Chapter 46

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah berapa lama?

Itu yang terlintas di benak Louisa setiap kali terbangun mengamati langit-langit kamarnya dari hari ke hari saat menjalani hidup baru di Munchen. Dia mengerutkan kening beberapa saat, berpaling ke arah kalender yang ada di laci tempat tidur di sisi kiri. Menghilang dari dunia hiburan membuat semuanya terasa lebih cepat, mungkin dua atau tiga musim telah berlalu dan jarak antara kehidupan lama makin membentang.

Dia bangkir dari posisinya, mengikat secara asal rambut cokelat yang telah memanjang sampai punggung. Berjalan mendekati jendela dan membukanya untuk membiarkan udara bercumbu dengan atmosfer kamar. Louisa menghirup dalam-dalam, memejamkan mata merasakan belaian hangat sang mentari walau dari siaran berita kemarin nanti siang akan turun hujan.

Berusaha menerbitkan senyum tipis, Louisa mencoba menutupi lubang menganga dalam dada yang tidak diketahui penyebabnya. Menggumamkan afirmasi positif bahwa perasaan mengganjal ini hanyalah sementara selepas dia tidak membintangi film kembali. Dia menguatkan hati bahwa waktu itu adalah keputusan yang dibuatnya sendiri untuk keluar dari zona toxic yang menyakitkan mental.

Mungkin orang akan mengolok bahwa sebagai publik figur pasti mengalami fase-fase terpuruk seperti ini. Bahkan sekelas Lindsay Lohan yang bolak-balik rehabilitasi atau Scarlett Johannson yang gagal mendapatkan peran saja bisa bangkit. Tapi, kondisi kesehatan mental orang, siapa yang bisa menebak? Louisa bisa saja acuh terhadap hujatan, namun yang dia benci adalah ketika orang-orang yang dipercaya justru memutar balikkan fakta seolah-olah dialah manusia paling salah dan hina. Lantas, bukankah lebih baik mundur daripada harus bertahan?

Bintang paling terang di langit pun akan redup jika dia kelelahan.

Selama berada di Munchen, Louisa memang berusaha menyibukkan diri dengan beragam aktivitas bersama keluarganya. Melatih anak-anak balet, pergi ke Museum, mendaki bukit, atau duduk seraya membaca buku-buku lama di taman. Melupakan seluruh kenangan indah atau buruk yang pernah dilalui walau sampai detik ini, bayang-bayang Dean sulit disingkirkan. Alhasil, Louisa memasang topeng 'bahagia' di hadapan semua orang dan akan berbanding terbalik ketika seorang diri. Merasa bahwa dunia telah berbeda semenjak dirinya ditinggalkan Dean.

Ketika pertama kali datang, Karoline mendekapnya penuh kasih sayang, membisikkan bahwa tidak menjadi aktris bukanlah akhir dari segalanya. Dia akan membantu sang putri bungsu untuk meraih mimpi-mimpi lain dan tidak perlu mengkhawatirkan tentang kisah cinta. Sementara ayah Louisa--Tobias--menyetujui perkataan sang istri kalau ada hal yang lebih bagus daripada sekadar memikirkan pria pecundang seperti Dean.

"Cinta hanyalah fatamorgana, Lou," tambah Sonja seraya mengelus perut buncitnya ketika makan bersama. "Dia akan menjadi nyata ketika kau bersama orang yang tepat."

"Kurasa definisi orang yang tepat itu bakal jarang ditemukan, Sonja," balas Louisa mengaduk makanannya tak minat. "Banyak pria yang tidak setia saat ini."

"Wanita juga," balas Sonja. "Seperti cuaca, manusia itu mudah berubah begitu cepat tanpa aba-aba bahkan ketika kau belum memasang pelindung diri."

"Aku suka analogimu, Sonja," timpal Cory. "Maka dari itu, aku tidak suka cinta. Aku lebih menyukai uang yang lebih pasti daripada hati seseorang."

"Lou?"

Suara Cory membuyarkan lamunan panjang Louisa. Gadis itu nyaris terperanjat kaget kemudian memutar badan dan tidak menyadari sejak kapan manajernya berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Ada apa?" tanya Louisa.

"Kau sepertinya memikirkan banyak hal sampai-sampai tidak mendengarkan panggilanku."

"Sorry, Cory. Aku hanya..."

"Sedih?" sela Cory berjalan menghampiri gadis itu.

Louisa menggeleng. "Tidak." Dia meremas dadanya sendiri, menerawang ke arah jalanan di mana ada beberapa tugas berjaket merah tengah mengambil sampah dari bak-bak berbeda warna. "Hatiku rasanya sakit, tapi aku tidak tahu kenapa. Bukankah ini aneh?"

"Kau hanya belum terbiasa dengan kehidupan barumu, Lou," jawab Cory meskipun di sisi lain menebak kalau penyebabnya adalah perasaan rindu yang menggumpal makin lama makin besar kepada Dean. Dia tahu Louisa belum bisa move on dari pria bajingan itu.

"Aku suka berada di sini bersama anak-anak dan keluargaku," elak Louisa berpaling ke arah wajah Cory yang menatapnya lurus. "Aku hanya ... merasa hampa."

Cory menghela napas panjang. "Apa ini tentang Dean?"

Louisa membisu, tak mampu mengiyakan juga tak mampu mengelak tegas. Dirinya juga tidak yakin apakah ini karena pria pecundang itu. Dia menggigit bibir bawah, menahan jutaan kata dari hati yang mendesak untuk meluncur bahwa sejujurnya ada sebuah rindu yang terselip di sana.

"Aku paham," ujar Cory tidak ingin menjustifikasi. "Hubunganmu tidak bisa dibilang mulus, tapi tidak bisa dibilang buruk. Kalian adalah manusia yang saling terikat oleh gairah dan ... aku paham bahwa ketika kau bercinta dengan Dean, kau menemukan luka yang dia pendam. Kau bisa melihat ketakutan dan penyesalannya. Tentang kejadian itu, lukisan, dan semua hal yang kalian lakukan."

"Kau bisa membaca pikiranku dengan baik," ledek Louisa terharu.

"Semua tergambar di wajahmu begitu jelas, Sayang," kata Cory. "Hanya saja ... untuk apa mempertahankan pria yang sama sekali tidak memikirkan perasaanmu kecuali seks? Lihat saja sekarang, apa dia mencarimu?"

"Kau mengolokku?" Louisa tersenyum kecut menatap miris pada kisah cintanya yang tragis.

"Aku hanya berbicara fakta, Lou, memang rasanya sakit daripada terbuai mimpi yang bisa buyar kapan saja."

"Baiklah, Mr. Conley. Ceramahmu pagi ini sudah membuatku kenyang," canda Louisa. "Tapi, thanks for everything, Dude."

###

Alunan musik klasik memenuhi area studio tari ketika kumpulan anak-anak berusia sekitar lima sampai dua belas tahun sedang melakukan barre exercise didampingi Louisa. Dia mengenakan rok tutu berwarna abu-abu dengan atasan gelap yang melekat pas di badan, sementara rambutnya disanggul rapi. Gadis itu mengawasi pergerakan gadis-gadis kecil tersebut sambil sesekali membenarkan yang kurang tepat dan mengarahkan bagaimana melakukan gerakan dasar secara benar.

Berada di studio balet, Louisa serasa menjadi manusia baru yang mengajarkan hal sederhana kepada anak-anak tanpa harus mendengarkan kritikan pedas seperti orang dewasa. Walau beberapa bulan di sini, mereka selalu antusias ketika Louisa datang sampai memeluk ketika gadis itu masuk ke ruang latihan. Dia merasa menemukan penggemarnya lagi.

"Busungkan dadamu, Anja," kata Louisa mempraktikkan dirinya membusungkan dada kemudian mengangkat sebelah tangan seraya berjinjit.

Anak berambut pirang dengan mata cokelat gelap mengangguk. "Seperti ini, Lou?" Anja berjinjit mantap di atas sepatu pointe pink miliknya, membusungkan dada dan memunculkan ekspresi seperti pelatihnya.

"Genau, Schatz. Gut gemacht!" puji Louisa

(Benar, Sayang. Bagus!)

Setelah selesai pemanasan, mereka berbaris di centre practice dibarengi lagu Mozart bertajuk eine kleine Nachtmusik atau yang dikenal sebagai simfoni nomor 13. Anak-anak tersebut menari sesuai entakkan dengan raut wajah ceria seolah-olah baru menerima hadiah natal. Membentuk lingkaran, melompat-lompat kecil membuat rok-rok mereka bergoyang-goyang seperti puding, dilanjut berpisah menjadi dua baris berhadapan. Mengangkat tangan ke udara, melengkungkannya lalu melempar kaki seolah-olah menendang sesuatu begitu anggun sebelum berpose dalam posisi a la seconde--gerakan tangan atau kaki berada di samping.

Melihat mereka menari lepas mengingatkan Louisa akan masa anak-anak di mana dia tidak perlu memikirkan hal lain yang berat. Sekilas bayangan dan ucapan Dean ketika memintanya menari terbersit di pikiran Louisa, menimbulkan gelenyar aneh yang menaikkan debaran dada. Beberapa detik pipinya bersemu merah saat potongan kenangan dirinya menari di Milan bersama Dean dengan menggunakan kostum abad pertengahan. Louisa menggeleng cepat, menepis imajinasi sambil merutuki diri sendiri mengapa di saat seperti ini malah Dean yang muncul di kepala.

Untuk mengalihkan pikiran, Louisa bertepuk tangan dan mengikuti ketukan musik sambil menyemangati anak asuhnya. Berjalan mengitari mereka, sesekali menirukan gerakan yang diajarkan Karoline tersebut.

Musik berhenti berbarengan para gadis cilik itu melakukan ending yang menakjubkan membentuk bunga mawar. Tepukan tangan Louisa makin keras, memuji usaha keras mereka dan menyuruh untuk mengulang sekali lagi sebelum istirahat.

"Aku sudah membawakan kalian jus jeruk dan beberapa camilan untuk dimakan bersama," kata Louisa agar anak-anak itu makin bersemangat berlatih.

Mereka berteriak kegirangan, salah satu di antaranya berlari ke arah Louisa dan mendekap penuh cinta seraya berkata, "Danke, Lou! Du bist sehr nett!"

(Terima kasih, Lou. Kau sangat baik!)

"Sehr gerne, Schatz!"

(Sama-sama, Sayang)

###

"Tuan?"

Suara Mr. Reese membangunkan Dean yang terlelap di atas sofa ruang tamu yang tampak berantakan. Asisten Dean geleng-geleng mendapati atasannya makin hari makin seperti orang kehilangan selera untuk melanjutkan hidup.

Berita itu sudah lama berlalu. Tidak ada bukti kuat yang menyebutkan Dean adalah pembunuh, namun sanksi sosial sepertinya masih saja berlaku untuk lelaki itu hingga menapaki gedung agensi pun tak mau.

"Oh, ya, sorry, Mr. Reese," erang Dean bangkit dari posisinya. Dia memijat tengkuk leher yang terasa kaku, mengambil botol vodka kosong yang tergeletak di lantai dan menaruhnya di atas meja yang penuh puntung rokok. "Aku hanya ... kelelahan. Ya, kau tahu kan?"

"Tentu. Seharian di sini tanpa memedulikan agensi yang terombang-ambing," cibir Mr. Reese seperti ingin membangunkan Dean dari mimpi panjang. Dia mendekat dan menyerahkan sebuah file dan berkata, "Dua orang dari agensi mengajukan pengunduran diri, Tuan."

"Lagi?" Dean meninggikan suaranya lalu menyandarkan punggung ke sofa sambil memijit kening. "Argh! Ada apa dengan orang-orang ini, Mr. Reese?" keluhnya putus asa.

"Buntut dari skandal yang menerpa nama Anda, Tuan," tukas Mr. Reese jujur. "Pertama, mereka ingin kau minta maaf secara resmi yang seharusnya Anda lakukan berbulan-bulan lalu. Kedua, mereka yang masih memihak Louisa Bahr ingin Anda membersihkan namanya."

"What? Kau tahu aku tidak--"

"Cobalah untuk mengalah demi diri Anda sendiri juga perusahaan, Mr. Cross," sela Mr. Reese gemas. "Tidak ada salahnya meminta maaf dan berusaha menjadi apa yang mereka inginkan. Jika seperti ini terus, investor bisa saja menarik saham mereka, Tuan."

"Itu tak akan berpengaruh terhadap sahamku. Aku yang punya saham terbesar di antara mereka!" ketus Dean enggan disalahkan. "Untuk apa khawatir?"

Mr. Reese menghela napas, menahan jengkel mengapa atasannya begitu keras kepala padahal agensi Cross sudah banyak ditinggalkan bintang-bintang mereka sejak skandal itu terjadi. Selain itu, harga saham Cross ikut terjun bebas dan diperkirakan akan terus memburuk jika Dean akan bersikap egois seperti ini.

"Sampai kapan Anda akan berdiam diri dan berpura-pura baik-baik saja, Mr. Cross?" tanya Mr. Reese. "Perusahaan berada di ambang kehancuran jika Anda masih berpegang teguh pada ego."

"Anda merindukan seseorang yang Anda sakiti."

"Jangan sok tahu."

"Lihatlah sekeliling Anda, Tuan," pinta Mr. Reese seraya mengedarkan pandangan betapa berantakan rumah Dean seperti baru saja terkena badai hebat. "Anda sering mengigau dan sejujurnya, perasaan Anda terhadap Louisa belum benar-benar hilang," lanjutnya membungkam Dean. "Bersama Anastasia ... Anda hanya menunjukkan sebuah penyesalan atas kematian kekasihnya, bukan rasa cinta yang pernah Anda rasakan dulu."

"Apa kau mencoba menceramahiku?" Dean memicingkan mata tak suka karena merasa tersudutkan oleh kenyataan yang berusaha dia tepis.

"Saya hanya pengamat," bela Mr. Reese. "Belum terlalu terlambat jika ingin mencari simpati orang lain dari sebuah kata maaf, Tuan."

Dean tertegun cukup lama dan mengakui dalam hati kalau sekarang hidupnya benar-benar berantakan. Setiap hari selalu dihantui mimpi buruk atas kesalahan di masa lalu dan yang muncul bukanlah Anastasia atau Oliver melainkan Louisa. Di sisi lain, tanpa diketahui orang lain, Dean ikut memperhatikan skandal Louisa waktu itu dan nyatanya semua berita miring yang beredar reda dengan sendirinya seiring menghilangnya gadis itu dari San Diego.

Apakah ini yang diinginkan Dean? Melihat orang lain hancur karena rasa ego yang begitu tinggi.

Apakah dengan kata maaf akan bisa memperbaiki semuanya?

Bahkan, apakah dia masih pantas duduk di balik meja bertuliskan CEO Cross Agency?

"Masih belum terlambat untuk mengakui kesalahan," kata Mr. Reese kembali mengingatkan. "Yang berlalu biarlah berlalu dan terkubur menjadi kenangan sekalipun itu buruk. Manusia tidak pernah luput dari sebuah dosa besar, Tuan. Dan ... masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya."

"Kau tidak tahu rasanya dikhianati, Mr. Reese," ledek Dean meraih botol bir di depannya. Meneguk cepat membasahi kerongkongan yang kering. Minuman yang setidaknya mengobati lara yang makin lama makin menggerogoti dirinya. "Aku ... merasa tidak berguna. Bahkan Louisa pasti tidak akan mengampuniku, bukan?"

"Coba sekarang tanyakan kepada hati kecil Anda, Tuan, apa yang sebenarnya Anda inginkan dari semua kejadian ini?" Mr. Reese menatap lurus ke dalam bola mata Dean dan menemukan sebuah luka yang belum kering di sana. Masa lalu menyakitkan yang membuat lelaki itu bertindak seperti ini dan semuanya berawal dari ketidaksetiaan pasangannya. "Saya akan menelepon home cleaning untuk membersihkan kekacauan ini dan pikirkan kembali apa yang saya ucapkan, Mr. Cross. Masih ada waktu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro