Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjadi seorang sekretaris sama sekali bukan tipe pekerjaan yang Sakia idamkan. Seandainya di perusahaan sebelumnya ia tidak dipaksa oleh atasannya untuk memalsukan data keuangan, barangkali saat ini dirinya masih bertahan. Tawaran pekerjaan dari Indra segera disambut Sakia tanpa banyak bicara. Meskipun bukan tipe pekerjaan sesuai keinginannya, Sakia tetap menerima daripada dia tidak punya kegiatan.

"Kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal, Ki?" Indra menghampiri kubikel Sakia. Menatap prihatin sahabat sekaligus tetangganya itu yang masih memandang jenuh layar komputer di hadapannya.

"Nyantai aja, Ndra. Gampang ntar aku bisa naik ojek," balas Sakia. Matanya melirik ruangan bosnya yang tepat berada di depan kubikelnya.

Sakia tidak mungkin pulang duluan sementara bosnya sedang menerima tamu di dalam ruangannya. Sebagai tangan kanan bos, Sakia harus selalu siap sedia kalau bosnya membutuhkan bantuannya. Padahal ini sudah jam tujuh malam. Sakia jadi sebal. Bertamu kok tidak mengenal waktu.

"Oke, aku duluan. Sabar ya, Ki. Pak Bhaska emang suka gitu. Nerima tamu sekalian meeting sampai malem. Makanya sekretarisnya yang dulu-dulu tuh nggak bertahan lama," bisik Indra disertai kekehan lirih. "Aku heran kok tamunya juga mau-mau saja."

"Lagi usaha aku sabarin, Ndra. Nggak mungkin aku resign lagi dalam waktu dekat. Udah dua kali, bok."

"Aku tahu, Ki. Ya, udah. Aku tinggal, ya." Indra mengacak pucuk kepala Sakia sebelum meninggalkannya.

Sakia mengangguk. Dia menatap punggung Indra hingga pria itu tidak tampak lagi. Menelungkupkan wajah di atas meja, Sakia hampir tertidur kalau tidak ada suara mengetuk telinganya.

"Lembur lagi, Neng?"

Seorang pria berseragam cleaning service dengan tangan kiri memegang sapu, berdiri di dekat kubikelnya. Kulitnya putih pucat, pandangan matanya kosong tanpa ekspresi. Bola mata hitamnya sangat transparan nyaris tak terlihat sama sekali. Pria itu menyebut dirinya Mang Dadang. Mang Dadang selalu menyapa Sakia setiap wanita itu mendekam di balik kubikelnya hingga malam menjelang. Sakia sudah terbiasa sama Mang Dadang walaupun pria itu segera melenyapkan diri setiap Sakia membalas sapaannya.

"Biasa. Nungguin Pak Bhaska, Mang. Lama banget."

"Hati-hati ya, Neng."

Lalu, Mang Dadang berjalan lurus tanpa menoleh ke arah Sakia. Menembus lemari arsip di sudut ruangan sebelah kiri. Sakia melongo. Baru kali ini Mang Dadang membalas ucapannya. Tiba-tiba jantungnya seolah berhenti satu detik. Ah, barangkali Mang Dadang sedang pengin beramah tamah saja. Belum sempat ngobrol banyak. Sakia membangun pikiran positif supaya kejanggalan sikap Mang Dadang tidak menjadi beban pikiran.

Pintu ruangan bosnya terbuka. Sakia langsung berdiri. Dia menganggukkan kepala ketika tamu bosnya tersenyum ke arahnya. Akhirnya Sakia bisa bernapas lega. Tidak sabar pengin cepat pulang ke rumah.

"Sakia, kamu jangan pulang dulu. Habis ini ikut saya sebentar," ujar Bhaskara ketika Sakia tengah merapikan mejanya.

"Ke mana, Pak?"

"Ikut saja. Saya pengin diskusi sama kamu."

Saat Bhaskara melenggang kembali ke dalam ruangannya, Sakia menengok ke sudut kubikelnya. Menatap Rakai yang sejak tadi berdiri di sana mengawasinya. Rakai mengangguk satu kali dan hal itu cukup meyakinkan Sakia bahwa pergi bersama Bhaskara bukanlah perkara yang perlu dikhawatirkan.

"Ayo, Sakia."

"Iya, Pak."

Rasanya canggung sekali duduk bersebelahan di mobil hanya berdua dengan Bhaskara. Baru kali ini Sakia diberi kesempatan semobil berdua dengan bosnya. Di tempat-tempat kerja sebelumnya, jangankan semobil berdua, bertatap muka dengan bosnya saja bisa dihitung jari saking sibuknya. Apalagi Bhaskara adalah pria yang masih available. Jarang banget menemui pimpinan jajaran atas yang kayak begini, kan. Yah, sebenarnya Bhaskara sudah pernah menikah. Namun, sayang sekali cobaan hidup membuatnya harus menduda di usia hampir tiga puluh enam tahun. Padahal pernikahannya baru jalan setahun. Katanya begitu.

Sakia harus menjaga jarak. Meskipun Bhaskara adalah atasannya, dia tidak bisa mempersilakan pria itu singgah di hidupnya selain untuk kepentingan profesional pekerjaan. Sakia sangat membatasi dan berhati-hati terhadap pria yang mendekatinya. Belum ada tanda-tanda, tapi Sakia bisa merasakannya.

Mata Sakia terbelalak ketika mobil Bhaskara memasuki pelataran parkir sebuah restoran Jepang. Sakia memekik tertahan. Dia tidak mampu menyembunyikan keterkejutan membuat Bhaskara menoleh ke arahnya.

"Nggak masalah kalau kita mampir ke sini, kan?" tanya Bhaskara.

"Nggak masalah, Pak. Apa Bapak ada janji sama klien di sini?" Sakia memandang bosnya.

"Nggak ada janji. Saya mau traktir kamu. Maaf sudah bikin kamu pulang telat lagi gara-gara saya. Nggak tahu kenapa saya lebih nyaman berbincang dengan klien selepas jam kerja yang penting mereka bersedia meluangkan waktu diskusi jam segitu."

Sakia terperangah. Apakah sekretaris-sekretaris sebelumnya juga diperlakukan seperti ini oleh Bhaskara? Kalau iya, harusnya mereka bisa bertahan lama karena memiliki atasan sebaik Bhaskara. Ditraktir makan malam, dianterin pulang, jarang marah pula. Bukan memilih mengundurkan diri secepatnya. Atau ... jangan-jangan Bhaskara hanya basa-basi saja untuk membuat Sakia betah bekerja dengannya. Biar turn over karyawan di perusahaan tidak terlalu tinggi.

"Sudah tugas saya membantu Bapak. Senyamannya Bapak saja selama hal itu nggak bertentangan dengan perusahaan," sahut Sakia berusaha mempertahankan nada profesionalnya.

Bibir Bhaskara menerbitkan senyuman lebar. "Terima kasih kamu sudah mengerti saya, Sakia. Ayo, kita turun."

Hanya makan malam di sebuah restoran Jepang biasa, tapi batin Sakia terasa tidak tenang. Tengkuknya mendingin. Dadanya mendadak terasa sesak. Kepala mulai pening, tapi Sakia berjuang menguatkan diri. Sungguh keadaan yang tidak menyenangkan. Sakia sering mengalaminya. Biasanya kalau kayak gini ada energi dari dimensi lain atau dari orang yang berada di restoran ini bertentangan dengan energi miliknya.

"Saya melamar istri saya di restoran ini," kenang Bhaskara.

"Oh ya?" Suara Sakia terdengar lemah. Dia seolah berperang memenangkan pergumulan yang tidak terdeteksi.

"Kamu kenapa, Ki?"

Mengurut keningnya, Sakia berkata dengan nada sedikit bergetar. "Nggak apa-apa. Tadi Bapak bilang pengin diskusi sama saya. Diskusi apa, ya, Pak?"

Mata Bhaskara setengah mengawang. "Sebenarnya saya hanya ingin mengenang kebersamaan dengan mantan istri saya di sini. Di kursi yang tepat kamu duduki itu, mantan istri saya biasa duduk di sana. Di situlah dia mengulurkan tangannya untuk mempersilakan saya menyematkan cincin di jarinya."

Ya ampun. Ini bukan makan malam biasa. Sakia sedang dipergunakan oleh bosnya mengulang kisah cinta masa lalunya sebagai bentuk memorialisasi terhadap mendiang istrinya. Bhaskara masih terbayang-bayang mendiang istrinya. Dia belum bisa menerima kenyataan. Pantas saja pria itu sering pulang larut malam. Bisa jadi itu hanyalah alasan untuk menjauhkannya dari bayangan cinta yang pernah dirasakannya.

Dada Sakia semakin terasa sesak. Namun, sentuhan tangan Rakai di belakang lehernya mampu mengurangi rasa sesaknya.

"Nggak terasa setahun berlalu, tapi saya susah banget lupa." Bhaskara tertawa kecil kemudian menatap Sakia yang seperempat pandangannya mengabur. "Kenapa, ya?"

"Mungkin ... Bapak belum move on."

"Kamu tahu gimana caranya move on, Ki?"

Membalas tatapan Bhaskara bukan sikap yang disarankan. Tak dapat dipercaya ketika Sakia menelusuri tatapan pria di hadapannya, dirinya justru terperosok jauh ke dalam kehidupan pria itu. Apalagi senyumnya, sangat berbahaya kalau Sakia berlama-lama memerhatikannya.

Dan, Sakia terpana melihat seorang wanita berdiri di belakang Bhaskara. Wanita yang tampangnya tidak asing. Potretnya sering Sakia lihat terpampang di meja Bhaskara. Wanita itu menatap Sakia tanpa ekspresi dan pijar matanya begitu sendu. Seketika kelopak matanya melebar saat Bhaskara menyentuh punggung tangan Sakia. Kali ini wajah sang wanita berubah menjijikkan bahkan Sakia sampai mengatupkan kelopak mata karena tidak sanggup melihatnya.

"Rileks, Ki. Bayangkan saat kamu melihat Praska berduaan sama wanita lain. Pasti kamu kesal banget, kan. Sama seperti wanita di belakang Bhaskara itu. Dia nggak suka ada wanita lain yang dekat sama Bhaskara," bisik Rakai seraya mengusap lembut tengkuk Sakia.

"Masa iya aku dicemburui sama hantu, Kai? Kayaknya itu yang bikin Bhaska susah membuka hati, deh. Wanita itu terus mengikuti Bhaska, menularkan energi negatif makanya Bhaska nggak bisa move on," gumam Sakia menggosok kedua tangannya. "Kamu nggak usah sebut nama Praska lagi. Aku benci sama pria yang namanya Praska!"

"Sakia?"

Suara berat itu membuat kelopak mata Sakia terangkat. Tiba-tiba dada Sakia menghangat. Ternyata sumber kehangatan itu berasal dari genggaman tangan Bhaskara. Genggaman hangat perlahan berubah menjadi remasan lembut yang tidak hanya membuat batin Sakia tenang, tapi juga menimbulkan dentuman kecil di dada. Iris hitam milik Bhaskara menyihir pandangan Sakia sejenak.

Bhaskara tersenyum. "Kamu bisa lihat dia, ya?"

Seketika wajah Sakia memucat.










30.06.2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro