D D M [16]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



***

Bangun pagi semuanya berantakan. Acara ulang tahun semalam benar-benar melelahkan. Aku terbangun melihat keempat sahabatku yang tepar di lantai kamar. Semuanya mangap, yang kutakutkan rahang mereka bisa lepas. Avita dan Dian mulutnya berbusa penuh liur seperti keracunan makanan kedaluwarsa. Aku mengusap kasar mulutku, ya ampun! Mulutku ikut berbusa, sejak kapan? Jangan hujat diriku pasti ini karena kecapaian. Ngomong-ngomong apa yang terjadi semalam selain ulang tahunku. Apa semalam aku bermimpi kalau Axelsen dan Adnan bertengkar?

Aku melompat dari kasur sebab air liur yang mengering di pipi benar-benar tak nyaman, seperti memakai masker pengangkat komedo, kaku banget. Aku ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Kutatap sebuah cermin, kalau dilihat-lihat belekku kok gede banget. Pantes saja mataku terasa sakit. Setelah keluar dari kamar mandi, tak ada satupun sahabatku yang bangun. Mereka tidak lupa bangun kan? Padahal aku berdoa mantan yang mengalaminya. Aku berteriak sekeras yang kubisa, tapi mereka tetap tak bergeser sedikitpun. Tak ada cara lain, selain jurus ampuh wasiat nenekku. Aku berlari turun ke dapur mengambil semangkuk garam dan juga belanga besar, lalu kembali ke kamar. Ku isi mulut mereka dengan masing-masing mendapatkan empat butir garam. Saatnya beraksi!

Aku melempar belanga tepat di tengah mereka. Ajaibnya mereka semua terbangun diikuti dengan ekspresi yang sangat lucu dan aneh. Memejamkan mata, muntah-muntah, mengosok lidahnya, dan menatapku dengan tajam. Kenapa harus garam? Sebab indra perasanya pasti langsung merespon dan buat mata jadi melek untuk saja bukan cabai. Ayolah aku tak sejahat itu.

"Ghita!" teriak mereka hampir bersamaan. Aku segera berlari dari hadapan mereka. Hingga aku tergelincir menginjak keset. Seketika aku langsung mengingat karma dari perbuatanku sebelumnya. Cepat banget aku kena karmanya.

***

Siang menjelang sore, di rumah sangat membosankan. Seperti bertemankan sepi. Keempat sahabatku sudah pulang sejak kubangunkan tadi. Mereka pulang dengan sedikit menggerutu. Aku duduk sambil menopang dagu di teras rumah. Sesekali melihat ke arah Mas Joko yang ketiaknya beruban. Kok aku malah memerhatikan itu. Ibu datang membawa jus ke depanku.

"Ahh, Ibu tahu aja kalau aku lagi haus," ucapku sambil meraih gelas namun segera ditepis Ibu. "Loh?" tanyaku.

"Siapa bilang ini punyamu. Kalau mau, sana ambil di kulkas!" Ibu mulai meminum jusnya.

"Kok pake nampan segala?" tanyaku lagi.

"Masih mending nampan daripada mantan," jawab Ibu.

Aku langsung mendelik geli mendengar kata mantan. Sepertinya ada saraf yang akan terjepit mendengar kata mantan dari mulut orang lain. Mantan yang merupakan kenangan pahit sekaligus pelajaran hidup yang menjengkelkan.

"Ibu mah!" Mood-ku langsung berubah jadi kesal.

Ibu cekikikan lalu meminum kembali jusnya di hadapanku. Setelah itu Ibu menawariku ampas jus yang bikin aku mual.

"Eh, Ibu mau nanya. Kamu udah punya pilihan nggak?"

"Pilihan? Kan belum pilpres, Bu!" Aku kebingungan dan malah dihadiahi Ibu dengan jitakan andalannya. "Ibu ngapain sih, sakit tahu!" Aku meringis memegang dahi. Bagaimana tak meringis Ibu menjitak tepat dijerawat mungilku. Kalian pasti tahu rasanya. Mataku saja sampai berkaca-kaca.

"Abisnya otak kamu lemot!" ucap Ibu.

"Keturunan dari Ibu," jawabku. Kali ini aku berhasil menghindari jitakan Ibu.

"Ahh sudahlah! Ibu mau nanya, kamu pilih Axelsen atau Adnan? Soalnya kemarin malam mereka ngebet minta jawaban dari kamu Nak!"

"Loh? Kok aku nggak ingat?" Aku memutar ingatan di kepalaku tapi tak satupun yang kuingat.

"Gimana mau ingat, semalam kamu ketiduran di sofa."

"Terus yang gendong aku ke kamar siapa?"

"Ayahmu lah, ya kali Ibu," ucap Ibu. Kemudian berdiri meninggalkanku dilembah kebingungan yang terasa semakin curam.

Ibu datang hanya ingin bahas hal tersebut. Jujur aku benar-benar bingung memilih di antara mereka. Sudah kukatakan Axelsen dan Adnan punya porsi yang berbeda dalam hal rasa. Mereka tak bisa disamakan begitu saja. Jika aku memilih Adnan maka akan ada yang terluka begitu sebaliknya. Giliran udah ada yang suka eh malah pusing milih siapa. Yang terpenting mantan tak termasuk di dalamnya. Mantan pantasnya berada di garis hitam yang kelam. Lalu, secara cepat kita tenggelamkan. Rasanya aku akan aman.

"Ghita! Kamu mau nikah ya? Sama aku yok!" teriak seorang pria dengan kulit gelap di luar pagar rumahku. Aku melotot tak percaya. Lagi-lagi orang yang muncul adalah mantan sepertinya setiap aku membahas atau menyebut mantan maka itu akan memanggil roh mereka yang sakral. Tapi, bagaimana tak mau disebut, jika mereka dibiarkan berkeliaran bebas di negara. Pria itu Rafka, mantan dengan lubang hidung yang mirip gorong-gorong yang biasanya dipakai buat sumur. Ngeri akan dirasakan jika berada di sampingnya soalnya dia seperti tidak mau berbagi oksigen dengan tampilan hidungnya. Aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Kayaknya aku harus pindah rumah. Dan sepertinya cuma angan, karena Ayah dan ibuku pasti langsung menolak.

***

Tak ada kegiatan memang membosankan, ada kegiatan malah melelahkan. Terus mau buat apa?

Sekarang aku dan Ibu ada di ruang tengah. Ayah sibuk membersihkan celananya. Widia entah ke mana. Makin hari tuh bocah hilang melulu. Patut dicurigai.

"Ibu! Menurut Ibu, aku terima Axelsen atau Adnan?" tanyaku pada Ibu yang sedang lewat di depanku.

"Yah kalau Ibu sih ... Eh, tunggu, kan situ yang mau jalanin hubungan. Kok Ibu yang ditanya?" Ibu menautkan alis dengan ditambah senyum jahil di bibirnya. Ternyata keplin-plananku menurun dari Ibu. Kemarin-kemarin Ibu pengen banget aku dijodohkan dengan Adnan. Sekarang Ibu pura-pura tak tahu.

"Pilihlah seseorang yang paling menggetarkan jiwamu dan juga hatimu. Sinkronkan hati dan pikiranmu. Jangan membuat salah satunya bertindak sendiri. Mereka perlu berjalan bersamaan untuk hal yang sedikit sulit kau tentukan." Setelah mengatakan itu, Ibu pergi meninggalkanku. Baru kali ini aku mendengar prinsip ibuku yang tentunya akan membuatku kepikiran. Apa yang Ibu katakan memang benar. Setidaknya aku harus dapat membedakan mereka berdua. Mana cinta mana obsesi ataupun hanya sebongkah perasaan kagum saja. Aku berlari naik ke kamar. Pikiranku berkecamuk terasa panas di sana.

Dari jendela kamar kutatap empat orang pria yang berdiri tak jauh dari pagar samping rumahku, tepatnya di jalan raya. Mereka menggunakan kaos yang sama. Tulisan di kaosnya sangat jelas, 'Mantan yang tersakiti'. Oh Tuhan ini apa lagi? Aku curiga mereka mengawasiku. Teror! Aku yakin ini teror. Rasanya ingin meledak sekarang juga. Pengen muntah tapi kresek tidak ada. Pokoknya aku sudah yakin ingin menikah. Tinggal memilih di antara Axelsen dan Adnan. Apa aku memilih Adnan saja? Atau, Axelsen? Arghh! Melelahkan. Jika aku sudah memilih, apakah aku terlepas dari mantan atau sebaliknya. Alasan kenapa aku mau menikah hanya karena ingin terlepas dari mantan? Rasanya ada yang salah.

Kuraih ponsel yang sejak pagi aku cas, lupa mencabutnya. Tak ada notifikasi apapun. Daripada hanya berdiam diri aku kayaknya perlu hiburan. Menghirup udara yang segar, walau udara di kota ini jauh dari kata segar. Banyak polusi dan kendaraan yang lumayan padat. Baru saja aku mengenakan sepatu, rasa malas datang menerpaku. Sepertinya aku cukup di rumah saja.

Ponsel tiba-tiba berbunyi membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan singkat dari seseorang.

'Aku di depan rumahmu'

Axelsen

Pikiranku berkecamuk untuk apa Axelsen datang ke rumahku. Aku masih sangat malas untuk berbincang saat ini. Bahkan di rumah sekalipun aku merasa lelah.

***

Jangan lupa vote dan komennya sayang🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro