanya mengalir membasahi pipi dan menjadi tangisan dalam diam yang memuakkan.

"Tolong ... kumohon jangan ...."

Pertahanan diri pemuda itu jebol. Kemarahannya memuncak. Dia berteriak kesetanan, memukul tembok beberapa kali, membalik kursi rotan yang ada di sana, dan menghancurkan kursi rotan itu dengan menghantamkannya ke tembok.

Bunuh.

Bunuh.

Bunuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro