Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Damn! Are you serious?" Cory nyaris menggelindingkan bola mata setelah mengetahui detail cerita Louisa. "Ah, pantas saja ada seorang petugas hotel yang menanyakan nama kita dan langsung mengantarkanku ke kamar yang dipesan olehnya, Lou. Sudah kubilang kan, tidak ada yang gratis di dunia ini kalau kau berhadapan dengan Mr. Cross. Uang dan wanita adalah hal yang bisa dia gapai dengan satu jentikan."

Cory mengabaikan siaran Netflix yang sedang menunjukkan adegan di mana sepasang kekasih tengah bercumbu di pinggir pantai hingga menanggalkan satu-persatu pakaian mereka. Sementara Louisa makin terlihat lesu sekaligus bingung sampai-sampai dia merangkul bantal dan kembali menangis. Sebagai manajer sekaligus seorang teman baik, Cory menepuk bahu Louisa dengan memberi beberapa opsi seraya menerka-nerka apa maksud Dean menawari hubungan itu.

Dia sendiri tidak menduga kalau Dean akan meminta Louisa menjadi teman kencan di saat ada banyak perempuan yang lebih pantas. Bukannya Cory merendahkan fisik Louisa, semua orang tahu kalau gadis di sampingnya ini menawan di mata banyak pria. Tapi, bukan pria bermata keranjang yang memanfaatkan popularitas semata. Cory tidak ingin melihat Louisa bermuram durja seperti seekor anak anjing di bawah hujan salju yang mengharapkan sebuah kehangatan. Gadis itu pantas jatuh cinta dengan lelaki yang tidak hanya mengumbar janji seperti Troy. Dan sekarang, Dean malah memberinya sebuah permintaan gila.

Anehnya, selama Cory bekerja di bawah perusahaan besar tersebut Dean tidak pernah meminta perempuan untuk menjadi pasangan secara pribadi pula. Justru merekalah yang memohon-mohon sampai menawarkan harga diri untuk bisa bersanding dengan lelaki itu. Bukan rahasia umum juga kalau Dean tidak pernah menolak asal bisa memiliki teman tidur yang bisa memuaskan kemudian mencampakkan mereka bak membuang sampah. Apakah kali ini akan berbeda, pikir Cory tidak ingin kalau Louisa menjadi korban yang ke sekian kali dalam daftar perempuan di hidup Dean.

Louisa sempat adu mulut bersama Dean karena ide gilanya dinilai memanfaatkan situasi juga perasaan. Sayang, sepertinya patah hati yang sekarang dirasakan Louisa tidak berarti di mata Dean. Lelaki itu berhasil membalikkan keadaan, lebih tepatnya memberi ancaman yang bisa menurunkan kepopuleran Louisa di dunia hiburan.

"Kau sinting, Mr. Cross," ejek Louisa geram. "Berapa banyak wanita yang kau tawari huh?"

"Hanya dirimu. Jujur saja," jawab Dean santai masih membelai bibir gelas dengan jemari.

"Kau mendesakku untuk hubungan yang sama sekali tidak terlintas di kepalaku saat ini, Tuan," ketus Louisa.

"Pikirkanlah kembali, Ms. Bahr. Berkencanlah denganku maka kau akan mendapat apa pun yang kau inginkan. Uang? Ketenaran?" Dean mengetuk pelipis, mengisyaratkan bahwa penawaran ini tidak bisa terulang kedua kali. "Atau ... kau bisa kehilangannya dalam satu malam jika menolak."

Mulut Louisa menganga tak percaya, nyaris menjatuhkan rahang ke lantai berkayu yang dipijaknya sekarang. Dia menjilati bibir yang mendadak terasa kering disapu angin malam, melipat kedua tangan tidak habis pikir dengan jalan pikiran Dean.

Mengapa memilihku? batinnya.

"Apa motifmu sebenarnya, Mr. Cross? Aku hanya pendatang baru di perusahaanmu, mana mungkin kau akan menjelekkan agensimu sendiri, huh?" tanya Louisa tidak mengerti.

"Motifku adalah agar kita bersenang-senang, Lou. Pertanyaan keduamu ..." Dean menggosok dagu yang justru membuat Louisa ingin menggantikan tangan si pria angkuh tuk menelusuri jejak-jejak janggut yang sepertinya baru dicukur. "Aku bisa melakukan hal sepele itu tanpa merusak reputasi agensiku. Kau tinggal pilih saja. Waktumu sampai besok pagi."

"Besok? Kau gila?" Louisa meninggikan suara sambil membelalakkan mata merasa waktu enam jam tidak cukup untuk menjernihkan pikiran dan menimbang permintaan Dean.

"Memang. Tidurlah dan mimpikan aku dalam tidurmu," usir lelaki itu mengibaskan tangan dan menyunggingkan senyum miring.

"Tapi ... bagaimana menurutmu penampilan Mr. Cross?" tanya Cory ingin mendengar penilaian langsung dari sudut pandang Louisa. "Maksudku--"

"Dia bajingan gila yang menawan. Luar biasa menawan daripada terakhir kali aku bertemu," sela Louisa menopang dagu dengan kedua tangan manakala terlintas wajah Dean di kepala. Iris mata biru samudra penuh tuntutan dan ketidaksabaran itu menembus relung dada, meninggalkan jejak-jejak tak kasat mata bahwa cara Dean melihat seseorang tidak seperti kebanyakan lelaki. Kombinasi misterius, angkuh, dan perayu ulung. Dia menarik napas, menggeleng-geleng kepala mengusir imajinasi nakalnya tentang Dean. "Di sini saja, aku masih bisa mendengar nada bicaranya, Cory. Sialan bossy walau nadanya pelan sekalipun."

Cory menjentikkan jari membenarkan apa yang dideskripsikan Louisa. Gadis itu malah memukul lengan berotot Cory dengan pipi merona. "Menurutku ... di sini bakal ada hubungan timbal balik yang bisa kau gunakan untuk membalas Troy. Aku tidak yakin dengan motif Mr. Cross, tapi ... tawarannya menggiurkan untuk membuat mantanmu menyesal."

"Cory ... bagaimana dengan pendapat orang-orang jika saat ini aku dicampakkan Troy dan esok pagi aku sudah menggandeng Mr. Cross? Bukankah malah menambah runyam? Kau bilang sendiri kan kalau jangan sampai terjebak--"

"Adik kecilnya. Aku berkata itu dengan sangat jelas," potong Cory. "Lebih baik kau tidur, Lou. Besok kita nikmati hari yang cerah sebelum memberikan jawabanmu kepada Mr. Cross. Jangan terlalu tegang, Sayang."

"Aku tidak bisa tidur, Cory, tapi sialnya mataku mengantuk sekali," keluh Louisa mematikan siaran film di depannya dan membaringkan tubuh. "Kuharap aku tidak memimpikan pria gila itu."

"Semoga."

###

Menjelang musim semi, cuaca tidak sedingin sebelumnya apalagi pendar matahari tak lagi malu-malu untuk menyalurkan kehangatan. Barangkali mentari memang tidak mengenal rasa lelah ketika Los Angeles tempat yang cocok untuk disinari sepanjang tahun walau musim dingin tiba. Berbekal kaus tipis dengan celana selutut, Dean berlari di pinggir pantai Del seraya mendengarkan musik melalui earphone lantas mengedarkan pandangan ke arah butiran pasir putih nan berkilau. Peluh keringat membanjiri dahi juga turun ke riak-riak ototnya tak lantas membuat lelaki itu berhenti. Dean lebih suka menghabiskan paginya dengan berolahraga, menikmati yang disuguhkan alam sebelum tercemar oleh polusi dan disibukkan kegiatan di pusat kota San Diego.

Selepas ini, dia harus kembali untuk berdiskusi bersama beberapa petinggi perusahaan terkait kerja sama Cross Agency dengan salah satu agensi di Korea Selatan. Rencananya Dean ingin berkolaborasi dalam penggarapan salah satu lagu untuk album artisnya tahun depan, apalagi industri musik saat ini berkiblat ke sana. Tentu hal ini akan menjadi poin plus jika dia berhasil menggandeng salah satu penyanyi dari grup girl band populer semacam BlackPink atau ITZY. Dua tahun lalu, Dean sukses mengajak penyanyi papan atas untuk mengisi soundtrack film dan akhirnya menjadi trending nomor satu di berbagai platform musik.

Dia berhenti sejenak, meraih botol minum yang diselipkan di tas pinggang kemudian teringat bahwa Louisa belum memberinya kabar. Diteguk air putih melintasi kerongkongan kemudian merogoh ponsel dan iseng mengetik pesan selamat pagi kepada gadis itu.

Dean : Hei, Babe. Sudah memimpikanku semalam?

Tak berapa lama, notifikasi pesan masuk membuat Dean terkekeh membaca balasan Louisa.

Louisa : Aku lebih suka bermimpi dimakan zombi.

Dean : Sudah hampir satu jam dari perjanjian kita. Aku bisa menelepon asistenku untuk membuat berita panas untukmu.

Beberapa detik, gawai Dean berdering nyaring. Senyuman lebar langsung terpancar di bibir merahnya, mengamati nama Louisa masih terpampang di layar ponsel seakan-akan tak sabar untuk mendengar ancaman lainnya. Dijawab panggilan tersebut dan kontan mendengar pekikan suara Louisa bagai harmoni di telinga Dean. Gila memang, tapi dia menikmati hal-hal semacam ini terutama bagaimana Louisa berharap agar Dean tidak meruncingkan masalah selagi dirinya naik daun. Dean melangkahkan kaki, membiarkan angin mencumbu kulitnya yang berkeringat sementara matahari makin merangkak naik. Tak sengaja iris mata biru Dean menangkap sosok Louisa tengah berdiri di balkon kamar kemudian berjalan mondar-mandir karena tidak kunjung mendapat tanggapan.

"Semakin kau marah, semakin aku tertarik," ucap Dean bisa menangkap ekspresi Louisa seperti kepiting rebus. Tak berapa lama lelaki berotot mengenakan kaus tanpa lengan yang dikenalnya sebagai manajer gadis itu keluar sambil membawakan dua cangkir. Dean menebak, apakah itu kopi atau cokelat hangat? Apakah mereka bisa meredam bara api yang terlanjur membakar kepala Louisa?

Sepertinya tidak!

"Apa yang dibawakan manajermu si Cory itu? Aku ingin mencicipinya dari bibirmu, Babe," goda Dean makin kegirangan.

"What! Dari mana kau--" ucapan Louisa tersendat manakala berhasil mengetahui posisi Dean berdiri tak jauh darinya. Dia menunjuk Dean seolah ingin menusuk dada dengan linggis agar lelaki itu berhenti bertingkah.

Dean mengerlingkan mata, menarik bagian belakang kaus putih dengan tangan kiri selanjutnya menyampirkan ke bahu. Sengaja memamerkan lekuk tubuh juga pahatan tato bermotif geometri di lengan kanan yang tak kalah memikat dibandingkan manajer yang berdiri di samping Louisa dengan mulut terbuka lebar.

"Fuck! Lou, dia memang menggodamu," bisik Cory. "Sekarang aku tidak yakin dia hanya membuatmu menjadi teman kencannya saja, mungkin lebih dari itu."

Louisa terpaku bukan main, mengamati pemandangan menakjubkan melebihi bentang pantai Del dihiasi kilau pasir putih dan jernihnya laut. Dia menelan ludah, bola matanya tak bisa berkedip sekali pun ingin seakan-akan tidak mau melewatkan satu sekian detik riak-riak otot Dean. Terutama ukiran tato di lengan seolah-olah mengundang Louisa untuk ikutan membelainya dan lanjut sampai turun ke bawah di mana ada sesuatu yang lebih memincut atensi.

Bulu-bulu halus di bawah pusatnya ...

"Sialan," geram Louisa pelan yang dapat didengar Dean jelas.

"Wah, kau mengolokku sebagai atasanmu, Ms. Bahr. Aku merekam pembicaraan kita," kata Dean bohong.

"Apa Anda sungguh-sungguh, Mr. Cross?" tanya Louisa.

"Tidak pernah seserius ini, Babe. Dua menit lagi, jika kau masih mengomel dan tidak menjawab kesepakatan kita, akan aku anggap kau menolak dan lihat saja berita--"

"Baiklah, Mr. Cross!" sela Louisa mengibarkan bendera putih. "Jangan buat pamorku turun, please!"

"Good girl," puji Dean. "Datanglah ke sini, ada sesuatu yang harus kau lakukan," ucapnya terkesan memerintah.

"Kenapa bukan kau saja? Kau kan lelaki, Mr. Cross!" sungut Louisa kesal dan mengabaikan tatapan tajam Cory yang menyuruhnya untuk menurut saja. "Dia memintaku melakukan hal yang seharusnya dia lakukan, Cory. Kau pikir aku wanita murahan apa?" gerutunya pelan.

"Aku bisa mendengarmu," cibir Dean. "Baiklah aku ke sana jika kau tak mau."

Mematikan sambungan telepon, Dean berlari mendekati kamar Louisa yang memiliki tangga yang berbatasan langsung dengan taman kecil dan terhubung dengan jalanan beraspal menuju pinggir pantai. Pohon-pohon kelapa sepertinya ikut menyambut kedatangan Dean, melambai-lambai ketika lelaki itu melintas melawan arah angin. Louisa mengikuti jejak kaki Dean, namun matanya fokus pada lekuk V di pinggul lelaki itu. Bulu-bulu halus di bawah pusat tubuh kekarnya. 

Sialan memang! pikir Louisa berpaling ke arah lain untuk menjernihkan pikiran kotor yang sejak semalam sudah memenuhi kepala. Namun, mengapa degup jantungnya justru berdetak tak karuan? Apakah dia sudah terpengaruh pesona Dean dan terperangkap tanpa ada jalan keluar? Louisa memang mengagumi ketampanan Dean, tapi bukan berarti dia akan bertekuk lutut begitu saja mengingat lelaki bajingan sepertinya bisa mencampakkan perempuan lebih mudah.

"Turunlah!" perintah Dean berkacak pinggang dengan napas ngos-ngosan.

"Naiklah! Aku takut ada paparazzi," ujar Louisa beralasan sementara Cory terkikik. "Kau tahu kan aku artis viral bulan ini?"

"Turunkan egomu, Ms. Bahr. Aku tidak tertarik! Ke marilah, Babe!" ulang Dean.

Louisa mendengus kesal, menyeret paksa kakinya tuk menuruni anak tangga beralaskan sandal hotel dan merapatkan piama satin hitam yang membalut tubuh moleknya. Dean berkacak pinggang memperhatikan kulit putih pucat dengan rambut cokelat madu milik Louisa. Senada pula dengan iris mata yang menatap lurus penuh ketidakpuasan atas hubungan baru yang bakal dijalani. Begitu sampai Louisa berkata,

"Apa yang harus kulakukan?"

"Cium aku!" pinta Dean.

"Oh God, kenapa kau selalu--" perkataan Louisa teredam manakala Dean tak tahan mendengar omelan gadis itu lebih lama lagi. Memagut penuh kelembutan namun tidak menghilangkan rasa dominan yang ada pada diri Dean. Louisa nyaris meleleh dengan ciuman si bos, jika tidak ditahan lengan lelaki itu dalam dekapan.

"Welcome to my world," lirih Dean di sela cumbuan seraya menggosokkan hidung mancungnya ke hidung Louisa.

Aku serasa masuk ke neraka buatan Dean, pikir Louisa ragu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro