Pikiran Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pandangan mengabur, karena air mata sudah meluap. Menggunakan punggung tangan, kucoba melenyapkan basah di wajah.

Kembali aku memerhatikan foto itu. Meneliti dengan saksama laki-laki dengan pose diambil dari samping. Hanya setengah wajah saja yang tampak. Tunggu, aku merasa ada yang aneh. Kemeja itu ....

Oh, Rayendra! Awas kamu! Kamvrettt!

Tergesa-gesa aku mencari nomor Rayendra di list kontak. Ketemu! Segera aku melakukan panggilan dengannya.

"Hallo, Bu Anty? Ibu baik-baik aja? Saya ke sana, ya? Nyediain bahu buat Ibu nangis."

Baru saja telepon diangkat, dia langsung menyerang dengan banyak kalimat.

"Rayendraaaaaa!"

Aku berteriak sangat kencang. Perasaan begitu menggebu-gebu. Rasanya ingin memakan murid kurang kerjaan itu.

"Kenapa Ibu teriak?" Dia bertanya tanpa dosa. Dasar bocah!

"Itu siapa yang kamu foto?"

"Suami ibu. Tuh, udah ketahuan selingkuh, mending Ibu milih saya, deh," jawabnya penuh rasa percaya diri.

Ampun! Untung dia sedang jauh, kalau dekat barangkali sudah aku jambak.

"Itu bukan suami saya, Rayendraaaa!"

Sangat gemas aku dengan anak ini. Bayangkan saja, sudah menangis dan merasakan cenat-cenut karena foto itu. Faktanya, itu bukanlah Mas Dewa, hanya tampak mirip saja dari samping. Kemeja yang dipakainya pun berbeda.

"Ibu ini, suami selingkuh malah dibelain."

"Kamu salah orang, Rayendra! Itu bukan suami saya! Memang kamu pernah ketemu suami saya?"

"Pernah lihat dari samping waktu dia ngantar Ibu ke sekolah dan kaca mobilnya kebuka."

Astaga! Anak ini ternyata hanya melihat sekilas saja wajah Mas Dewa. Namun, bodohnya aku pun tadi keburu baper melihat foto itu.

Napasku terhela sangat sangat berat. Menyiapkan tenaga untuk kembali menjelaskan ke brondong ini.

"Rayendra, itu hanya mirip saja dengan suami saya. Coba kamu temui orang itu dan perhatikan dengan jelas, saya akan kirimkan foto suami saya."

"Tapi, Bu—"

Panggilan aku putus sepihak. Lalu cepat-cepat mencari foto Mas Dewa dan mengirimkan ke Rayendra.

Berjalan aku menuju dapur untuk mengambil air dari kulkas. Satu tangan masih setia memegang ponsel. Cairan dalam botol itu baru sedikit terteguk, tapi saat membaca balasan Rayendra, aku tersedak. Tak dapat tertahan tawa dan heran ini.

[Ibu jahat banget. Kenapa ngirimin foto kalian berdua? Saya jadi cemburu, Bu.] Pesannya berisi emoticon hati retak.

[Karena kami suami-istri dan seharusnya sekarang kamu makin sadar, Ray. Dan ingat, yang kamu foto tadi itu bukan suami saya.]

Rasa haus masih terasa, lagi aku meminum cairan dingin bening itu. Satu pesan datang, cepat aku menyelesaikan aktivitas tadi, takut tersedak membaca jawaban Rayendra.

Kaki kini menuju ke ruang tamu dengan sebuah apel di tangan. Aku menyandarkan tubuh, sedikit menggigit buah itu, lalu membuka pesan di ponsel.

[Terpotek-potek hati saya sekarang, Bu. Padahal udah senang tadi punya kesempatan besar, karena suami ibu selingkuh.]

Aku hanya tersenyum dan menggeleng membaca jawabannya. Murid ini sungguh-sungguh tak punya kerjaan merayu wanita bersuami.

Kalau seperti ini, siapa yang patut dipersalahkan? Orang tua dan lingkungan yang kurang memberi edukasi, atau memang dasar sifat Rayendra begitu? Membingungkan. Mungkin di sini peranku untuk menyadarkan murid itu masih kurang.

Sejenak aku berpikir. Baiklah, mulai sekarang aku akan benar-benar mengabaikannya. Ini demi kami semua. Kejadian beberapa menit yang lalu hampir saja meluluhlantakkan hati dan cinta ini. Untung saja aku tak bertingkah gegabah dengan menelpon Mas Dewa dan memakinya. Atau juga mendatangi Nav Karaoke agar bisa menciduk laki-laki yang ternyata bukan suamiku.

Di sini kulihat Rayendra memang benar sangat memerhatikanku. Dia tak melewatkan kesempatan agar bisa menghapus jarak antara kami.

[Bu, kenapa cuma di-read?]

Tidak! Aku tak akan membalas pesannya.

[Saya minta maaf udah bikin Ibu nangis tadi.]

Oke, saya maafin kamu, Ray. Cuman untuk balas, nggak, deh.

Apel kembali kugigit sampai habis sambil menonton TV. Mencoba menikmati acara nggak jelas yang lagi tayang. Satu pesan datang lagi.

[Saya bakal datang ke rumah ibu kalau chat saya nggak dibalas juga.]

Serah lu, deh, bocah. Mumet aku mikirin kamu.

HP ku-silent setelah menghapus pesan dari Rayendra. Lalu meletakkannya di meja. Mata kini mulai berat, mungkin efek menangis juga. Tanpa pindah ke kamar, aku memilih merajut mimpi di sofa.

Kepala menyentuh bantal kecil dengan posisi meringkuk. Ini sudah nyaman dan sekarang mata mulai tertutup.

🍃🍃🍃

Entah ini jam berapa, tapi rasanya masih gelap. Buru-buru aku menuju kamar mandi untuk memenuhi panggilan alam. Setelah selesai, aku kembali ke ruang tamu, melihat jam yang terpasang di dinding. Pukul 03.00 dini hari.

Dahiku berkerut, menyadari ada sesuatu yang aneh. Langkah kini mengarah ke kamar. Pandangan menyapu ke seluruh sudut ruang. Benar saja dugaanku, Mas Dewa tidak ada.

Jam segini ada di mana dia? Dadaku langsung berdebar aneh memikirkan sesuatu terjadi padanya.

Cepat aku memeriksa ponsel di meja dan langsung terduduk lemas ketika mendapati hanya satu pesan dari Mas Dewa.

[Sayang, kerjaanku masih belum selesai. Kamu tidur duluan, ya. Love you!]

Tak ada susulan pesan ataupun telepon darinya. Seakan dia benar-benar cuek padaku. Kali ini kelakuannya membuat sangat kesal.

Kubanting ponsel ke sofa sambil menjambak rambut sendiri. Apa ini? Lembur sampai jam segini? Pesan itu dia kirim pukul 21.00, lalu ke mana dia belum juga pulang?

Empat bulan kami menikah dan rasa manis itu kukecap hanya di masa pacaran. Semua perlahan berubah sekarang, padahal jika diingat kami masih tergolong pengantin baru.

Pekerjaan lelakiku sebagai seorang manager hotel harusnya tak seberat ini. Aku adalah alumni perhotelan. Tugas-tugas pekerja di sana aku paham. Memang tak menutup kemungkinan jika ada lembur, tapi tak sesering ini. Terlebih sekarang bukan musim liburan, jelas okupansi tidak tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan aneh berlarian di kepalaku kini. Tubuh kembali berbaring di sofa. Mata terpejam dan saat ini pikiran buruk itu sedang kucoba untuk hilangkan. Hati pun tak kalah merasakan sakit.

Pelipis kupijat, karena rasanya semakin sakit. Teringat lagi last seen WhatsApp Mas Dewa pukul 01.00. Tidak, Anty! Kamu harus berpikir positif!

Hendak bangkit untuk menghubungi Mas Dewa, terdengar ada yang mencoba membuka pintu rumah dari luar. Aku berjalan, lalu mengintip dari balik tirai jendela. Itu dia!

Tangan bersidekap dan bibir manyun serupa bebek sudah kusiapkan untuk menyambut kepulangan suami. Aku  berdiri tepat di depan pintu.

Sekarang benda dari kayu itu sudah terbuka. Tampaklah laki-laki dengan tinggi seratus delapan puluh tujuh senti meter. Wajahnya sedikit bingung, mungkin karena tatapan tajamku.

"Sayang, kamu belum tidur?" tanyanya sok ramah.

Pelan dia menutup pintu dan mendekat. Tangan kokohnya melingkar di pinggang rampingku. Senyum itu ... selalu bisa mencairkan kemarahan ini. Namun, masih aku coba untuk bertahan bahkan saat dua pipi ini dikecupnya.

"Maaf, ya, aku baru pulang." Kini dia memeluk erat, sementara aku masih bergeming. "Masih marah?"

"Aku ini siapamu, sih?"

Akhirnya aku bersuara dengan nada kesal. Jujur, ingin banting-banting barang, tapi nanti kalau rumah berantakan aku juga yang capek. Mikir lagi deh jadinya.

"Istriku, dong," jawabnya sambil menciumi leherku. Hidungku mendeteksi bau tak biasa. Hemmm ....

Permainannya di tempat sensitifku semakin menggila. Tangannya menyusup di antara helai rambutku. Hampir luruh sempurna diri ini dibuatnya. Namun, tersadar masih ada hal yang belum tuntas.

"Kalau aku istrimu, kenapa nggak ngabarin kamu ada di mana sampai jam segini? Cuma ngirim satu WhatsApp. Nggak ada telpon. Nggak ada rasa khawatir apa mikirin istri sendirian di rumah? Lembur apaan sampai jam segini? Aku ini pernah kerja di hotel, ngertilah kayak gimana kerjaan di sana."

Habis rasanya napasku berbicara tanpa rem, tapi Mas Dewa tak terpengaruh. Dia masih saja tetap memelukku erat dan sibuk menggigit-gigit kecil telingaku.

"Jawab, Mas!" Kali ini aku membentak. Geram sekali melihat sikapnya.

"Maaf, Sayang. Tadi dinner sama teman-teman terus lanjut ke Sky," ucapnya santai sambil memandangku.

"Kamu ke Sky?" Dia mengangguk, cepat tubuhnya kudorong. Pantas aja ada aroma alkohol. "Gila kamu, Mas! Pergi ke tempat gituan sama teman-teman doang. Kalau kamu digodain cewek-cewek nggak benar, gimana?"

Dia menatapku dan tersenyum tipis. Jelas sebenarnya laki-laki itu tahu aku tak suka dengan apa yang dilakukannya. Pergi ke diskotik tanpa wanita di sisinya adalah hal yang riskan. Siapa yang tak kenal kehidupan malam? Godaan bertebaran di mana-mana. Terlebih lagi rupa Mas Dewa cukup menawan.

Dunia malam itu tak pernah bisa dia lupakan, padahal sudah sering aku melarangnya pergi ke sana. Apa yang bisa didapat dari alkohol? Uang habis, kenyang pun tidak.

Aku kesal dan cemburu!

"Jangan marah, Sayang. Maaf, ya." Dia kembali mendekat. Wajahnya memelas, seperti kelinci putih. Imut, tapi sayang aku masih merasa dongkol.

"Pergi aja kamu lagi ke sana, Mas. Tidur aja di Sky, nggak usah pulang! Masih jam tiga ini, Sky belum tutup, 'kan? Udah, pergi lagi sana!"

Setelah berucap aku langsung menuju kamar, lalu menutupnya cukup kasar. Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya begitu sesak.

Bersandar di pintu sambil memegangi dada, tanpa sadar air mata mulai menetes. Aku merasa tak dianggap sekarang. Pekerjaan dan teman-teman adalah prioritas Mas Dewa saat ini. Apa sesusah itu untuk menjadikanku ada di sampingnya saat waktu santai?

Luruh sudah sekarang tubuhku ke lantai, sementara laki-laki itu terus memohon agar pintu kamar kubuka.

"Malam ini kamu tidur di kamar tamu, Mas!" ucapku tegas.

"Yah, jangan dong, Sayang. Kamu kan udah dandan cantik gitu, masa aku cuekin?"

"Bodo amat, Mas! Siapa suruh kamu suka banget ngacangin aku. Ntar ada orang lain yang ngasi perhatian ke aku baru tahu rasa kamu, Mas!"

Deg!

Ngomong apa aku ini barusan? Duh, Anty, dodol!

"Mana bisa kamu pindah ke lain hati. Yang kamu sayang kan cuma aku," jawabnya sambil tertawa kecil.

Laki-laki ini bukannya berusaha agar aku tak marah lagi, tapi malah meledek. Percaya diri sekali juga tadi dia mengatakannya. Awas kamu, Mas!

"Kamu tidur di kamar tamu pokoknya! Aku nggak mau sama kamu!"

Aku lalu bangkit sambil mengusap-usap air mata. Lemah sekali kamu, Anty! Belum dua puluh empat jam, tapi sudah menangis dua kali. Ckckck!

Hendak berbaring di ranjang, tapi merasa penasaran. Kenapa Mas Dewa tidak menjawab ucapanku tadi, ya?

"Mas ...."

Dih, payah kamu, Anty! Nggak bisa nahan diri.

Tubuh kembali merapat ke pintu. Mencoba mendengarkan suara dari luar sana, tapi sunyi. Jangan-jangan dia beneran pergi lagi? Eh, tapi kan nggak kedengaran suara mobilnya.

"Mas ...."

Sudah cukup, aku penasaran! Pintu lalu kubuka dan mendapati keadaan rumah gelap gulita. Tidak ada satu pun lampu yang menyala. Seketika bulu kuduk berdiri. Pikiran buruk mulai berdatangan.

Bagaimana jika ada pencuri tadi di sini? Terus suamiku ternyata diculik. Dih, Anty! Pikiranmu itu nggak banget!

"Mas Dewaaa! Aku takut!"

Pelan aku melangkah, meraba-raba tembok untuk mencari saklar. Jantung mulai berdetak tak karuan. Pengen nangis lagi rasanya. Hiks!

Masih tak henti meraba-raba tembok, perkiraanku saklar ruang tamu sudah dekat. Namun, tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang. Wajahnya berpangku pada bahu ini.

"Aaaaa!"

Reflek aku berteriak, tapi langsung terdiam saat menyadari lengan siapa yang sedang melingkar di pinggang ini. Ketakutan yang tadi mendera, kini sirna ketika kucium aroma tubuhnya yang menenangkan. Mataku terpejam, terbuai kenikmatan dari sentuhan Mas Dewa.

Nyatanya, saat ada yang mengatakan tak butuh seseorang, tapi itu adalah kebalikannya. Ya, itulah yang baru kupahami. Ternyata sedikit pun aku tak bisa menjauh dari Mas Dewa. Wanita ... oh ... wanita. Lain di mulut, lain juga di hati.

"Mas ...."

Lemah panggilanku menahan sesuatu yang kian bergejolak dalam diri.

"Kamu cantik pakai gaun malam ini. Selamat ulang tahun, Sayang," bisiknya. Mataku melebar sempurna. Hari ini? Ya ampun, aku bahkan lupa.

Dia membalik tubuhku. Kami berhadapan, tapi tak tampak wajahnya, karena keadaan masih gelap. Lampu kamar pun mati, entah kapan dia  melakukannya tanpa kusadari. Lalu muncullah cahaya cukup terang dari ponselnya, senter. Jiah!

"Kamu ingat hari ini, Mas?"

"Pegang ini sebentar," suruhnya sambil menyerahkan ponsel itu. Lalu tangannya merogoh saku celana jeans pendek yang sedang dikenakan. Mungkin Mas Dewa ngilang itu mandi di kamar mandi dekat dapur, karena badannya juga udah wangi.

"Aku lembur untuk ini, Sayang," ucap laki-laki bersuara seksi itu sambil memperlihatkan sesuatu di tangannya. Mata seketika berbinar indah mendapati gelang yang selama ini jadi incaranku.

"Mas, ini serius?" tanyaku tak percaya.

Tanpa malu, aku langsung berjinjit dan melingkarkan tangan di lehernya. Kami berpelukan, juga sama-sama tersenyum.

"Sini, aku pakein." Sesaat pelukan terlepas, lalu kembali lagi.

"Makasih, Mas ...."

"Sama-sama, Sayang."

Kini kesal itu sudah hilang total!  Hanya ada bunga-bunga yang sedang bermekaran di hati. Melihat laki-laki yang kini mengenakan kaus hitam polos tersenyum, begitu damai. Terlebih lagi pelukan hangatnya. Ah ....

Tanpa berbicara apa pun, Mas Dewa mengangkat tubuhku. Ala-ala gendongan pengantin baru. Aku jadi malu-malu, sementara dia tetap pasang gaya cool dengan senyum tipisnya. Namun, saat hendak menuju kamar, seseorang mengetuk pintu rumah.

Sekarang sekitar jam empat dini hari, siapa yang bertamu jam segini? Dahiku berkerut, begitu pun Mas Dewa. Dia lalu menurunkan tubuhku dan menghidupkan lampu ruang tamu.

"Sebentar, Sayang, aku lihat dulu siapa yang datang." Dia mengecup keningku, lalu melangkah. Aku mengikutinya dan tetap ada di belakang.

Ketukan itu terus terdengar dan saat Mas Dewa membuka pintu, terlihat seseorang berdiri tepat di depannya. Jantungku kini rasanya mau copot. Dada tiba-tiba sesak, berharap penglihatan ini salah seperti kejadian foto itu.

"Siapa, ya?" tanya Mas Dewa.

Ya Tuhan ... itu Rayendra! Mau apa dia ke sini jam segini?

Rayendra memandangku, tersenyum sebentar lalu berkata, "Maaf, Pak, saya mau numpang toilet. Perut saya sakit banget."

Gubrak!

Rayendraaa! Apa-apaan ini? Kamu cari mati! Ampun, deh!

Satu hal lagi, apa pikiran brondong itu melihatku memakai lingerie begini? Aaaa!

Tbc

Mau baca sampai ending? Bisa beli versi cetak atau ebooknya.♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro