D D M [3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Percuma katakan tak suka sama mantan. Mereka seperti kura-kura dalam kolam, pura-pura tak paham"

***

Mimpi buruk melanda semalaman. Aku yakin ini karena bertemu dengan pria pendek itu, Doni. Tak berhenti di situ, insomnia ikut menyerang. Hal ini tak biasanya terjadi. Terakhir kali aku mengalaminya hanya karena stress mengurus pengeluaranku yang membengkak. Mantan benar-benar tak baik untuk kesehatan. Mengganggu siklus kenyamanan.

Sekarang aku harus bangun kesiangan. Mengingat ini masih hari kamis. Hari di mana aku harus bangun untuk bekerja. Aku malah memilih mengirim pesan pada bos, kalau aku sedang tak enak badan. Tentu saja bosku langsung percaya, gini-gini aku termasuk pegawai yang teladan. Tak hadir sekali juga tak mengapa.

Dengan langkah malas aku melihat pantulan wajahku di cermin. Begitu memprihatinkan. Kantung mata yang besar juga lingkaran hitam di bawahnya. Beberapa kali aku menguap karena masih mengantuk. Awalnya aku ingin tidur lebih lama tapi perut ini tak bisa diajak kompromi. Berkoar-koar minta diisi. Aku berteriak memanggil Ibu tapi tak kunjung ada jawaban. Entah ke mana ibuku pergi.

Setelah mencuci muka aku turun dari kamar untuk membuat sarapan di bawah. Sarapan di siang hari. Apakah ibuku membuat sarapan? Tentu saja. Hanya saja sarapan pasti dihabiskan Widia dan Ayah. Terbukti saat aku menuju dapur, tak ada makanan yang terhidang di atas meja. Aku memang jarang sarapan di rumah. Bangun pagi langsung pamit pergi kerja. Mungkin ibuku mengira kalau aku pergi bekerja hari ini.

Ayah bekerja di sebuah pabrik roti. Aku tak tahu Ayah bekerja di bagian mana, aku lupa. Yang kutahu Ayah selalu berangkat pagi dan pulang sore hari juga libur dihari Ahad. Widia bersekolah tak jauh dari rumah, mungkin sekitar dua ratus meter.

Aku hanya memasak nasi goreng juga telur ceplok, kurasa sudah cukup untuk memulai aktifitas hari ini. Baru saja pantatku mendarat di kursi, sebuah ketukan membuatku kembali berdiri. Siapa pun yang datang, dia berhasil membuatku kesal sebelum mengisi perut.

Tok tok tok

"Iya, bentar," jawabku sambil berjalan ke arah pintu.

Kutarik kenop pintu dengan kesal. Di balik pintu ada seorang pria yang membelakangiku. Tubuhnya tinggi juga rambutnya yang sedikit gondrong. Wangi tubuhnya sangat tajam. Aku yakin dia menggunakan parfum ke tubuhnya. Atau mandi parfum sekalian saking banyaknya. Aku menutup hidung, jujur wangi parfum yang terlalu tajam membuatku sulit bernapas.

Pria itu berbalik, membuatku menelan kasar air liur. Melotot ke arahnya, dia hanya cengar-cengir tak jelas. Aku kenal betul orang ini. Pahatan wajahnya juga bentuk bibirnya yang tebal. Dia adalah, Sarwan, mantan pacarku ke sekian.

"Ghit..."

Bruak.

Langsung kututup pintu dengan keras. Tak peduli jika dia sedang terjungkal di luar sana. Aku mengatur napas yang mulai memburu. Mengapa dia bisa di sini? Seharusnya dia sudah lupa dengan rumahku.

"Ghita! Pintunya jangan ditutup dong!" pintanya sambil menggedor pintu.

Kemarin Doni, sekarang Sarwan. Besok siapa lagi? Aku mengigit-gigit jari. Ketemu Sarwan sama seperti menonton film horor. Sangat menyeramkan. Aku akhirnya tahu kalau bukan cuma film horor yang membuat merinding ketakutan tapi kenyataan masa lalu bersama mantan.

"Ghita! Keluar dong, aku mau ngomong sesuatu," dia terbatuk- batuk, "sebentar aja kok," lanjutnya.

"Aku lagi sendirian di rumah. Kata ibuku, tak boleh membiarkan orang asing masuk."

"Orang asing? Aku kan mantanmu," akunya.

"Tetap saja. Kau tak boleh masuk."

Kata mantan itu terngiang-ngiang di telingaku. Berputar-putar di kepala. Rasanya aku mual mendengar satu kata itu. Mantan sepertinya membuat maagku kambuh.

Beberapa saat kemudian, suaranya tak terdengar lagi. Kusibak tirai jendela untuk melihat apakah Sarwan masih ada di luar sana. Aku bernapas lega, saat tahu dia sudah pergi. Kulihat pagar rumah masih terkunci. Apakah Sarwan memanjat pagar rumahku? Kalau iya, dia benar-benar nekad. Lain kali aku akan taruh anjing pelacak di depan rumah.

Perutku mulai berkoar lagi. Sebelum ke dapur ekor mataku sempat melihat sebuah kertas di dekat pintu. Aku kemudian tunduk dan mengambilnya. Lagi-lagi aku harus bergidik ngeri saat melihat tulisan di kertas itu.

"Aku akan kembali, Tunggu saja"

Ternyata Sarwan meninggalkan secarik kertas. Aku langsung menyobeknya lalu melempar ke sembarang arah. Berlari sambil mengacak-ngacak rambut. Kalau begini aku bisa stres dan cepat tua atau bahkan bisa mati muda. Aku tak mau ini terjadi. Aku harus meminta pendapat teman-temanku.

Melihat hidangan makanan yang kusiapkan tadi, entah kemana rasa laparku. Aku seperti tidak berselera lagi. Aku duduk dan memaksa sesuap demi sesuap nasi masuk ke dalam mulut. Bagaimanapun aku perlu energi.

"Mas Joko kenapa sih!" Kudengar suara Ibu yang sedang kesal. Dia berjalan menuju ke arahku sambil menenteng sangkar burung.

"Lah, Ibu dari mana?" tanyaku.

"Dari rumah Mas Joko. Eh, kamu nggak kerja?"

"Nggak, Bu, lagi capek."

"Bukannya kerja emang selalu capek?"

"Lupakan saja. Hmm ... Ibu ngapain ke rumah Mas Joko?" tanyaku sambil masih menguyah nasi goreng.

"Ibu mau gantiin burung yang dibunuh ayahmu. Tapi-"

Kulihat Ibu berpikir keras.

"Tapi kenapa Bu?"

"Mas Joko nggak mau ngambil burung yang Ibu kasih." ucap Ibu sambil mengangkat sangkar yang dia pegang.

Langsung saja aku tertawa terbahak-bahak. Sampai-sampai air mataku ikut keluar. Ibu menatapku dengan wajah keheranan. Anak kecil saja tahu kalau yang Ibu bawa itu anak ayam bukan burung. Jelas saja Mas Joko menolak.

"Itu kan ayam, Bu," sambil kuatur ritme ketawaku.

"Emangnya beda ya?"

"Jelas saja, Ibu gimana sih."

"Oalah, pantes aja Mas Joko langsung ngusir Ibu," ucap Ibu sambil menatap lurus ke depan.

Aku hanya mengeleng-gelengkan kepala. Kelakuan Ibu membuatku sedikit melupakan kejadian tadi. Keluarga memang obat terbaik dalam hidup.

***

Menjelang sore, aku keluar rumah. Ada janji dengan teman-teman masa SMA. Hanya teman se-gengku saja, Famous. Aku bersyukur persahabatan kami masih terjalin sampai sekarang. Persahabatan yang didominasi teman-teman yang kelakuannya minta ampun. Tertawa keras dan berkelakuan aneh tanpa memedulikan orang di sekitarnya. Kami hanya berjumlah lima orang; ada Reski, Avita, Desi, Dian, dan aku. Kami akan berkumpul di tempat kesukaan kami. Bukan cafe ataupun mall, hanya sebuah warung makan pinggir jalan yang menjual cotto dengan rasa yang enak sekali.

Sampainya di sana, aku hanya melihat ada Reski dan Dian saja.

"Ghita!" Sapa Reski sambil melambaikan tangannya.

"Jangan terlalu tinggi ngangkat tangannya. Lalat pada rebutan ketekmu. Hahahah!" ledek Dian yang tertawa sambil memukul-mukul meja. Reski yang diejek malah ikut tertawa.

Ibu Wati, pemilik warung, sudah tahu kelakuan kami. Jadi, dia tak pernah kaget lagi. Katanya kalau ada kami jadi ramai dan Ibu Wati suka dengan itu.

"Desi dan Avita ke mana?" tanyaku sambil menarik kursi plastik di depan mereka.

"Avita lagi ketemuan sama cowoknya dan Desi ... nggak jadi ke sini. Katanya sih lagi nyiapin sesuatu," jawab Reski.

"Sesuatu apa?"

Reski mengangkat bahunya disusul dengan Dian yang artinya mereka berdua tak tahu apa-apa. Disaat sedang asik-asiknya mengobrol. Mataku menangkap seseorang yang tengah duduk lurus denganku. Dia menggunakan kaca mata hitam juga setelan baju yang berwarna sama. Aku pura-pura tak perduli. Tapi semakin aku tak peduli. Maka semakin besar rasa penasaran. Aku tak tahu matanya menatapku atau yang lain, yang kutahu kepalanya mengarah padaku. Setelah kulihat-kulihat dia tersenyum, lalu membuka kaca matanya.

"Ardi."

Mulutku refleks mengucapkan namanya.

"Ardi? Ardi siapa?" tanya Reski.

"Peninggalan sejarah," jawabku.

"Hah?" ucap Reski dan Dian secara bersamaan.

"Mantan." Aku seperti tersedak mengucapkannya,"Kita harus pulang," putusku.

Belum sempat mereka berdua protes, aku langsung menarik tangan mereka. Ardi menyeringai membuat lututku bergetar. Reski dan Dian tak melakukan perlawanan, mereka hanya menatap satu sama lain. Aku harap Ardi tak mengikuti kami. Apa yang telah kulakukan? Sehingga aku diposisi seperti ini. Ardi itu mantanku yang paling agresif. Mengingat dia pernah memaksakan ciuman padaku. Syukur saja aku bisa lepas dari dia saat itu dan memutuskannya keesokan hari.

Kami pulang menggunakan mobil Reski. Dia satu-satunya yang punya mobil di antara kami. Mereka sempat bertanya aku kenapa. Tapi aku hanya diam. Membuat mereka ikut diam. Mereka mengantarku pulang ke rumah.

"Lain kali aku cerita," ucapku sambil keluar dari mobil. Mereka berdua hanya mengangguk. Aku berjalan seperti zombie.

Ketenangan serasa menjauh. Apa aku harus hibernasi?

***

Voment ya^^ Sarannya juga penting

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro