12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Bang, laper. Saya nggak boleh makan apa pun?” Bongbong berjalan mendekati Jay yang melongo melihatnya dari atas sampai bawah. Tidak ada tanggapan, Bongbong menggoyangkan tangannya di depan wajah Jay.

“I—iya? Ayo berangkat!” ajaknya yang langsung memutar badan meninggalkan Bongbong.

Sampai di pintu, Bongbong masih menggerutu lantaran tidak diizinkan makan meskipun hanya roti selai tadi. Ia seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen saat pembagian permen oleh gurunya.

“Bang, denger nggak, sih? Saya itu laper. Mau makan aja nggak dibolehin sama mbaknya tadi.” Bongbong mengomel sepanjang jalan.

Mereka memasuki lift, dan Jay menekan tombol paling atas, tempat untuk acara dilaksanakan. “Sebentar lagi makan di atas aja!”

Bongbong tidak berselera mendengar kata sebentar lagi dari Jay. Kebanyakan cowok kalau bilang sebentar lagi itu berarti sekitar satu atau dua jam lagi. Sedangkan Bongbong sudah lapar sejak tadi pagi. Ia belum sarapan juga makan siang, sekarang sudah waktunya untuk makan malam.

Yang benar saja. Seperti puasa sehari full karena tidak makan juga minum. Berdoa saja semoga Bongbong tidak pingsan saat mengobrol dengan yang katanya calon mertua Jay nanti.

Sampai di lantai paling  atas, Bongbong melihat sekitar. Suasana begitu meriah, ada live musik juga meskipun hanya musik Jazz. Suara saksofon menggema memenuhi seisi ruangan, juga lampu redup yang berfungsi untuk menghangatkan suasana. Semua sudah diatur sedemikian rupa, agar para tamu nyaman dengan tempat dan juga suasananya.

“Bang, saya boleh makan dulu?” Suaranya pelan, agar tidak terdengar tamu yang lain.

Jay mengancingkan kancing jasnya, dan melihat tamu yang akan ia jumpai, ayahnya. “Ini bukan acara resepsi pernikahan. Tidak ada prasmanan di sini.” Jay menarik tangan Bongbong agar memeluk lengannya, lalu berjalan menuju ayahnya.

“Sudah lama, Dad?” Jay menarik kursi untuk Bongbong. “Malam, Om,” sapanya pada ayah perempuan yang akan dijodohkan dengannya.

“Malam. Sama siapa ini?” Teddy, teman bisnis Jason menyapa Bongbong ramah, mereka bersalaman.

“Saya Bongbong, Om.”

“Calon tunangan Jay, Om,” potongnya. Bongbong langsung melirik Jason yang melotot pada Jay, kemudian melihat Jay yang mantap mengucapkan ucapannya.

Jason berdiri, menarik tangan Jay dengan paksa. “Kenapa, Dad?”

“Ikut daddy sebentar!” Jason melepaskan tangannya. “Saya tinggal sebentar,” pamitnya pada Teddy, ia pun mengangguk.

“Kamu sudah kerja?” tanya Teddy pada Bongbong yang gelisah, memegang perutnya.

“Ah, belum, Om. Masih kuliah semester akhir. Tinggal skripsi.”

“Terus kenal Jay di mana?”

Bongbong tampak gerogi, selalu membenahi tempat duduknya, terlihat tidak nyaman hanya mengobrol berdua dengan Teddy. “Kenal—.”

“Wah, ada Mr. Teddy ternyata.” Seorang teman bisnisnya menyapa, dan Teddy pun berdiri untuk menyapa mereka.

Di sini terlihat, bagaimana Bongbong benar-benar tidak nyaman, tidak kenal siapa pun, dan juga menahan laparnya. Teddy meninggalkan Bongbong sendirian, diajak teman bisnisnya untuk menyapa temannya yang lain. Ia sendirian di sini, dan tidak mengenal siapa pun.

Jay dan Jason tiba, Jay tersenyum pada Bongbong dan meminta maaf karena lama meninggalkan dirinya sendirian. “Om Teddy ke mana?”

“Sudah jelas meninggalkan tunangan pura-puramu karena dia tidak nyaman berada di sebelahnya,” sahut Jason terlihat kesal dengan keberadaan Bongbong.

Jika tidak mengingat uang yang sudah diberikan Jay pada dirinya, ia juga tidak mau berada di tempat para orang tajir di sini. Perjanjian itu membuat Bongbong terikat dengan Jay.

Makanan telah tersaji, dan Teddy belum juga kembali. Jason melirik pada Bongbong yang makan dengan lahap. “Lain kali kalau mengajak anak orang pastikan dia sudah makan, memalukan,” bisik Jason di telinga Jay.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro