3 | Takdir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karina tidak sadarkan diri selama 3 hari akibat sambaran petir. Para dokter dan perawat di rumah sakit berucap, keadaan Karina bagaikan mukjizat. Umumnya, seseorang yang langsung terkena sambaran petir tanpa perantara, berakhir kehilangan nyawa, tapi Karina hampir tidak memiliki kerusakan saraf dan fisik yang serius, kecuali beberapa luka bakar kecil. Selain itu, kondisi Karina sangat baik.

Hal pertama yang Karina temukan ketika tersadar dari koma, mama dan papanya yang menangis histeris. Karina benar-benar membuat kedua orang tuanya khawatir, padahal semuanya karena kesalahan Cupid.

Pertemuan Karina dengan Cupid bagaikan bunga tidur, seolah-olah percakapan mereka saat berada di ruangan hampa itu hanyalah ilusi. Karina ingin percaya bahwa itu hanya mimpi, tapi kalimat terakhir Cupid tentang benang takdir membuktikan pertemuan mereka memanglah nyata. Sejak Karina kembali 'hidup', dia terus-menerus melihat benang misterius yang melayang-layang di udara, terikat di setiap jari orang hingga. Berkali-kali Karina mengucek mata, tapi benang-benang itu tidak kunjung menghilang dari penglihatannya. Benang-benang yang dilihat Karina banyak, hingga membuatnya merasa tak nyaman.

"Permisi." Seorang perawat mengetuk pintu dan masuk ke ruang inap Karina untuk memantau cairan infus yang hampir habis. Sembari sang perawat sibuk mengganti infus, Karina diam-diam melirik jari kelingking perawat yang terikat dengan benang merah. Karina memandang benang itu cukup lama, mungkin saja benang itu hanya kesalahan pada otaknya karena baru saja sadar dari koma.

Karina menutup mata, "satu, dua, tiga!" Kemudian membuka lebar matanya, setelah menghitung dalam batin. Namun, benang merah itu tetap berada di jari perawat tersebut.

"Mbak? Ada yang kurang nyaman?" Perawat sampai khawatir karena tingkah aneh Karina.

"Ya? Tidak-tidak, aku hanya sedikit pusing." Karina tidak mungkin bertanya mengenai benang-benang itu kepada sang perawat. Bisa-bisa Karina dikira tidak waras. Perawat tersebut awalnya curiga mendengar jawaban Karina, tapi setelah berhasil mengganti cairan infus, dia berlalu pergi tanpa mempermasalahkannya.

Mama Karina, Nabila, segera mendekat ke kasur Karina. Raut wajahnya tak ayal menunjukkan rasa kekhawatirannya, "kamu yakin 'nak baik-baik saja?" tanya Nabila. Karina baru siuman beberapa jam yang lalu, wajar Nabila penuh perhatian kepada Karina, putri satu-satunya.

"Aku baik ma."

"Yakin?"

"Suer," cengir Karina membentuk peace dengan kedua jarinya.

Nabila menghela nafas melihat tingkah Karina, "kalau ada perasaan apa-apa kamu jangan diam, bilang ke mama atau ke kakak perawat ya?"

Karina mengangguk mantap, "pasti ma."

Nabila menarik kursi untuk duduk di samping kasur Karina, mengambil sebuah apel dan pisau, "mau apel?" tawarnya sambil mengupas kulit apel.

Karina tersenyum kecil, "tentu, terimakasih mama." Karina memandang Nabila dalam hening, Karina sedikit merasa bersalah sekaligus bersyukur karena memutuskan untuk tetap hidup. Wajah Nabila yang dipenuhi air mata saat Karina sadar, Karina benar-benar tidak akan melupakannya.

"Kamu itu, kenapa sih harus pulang jalan kaki di tengah hujan? Sudah 'gitu sepatu kamu kemana? Kalau memang hujan 'kan bisa hubungi mama buat dijemput atau tunggu acaranya selesai biar kamu bisa pulang bareng keluarga Kai," omel Nabila dengan suara yang lembut. Nabila masih sibuk mengupas kulit apel dengan pisau, tapi sama sekali tidak menghentikan dirinya untuk mengutarakan kekesalannya pada Karina.

"Padahal itu acara ulang tahun Kai loh, teman masa kecilmu. Coba cerita sama mama, kenapa kamu sampai rela bohong soal pulang cepat sama Kai?" Ditodong pertanyaan seperti itu jelas membuat Karina gelagapan.

"Nggak apa-apa kok ma, Karina cuma— mau pulang cepat aja." Umur Karina tahun ini 25 tahun, rasanya kurang pantas kalau di usianya masih merasakan patah hati.

Tapi Nabila adalah mamanya, "bohong," Karina tidak pintar menyembunyikan perasaannya di hadapan Nabila. Nabila menatap Karina dengan penuh selidik, berusaha menerka-nerka apa yang sedang disembunyikan Karina. Mata Nabila menyipit, membuat Karina menelan salivanya. Cukup lama mereka berada di kondisi kaku seperti itu, hingga Nabila meletakkan pisau dan apel yang tadi digenggamnya ke atas nakas.

"Mama gak akan maksa kamu buat cerita, kalau memang kamu enggan. Yang terpenting sekarang, kamu sudah sadar." Bagi Nabila, tidak ada hal yang lebih baik selain melihat Karina hidup.

"Jangan diulangi ya." Nada bicara Nabila lebih tegas, menekan setiap kalimatnya, lalu kembali melanjutkan kegiatan mengupas kulit apel yang sempat tertunda.

"Oh iya, gara-gara kamu, Kai sampai merasa bersalah membiarkanmu pulang sendiri loh. Katanya nanti sore dia mau mampir buat lihat kamu," lanjut Nabila, mengingat pesan teks yang sempat ia terima dari Kai.

"Benarkah? padahal dia tidak perlu melakukannya," acuh Karina. Biasanya, Karina akan bersikap girang dan heboh kalau mendengar nama Kai. Reaksinya yang tampak datar lantas menimbulkan pertanyaan lain di dalam benak Nabila.

"Mama nggak tahu kamu ada masalah apa sama Kai, tapi nanti kamu harus tetap ketemu sama dia. Kai rela pergi di tengah acara ke rumah sakit waktu dengar kabar kamu terluka, loh. Kalau memang ada masalah, segera bicarakan baik-baik."

Karina hanya diam 'mengiyakan' ocehan Nabila tanpa ada niat untuk membantah. Sejujurnya, Karina tidak ingin berbincang tentang atau dengan Kai. Karina tidak mungkin mengabaikan patah hatinya, tapi dia juga sadar, semua itu bukan salah Kai. Karina hanya butuh waktu, sebelum dia siap untuk bertemu dengan Kai lagi.

"Sial, kepalaku pusing melihat untaian benang ini." Karina memandang benang merah yang sama, terikat di jari kelingkingnya.

"Ma, handphone aku mana?"

"Kamu ini, lagi sakit malah cari handphone," decak Nabila kesal hingga dahinya berkerut.

Meskipun Nabila ingin Karina lebih dulu fokus pada penyembuhannya, tapi Nabila tetap bergerak mencari handphone miliknya, mengobok-obok isi dalam tasnya. "Pakai handphone mama dulu, soalnya hape kamu rusak karena sambaran petir." Nabila memberikan handphone miliknya ke tangan Karina, "mainnya jangan kelamaan yah, kamu harus banyak istirahat dulu!" imbuh Nabila.

"Iya-iya, Karina cuma pakai sebentar aja kok ma. Ada yang mau Karina cari di google."

***

Karina terus menggeser layar ponsel dengan jempolnya, matanya serius membaca setiap artikel yang bersangkutan tentang benang merah, benang takdir, dan Cupid. Meskipun sudah membaca puluhan artikel, Karina hanya menemukan arti tentang benang merah. Dia sama sekali tidak menemukan keterkaitan benang takdir dengan pria yang mengaku sebagai Cupid itu.

Karina memandang lamat-lamat kalimat yang ada di layar ponsel, sibuk bertarung dengan pikirannya sendiri.

"Heh ... ternyata manusia di zaman sekarang tidak tahu apa itu benang takdir yah?" Jantung Karina hampir copot mendengar suara Cupid yang sangat familiar di telinganya.

"Astaga! Apa yang kaulakukan?" Cupid segera menutup mulut Karina dengan kedua telapak tangannya sambil mengisyaratkan Karina untuk mengecilkan volume suara.

"Kau akan benar-benar dikira gila jika orang-orang melihatmu berbicara seorang diri karena hanya kau yang bisa melihat wujudku." Karina memberontak dan mendesis, menarik pergelangan tangan Cupid untuk melepas sekapan yang menutup mulutnya.

"Tidak ada orang lain disini," cecar Karina sambil membalas kelakuan Cupid dengan memukul lengannya.

"Aduh, aduh," rintih Cupid mencoba menangkap pukulan tangan Karina.

"Bagaimana dengan mamamu?"

"Sudah pergi sejak tadi!" Karina menyudahi serangannya dengan pukulan terakhir menggunakan bantal kepala hingga membuat Cupid kalah telak.

"Aduh, 'udah dong! Apa kau punya dendam pribadi padaku? Aku sama sekali tidak melakukan hal salah padamu!" Cupid mengelus lengannya yang masih terasa sakit karena serangan Karina, sepertinya bekas pukulan Karina memerah dibalik setelan jas putih yang Cupid kenakan.

"Apa kau bilang? 'tidak melakukan hal yang salah?' Yang benar saja! Aku mati karenamu dan sekarang aku tidak mengerti kenapa aku bisa melihat benang atau tali aneh yang melayang-layang di udara."

Merasa terpojok, Cupid memanyunkan bibirnya, "benang yang kau lihat itu 'kan namanya benang takdir, karunia yang aku kasih ke kau sebagai permintaan maafku. Seharusnya kau senang dengan hadiah yang kuberikan." Cupid tidak mengerti dengan Karina, Cupid kira Karina akan suka dengan hadiahnya, karena manusia cenderung menyukai hal-hal mistis dan merasa diri mereka spesial dari manusia lainnya.

Karina menghela nafas panjang, lelah berdebat dengan Cupid. "Jadi, ini yang sebelumnya kau sebut benang takdir itu?" tunjuk Karina mengangkat jari kelingkingnya yang terikat dengan benang merah.

Dalam sekejap mata, ekspresi wajah Cupid tampak lebih ceria dan bersemangat ketika Karina menunjukkan benang takdirnya. "Wah!" seru Cupid menggenggam tangan Karina, "aku pikir kau tidak memiliki benang takdir, ternyata ada!" pekiknya penuh kebahagiaan.

"Memangnya ada orang yang tidak punya benang takdir?"

"Eung ... never mind," jawab Cupid mengalihkan atensinya.

"Terus-terus, kepada siapa benang takdirmu terikat? Apa kau tidak penasaran?" Karina bingung melihat Cupid yang tampak lebih penasaran dengan jodoh Karina, dibandingkan dirinya sendiri.

"Apa aku harus tahu?"

Cupid memukul jidatnya ketika mendengar pertanyaan Karina, "Kau pikir kenapa aku memberikan karunia itu sebagai hadiahmu?"

"Kau adalah manusia yang sangat bodoh, yang pernah aku temui hanya karena patah hati. Jadi aku ingin kau sedikit menikmati kehidupanmu yang baru ini dengan membantu menemukan jodoh sejatimu di dunia ini. Percayalah pria di dunia ini tidak cuma dia, bahkan dia mungkin bukan jodohmu ... ."

ocehan Cupid perlahan-lahan menghilang dari pendengaran Karina. Sebelumnya, ujung benang merah Karina tidak terlihat olehnya. Namun, Karina seketika mematung di tempatnya ketika melihat tangan seseorang membuka pintu kamarnya. Ujung dari benang merah di tangan asing itu terhubung dengan milik Karina. Keheningan yang mencekam dan udara yang menipis membuat Karina bertanya-tanya, siapakah pemilik tangan itu? Siapa pria yang ditakdirkan sebagai jodoh sejatinya?

"Karina? Ini aku," ucap Kai dengan seulas senyuman manis dan bunga Marigold.

--- ----- ---

Halo Hanoly!

Bagaimana nih kisah Ditto? Jadi apakah Karina dan Kai memang ditakdirkan untuk bersama seperti keinginan Karina yah > <

Ditto Akan publish 3 kali dalam seminggu, hanya di hari Senin, Selasa, dan Rabu. Nantikan lanjutan kisah Ditto di Senin depan yah!

Jangan lupa berikan aku dukungan dengan tekan bintang dan komentar yah, supaya aku semangat buat menulis kisah ini > <

See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro