Chapter 50

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Musim panas di belahan mana pun menjadi musim penuh festival, baik pertunjukan musik, film, pameran budaya, hingga festival makanan. Binar mentari yang lebih lama menerangi Jerman membuat sebagian besar orang-orang menghabiskan waktu untuk bersantai dan menikmati acara secara gratis maupun berbayar. Salah satunya pertunjukan kompetisi balet anak-anak dan remaja yang turut diikuti gadis-gadis dari studio milik Karoline. Mereka berkompetisi, menampilkan tarian-tarian terbaik diiringi lagu-lagu klasik yang dramatis hingga penonton ikut terhanyut di dalamnya.

Riuh tepuk tangan pecah ketika formasi tujuh orang anak perempuan mengenakan kostum balet ungu dihias sayap kupu-kupu nan berkilau muncul. Salah satu dari mereka melambaikan tangan tanpa berdosa ke arah Louisa yang berdiri di balik tirai panggung menanti gilirannya keluar, menerbitkan senyum lebar hingga rona merah muncul di pipi. Louisa membalas sapaan singkat tersebut sebelum musik Winter Waltz mulai mengalun. 

"Lucu sekali," puji Cory mengamati anak-anak itu menari hingga rok yang mereka kenakan bergoyang-goyang seperti sepiring puding yang baru keluar dari kulkas. "Dan kau menakjubkan seperti biasanya, Lou."

Louisa melenggut, menarik udara sebanyak mungkin untuk menurunkan kegugupannya. Mencuri-curi pandang dari balik tirai panggung sekadar melihat seberapa banyak penonton yang ada di sana. Dentuman dalam dadanya makin kencang, euforia seperti ini sudah lama tidak dirasakan. Tepukan tangan yang riuh bagai dengungan ratusan lebah, lantunan musik masih menggiring anak-anak itu terus bergerak di atas sepatu pointe dan merentangkan tangan seperti sekumpulan peri-peri yang keluar di musim semi. 

Ketukan musik mulai melambat yang artinya giliran Louisa masuk ke panggung. Dia berpaling ke arah Cory sambil menarik napas dan mengeluarkannya dari mulut. Cory menepuk bahu Louisa mengisyaratkan kalau gadis itu bisa tampil dengan lancar dan memukau seperti sebelum-sebelumnya. 

Louisa berjalan anggun, sesekali berjinjit dan melompat seraya mengangkat tangan ke udara dilanjut berputar. Kemudian disambut anak-anak yang berpose fourth position, lalu menari bersama merentangkan kaki-kaki panjang, melompat-lompat membentuk formasi V  sebelum berganti lingkaran. 

Penonton yang melihat penampilan mereka dibuat takjub atas kelincahan Louisa, apalagi gaun balet putih yang dikenakannya tampak cocok di kulit putih juga riasan tak terlalu mencolok dan hanya mempertegas bagian mata. Rambutnya sengaja digulung ke atas dan diberi hiasan berupa jepitan berbentuk daun-daun bercat keemasan. Tubuh Louisa begitu luwes melakukan gerakan turn out--memutar kaki ke arah luar disambung anak-anak itu berbaris menyilang di belakang mengayunkan tangan. 

Musik makin dramatis ketika Louisa merentangkan kedua kakinya lebar seolah-olah melewati lubang besar, menekuk kaki ke udara dan beridri di atas satu kaki dalam posisi berjinjit. Sementara anak-anak bergerak makin lincah sebelum pada akhirnya mereka semua berpose membentuk bunga. 

Tepukan tangan langsung terdengar heboh, Louisa membungkuk diikuti anak-anak itu, memegang tangan sembari mengucapkan terima kasih. Bibirnya tak bisa berhenti mengembang pada akhirnya bisa merasakan rasanya mendapatkan apresiasi seantusias ini. 

Kembali ke belakang panggung, mereka disambut Karoline dan Cory penuh haru telah berhasil menampilkan tarian fantastis tersebut. Bertos ria bersama anak-anak akhirnya bisa menunjukkan tarian yang sudah dilatih selama berminggu-minggu lamanya. Kelegaan menjalar di setiap tulang, mengabaikan apakah mereka menang atau kalah karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus dikejar. Melainkan pengalaman anak-anak untuk tampil percaya diri di atas panggunglah yang ditekankan Karoline. 

"Kalian hebat!" puji Karoline kepada anak didiknya.

"Louisa juga hebat. Dia sangat cantik, Frau Bahr!" balas seorang anak yang menatap Louisa kagum. "Apakah kami akan menang?"

"Semoga saja," kata Karoline. "Hei, Lou, aku akan mendampingi anak-anak ini minum dulu. Kau istirahatlah bersama Cory.

"Baik, Mama," kata Louisa kemudian merangkul Cory. "Senang rasanya bisa kembali menari di atas panggung besar ini."

"Kau patut mendapatkannya, Lou. Semua orang tertuju padamu, Sayang," puji Cory penuh haru. 

Air mata penuh kebahagiaan Louisa masih terus mengucur di pipi, tidak menyangka kalau dirinya berhasil menghipnotis penonton seperti saat-saat mengikuti kompetisi beberapa tahun lalu. Namun, senyum di bibir berpulas pink itu mendadak lenyap manakala seorang pria datang memberinya sebuah buket bunga mawar. Gadis itu tercengang beberapa saat, bertanya-tanya siapakah yang memberinya hadiah padahal dia tidak mengundang siapa pun. 

Cory menaikkan sebelah alis, menerka-nerka namun tidak berani mengungkapkannya langsung karena belum pasti apa yang ada di pikirannya benar. Tapi, dia turut dilanda penasaran, siapa gerangan yang menghadiahi Louisa bunga-bunga cantik yang harum ini. 

"Aku tidak tahu, Nona, ada pria yang menyuruhku membawakanmu ini," ujar pria berkulit gelap itu. "Dia bilang ada surat di dalamnya."

"Oh." Louisa terkejut lagi lalu menarik sebuah kertas amplop putih berpita merah yang terselip di sana. "Thanks!" katanya kepada si pengantar bunga.

Setelah lelaki itu pergi, Louisa membaca secarik surat dan kertas lain menunjukkan sebuah sketsa dirinya menari mengenakan gaun putih sama persis dengan yang dikenakannya sekarang. Seketika seluruh pembuluh darahnya berdesir cepat berbarengan dadanya yang berdetak kencang hingga terasa ingin mencuat dari dalam sana. Tungkai Louisa nyaris meleleh berusaha menyingkirkan pemikiran kalau Dean si pengirim surat ini. Di sisi lain, siapa yang bisa melukisnya di saat semua orang fokus pada pertunjukkan tadi? Selain itu, ada inisial DC di ujung bawah kanan kertas membuat Louisa makin mengira kalau pemiliknya adalah Dean Cross. 

Bagaimana bisa?

Louisa beralih ke surat yang ditulis oleh si pengirim dalam hati. Banyak kata-kata penuh penyesalan yang tercurah dan Louisa merasakan ada ketulusan di sana. Dia membungkam bibir membaca satu kalimat yang pernah dia lontarkan saat berada di Milan. Perasaannya makin campur aduk mengetahui kalau si pengirim benar-benar mengingat detail kata yang terucap dari mulut Louisa. 

Aku tidak tahu harus dari mana memulainya. Tapi ... aku baru merasakan apa yang kau katakan dulu padaku saat kita di Milan. 

'Ketika kau menyadari bahwa orang yang menyayangimu pergi, kau akan menyesal seumur hidupmu.'

Dan itu yang membuatku benar-benar menyesal telah membiarkanmu pergi. Kadang aku bertanya-tanya, masih pantaskah aku mendapatkan kesempatan di saat akulah pria yang berulang kali menghancurkanmu? Aku benar-benar minta maaf. Maafkan aku telah membuatmu terluka seperti ini, membuat orang-orang membencimu sampai pada akhirnya kau terpaksa memadamkan mimpimu, Lou. Aku minta maaf. 

Aku tidak akan menyangkal lagi, bahwa aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Aku hanya terlalu buta akan masa lalu hingga tidak sadar kalau aku juga mencintaimu, Lou. Aku mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. 

Apakah kita masih bisa memulai segalanya dari awal? Hanya kau dan aku, Louisa?

Napas Louisa makin terasa sesak seakan-akan udara di sekitar telah terisap habis oleh sebuah mesin raksasa. Untaian kalimat yang menunjukkan jika pria itu benar-benar menyesal setengah mati sampai merasa tak pantas untuk mendapatkan cinta lagi. Dia mengaku salah dan egois atas apa yang dilakukannya pada Louisa dulu, termasuk menyia-nyiakan cinta gadis itu. 

"Lou ..." lirih Cory. 

"Dari mana dia tahu aku di sini?" tanya Louisa sesenggukan merasakan matanya terasa pedih. Dia tidak tahu harus berkata apa selain ingin menemui Dean secara langsung. Namun, di sisi lain, ada sebuah rasa takut yang membelenggu Louisa seandainya dia berjumpa pria tersebut, maka luka-luka yang ditorehkan Dean akan muncul tanpa bisa ditahan. Bayangan ketika pria itu menolak dan menyuruhnya pergi membuat Louisa merasa sakit hati. 

Sebelum Cory menanggapi, seorang panitia berkemeja motif vertikal biru mendatangi Louisa dan berkata, "Apa Anda Ms. Louisa Bahr?"

"I-iya." Louisa menghapus derai air matanya dengan punggung tangan. "Ada apa?"

Pria itu memberinya secarik surat lagi dengan setangkai bunga mawar. "Ada seseorang yang meminta saya untuk menyampaikan ini."

"Kau tahu siapa orangnya?" tanya Louisa. 

Pria itu menggeleng lemah. "Sayangnya tidak. Dia hanya berkata kalau saya harus memberikan ini kepada balerina cantik yang tadi tampil bersama anak-anak."

"Itu pasti Dean," sahut Cory. "Di mana dia?"

Louisa membaca surat itu lagi dengan cepat. 

Aku ingin menemuimu untuk sekali lagi. 

"Ada di depan pintu keluar tadi, dia berdiri di sana," jawab si panitia membuat kaki Louisa tergerak tuk berlari ke arah yang ditunjukkannya. 

"Lou!" seru Cory. "Louisa!" teriaknya berusaha memanggil Louisa namun diabaikan. 

"Dean ..." lirih Louisa menerobos orang-orang yang akan tampil. Tangannya gemetaran bukan main, mengetahui Dean berada di sini untuk melihatnya berada di atas panggung. Perasaan takut sekaligus rasa sakit hati itu masih berputar-putar dalam perut Louisa, menimbulkan sensasi mual. Di samping itu juga, ada sesuatu yang mendorongnya untuk mendatangi Dean dan menghadapinya apa pun yang terjadi. 

Apakah ini rindu?

Apakah cintanya kepada lelaki itu masih belum pudar?

Jutaan pertanyaan tentang Dean memenuhi benak Louisa, kenangan bersamanya seketika berputar begitu cepat seperti film yang membangkitkan gelora yang sempat padam. Suaranya, wangi tubuhnya, hangat dirinya saat mendekap Louisa, bahkan cara dia memandang. 

Aku hampa tanpamu, Lou. 

Yang ketiga adalah mimpi burukku, Lou. 

I want you, Louisa. Aku menginginkanmu ...

Imajinasi akan Dean buyar manakala Louisa mendapati lelaki itu berdiri dan bertemu tatap dengannya. Jantung Louisa serasa berhenti berdetak melihat penampilan Dean benar-benar begitu berbeda daripada yang terakhir kali dia ingat. Tubuhnya memang agak kurus, setelan kemeja yang biasanya memeluk erat otot-otot Dean kini tampak longgar bersamaan sorot mata birunya sangat suram seakan-akan tidak ada kebahagiaan yang terpancar di sana. 

Dagu Dean ditumbuhi janggut yang begitu subur, membuatnya tampak jauh lebih tua daripada usia sebenarnya. Lingkaran hitam di bawah mata pria itu juga begitu kentara. Separah itukah derita yang dirasakan Dean? 

Kaki Louisa mendadak kaku tak mampu bergerak mendekati pria itu. Perasaan yang melilit perutnya makin meningkat seiring tarikan napas Louisa yang terasa berat. Sesaat dia meragu pada diri sendiri, apakah ini trik lain dari Dean untuk memanipulasinya lagi atau lelaki itu benar-benar sudah tobat atas dosa-dosanya. 

"Lou ..."

"Dean ..." 

***

Tinggal satu bab lagi, yok bisa yok temen-temen komen apa yang bakal terjadi setelah mereka bertemu kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro