30. Api Unggun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Eh, eh, bentar deh."

Arya ikut berhenti di tepi koridor depan aula yang lumayan ramai siang ini karena bertepatan dengan jam pulang sekolah. "Apaan?"

"Lihat dah!"

Arya mengikuti arah yang ditatap Angga. Ke lapangan basket di lantai tiga. "Apaan sih?"

"Itu hilal."

"Hilal apaan?"

"Hilal kayaknya orang di sebelah gue abis dapet rejeki nomplok. Kira-kira gue minta traktiran apaan yak?"

Arya melepaskan diri dari Angga. "Nggak jelas, bego!"

Angga terbahak. Kembali dirangkulnya Arya sambil berjalan menuju kantin sepuluh. "Lo nggak mau cerita nih?"

"Cerita apaan sih?!"

"Kenapa muka lo cerah banget hari ini? Habis dapet undian shopee?"

"Kalo dapet juga gue nggak mau nraktir lo."

"Dih!"

Arya terkekeh. Ditatapnya Angga dengan senyum lebar yang secerah matahari jam tujuh pagi. "Semalem Leila nelepon gue."

"Ngapain? Nagih utang?"

Senyum Arya lenyap, berganti dengan decakan keras serta tangan yang berayun menggeplak kepala teman sebangkunya ini.

"Sorry, sorry!" ujar Angga terkekeh geli.

Keduanya berbelok memasuki koridor depan koperasi menuju kantin.

"Dia udah unblock instagram gue," lanjut Arya.

"Wow!"

Arya melempar tatapan sinis. Respon Angga barusan sangat terdengar palsu. "Anjing lo emang!"

Angga tertawa keras begitu memasuki kantin. Meja paling luar yang kebetulan kosong langsung jadi sasaran mereka untuk duduk.

"Gitu doang lo seneng?"

"Kan tadi gue bilang, Nyet! Dia nelepon gue!"

Dengan sisa tawa Angga mengangguk-angguk. "Terus?"

"Dia cuma minta gue cerita kemarin doang sih."

"Udah gitu doang?"

Arya mengangguk. "Lebay banget ya gue?"

"Lo kapan sih nggak lebay?" tanya Angga yang langsung dapat tendangan dari Arya di bawah meja.

Angga kembali tertawa. Arya menatap itu dengan pandangan jengah.

"Tawa aja lo tawa, lagi galau kan lo makanya ketawa mulu."

"Sialan!" Tawa Angga perlahan surut. Kedua matanya sedikit melebar saat menemukan sesuatu yang menarik di parkiran motor.

"Panjang umur Leila!" seru Angga yang langsung membuat Arya mendongak dari ponsel

Angga mengisyaratkan dengan dagunya. "Kayaknya ada yang butuh bantuan."

Arya mengikuti tatapan Angga. Kedua sudut bibirnya terangkat, senyum lebarnya terbit seiring dengan gerakan tubuhnya yang langsung berdiri dan berjalan ke arah parkiran.

"Jangan disosor anak orang!" seru Angga yang jelas Arya abaikan.

Arya menuruni undakan yang memisahkan bagian kantin dan parkiran motor dengan cepat. Sinar matahari yang menyengat di jam tiga sore ini nggak membuat senyum di wajahnya luntur.

Selangkah ia di belakang sosok yang sedang berusaha keras memindahkan motornya, Arya berusahalah menetralkan raut wajah. Arya nggak mau kelihatan terlalu bahagia, seenggaknya sekarang di depan Leila. Arya nggak mau Leila kembali menjauhinya karena ia bersikap agresif.

"Sini gue bantuin."

Tubuh Leila berputar, cewek itu sangat terkejut karena kedua matanya membulat dengan bibir yang sedikit terbuka. Hanya Tuhan yang tahu betapa sulitnya buat Arya menahan diri untuk nggak menarik Leila ke pelukannya detik ini juga.

"E-eh, apa?!"

"Sini gue bantuin," ulang Arya sekali lagi. Ia bergerak mendekat ke arah Leila untuk mengambil alih Scoopy moka milik cewek itu.

"O-oh, iya, bentar, ini gue keluar dulu."

Arya mundur tiga langkah, memberi akses pada Leila untuk keluar dari himpitan motor-motor di parkiran. Tapi, dengan tas punggung yang penuh, celah yang diberikan Arya itu nggak cukup untuk Leila bergeser ke samping.

Arya menelan ludahnya saat Leila berada di depannya, tepat sejengkal, ia bahkan bisa merasakan ujung sepatu mereka yang beradu, juga aroma parfum Leila yang berhasil mengobrak-abrik pertahanannya.

"Sorry," ucapnya dengan nada tercekat sebelum kemudian bergeser lebih jauh, membiarkan Leila menjauh dari motornya.

Arya mengalihkan fokusnya pada motor Leila, ia berusaha menahan gejolak dalam dirinya. Keinginan untuk memeluk Leila, mengungkapkan rasa rindu juga segenap penyesalannya. Arya tau telepon Leila semalam bukan berarti cewek itu akan kembali membuka pintu hati untuknya, tapi ia nggak bisa berbohong kalau hatinya mulai berharap lebih.

Keputusannya untuk menghampiri Leila dan membantu cewek itu mengeluarkan motornya dari parkiran adalah sebuah tindakan impulsif yang nggak Arya pikirkan dua kali. Hatinya yang sepenuhnya menggerakkan tubuhnya sampai di sini, di depan Leila tanpa persiapan menghadapi sikap Leila nantinya atau resiko lebih besar seperti penolakan cewek itu.

Saat bunyi halus dari mesin motor Leila terdengar, Arya menyadari satu hal. Leila nggak menolak bantuannya, cewek itu juga nggak memberikan tatapan galak seperti biasanya. Apa ini sebuah pertanda baik? Boleh lah ia berharap kali ini?

"Makasih."

Arya menstandarkan motor Scoopy moka milik Leila lantas mengangguk. "Iya sama-sama."

Arya masih berdiri di posisinya, di samping motor Leila sampai cewek itu mengambil alih motornya. Arya menatap lekat ke arah cewek di depannya ini, mencari perubahan apapun yang mungkin luput dari pandangannya selama hampir satu bulan ini.

"Lo kurusan ya, Le? Pipi Lo nggak setembem kemarin."

Lagi-lagi Leila memberikan tatapan kaget. Tapi, kali ini nggak lama karena tiga detik berikutnya cewek itu sudah mengubah raut mukanya.

"Turun dua kilo doang kok."

Pasti gara-gara gue.

Arya mengangguk. Rasa bersalah teramat jelas terlihat di manik matanya.

"Makasih udah bantuin."

"Iya sama-sama. Bilang aja kalo butuh bantuan lagi."

Leila mengangguk samar. Tatapannya berubah ragu saat menatap Arya. "Makasih juga udah angkat telepon gue semalem."

Kedua mata Arya sedikit membesar, ia nggak menyangka Leila akan membahasnya. "Iya, santai aja. Apa pun, buat lo."

Ada hening yang cukup lama, setengah menit Arya menunggu Leila untuk memutar kunci motornya tapi cewek itu nggak kunjung bergerak. Kedua matanya berlarian ke arah lain sebelum kemudian kembali menatapnya dengan lebih berani.

"Bisa nggak kita kayak gini aja?"

"Maksudnya?" tanya Arya dengan suara penuh kebingungan. Jantungnya berdegup cepat, pertanyaan Leila barusan menyinggung hubungan mereka dan entah kenapa ia merasa takut.

"Kayak gini. Jarak yang pas. Nggak jauh, tapi nggak deket."

Arya menatap Leila dengan tatapan nggak percaya. "Jelasin. Gue nggak ngerti," balasnya dengan nada menuntut.

"Kayak insta story lo kemaren. Mungkin yang kita butuhin emang jarak buat jadi asing, biar kita bisa memahami perasaan masing-masing, " tutur Leila dengan nada stabil, nggak ada keraguan di matanya.

"Apa ini artinya kesempatan gue udah habis?" Arya menatap Leila dengan luka yang begitu kentara.

"Lo tau api unggun?"

Arya mengangguk cepat, demi Tuhan perasaannya terombang-ambing tapi kenapa Leila masih sempat mengajaknya tebak-tebakan!

"Kasih gue jarak kayak api unggun. Kalo lo terlalu deket akan kebakar, kalo lo terlalu jauh lo akan kedinginan."

Arya masih nggak paham arah pembicaraan Leila. Tentang jarak juga api unggun.

"Terlalu deket sama lo bikin gue selalu terbayang masa lalu dan kemarahan gue belum bisa hilang. Tapi, gue juga nggak mau jauh dari lo."

Pernyataan itu berhasil meluruhkan gemuruh dalam dada Arya. Ada secercah harapan dalam kalimat itu.

"Sampe kapan?"

Leila tersenyum. Senyum yang sanggup membuat hati Arya yang terobrak abrik beberapa saat lalu, kini gegap gempita penuh rasa bahagia.

"Sampe gue sadar perasaan gue yang sebenernya ke lo."

•×•

Leila sudah memikirkan semuanya, sejak semalam, sejak telepon Arya dan ungkapan cinta cowok itu. Tiga kata sakral yang kembali punya makna sebenar-benarnya.

Sebut saja Leila nggak tau diri, meminta cowok itu memberinya jarak tapi di saat yang sama menginginkan Arya selalu membayanginya. Hanya agar saat Leila membutuhkannya, ia nggak perlu bersusah payah mencari, agar teleponnya dijawab tanpa ada pertanyaan kenapa, agar rasa rindunya pada cowok itu bisa tersampaikan walaupun tanpa kata.

Leila nggak menyangka kesempatan untuk mengutarakan hal tersebut datang sangat cepat. Ia benar-benar terkejut saat cowok itu muncul di depannya tepat ketika ia mengingat kenangan beberapa bulan lalu saat Arya membantunya mengeluarkan motor dari himpitan motor lain di parkiran sekolah. 

Semuanya terasa dejavu. Bedanya kali ini Arya lebih menjaga jarak seolah cowok itu takut menyakitinya jika bersikap terlalu dekat. Nggak ada kata-kata gombalan super cringe, nggak ada senyum lebar penuh kesombongan khasnya, nggak ada tawa meledek yang biasanya berhasil bikin ia murka. Leila benci mengakuinya tapi ia merindukan hal-hal itu.

"Cari gue kapan pun, di mana pun, jarak gue cuma semeter dari lo."

Senyum Leila kembali mengembang perlahan yang kemudian menjadi tawa geli mengingat ucapan Arya siang tadi. Bukan cuma jawabannya yang konyol dan mustahil, Arya juga bertingkah seperti ABG kemarin sore yang baru kenal cinta pertamanya. Cowok itu berusaha mempertahankan ekspresi cool-nya yang gagal karena kedua sudut bibirnya berulang kali berkhianat dengan menampilkan senyum lebar.

Leila seperti dibawa kembali ke masa lalu, masa dimana ia begitu mudahnya jatuh hati pada senyuman lebar Arya, pada kedua manik mata yang selalu bersinar cerah itu.

Tangan kanan Leila meraih ponsel yang ada di dekat lampu belajarnya, ditekannya ikon aplikasi berbagi foto itu lalu mengetik satu nama di search bar. Lingkaran berwarna ungu, pink dan kuning itu terlihat di bagian foto profil yang langsung Leila sentuh.

Foto itu diposting satu jam yang lalu, sebuah foto api unggun tanpa caption apa pun. Tawa Leila kembali terdengar memenuhi sudut-sudut kamarnya yang tenang malam ini. Tangannya sudah bergerak meng-capture postingan Arya itu. Lumayan untuk kenang-kenangan pikirnya. Tapi, kemudian ia berubah pikiran.

"Leila!"

"Ya!"

Leila menaruh ponsel di atas meja belajar dan bergegas keluar kamar karena panggilan ayahnya.

"Kenapa?" tanya Leila begitu ia sampai di ruang makan tempat ayahnya duduk menghadap dua kotak martabak.

"Ayo makan!"

"Tadi kan udah," balas Leila tapi kemudian menarik kursi dan duduk di depan ayahnya. "Lagian, udah malem ngapain beli dua sih?"

Ayahnya mendecak. "Ayah cuma beli satu, yang ini dikasih," jawab ayahnya menunjuk kotak martabak manis.

Leila mengambil sepotong martabak telur dari kotak. "Dari siapa? Pak RT?"

"Bukan." Ayahnya menggeleng dan mengikuti jejak Leila mengambil potongan martabak telur itu dan langsung memasukkannya dalam mulut.

"Dari Arya."

Gerakan tangan Leila yang akan memasukan potongan kedua martabak itu terhenti tepat di depan mulut. Matanya membulat ke arah ayahnya.

"Beneran. Kalo nggak percaya tanya aja."

Leila mendengus. "Ayah tuh kenapa deh, bawa-bawa Arya mulu!"

"Lagian emang nggak boleh? Dia kan pacar kamu, eh, mantan deh."

"Tuh kan! Ayah ngeledek!"

Tawa ayahnya pecah, gelegarnya mengalahkan kehebohan acara di televisi yang nggak jauh dari meja makan.

"Lagian kamu sama Arya kenapa sih? Hobi kok putus nyambung," balas ayahnya begitu tawanya mereda.

Leila nggak menjawab, sebagai gantinya ia membuka kotak martabak manis dan mengambil sepotong martabak dengan isian keju di dalamnya.

"Anak muda, Yah."

"Dulu ayah pas muda nggak pernah putus nyambung kayak kamu, sekali putus yaudah putus, tiada penyesalan."

Leila mengangguk-angguk tanpa berniat membalas ucapan ayahnya karena ia sudah kehabisan alasan. Ia sendiri bingung mendeskripsikan hubungannya dengan Arya.

Di tengah keasyikan mengunyah martabak keju, ponselnya berdering nyaring dari arah kamar. Leila memundurkan kursi lalu berjalan cepat ke kamarnya untuk mengecek siapa yang menelepon. Jantungnya sudah berdegup cepat mengira telepon itu dari Arya, tapi saat ia melihat nama Rizka di layar ponsel, Leila terkekeh. Ocehan panjang lebar apa lagi kali ini yang akan dilontarkan teman sebangkunya itu?

Rizka Nadilla
Sent photo
Sent photo
UDAH KAYAK IDOL KOREA AJA LO BERDUA SEGALA LOVESTAGRAM!
GUE AKAN TAGIH UTANG CERITA LO INI SAMPE PADANG MAHSYAR!

•×•


Kredit foto dari web tualangborneo via google.

•×•

DraftPN

Dari : fans jeketi
Untuk : kalian semua warga PN
Pesan : kalian tim nyebut martabak tuh martabak manis atau terang bulan?

•×•

Gue dulu nyebut martabak manis tuh kue Bandung tau pas di Semarang wkwkwkwkw
Itu sama apa beda sih? Rasa-rasanya sih sama

Makasih ya buat yang udah baca, vote dan komen!
Makasih banyakkkkk!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro