D D M [9]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

"Mantan sebuah kesuraman yang harus dilenyapkan betul kan kawan?"


***

Adnan hanya mengantarku sampai depan rumah. Dia tak mau singgah. Katanya ada sesi pemotretan untuk endorse yang akan dia promosikan di-instagram. Dia tak mau bilang endorse apa? Mungkin celana dalam atau pembalut, eh? Entahlah. Biar aku lihat postingannya nanti. Siapa tahu beneran celana dalam. Loh, kok aku malah memikirkan itu? Pasti karena kejadian bersama Axelsen aku mulai berpikiran mesum. Aghh, tidak! Menggeleng kuat untuk menghilangkan pikiran anehku.

Niatnya mau cepat masuk, pagar malah terkunci dari dalam.

"Ibu! Pagarnya kekunci!" Tak ada jawaban. Ibu ke mana ya? Daripada menunggu lama badan sudah lengket. Ketiak mulai berdecit karena basah. Mungkin jika kugerakkan dengan keras akan timbul bunyi kecipak kecipok. Untung saja Adnan tak melihat dan merasakannya walau aku sempat memeluk dia.

Bughh

Aku melempar tas ke dalam. Mengangkat celana sampai lutut. Lengan baju ingin kunaikkan juga. Tapi, mengingat bau yang akan ditimbulkan pasti aku tak akan kuat. Mending begini saja. Memegang kuat besi pagar, lalu mulai memanjatnya. Terasa sangat mudah dan tak ada hambatan. Sampai di atas aku siap melompat.

"Super girl!" teriakku."Yuhuu!"

Aku sudah melompat, tapi kenapa kakiku belum rapat juga ke tanah? Malah melayang-layang. Kugoyangkan tubuh sekuat tenaga. Tapi, kaki tak kunjung menyentuh tanah. Aku kenapa? Berbalik ke belakang dan bajuku tersangkut! Aku benar-benar sial. Bajuku sobek.

"Ibu!"

Suara berlari terdengar jelas menuju ke arahku. Bukan Ibu yang muncul tapi Widia.

"Kakak ngapain? Mau bunuh diri ya? Kenapa nggak di pohon mangga Mas Joko, lebih tinggi dan lebih kuat!" saran Widia.

"Udah jangan banyak bacot! Tolongin Kakak turun. Cepetan! Jangan sampai orang lewat lihat belakang kakak yang putih menggoda," ocehku.

"Gimana ya?" ucap Widia dengan wajah liciknya. Wahai Sang Pencipta, kenapa kau mengirim adik yang perhitungan padaku. Tak lain dan tak bukan pasti dia akan meminta kuota. Lagi, lagi, dan lagi. Kelamaan di sini aku berasa dijemur, sebentar lagi aku akan menjadi ikan kering. Widia masuk ke dalam rumah dan kembali membawa sebuah gunting besar.

"Kamu mau ngapain?" Kutatap horor wajah Widia yang mulai terlihat seperti psikolog eh, psikopat.

"Guntingin baju Kakak lah. Emangnya Kakak mau ngegantung kayak gitu?" Widia mulai menggunting bajuku."Iih! Kok keras ya?" Dia mengeluh.

"Aww!" ringisku saat kaki sudah berpijak. Mataku membulat sempurna.

"Nah, beres! Nggak usah alay, deh! Cuma baju diskonan, juga. Palingan Kakak belinya di toko tempat Kakak bekerja," ucap Widia.

"Bukan masalah bajunya bego! BH-ku kena gunting. Jadi putus, nih!" Aku menjitak kepala Widia. Tak ada ekspresi sama sekali. Apa, kurang sakit?

"Kalau itunya kecil, tidak di BH-in juga nggak apa-apa." Kujitak kepalanya dengan dua tangan. Lalu, berlari ke dalam rumah. Tuh, bocah tidak sekolah, ya?

"Kakak! Awas ya, aku balas! Nggak ada syukurnya juga udah aku tolongin. Arggh!"

Siapa suruh dia meledekku. Perkataan Widia itu tak benar. Menurutku yang kupunya sudah lumayan. Sesekali aku tertawa mendengar Widia yang masih mengoceh. Aku menuju kamar untuk segera mandi dan berganti pakaian. Eh, ibuku ke mana ya?

***


Semua sudah berada di ruang tamu setelah makan malam. Ibu yang menyuruh kami kumpul. Bahkan ponsel Widia, Ibu ambil. Hatiku senang melihat wajah cemberut adikku. Akhirnya terbalaskan walau dengan perantara Ibu.

"Sebenarnya Ibu ngumpulin kita mau ngapain? Main monopoli ya?" Aku yang pertama kali berbicara, memecah kesunyian yang tercipta beberapa menit lalu. Mereka semua menatapku. "Kalian semua tampak menyeramkan. Jangan tatap aku seperti itu!"

"Nggak mungkin main monopoli lah, Kak!" serobot Widia.

"Terus?" tanyaku.

"Catur! Hahah."

Candaan yang sangat garing. Kali ini Widia yang kami tatap secara bersamaan. Dia menelan ludah. Kemudian cengengesan tak jelas.

"Kembali ke topik, kita ngumpul karena apa? Sampai-sampai menyita ponselku!" ucap Widia setelah beberapa menit kami tatap.
Ibu beralih melihatku tanpa ekspresi. Ada yang tidak beres nih.

"Ayah saja yang bilang," ucap Ibu menepuk paha kanan Ayah.

"Ibu saja." Ayah juga menepuk paha Ibu.

"Ayah saja."

"Ibu saja."

"Ayah saja!"

Plak!

Ibu mengakhiri pukulan keras di paha Ayah lalu melotot. Ayah meringis sambil memegang pahanya. Aku dan Widia tertawa keras melihat Ayah yang tersenyum kesakitan?

"Sakit," bisik Ayah yang masih dapat kami dengar. Aku yakin paha Ayah pasti memerah.

"Gini, Ayah, mau ngomong."

"Ayah, kan, udah ngomong!" Widia menyahut.

"Diam!" Ibu menyumpal mulut Widia dengan kemoceng yang memang tersedia tak jauh dari jangkauan Ibu. Setelah itu Widia duduk cemberut. Aku tertawa dalam hati. Takut Ibu juga menyumpal mulutku.

"Sebenarnya ... Ayah dan Ibu ... ada rencana terselubung," ucap Ayah dengan serius.

"Ayah mau nikah lagi?" Widia berulah. Membuat Ibu jadi geram. Hanya tatapan tajam Ibu yang di arahkan ke Widia. Kalau aku yang mengartikan tatapan Ibu pasti dia berucap 'Akan kujual ponselmu'.

"Lanjutin, Yah," cicit Widia sambil memeluk lututnya.

"Oke, kemarin kami datangin Adnan karena kami ..." Ayah berhenti.

"Kami apa?" Aku mendekatkan diri pada Ayah.

"Kami ..."

Dua menit kemudian.

"Arghh! Ayah kelamaan! Gini, Ayah dan Ibu ada rencana mau jodohin kamu dengan Adnan!" ucap Ibu dengan gemas karena Ayah tak kunjung menyelesaikan kalimatnya.

"Loh, kok Ibu yang ngomong?" tanya Ayah.

"Shit up!" Ibu memelintir mulut Ayah
.
"Bukannya shut up, ya, Bu?" ucap Widia memperbaiki.

"Plesetan!" Ibu mengelak.

"Tunggu! Ibu bilang apa tadi? Perjodohan?"

Ayah dan Ibu manggut-manggut.
"Oke, aku tahu Adnan tampan. Tapi bukan berarti aku langsung mau saat Ibu bilang dijodohkan!"

"Jangan jual mahal deh, Kak!" Ibu langsung menjitak kepala Widia. "Kok, aku malah tersiksa," ucap Widia mendrama. Begini jadinya kalau ponsel Widia disita. Pasti sifat cerewetnya muncul seketika. Dia juga cuek tapi kadang juga tidak. Sangat berubah-ubah. Khas anak remaja.

"Ayah setuju. Kalian berdua, jalani saja dulu. Gimana, Bu?" ucap Ayah meminta persetujuan Ibu dengan sedikit menaikkan alisnya.

"Hmm ... iya deh. Padahal Ibu udah pengen menimang cucu!" Ibu mulai mendrama.

"Astaga, Bu! Sudah kepikiran sampai sana." Aku menatap Ibu tak percaya. Ibu sengaja menampakkan wajah kasihan. Seolah-olah aku yang salah di sini. Ayah langsung berdiri ke kamar saat melihatku ingin bertanya padanya. "Widia saja yang Ibu jodohkan."

"Aku? Mau jadi apa Pak Takdir tanpaku." Widia menutup mulut. Sepertinya dia keceplosan.

"Pak Takdir?"

Seingatku Pak Takdir adalah guru olahraga di SMA Widia. Aku juga tahu berhubung aku juga sekolah di SMA yang sama dengan Widia. Memang guru itu masih single. Tapi dia sudah berumur. Mungkin sekitar 30 tahun ke atas. Hanya saja wajahnya memang tampak awet muda.

"Kamu pacaran sama Pak Takdir?" tanya Ibu.

Widia langsung menggeleng. Sepertinya ini menjadi keuntungan untuk mengalihkan pembicaraan ke arah Widia yang mulai terpojok.

"Mencurigakan," ucapku menambah-nambah rasa curiga Ibu.

"Kak Ghita jangan provokasi dong!"

"Tadi pulang cepat ya?" tanyaku mengintrogasi.

"Iya emang kenapa?"

"Yah, aku sih, curiga kalau Pak Takdir yang mengantarmu pulang."

"Emang iya!" Widia keceplosan lagi. Aku tertawa melihatnya. Apalagi saat Ibu mulai menatapnya terus-menerus tanpa berpaling. Rasain tuh! Karma adik yang perhitungan.

"Jangan berpikir macam-macam, Bu! Swear deh, aku nggak ada apa-apa!" ucap Widia sambil membentuk dua jari di tangannya.

"Masih mencurigakan," ucapku diselingi tawa.

"Masuk ke kamar sekarang. Ibu bakal kurangin uang jajan kamu. Masih kecil sukanya sama yang tua."

"Tapi, Bu."

Aku langsung memotret wajah memelas Widia. Tampaknya dia pasrah.

"Tapi apa?"

"Ponselku mana, Bu?"

"Ponselmu ada di toples Kenzo."

"Apa!" Widia menganga.

"Pftttt, hahahah!"

Kalian tahu Kenzo itu siapa? Dia adalah ikan cupang berwarna merah, peliharaan ayah. Otomatis ponsel Widia basah jika Ibu benar-benar memasukkannya.

"Ponselku. Huaaaa!" Widia mulai menangis.

"Bercanda," ucap Ibu yang tertawa disusul aku yang memegang perut yang mulai terasa keram karena tertawa. Ibuku memang begini. Selalu bercanda di sela-sela marahnya.

"Jadi gimana Ghit, selanjutnya. Hmm?"

Aku rasa topik mulai beralih padaku. Dengan pura-pura aku mulai menguap.

"Aku capek, Bu. Mau bobo dulu. Dah Ibu." Aku mengecup pipi Ibu. Lalu, segera naik tangga untuk masuk ke kamar.

"Aku juga, Bu," ucap Widia.

"Loh?" Kurasa Ibu juga akan segera masuk ke kamar.

Aku memang sering memuji Adnan. Tapi, kalau dibilang cinta kurasa belum juga. Lagi pula Axelsen ... astaga Axelsen! Besok aku harus ketemu dia! Tuh kan, kejadian tadi siang berputar kembali di otak.

***

Jangan pelit vote dan komen bestieeee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro