7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bongbong menoleh ke arah Ley, saat dirinya menyebut kata Tiara untuk perempuan yang berdiri di depannya. Ternyata perempuan ini bernama Tiara. Tunggu... apa hubungannya dengan dirinya? Dia menyebutnya sebagai pelakor? Hel to the Looo... dirinya adalah perempuan baik-baik yang masih menjaga norma-norma dalam perpacaran. Salah satu  poin terpentingnya yaitu, dilarang merebut pacar atau suami orang lain, haram baginya.

Melepaskan tangan Bongbong, perempuan itu berjalan ke arah Ley, lalu memeluk lengannya seperti anak kecil yang telah kembali pada induknya. Perempuan berambut sepinggang yang memakai seragam toko roti itu mencebikkan bibirnya sambil menggerutu pelan. “Tadi aja kayak cewek bar-bar, sekarang berlagak jadi Putri Solo.”

“Bebh, kenapa, sih, semobil sama dia? Kamu ninggalin aku di kantor cuma gara-gara dia?” tunjuknya pada Bongbong.

“Maaf, Mbak. Di sini jalan umum, nggak enak kalo mau ribut-ribut. Silakan kalian selesaikan, saya nggak ada urusannya.” Bongbong pamit karena merasa ini bukan urusannya.

“Tunggu! Enak aja main pergi-pergi. Lo di mobil sama cowok gue ada urusan apa?” tanya Tiara dengan nada sedikit meninggi.

Sebenarnya ia akan memaki-maki Tiara jika tidak ingat dirinya ada di depan toko tempatnya bekerja, terlebih di depan lelaki yang membuatnya jatuh hati. Ini jalanan umum, euy. Malu sebagai cewek yang menjunjung tinggi anti bahagia di atas penderitaan orang lain.

Tunggu....

Tadi perempuan itu bilang, dia ceweknya? Berarti mereka pacaran?

Ah... shit...

Keberuntungan tidak berpihak pada Bongbong. Ia tidak mau dirinya merebut kekasih orang lain demi kebahagiaan dirinya sendiri. Ia juga tidak mau merasakan kesenangan di atas penderitaan orang lain. Bongbong hanya ingin bisa menikmati kebahagiaan bersama-sama dengan orang-orang di bumi ini.

Bongbong yang sudah beranjak dari mobil Ley mendadak berhenti. “Tanya aja sama pacar Mbak, kenapa manggil saya ke sini! Udah, ya, Mbak. Kita nggak ada urusan lagi, bye.” Bongbong berjalan menuju toko.

Enak saja Bongbong dibilang sebagai pelakor, tidak tahu saja jika dirinya anti dengan nama itu. Mengenyahkan pikiran itu, kini, Bongbong masuk ke toko meninggalkan mereka yang masih ribut dan beradu mulut di luar. Ia menata kembali roti yang ditinggalkan tadi.

“Enak banget, ya, hidup, lo, Bong. Dikelilingi pria tajir dan ganteng.” Elsa yang sedari tadi di dapur, mengantar roti ke depan menggantikan dirinya yang seharusnya mengambil roti yang telah matang.

“Hah? Enak dari mana, El? Harus mikir biaya skripsi sendiri di saat orang tua nggak mampu ngebiayain. Inget adik-adiknya kalo pengen jajan enak.” Bongbong mengambil alih nampan Elsa setelah selesai menata roti yang di nampannya. “kalo lo mikir hidup gue enak, ya, emang enak karena gue nggak selalu ngeliat ke atas buat bandingin hidup gue sama orang lain. merasa cukup dan bersyukur atas apa yang Tuhan kasih itu udah hal yang luar biasa buat gue.”

Bongbong menaruh roti di rak dan melanjutkan ucapannya. “Dan, buat cowok tajir dan ganteng yang ada di sekeliling gue itu mungkin Tuhan punya rencana lain yang mengharuskan gue ikut andil dalam perjalanan cerita hidup mereka.”

Seseorang yang berada di lingkungan kita, terlebih dekat dengan kita bisa jadi itu adalah rencana Tuhan untuk kita berada di cerita hidup orang tersebut. Bukan semata-mata hanya dekat, melainkan untuk membantu perjalanan cerita hidup mereka.

Bongbong yakin, jika Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk ke depannya yang dibarengi dengan ujian hidup. Karena manusia hidup berdampingan dengan ujian dan nikmat. Keduanya harus sama-sama disyukuri agar kehidupannya berjalan dengan senang.

Elsa memang selalu iri pada Bongbong karena mendapat perlakuan istimewa oleh pemilik toko roti ini. Namun, Bongbong merasa sama saja dengan yang lain.

“Gue ngantuk denger ceramah dari lo,” ketusnya. Elsa berjalan menuju dapur meninggalkan Bongbong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro