27. Pintar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Leila sedang berdiri di depan lemari pendingin minimarket depan kompleksnya saat seseorang menepuk pundaknya dari samping, ia sontak menoleh dan mendapati senyum yang sangat dikenalnya.

"Lo ngapain di sini, Sep?"

Iya, Septian yang itu.

"Mau beli minum lah."

Leila mendecak. "Maksud gue, kok lo bisa sampe sini? Rumah lo kan jauh dari sini?"

"Abis dari rumah temen. Haus di jalan terus mampir ke sini."

"Oh." Leila mengangguk-angguk.

"Gue kira yang bengong di sini bukan lo, pas deket ternyata emang lo," ujar Septian membuka lemari pendingin di depan mereka.

"Gue nggak bengong, Sep. Lagi mikir doang," elak Leila.

Cowok itu cuma mengangguk kecil. "Lo mau apa, Le?" tanya Septian setelah mengambil sebotol kopi instan.

"Susu strawberry deh, dua."

Septian mengambil dua kotak susu warna biru dengan sedikit warna pink itu lalu memberikannya pada Leila. "Lo nggak bosen minum susu strawberry mulu?"

Leila menoleh ke belakang, menatap Septian yang mengekorinya menuju lorong snack. "Lo bosen nggak makan donat gula tiap hari?"

Bibir Septian membentuk garis lurus. "Nggak sih. Kadang-kadang doang."

Leila mengedikkan bahu. "Nah!" langkahnya berhenti di depan rak berisi berbagai macam snack.

"Lo suka apa?"

"Suka yang lagi promo," jawab Leila dengan mata membaca satu persatu kertas yang ada di rak, menghitung cepat estimasi harga promo yang tertera.

Septian terkekeh di belakang Leila. Tangannya bergerak mengambil dua pouch wafer yang sedang promo. "Ambil satu lagi, ntar bonusnya buat lo."

Leila mengangguk dengan senyum lebar dan secepat kilat menyambar pouch wafer rasa coklat.

Keduanya berjalan menuju kasir, Septian langsung mengambil posisi di depannya, mengambil alih semua barang yang mereka bawa.

"Gue dulu yang bayarin," kata Septian yang Leila angguki dan memberikan tas canvas miliknya pada cowok itu.

Leila memutar tubuhnya, mengambil jarak agak jauh dari kasir karena ada orang lain yang mengantri di belakang Septian. Ia memutuskan berdiri dekat stand roti dengan mata yang menatap punggung Septian yang kelihatan ganteng hari ini dengan kaos dan jeans serta kemeja flanel yang seluruh kancingnya sengaja dibuka.

Leila nggak bohong waktu bilang Septian ganteng. Faktanya cowok itu emang ganteng walaupun nggak bisa dibilang ganteng banget dan nggak seganteng Wonpil. Cukup lah untuk bisa dipamerkan, cowok itu juga pintar dan tinggi. Sungguh tipe pacar yang ideal.

Ponsel di saku cardigannya bergetar, ia memutuskan keluar mini market dan berdiri dekat pilar. Layar ponselnya menampilkan pesan dari Rizka yang sedang dalam mode fangirlingan gara-gara preview terbaru drummer favoritnya, cewek itu juga mengirimkan foto Wonpil yang langsung membuat hormon serotonin dalam tubuh Leila meluap, senyumnya makin lebar menatap foto dalam bentuk preview itu dengan mode zoom.

"Lihatin apaan sih?"

Kepala Leila mendongak, Septian sudah berdiri di depannya dengan tatapan tanya dan tangan yang menenteng tas canvas serta dompetnya.

Leila menggeleng dan mengantongi ponsel. "Lihatin orang ganteng," jawabnya masih dengan senyum lebar.

"Lo pulang naik apa, Le?" tanya Septian mengedarkan pandangannya ke halaman parkir minimarket.

"Jalan kaki, kan tinggal nyebrang terus masuk ke gang-gang," jelas Leila. Tangannya bergerak mengambil tas canvas dari tangan Septian.

"Yaudah gue anter aja, dari pada jalan."

Leila menghentikan gerakan tangannya yang berada dalam tas canvas. Ia menatap Septian dengan kerutan di dahi dan sorot mata terkejut.

"Serius?"

Septian mengangguk. "Situ doang kan?"

Leila mengangguk, menarik tangannya dan memundurkan tubuhnya selangkah. Posisinya tadi terlalu dekat dengan Septian dan entah kenapa Leila merasa itu bukan hal yang bagus.

"Yuk."

Leila menurut, mengambil alih tas canvas berisi jajanan mereka. Kedua mata Leila nggak lepas dari Septian, dari cowok itu memasang helm, memundurkan motornya sampai akhirnya menoleh untuk memanggilnya dan terus menatapnya sampai ia naik ke boncengannya. Saat itu juga suara Arya masuk ke dalam otaknya.

Gue pernah bilang ke lo kan, Le. Lo tau pasti siapa yang ngirim draft itu.

•×•

"Udah sih, Sep, kalo nggak bisa nggak pa-pa. Emang kita belum nyampe situ belajarnya."

"Gue udah pernah bahas soal kayak gini sama nyokap, tapi gue lupa."

Leila mendecak. "Dasar anak guru."

"Kenapa emang? Mau juga?"

Leila mendesis sedangkan Septian terkekeh. Cowok itu masih santai memakan wafer promo yang mereka beli tadi sambil bolak-balik mencoret-coret kertas HVS yang sudah penuh angka.

Setibanya mereka di depan rumahnya tadi, Leila secara formalitas selayaknya masyarakat di negara ini menawarkan Septian untuk mampir yang sialnya langsung diiyakan cowok itu. Bukan, bukan Leila nggak suka Septian ke rumahnya cuma keadaannya sedang tidak memungkinkan. Leila masih nggak bisa melepaskan kecurigaannya, ralat, kecurigaan Arya yang bilang kalau Septian menyukainya.

Leila sudah sering memikirkan hal ini tapi tetap saja, ia masih belum yakin dengan hal itu walaupun beberapa bukti telah menunjukkan tuduhan Arya benar adanya. Leila cuma nggak habis pikir, gimana ceritanya seorang Septian suka padanya?

Septian yang Leila kenal sejak MOS sebagai siswa pintar yang punya nilai Ujian Nasional sepuluh besar di angkatannya. Septian yang jadi teman debat dan diskusinya. Septian yang ia jadikan acuan untuk mengalahkan cowok itu dalam segi nilai. Septian yang suka makan donat gula. Septian yang kini ada di rumahnya dan dengan santainya mengerjakan soal matematika sambil ngemil wafer yang mereka beli bersama.

Leila geleng-geleng kepala. Nggak mungkin kan Septian suka padanya? Apa nilai lebihnya di mata cowok itu? Ia cuma cewek judes yang ambis di kelas dan kebetulan duduk di depan cowok itu.

"Le!"

"Eh?! Apa?!"

Septian mendengus. "Lo mikirin gue sampe segitunya."

"Apa?!"

Septian menaruh pulpennya di atas buku soal, lalu mengalihkan perhatiannya pada Leila. "Lo ngapain ngelihatin gue terus? Sambil bengong lagi."

"MASA SIH?!" Leila nggak bisa menahan lengkingan suaranya dengan wajah yang merah menahan malu.

Sial, ketahuan!

Cowok di depannya itu mengangguk, dari jarak yang kurang dari semeter dan terhalang meja ruang tamu, Leila bisa melihat senyum tipis di wajahnya.

"Kenapa? Ada yang mau lo tanyain? Tanya aja, bebas, gue jawab sebisanya."

Leila menelan ludah. Mampus gue nggak bisa ngelak lagi.

"Gimana rasanya jadi anaknya guru?" tanya Leila asal.

"Lo udah pernah nanya kayaknya."

"Masa sih? Gue lupa," bohong Leila. Ia masih ingat jawaban Septian saat ditanya pertanyaan yang sama persis, masalahnya cuma itu yang terlintas di otaknya tadi.

Septian menaikkan kedua alisnya dengan tatapan nggak percaya yang dibalas decakan Leila.

"Gimana rasanya coba udah bahas materi matematika kelas dua belas padahal lo masih kelas sebelas?"

"Biasa aja," jawab Septian dengan tangan yang kembali bergerak mengambil potongan wafer. "Lo sama Rizka juga suka bahas soal sejarah duluan kan?"

Leila langsung geleng-geleng kepala. "Beda lah! Sejarah atau pelajaran lain yang isinya hapalan bisa dipelajari duluan, nah kalo matematika? Gila aja!"

"Nggak gila, Le. Gue masih di sini, bukan di RSJ."

Leila mengedikkan bahu nggak peduli dan memilih menyedot habis susu strawberry miliknya.

"Iseng aja waktu itu nyokap lagi koreksi soal, terus gue lihat dan malah jadi bahas soal kayak gini. Tapi, gue lupa ini selanjutnya gimana, kok nggak ada jawabannya."

Leila memperhatikan ekspresi Septian yang kembali berkutat dengan soal. Ia mendadak menyesal memberikan soal itu pada Septian, pasti setelah ini cowok itu nggak berhenti membahas soal sampai ketemu jawabannya.

"Lo kenapa nggak masuk IPA aja sih, Sep?"

"Kenapa harus masuk IPA?"

"Biar otak lo lebih maksimal."

"Emang kalo di IPS otaknya jadi nggak maksimal?"

Leila geleng-geleng. "Nggak gitu. Tapi, lo tuh aura anak IPA banget, kelihatan pinter dan suka itung-itungan. Kalo IPS kan lebih banyak materi hapalan."

"Akuntansi nggak ngitung emang?" tanya Septian lagi.

"Itung-itungan juga. Tapi, kan beda."

Septian menatap Leila. "Bedanya?"

"Akuntansi ngitung duit, kalo di IPA ngitung rumus kimia terus fisika yang lebih rumit. Banyak dah."

"Nggak usah dikotak-kotakin gitu lah. Semua jurusan sama aja kok," balas Septian kalem tanpa menoleh ke arah Leila dan sibuk dengan hitung-hitungannya.

Leila beralih membuka pouch wafer yang lain. Septian bilang bonus promo itu untuknya, tapi nyatanya Septian menghabiskan satu pouch untuk dirinya sendiri dan ia yakin pouch wafer kedua di hadapan cowok itu tinggal separuh.

"Lo kuliah mau jurusan apa, Sep?"

Septian menoleh, tapi bibir kedua cowok itu terkatup rapat. Kedua matanya terlihat kosong sepersekian detik sebelum kemudian senyum manisnya terbit. "Nggak tau."

Leila nggak pernah merasa seterkejut ini sebelumnya, seenggaknya selama mengenal Septian. "Demi apa lo belum tau mau masuk mana abis ini?!"

"Masih setahun lagi, Le. Lo ngomong berasa kita udah kelas dua belas."

"SEBULAN LAGI KITA KELAS DUA BELAS SEPTIAN!"

Septian tertawa keras merespon pekikan Leila. Sedangkan Leila menarik napas panjang dan mengipasi wajahnya yang malu karena kelewat histeris.

"Iya sebulan lagi ya."

"Ish! Gue ngga ngerti deh sama lo, Sep. Gue kira lo tuh yang udah ter-planing hidupnya, secara lo tuh kesehariannya rapi dan teratur!" ujar Leila menggebu.

Dengan sisa-sisa tawanya Septian mengulas senyum. "Ekspektasi lo ke gue ketinggian."

Perasaan menggebu yang tadi mendominasi karena keterkejutannya atas pengakuan Septian lenyap dalam sekian detik. Leila terdiam. Kalimat itu menamparnya dengan keras. Kedua matanya mengedip cepat, berusaha mencerna semua hal dan rasa bersalah tiba-tiba merayap di hatinya.

"Jangan ekspektasi yang tinggi-tinggi, apalagi ke manusia," lanjut Septian.

"Iya sih." Leila menggaruk alisnya dengan jari. "Tiap orang kan beda-beda tujuannya. Sorry, ya Sep."

"Iya santai aja. Lagian, nggak tau mau apa dan kemana bukan berarti nggak punya cita-cita atau nggak mau berusaha."

"Iya sih, setuju."

"Lo mau jurusan apa, Le?"

Leila kembali menatap Septian. "Pengennya sih Hukum Internasional."

"Wih! Keren!" Septian mengangkat kedua jempolnya pada Leila yang dibalas decakan.

"Lo pernah nggak sih, takut kalo apa yang lo pengenin nggak kesampaian?"

Pertanyaan dengan nada serius itu berhasil mengalihkan Septian dari deretan angka di depannya. Kini perhatiannya hanya tertuju pada Leila yang duduk di kursi panjang ruang tamu.

"Sering. Jaman-jaman gue SMP pas ikut lomba selalu ngerasa takut. Takut nggak menang, takut bikin kesalahan, takut ngecewain semua orang," jawab Septian. Ia menghela napas pelan sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya. 

"Tapi, ya harus dihadapi, cuma itu pilihannya kan? Gue nggak bisa tiba-tiba kabur karena takut kalah."

"Terus, kalo apa yang lo pengen nggak kesampaian biasanya lo gimana?"

"Gagal maksudnya?"

Leila memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. "Bisa dibilang gitu. Atau mungkin kecewa karena apa yang kita mau nggak kesampaian."

Septian menegakkan punggung. "Terima aja, emang itu kenyataannya."

Dahi Leila mengerut nggak setuju. "Lo nggak berusaha memperbaiki gitu? Atau marah karena ngerasa nggak becus?"

"Memperbaiki sama maksa kadang beda tipis, Le," balas Septian dengan senyum kecil. "Lagian, becus nggak becus bukan dinilai dari gagal atau berhasil sih menurut gue."

Leila menaikkan kedua alisnya, tatapannya menuntut penjelasan lebih.

"Kalo gue udah ngeluarin semua kemampuan gue dan nggak berhasil apa itu layak dibilang nggak becus? Ada hal lain yang mempengaruhi keberhasilan."

"Maksudnya?"

"Faktor keberuntungan misalnya. Faktor takdir Tuhan."

Leila termenung sesaat. "Gue jadi makin takut."

Kedua mata Septian membulat. "Takut kenapa?"

"Takut kalo nanti gue nggak berhasil dapet HI di Universitas yang gue pengen."

Raut wajah Septian berubah melunak. Sorot mata teduh dibalik kacamatanya tertangkap jelas oleh Leila. "Nggak usah takut. Gagal atau kecewa itu hal yang lumrah, Le."

"Iya sih, tapi-."

"Belum apa-apa aja lo udah takut. Berusaha dulu semaksimal mungkin, hasilnya gimana ya nanti dipikirin lagi. Takut dan khawatir nggak bikin lo jadi lebih kuat, yang ada makin lemah."

Bibir Leila mengulas senyum lebar. "Makasih petuahnya, Sep."

Leila melihat keterkejutan di mata Septian, tapi hanya sebentar. Cowok itu kemudian tertawa.

"Sama-sama, senang bisa membantu."

Tawa Leila menyembur, melebur bersama tawa Septian.

Siang menuju sore itu dihabiskan dengan pemecahan soal matematika, bersama potongan wafer renyah dan juga serpihan hati yang bermekaran.

•×•

DraftPN

Dari : gue
Untuk : lo semua
Pesan : naik kelas 12 aja belom, tapi udah ditanyain mulu mau kuliah dimana

•×•

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro