Gaje

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini puasa pertama dan aku sedang memasak menu sahur untuk Mas Dewa. Hanya masakan sederhana. Sop ayam kesukaannya berserta nasi hangat. Yummy!   Dia sudah menungguku di meja makan. Sesekali melirik ke arahku dengan senyum menawannya. Lalu ketika aku menghidangkan makanan itu, Mas Dewa meraih tanganku dan mengecupnya mesra.

“Makasih, Sayang,” katanya. Dan aku langsung merona. Sebuah kalimat itu memang bisa membuatku senang.

Kami duduk bersebelahan dan baru saja hendak menyuap, terdengar ketukan pintu depan. Dahiku berkerut, jam segini, siapa yang akan bertamu? Hendak bangkit, tapi Mas Dewa mencegah.

“Biar aku aja. Kamu lanjutin sahur.”

Aku mengangguk, lantas tersenyum, dan mengiringi langkahnya dengan tatapan. Baru satu suap, tapi kerongkonganku terasa penuh oleh sesuatu saat mendengar suara itu. Rayendra! Astaga! Mau apa di ke sini jam segini?

“Sayang, Rayendra mau sahur di sini katanya. Ibunya lagi pulkam, nggak ada yang masakin.”

Mas Dewa berdiri tepat di depanku dengan remaja itu. Rayendra menyeringai ketika aku masih membatu. Aku syok. Entah dia kali ini akan bertingkah apa lagi. Jantungku berdebar, seperti gendang yang terus ditabuh. Please, Ray, kali ini jangan usil itu mulut.

“Duduk, Ray.” Mas Dewa mempersilakan dan Rayendra yang duduk berhadapan denganku, tersenyum manis. Mencoba mengenyahkan pikiran buruk, tapi ucapan Mas Dewa sukses membuatku bergetar. “Katanya tadi mau ada yang diomongin, Ray.”

Kyaaa! Apa coba yang mau diomongin Rayendra? Panas dingin aku menantinya, sampai tak sadar terus menyuap sop, dan mulut penuh.

“Pelan-pelan makannya, Sayang," kata Mas Dewa karena melihatku terbatuk. Aku tersenyum, lantas kembali melanjutkan makan.

“Pak ...,” panggil Rayendra setelah meneguk air.

“Ya?”

Aduh, duh! Rayendra mau ngomong apa, ini? Rasanya tubuhku kaku. Anak ini kan nggak pernah bisa diprediksi omongannya.

“Saya mau Bapak ceraikan Bu Anty dan biarin dia nikah sama saya.”

Kyaaa! Rayendraaa! Benar-benar gelo! Mas Dewa sampai terbatuk-batuk mendengar ucapan anak itu. Aku hanya bisa meringis. Berharap ini tidak akan menjadi bencana. Sementara itu, Rayendra tetap memasang wajah cool-nya dan Mas Dewa tegang, sambil tetap mengunyah.

“Baiklah, karena saya baik, saya akan pisah sama Anty. Rumah ini buat kalian. Nanti tabungan saya juga bisa buat biaya pernikahan kalian.”

Rayendra tersenyum puas, begitu juga dengan Mas Dewa. Akan tetapi, tidak denganku. Aku terkejut! Kenapa para lelaki mendadak menjadi gila begini? Tidaaakkk!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro