Bab 6 Bertemu Calon Mertua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eiden sudah siap dengan setelan kasualnya. Eiden menjalankan mobilnya menuju kediaman Kanaya. Ia turun dari mobil dan menunggu di depan mobil. Matanya menatap ke arah pintu berharap Kanaya segera menampakkan batang hidungnya. Di dalam rumah, Kanaya masih bingung harus mengenakan pakaian apa. Namun, saat ia mendengar suara mobil Eiden sudah di depan. Kanaya segera memakai pakaian yang ia pilih secara acak dengan polesan make up sederhana. Kanaya berjalan cepat menuju pintu utamanya. Eiden melihat ke arah pintu dan ternganga melihat penampilan super biasa dari Kanaya sampai ia tidak menyadari kehadiran Kanaya yang sudah berdiri tegap dihadapannya.

"Ada apa?" tanya Kanaya saat melihat bola mata Eiden hampir saja jatuh saat melihatnya. Apa dia sudah cukup cantik? Kanaya melihat penampilannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Menurutnya tidak ada yang salah mengingat dia masih memakai pakaian.

"Kamu yakin berdandan seperti ini menemui kedua orang tuaku?" Eiden bertanya sarkastik sambil melihat Kanaya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Memangnya kenapa?” Tanya Kanaya bingung.

“Kamu nggak ada baju yang lebih pantas daripada ini?”

“Memangnya apa yang salah dari pakaianku? Masih mending aku pakai baju.” Decak Kanaya mulai kesal. Orang kaya memang sama saja. Lagipula dia tidak ingin repot-repot berpenampilan wah dihadapan mereka. Tujuannya melakukan ini supaya kedua orang tuanya tidak merestui mereka berdua. Kanaya merasa lagi ini benar-benar sebuah kesempatan.

Eiden akhirnya mengalah daripada gadis itu merajuk lagu ogah menemui kedua orang tuanya. Dia kembali menatap Kanaya, anehnya kali ini gadis itu terlihat sangat cantik meski hanya memakai pakaian dan riasan yang sederhana.

“Ternyata kamu cantik.” Puji Eiden.

Pipi Kanaya merona mendapat pujian tersebut. Eiden berjalan ke sisi kiri mobil lalu membukakan pintunya. Dia menyuruh gadis itu masuk. Kanaya berjalan ke sana lalu masuk. Jantungnya berdegup kencang saat sudah berada di dalam mobil. Mobil yang sedang dia naik sekarang sangat wangi, tampilannya begitu mewah. Mungkin jika Kanaya yang membelinya dia butuh bekerja seumur hidup untuk mendapatkan mobilnya.

"Terima kasih," ucap Kanaya saat Eiden sudah masuk.

Eiden berdehem pelan kemudian menjalankan mobilnya dengan pelan. Sepanjang perjalanan Kanaya hanya melihat hingar bingar kota tanpa berniat mengeluarkan suara. Lagi pula dia tidak tahu bagaimana pembicaraan orang kaya. Dia hanya tahu caranya bertahan hidup. Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di kediaman Eiden. Saat Kanaya keluar dari mobil, Kanaya menganga lebar melihat kemewahan rumah tersebut, bahkan semua ornamen yang berada di sana tampak sangat mahal dan mungkin kalau dicuri ia bisa jadi orang kaya.

"Ayo!" ajaknya sambil menggandeng tangan Kanaya. Gadis itu menerimanya dengan legowo, lagi pula Eiden hanya menggandeng tangannya. Ia kemudian melihat wajah Eiden dengan takjub. Kalau dilihat-lihat pria yang ada disampingnya memang tampan. Rahangnya kokoh, bibirnya seksi, matanya berkilau serta wajahnya seperti dicetak dengan sempurna. Mau dilihat dari sisi manapun tidak ada cacatnya. Kanaya sampai heran, bisa-bisanya dia bertemu dengan pria setampan ini.

"Kenapa?" tanya Eiden saat menyadari tatapan Kanaya.

"Ternyata kamu benar-benar kaya," bisiknya pelan, sangat tidak mungkin dia mengatakan ketampanan pria itu. Bisa-bisa Eiden menjadikannya bahan olokan.

Eiden berdecih dan menyombong sejenak sebelum akhirnya membawa Kanaya masuk untuk menemui keluarganya. Keduanya berjalan menuju pintu utama, terlihat seorang asisten rumah tangga membukakan pintu. Kanaya ingat semua ini, ia pernah membaca sebuah novel yang menayangkan apa yang sedang ia alami saat ini. Ia mendadak seperti tuan putri yang tersesat di negeri dongeng.

"Selamat datang Tuan muda, nyonya sudah menunggu di dalam." serunya dengan sopan.

Eiden menganguk kecil, Kanaya tersenyum melihat asisten rumah tangga tesebut kemudian mengikuti Eiden ke dalam. Kanaya semakin dibuat tercengang dengan kemewahan yang tersaji di ruangan tersebut. Corak keemasan berpadu dengan warna pastel membuat ruangan ini sangat mewah tiada duanya. Jika dibandingkan dengan rumah Kanaya dulu, semua ini belum ada apa-apanya.

"Apa kamu memang sekaya ini?" bisik Kanaya pelan. 

Eiden lagi-lagi tersenyum menyombong. Dia bisa melihat wajah Kanaya yang kesal, dan Eiden sangat menyukainya. Kanaya menyenggol tubuh tegapnya pelan kemudian tertawa kecil melihat wajah kesal Kanaya. Di mata Eiden ekspresi Kanaya sangat imut. Dia semakin ingin memiliki istri selimut Kanaya. Setiap hari akan menjadi hiburan untuknya.

"Dasar sombong!" devak Kanaya sambil memutar bola matanya ke atas.

"Lelaki sombong ini, ayah dari anak yang sedang kamu kandung." Wajah Eiden tersenyum jenaka, sedangkan Kanaya seperti ingin menendang bokong seksi milik Eiden.

Dari kejauhan wajah tua yang masih terbilang cantik terlihat tersenyum melihat interaksi keduanya. Entah mengapa terlihat begitu alami tanpa dibuat-buat. Baginya Eiden adalah anaknya yang paling sulit tersenyum tapi saat melihat keduanya entah mengapa ia tertarik mengenal lebih jauh wanita yang sedang bersama putranya. Awalnya dia curiga jika Eiden menyewa seseorang, tapi melihat senyum putranya dia yakin wanita itu memang benar wanita yang dicintai putranya.

“Apa aku akan diterima oleh keluargamu?” Bisik Kanaya pelan. Sejujurnya dia gugup.

“Kalau kamu begitu penasaran, ayo cepat kita temui mereka.”

“Dasar!” decak Kanaya kesal. Dia mengikuti langkah Eiden menuju ruang tamu. Di sana dia melihat sepasang suami istri sudah menunggu kedatangan mereka. Kanaya menelisik tatapan keduanya tapi tidak mampu dia simpulkan. Dia mengutuk jantungnya yang bertdetak dengan menggila padahal sebelum ke sini dia sangat pede untuk ditolak.

“Ma, Pa, perkenalkan ini kekasihku.” Eiden segera memperkenalkan Kanaya. Gadis itu menatap Eiden dengan raut wajah bertanya. Sejak kapan mereka pacaran. Dia menatap ibu Eiden lalu menyalaminya dengan sopan.

"Selamat malam, Tante, Om." sapa Kanaya sambil tersenyum gerogi. Ia takut biji cabe tersangkut disela giginya. Mana tahu biji cabenya khilaf.  Dia melihat ke arah Eiden yang duduk dengan santai. Pria itu mengisyaratkan agar Kanaya ikut duduk di sampingnya.

"Malam juga. Jangan panggil Tante, panggil saja Mama," ucap Anita ramah dan Angga hanya tersenyum kecil. “Silakan duduk,” ujarnya sambil menilik penampilan Kanaya yang sangat sederhana. Anita bisa tahu dari kalangan apa gadis yang ada di hadapannya. Dia melihat ke arah Eiden lalu kembali ke pada Kanaya.

“Nama kamu siapa?” Anita memulai serangan pertama.

“Saya Kanaya, Ma.” Kanaya menjawab dengan sopan. Sesekali dia melirik ke arah Eiden yang terlihat sangat tenang. Tidak tahukah pria itu kalau saat ini Kanaya seperti sedang di medan perang. Salah jawab sedikit nyawanya bisa melayang.

“Tinggal di mana?” Anita menatap tajam mata Kanaya. Dia tidak ingin putranya salah memilih pasangan. Apalagi kalau hanya menyukai putranya karena kaya. Dia akan pastikan wanita seperti itu tidak akan menjadi menantunya.

“Saya tinggal di perumahan blok C Ma.”

Mendengar jawaban Kanaya Anita bisa pastikan jika gadis itu bukan dari kalangan orang berada. Jiwa waspadanya semakin meningkat. Dia kembali mengintimidasi gadis itu tanpa ampun. “Keluarga kamu tinggal di sana juga?”

Kanaya sejenak diam, dia mengembuskan napas pelan lalu tersenyum. “Saya sebatang kara, Ma. Kedua orang tua saya sudah lama meninggal.”

Mendengar itu Anita mendadak sedih. Dia menatap Eiden dan suaminya. “Maaf ya Mama tidak bermaksud.”

“Nggak apa-apa Ma.” Kanaya menjawab sambil tersenyum.

☘☘☘☘☘☘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro