20. Ambis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang Leila lakukan setelah sampai rumah adalah menangis. Sesak di dadanya belum berkurang bahkan ketika ia sudah melontarkan kebenciannya pada sumber utama masalah ini muncul, Arya.

Leila sama sekali nggak menyangka Arya akan muncul di saat yang tepat. Melihat cowok itu seketika membuat seluruh kemarahannya meledak, semua kekecewaan yang di hadapkan padanya, semua cibiran yang ia dapatkan, semuanya karena cowok itu.

Leila ingin memukul wajahnya, menendang kakinya atau menginjak perut Arya. Semua itu mungkin bisa melegakan sedikit rasa marahnya, tapi nyatanya itu hanya terjadi dalam kepalanya. Melihat tatapan khawatir di mata cowok itu meluruhkan seluruh energinya yang tersisa.

Sampai detik ini Arya belum menghubunginya lagi. Leila memang memblokir kontak Arya, tapi ia nggak benar-benar menutup akses komunikasi dengan cowok itu. Kemarahannya pada Arya belum sepenuhnya terluapkan, Leila nggak bisa membiarkan cowok itu melenggang seenak jidat tanpa merasa bersalah.

Leila nggak tau, apakah Arya tau alasan dibalik semua kata-kata kasarnya tadi? Apa cowok itu tau mulai besok ia nggak lagi jadi bagian tim rahasia PN? Apa cowok itu bahwa dia lah penyebab semua ini terjadi?

Mengingat hal itu membuat api kemarahan dalam dirinya kembali bergejolak. Leila menggenggam sendoknya kuat-kuat, menyalurkan seluruh emosinya pada benda itu.

"Kamu abis nangis?"

"Iya," jawabnya dengan datar, kembali makan tanpa memperdulikan tatapan ayahnya.

"Kenapa nangis?"

"Pengen aja."

Ayahnya mendecak pelan. "Pengen es krim tuh wajar, pengen pecel lele atau bebek goreng Madura juga wajar. Ayah baru denger ada orang pengen nangis."

"Yaudah, Ayah udah denger dari aku barusan."

"Kamu berantem sama Arya lagi?"

Mendengar nama itu disebut membuat Leila mendengus. "Emang kapan aku sama dia nggak berantem?"

"Berarti lagi berantem?"

"Nggak."

"Tadi katanya."

"Rumit pokoknya, Yah. Aku capek."

Tangan besar ayahnya menepuk pelan puncak kepalanya. Usapan lembut itu masih jadi penenang paling mujarab. Kalau aja bisa ia ingin cerita semua hal ini pada ayahnya, menangis di pelukannya sampai tertidur dan melupakan sejenak segala masalahnya. Seperti yang selalu dilakukannya saat kecil, tapi makin beranjak dewasa ia mulai menyadari ada hal-hal yang nggak bisa diceritakannya pada sang ayah dan itu menyiksanya. Karena cuma ayahnya yang mengerti, yang bersedia mendengarnya tanpa justifikasi dan akan selalu mendukungnya dalam hal apa pun.

"Tuh kan, nangis lagi. Sedih ayah lihat kamu nangis."

Tangis Leila pecah di meja makan, di hadapan tumis kangkung dan tempe goreng serta sambel tomat favoritnya.

"Ayah sih!"

"Lho kok, Ayah?!"

Leila mengusap air matanya di pipi, lalu menatap ayahnya dengan sendu. "Yang ini nggak bisa diceritain, Yah. Pokoknya aku pengen nangis aja bawaannya."

Ayahnya mengangguk, walaupun matanya menyorotkan ketidak setujuan. "Iya, Ayah ngerti. Tapi, Ayah beneran sedih lihat kamu nangis. Kayak, Ayah gagal aja jadi orang tua."

"TUH KAN! AYAH!"

Ayahnya tertawa geli, seolah melihatnya menangis dan merengek seperti anak kecil adalah hal lucu.

"Ah, males sama Ayah!" Leila mengusap air mata di pelupuk matanya yang basah sambil manyun.

Leila nggak suka tiap ayahnya mengatakan hal seperti itu, ayahnya bukan orang tua yang gagal, ayahnya adalah ayah terbaik yang ada di dunia.

"Yaudah. Nggak pa-pa kalo mau nangis. Tapi, kalo capek nangis sendirian panggil Ayah ya, nanti Ayah temenin nangis."

Leila menaikkan kedua alisnya. Rasanya sedikit perih karena matanya terus menerus mengeluarkan air mata sejak tadi. Leila bahkan nggak mau menatap cermin demi menghindari kebencian pada dirinya sendiri yang menyedihkan.

"Ayah ikutan nangis juga."

"AYAH!"

•×•


Arya nggak kaget saat tiba di rumah Leila dan mendapati ayah Leila menatapnya dengan tatapan tanya.

"Kali ini berantem kenapa?"

Arya melepaskan tangan ayah Leila dari tangannya setelah menyalaminya. "Leila cerita, Om?"

"Nggak. Cuma semaleman nangis aja. Ditanya kenapa, bilangnya lagi pengen nangis."

Arya mengangguk-angguk. Leila pasti nggak akan bilang tentang tim rahasia PN pada ayahnya. "Gitu deh, Om. Masalah sama temen juga kayaknya."

Laki-laki dengan seragam PNS itu ikut mengangguk. "Wajar sih, masih remaja. Yaudah, Om titip Leila aja di sekolah. Tolong diawasi biar nggak lupa makan dan lupa jalan pulang."

Arya mesem mendengar permintaan tolong itu. Tanpa diminta pun, ia pasti akan melakukannya. Setelah pamit Arya melajukan motornya keluar kompleks perumahan Leila, di dekat gapura ia menepikan motornya. Diraihnya ponsel di kantong seragam pramukanya, mencari satu nama di sana dan mendekatkan benda canggih itu ke telinganya.

"Kenape?"

"Tolong cek-in Leila. Dia udah nyampe belom."

"Gila lo! Gue masih ngantri di depan tukang nasi uduk!"

"Nasi uduk mana?"

"Biasa."

"Nitip satu, pake telor, sambelnya banyak."

"Diganti nggak duitnya?"

"Biasanya gue ganti nggak?"

"Nggak."

"Goblok! Beliin dulu!"

"Bacot!"

Arya kembali memasang helmnya dan mengendarai motornya seperti biasa, sebelum ada Leila di boncengannya. Itu cukup mempersingkat waktu lima menit lebih awal dari biasanya.

Begitu memarkirkan motornya, Arya buru-buru menuju kelas Leila. Mengecek keberadaan cewek itu dan memastikan keadaannya lebih baik dari kemarin. Tapi, Arya harus menemui kekecewaan. Bukan hanya keadaan Leila yang lebih parah dari kemarin, Arya dibuat menahan diri untuk nggak merisak cowok berkacamata di sebelah Leila.

Arya melangkah panjang-panjang tanpa suara ke bangku Leila yang sedang menaruh kepalanya di meja dengan rambut yang dibiarkan menutupi wajahnya. Orang pertama yang menyadari keberadaannya jelas cowok itu, Septian.

"Le-."

Arya memberikan kode dengan gelengan kepala. Ia tau, kemunculannya pagi ini bisa merusak mood Leila. Tanpa masalah ini, Leila selalu ngamuk di dekatnya apalagi saat ada masalah seperti sekarang. Arya nggak tega harus melihat cewek ini bersedih, ingatannya tentang Leila yang menahan tangis kemarin cukup membuat tidur Arya nggak nyenyak.

Kotak susu strawberry ia letakkan dekat kepala Leila. Arya berusaha menahan keinginannya untuk mengusap kepala Leila, memberikan penyemangat pada cewek ini dan mengatakan seluruh rasa penyesalan juga kata maaf yang semalaman ia susun.

Setelah menghela napas dalam-dalam, Arya memutar tubuhnya. Meninggalkan Leila yang masih menaruh kepala di meja dan Septian yang menatapnya dengan tatapan tanya serta kerutan di dahi. Sulit bagi Arya melakukan ini semua, ia terlanjur terbiasa dengan kebiasaannya membuat Leila cemberut di pagi hari, menaruh susu kotak di meja atau tas cewek itu, mengucapkan kata-kata manis yang menurut Leila sangat cringe, dan sederet kebiasaan lain yang membuat Arya begitu kehilangan saat keluar kelas Leila tanpa mendengar suara cewek itu.

Terakhir kali ia mendengar suara Leila kemarin, saat cewek itu mengatakan kalau Arya menghancurkan hidupnya dan betapa bencinya Leila pada dirinya. Arya tersenyum masam. Entah kenapa kebencian Leila kali ini lebih melukainya dan bahkan Arya rela menjauh demi ketenangan Leila, sesuatu yang sangat jauh dari kebiasaannya dulu.

Arya melangkah gontai menuju kelasnya di ujung koridor, menaruh tasnya di kelas yang masih sepi lalu keluar dan menuruni tangga menuju kantin dua belas. Perutnya belum terisi pagi ini dan Willy juga belum memberi kepastian padanya tentang nasi uduk pesanannya.

Bayangan sepiring nasi goreng hangat yang akan segera ia lahap buyar saat matanya nggak sengaja bertemu dengan sepasang mata milik Lily di koridor ekskul tempat berjajar ruang-ruang ekskul di SMA Persada Nusantara. Kalau kemarin ia masih menyambut cewek itu dengan senyuman lebar, hari ini rasa marah lebih dominan dalam diri Arya.

"Kenapa lo? Marah sama gue?"

Pertanyaan itu dibalas Arya dengan dengusan. Matanya menatap manik mata Lily dengan berani. "Marah lah gila. Cewek gue dibikin nangis."

Lily terkekeh. "Lo marah sama gue karena gue bikin nangis Leila? Atau lo marah sama gue karena lo ngerasa bersalah sama Leila?"

"Ap-."

"Gue yakin lo tau, Ya. Lo punya andil besar dari kesedihan Leila kali ini."

•×•

Leila menatap kosong ke arah kotak susu strawberry di hadapannya, ketukan berirama dari pulpen yang terselip di jarinya jadi suara yang paling ia dengar saat ini, mengalahkan suara bising kelasnya juga isi kepalanya.

"Lo udah ngasih buku besar ke Bu Debby kan?" tanya Rizka di samping Leila dengan ekspresi penuh kehati-hatian.

Melihat wajah Leila pagi ini dengan mata sembab dan ekspresi dingin, Rizka cukup paham kalau teman sebangkunya ini lagi nggak mood untuk diajak ngobrol. 

"Udah," jawab Leila pelan tanpa menoleh ke arah Rizka.

"Takutnya lo lupa."

"Gue cuma lupa sekali doang, omongan lo berasa kayak gue selalu lupa tugas," balas Leila sadis.

"Iya, sorry," ujar Rizka sambil mendengus masam, berusaha nggak membalas ucapan Leila sama ketusnya.

"Lo kenapa, Le?" tanya Rizka nggak lama kemudian, rasa penasarannya nggak bisa ditahan lagi. Sejak pagi ia bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada Leila, Rizka ingin bertanya pada Arya tapi tuh cowok nggak bisa ditemui sampai bel masuk berbunyi.

Leila menegakkan punggung dan bersandar pada sandaran kursi, tatapannya masih tertuju pada kotak susu strawberry di meja.

"Lo berantem sama Arya? Kenapa?" tanya Rizka beruntun.

"Emang kapan sih gue sama dia nggak berantem?"

Rizka mengedikkan bahu. "Akhir-akhir ini lo kelihatan enjoy sama dia."

Leila termenung, memikirkan ulang kalimat Rizka lalu memutar kembali ingatannya sebelum kejadian ini. Pesan terakhirnya pada Arya adalah memberi tau keberadaannya saat itu, di kafe tempat mereka makan es krim minggu lalu.

"Eh, Riz!"

Leila ikut menoleh ke arah Willy yang menepuk bahu Rizka.

"Apaan?"

"Lo MTK udah kan? Udah dong, anak rajin nan ambis kek lo berdua pasti udah ngerjain."

Rizka mendengus sedangkan Leila bereaksi sebaliknya, tangannya menyahut buku MTK yang diminta Willy lalu melemparnya ke arah wajah cowok itu.

"Kalo mau minta contekan yang sopan!" bentak Leila.

Willy melongo sekian detik, tapi nggak lama kemudian cowok itu mendelik dengan wajah kaku. "Belagu amat lo mentang-mentang pinter terus jadi kesayangan guru-guru. Ngerasa di atas angin lo?"

"Emang! Gue pinter! Gue rajin! Gue kesayangan guru-guru! Kenapa?! Lo iri?!" balas Leila yang sudah menaikkan nada suaranya. Tatapannya menantang ke arah Willy.

Beberapa orang yang duduk di sekitar mereka mulai memperhatikan pertengkaran klasik ini.

Willy terkekeh sinis. "Iri lah! Jadi lo kan enak, tugas ketinggalan bisa minta waktu tambahan, nggak ikut ujian bisa minta susulan. Ada untungnya juga lo ngambis dari kelas sepuluh."

Seringai lebar di wajah Willy lenyap saat Leila tiba-tiba berdiri dan mendorong meja cowok itu sampai membentur dadanya. Seisi kelas mendadak hening dengan tatapan tertuju pada keduanya.

"Salah kalo gue ngambis?! Salah kalo gue pengen nilai gue bagus?! Salah kalo gue punya cita-cita?!" cecar Leila dengan nada tinggi.

"Kalo lo iri ya belajar! Jangan cuma ngatain orang ambis-ambis! Gue udah selalu sabar tiap lo ngatain gue sama Rizka ambis, Wil! Dari kelas sepuluh!" seru Leila.

Rizka mencoba meraih tangan Leila tapi gagal. Leila menunjuk Willy dan menatap cowok itu penuh kemarahan.

"Gue ambis juga nggak jahat! Ada yang minta contekan gue kasih! Ada yang nggak ngerti gue ajarin!" Leila menghela napas dalam-dalam. "Kapan gue ambis tapi lupa sama lo pada? Nggak pernah!"

"Le, udah."

"Gue nggak pernah mau bilang tapi lo beneran keterlaluan kali ini," ucap Leila dengan nada rendah pada Willy yang masih termenung dengan posisi sama.

"Lo jahat, Wil. Mulut lo, jahat," tandas Leila tajam.

•×•

DraftPN

Dari : penghuni lantai dua
Untuk : segenap warga PN
Pesan : emang salah ya jadi anak rajin? Kenapa gue selalu dibilang ambis? Padahal gue cuma mau punya nilai bagus dan banggain ortu gue.

•×•

Makasih buat yang udah baca, vote dan komen!

I love you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro