Bab 7. Kok Jadi Begini, Sih?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apakah meja itu tidak berpikir kalau cacing-cacing ini berbahaya? Menggigit usus dua belas jari Savana misalnya. "



Savana tidak mau rencananya gagal lagi. Maka dari itu ia mengikuti wanita seksi yang sebenarnya tidak pernah terlibat dalam masalah Savana. Namun hari ini, Savana membuat wanita itu terlibat dalam masalahnya.

Wanita yang menjabat sebagai sekertaris Pak Satya itu, pria yang akan dikenalkan pada Savana, memiliki daya pikat tersendiri. Siska itu cantik, benar-benar cantik. Bahkan lebih cantik dari medusa dua. Tahu, 'kan, siapa medusa dua?

Namun, lain cerita jika Siska dibandingkan dengan dirinya. Jelas Savanalah yang paling cantik. Secara, dia adalah peran utama. Tapi, enggak semua pemeran utama harus cantik, sih. Ada juga pemeran pendamping yang lebih cantik dari pemeran utama. Tergantung kebutuhan karakter.

Terlalu fokus dengan punggung Siska, Savana sampai tidak sadar ada meja kaca di depannya, hingga dengan kurang ajarnya meja itu menubruk tempat tinggal para cacing.

Demi Plankton yang selalu gagal mencuri resep rahasia, rasanya Savana ingin menghajar benda mati yang sudah berani mengusik ketenangan para cacing-cacing di dalam sana. Apakah meja itu tidak berpikir kalau cacing-cacing ini berbahaya? Menggigit usus dua belas jari Savana misalnya. Kan Savana sayang sama ususnya.

"Meja gak tau diri!" Savana masih menggerutu tidak jelas, sebelum akhirnya ia kembali fokus pada objek di hadapannya yang kini sudah masuk ke sebuah ruangan.

Setengah jam berdiri di balik tembok, ponsel yang ada di genggaman Savana bergetar. Kemudian, matanya beralih menatap pintu cokelat itu, sebelum akhirnya ia membuka video yang baru saja dikirimkan oleh Siska.

Demi bra merah yang dibakar Jonas! Savana kaget melihat video yang berdurasi lima menit itu. Siska kurang ajar! Mata Savana ini masih polos, sepolos hatinya. Masa iya, dia ngirimin video mereka berciuman. Kan asem!

Padahal, Savana hanya meminta Siska untuk memuat Pak Satya tidak pergi di saat jam makan siang. Tapi, wanita seksi menggoda iman itu justru memanfaatkan keadaan.

"Terus sekarang mereka ngapain?" Nah, kan, Savana jadi berpikir macam-macam. Dasar Siska!

Tapi, ya sudahlah. Yang penting sekarang, Siska sudah berusaha membuat Pak Satya membatalkan janji dengan mama. Ya, meskipun dengan cara yang tidak pernah terbesit di pikirannya.

Perlahan Savana menarik dua sudut bibir ke atas. Untuk hari ini dewi keberuntungan sedang berbaik hati padanya. Mungkin.

Setelah mengirimkan balasan berupa ucapan terima kasih serta sumpah serapah yang mengiringi karena Siska telah mencemari mata polosnya, gadis yang menggerai rambut panjangnya itu beranjak meninggalkan kantor Siska.

Yang harus Savana lakukan adalah mampir ke kafe Jonas, lalu kembali ke rumah untuk memasak rendang buat mertua tersayang. Itu pun kalau beliau jadi datang. Ah, Savana merasa sedikit lega. Semoga saja, Siska berhasil membuat Pak Satya gagal mengikuti rencana mama.

***
"

Loh, istriku tersayang ngapain ke sini?" Jonas mengerling jahil, lalu pria yang semula anteng di kursinya itu beranjak menghampiri Savana yang berdiri di ambang pintu. "Kamu mau mantap-mantap sama aku?"

Ya salam! Otak Jonas benar-benar harus segera dicuci. Isinya mantap-mantap semua. Kalau tidak, Savana yang akan jadi korban. Hais! Membayangkannya saja membuat Savana merinding. Meskipun status Savana di sini sebagai istri Jonas, tetap saja ia merasa takut kalau hal itu ... akan terjadi.

Ah, sudahlah. Lupakan soal isi kepala Jonas. Sekarang Savana harus melancarkan aksinya. Semoga saja Enyak Hindun enggak marah sama kelakuan anak semata wayangnya yang paling cantik sejagat raya. Begitu kalau kata enyak. Tapi, lain lagi kalau kata Rayyan. Sahabat laknatnya itu tidak pernah mengatakan kalau Savana cantik. Pujian Rayyan selalu mentok pada kata pemalas. Benar-benar sahabat yang terbaik.

"Mas ...." Aduh, Savana bingung mau bilangnya bagaimana.

"Kenapa, Sayang?" Jonas mengamit tangan Savana, lalu mengecupnya lembut membuat jantung Savana berloncat-loncat macam kodok sawah. "Udah ketemu mama?"

Savana menggeleng pelan. "Mama enggak ada di rumah. Makanya aku ke sini mau tanya sama kamu. Mama ke mana, Mas?"

"Loh, bukannya tadi mama bilang ada di rumah." Sejenak Jonas bergeming sebelum akhirnya mengambil ponsel yang berdering panjang di atas meja. "Mama telepon."

"Speaker, Mas," pinta Savana yang langsung disetujui oleh Jonas.

"Halo, Jo." Mama menyapa dari seberang sana.

"Iya, Ma. Ada apa?"

"Mama enggak jadi ke rumah kamu, yah. Orang yang pengen Mama kenalin ke kamu sama Savana enggak bisa datang hari ini." Terdengar nada kecewa dari mama saat beliau mengatakan hal itu. Pun dengan Jonas, pria itu nampak kecewa.

"Ya, kan, Mama bisa ke rumah tanpa orang itu." Jonas mendesah kecewa. "Ya udah, deh, Ma."

Sebenarnya Savana kasihan pada pria itu karena dia tidak jadi bertemu mama tercinta, yang menjelma menjadi medusa jika berhadapan dengan Savana.

"Udah dulu, yah, Jo. Mama mau pergi dulu sama Laura."

"Iya, Ma. Hati-hati." Kemudian, Jonas memutus sambungan teleponnya, lalu beralih memeluk Savana dengan wajah lesunya. "Suka banget mama pergi sama Laura. Heran. Padahal cantikan kamu dari Laura. Baik juga baikan kamu."

Sebenarnya Savana ingin terbahak. Tapi, takut dosa. Jonas ini, walaupun dia gagah perkasa macam gatot kaca, nyatanya dia adalah anak manja yang selalu nempel di ketek mama.

Itu yang Savana takutkan. Tentang Jonas yang sangat menyayangi mama. Ia takut, jika dewi keberuntungan tak memihak, maka rumah tangga mereka akan hancur dan Savana akan bingung harus tinggal di mana. Tidak mungkin, 'kan, orang secantik Savana harus tidur di kolong jembatan? Nanti kalau dikira hantu penunggu jembatan kan berabe.

"Aku emang cantik, Mas." Savana terkekeh. Sikap narsis yang ada di dunianya ternyata tidak bisa ia tinggalkan di sana. "Sebenarnya ... mama gak suka sama aku, Mas."

"Kata siapa?" Jonas segera melepas pelukannya, menatap Savana dengan tatapan kesal. "Mama sayang sama aku, Fan. Mama juga selalu ngeutamain kebahagian anaknya. Jadi, mama gak mungkin gak suka sama orang yang menjadi sumber kebahagian aku."

Sudah Savana duga. Jonas pasti tidak terima dengan pernyataan Savana. Lantas gadis itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. "Kamu enggak nyadar? Mama selalu ngomong ketus kalau sama aku, Mas."

Jonas berdecak. "Udah aku bilang berkali-kali sama kamu, Fan. Jangan pernah masukin ucapan mama ke hati. Mama itu udah tua, Fan. Wajar kalau dia ngomong kayak begitu. Seharusnya, kamu sebagai menantu yang memahami sikap mertua kamu, bukan mama yang memahami kamu."

Kenapa jadi begini?

Sebelumnya—di dalam naskah sebenarnya Jonas tidak pernah semarah ini sebelum kejadian Savana mengatakan kalau mama adalah dalang di balik kecelakaan yang dialami Savana. Lalu ... kenapa sekarang berbeda?

Nah, kan, Savana jadi pusing sendiri. Ah, si dewi ini benar-benar, yah! Kalau nolongin Savana tidak pernah ikhlas. Sukanya setegah-setengah. Heran. Selalu saja ujungnya dia terkena sial.

"Mas ...." Savana memanggil pelan, berharap emosi Jonas segera menyurut.

"Mending kamu pulang. Aku males ngomong sama kamu." Jonas berlalu begitu saja, meninggalkan Savana yang masih mematung. Savana kehabisan kata-kata.

"Apa gue salah ngubah takdir tokoh utama? Tapi, kan dia anak gue! Masa orang yang nyipatain tokoh, nasib, dan segala masalah yang ada enggak boleh ngubah jalan si tokoh?"

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

07.10.2020.

Awalnya sempat bingung karena jujur, outline aku belum kelar😭🤣 plus enggak enak badan. Tapi, setelah dibaca ulang, ternyata aku berhasil ngelarin bab ini🤣🤣🤣

Aku enggak tau bab ini gimana. Entah komedinya dapat atau enggak, aku gak tau. Boleh dong minta pendapat kalean gimana sama bab ini?

Serius, deh. Aku galauuuu banget. Sebenarnya tadi aku sempat ngetik sampai 800 kata lebih, tapi sayang hasilnya jelek banget. Alhasil aku ulang lagi🤣

Dah ah capek.🤣

Buat kalian semua, maaciii udah baca💋

Ze sayang kaleannnn💋💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro