13. MENANTANG BAHAYA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Desember 2023

Masa remaja Rion bisa dibilang cukup seimbang. Surga dan neraka mengapit di sisi kanan dan kiri. Aktif di Orang Muda Katolik, rajin bertugas sebagai putra altar, dan ikut paduan suara mengisi suara tenor diimbangi dengan nonton video Porn Hub, bercengkerama dengan teman di kedai shisha, serta sesekali menyambangi klub malam terdekat. Mungkin malaikat bingung mencatat dosa dan kebaikannya.

Ada bagusnya Rion bukan laki-laki polos yang lurus-lurus saja. Dia tahu tempat apa yang Jeanne masuki. Berharap pengunjung kelab malam adalah orang-orang alim yang takut dosa? Mimpi saja.

Baiklah, semasa SMA dan kuliah, Rion ke kelab malam sekadar untuk bergoyang dan minum. Kewarasannya  terjaga sehingga menghindari membungkus perempuan tipsy. Malah Rion suka mengingatkan teman-temannya jika mau berbuat kelewat batas. Biasanya mereka menurut meskipun terkadang ada juga yang tetap check in ke hotel terdekat dengan perempuan setengah teler.

Kini situasinya berbeda. Laki-laki yang ada di kelab ini tidak ada yang Rion kenal. Bagaimana kalau ada yang memanfaatkan keadaan, misalnya memasukkan obat ke minuman Jeanne sampai tak sadarkan diri lalu mengerjainya. Lebih parah lagi, bisa saja orang jahat itu merekam aktivitas seksual dengan Jeanne, lantas menggunakannya untuk memeras disertai ancaman, jika tidak mau memberikan uang maka rekamannya akan disebarkan. Modus kejahatan semacam ini kian marak. Rion pernah menanganinya di LBH.

Rion mendengus jengkel. Kenapa Jeanne terkesan masa bodoh dengan keselamatannya sendiri? Masuk ke kandang macan sendirian dalam keadaan emosi tidak stabil.

Jeanne melepas hijab lantas menjejalkan secara asal ke tas. Mendecih karena pakaiannya gamis semata kaki kurang cocok berada di sini. Penampilannya kelewat tertutup dibandingkan pengunjung lain. Rata-rata gadis muda mengenakan pakaian minimalis.

Memang belakangan ini ramai fenomena ukhti berhijab mendatangi kelab malam, tapi ramai-ramai bersama teman satu gank. Bukan seperti Jeanne yang sendirian.

Risih pada awalnya, Jeanne tetap melangkah menembus kerumunan. Laser LED keunguan memancar dari panggung. Asap vape mengepul di udara. Belasan pasang manusia melantai mengikuti irama racikan DJ. Hari ini weekend. Lumayan crowded di dalam. Kebanyakan pengunjung masih mengenakan setelan kerja. Pergi ke sini berharap meringankan beban hidup, meskipun Rion pikir malah semakin pusing. Kalau bukan karena khawatir, Rion malas mengikuti Jeanne. Rupanya Jeanne tidak open sofa, tapi langsung menuju bar.

"Smirnoff red." Jeanne memesan pada pria di balik meja bar. Di belakang laki-laki itu, botol minuman beralkohol berjajar dalam lemari kayu.

Rion berdiri antara kagum dan kasihan. Biasanya perempuan menyukai cocktail. Minuman beralkohol dicampur sari buah dan es batu. Menyegarkan serta tidak terlalu memabukkan. Jeanne malah mau menenggak vodka berkadar alkohol 40%.

"Gue tuang." Laki-laki yang duduk di sebelah Jeanne menawarkan. Jas semi formal abu-abu melapisi turtle neck hitam. Rambutnya ditata kelimis. Wajahnya sangat mulus hasil perawatan rutin. Kemungkinan besar dia karyawan atau jika beruntung, bisa saja direktur salah satu perusahaan di SCBD.

Jeanne tidak keberatan, malah menyodorkan botol Smirnoff pada laki-laki asing itu. Beberapa meter dari Jeanne, Rion resah. Belum tentu laki-laki ini baik hati. Bisa saja sedang jelalatan mencari mangsa.

"Malam ini dingin?" Manik mata si laki-laki menelusuri pakaian Jeanne.

"Pengen pakai baju yang sopan aja sih."

Laki-laki asing itu tidak menunjukkan keberatan, memaklumi selera fashion Jeanne.

"Dia brengsek banget ya?" tanya si laki-laki.

"Brengsek?"

"Suami lo."

Mata Jeanne membelalak. Apakah laki-laki ini cenayang yang bisa membaca pikirannya?

"Lo kenal Haikal?" tanya Jeanne.

"Haikal?"

"Iya, Haikal Mahardika. Lo kenal dia?"

Laki-laki itu menenggak wiski dari gelasnya. "I see. Lo cewek itu, yang ngaku istri sirinya Haikal Mahardika. Gue nonton podcast lo."

Jeanne memiringkan kepalanya. "Jadi lo nggak kenal Haikal Mahardika?"

"Secara personal? Nope. But I used to support him."

"Used to. Artinya sekarang nggak?"

"Kind of. Penilaian gue berubah. Well, actually I'm not into politics. Gue suka program dan visi-misi Haikal. Dia bilang mau menurunkan pendapatan negara dari pajak. Sebagai gantinya akan meminta kapal yang melewati Selat Malaka untuk membayar. Which is good. Gue benci pemerintah yang mencekik rakyat dengan pajak."

“Lalu kenapa sekarang nggak suka dia lagi?” tanya Jeanne.

“Karena gue nggak suka laki-laki pengecut yang nyakitin perempuan.”

Pencahayaan di sini remang-remang, tetapi Jeanne merasakan tatapan tulus dari orang asing di hadapannya. Di antara miliaran manusia, kenapa justru manusia yang tidak dikenalnya lebih berempati? Jeanne menatap laki-laki itu dengan mulut sedikit terbuka. Dia terpana.

"Hei, are you ok?" Laki-laki itu menjentikkan jari di depan wajah Jeanne.

"Katanya nggak suka politik, tapi ngikutin banget sepak terjang Mas Ikal."

Laki-laki itu terkekeh. Diangkatnya gelas wiski, mengajak Jeanne bersulang. Jeanne menyambut baik. Dia menyentuhkan gelas vodkanya hingga menimbulkan bunyi denting. Mereka sama-sama menenggak minuman masing-masing.

Rion semakin waswas. Bagaimana bisa Jeanne langsung akrab dengan orang asing? Sikapnya sangat sembrono. Rion sepenuhnya yakin laki-laki bertampang kaya raya ini bukan orang baik. Dia menunggu Jeanne betulan mabuk lalu menggiringnya ke hotel terdekat.

"Jadi panggilannya Mas Ikal? It's quite cute," puji si laki-laki.

"Cute?" Jeanne mendorong pelan dada si laki-laki. "Jangan pernah bilang gitu di depan Mas Ikal. Dia nggak suka kelihatan imut."

Si laki-laki asing terbahak. "Memang Haikal Mahardika sukanya kelihatan gimana?"

"Berwibawa, tegas, ya gitu lah." Jeanne menenggak gelas Smirnoff lagi.

"Menjaga citra ya dia." Si laki-laki memberi penilaian secara akurat. Dituangnya Smirnoff ke gelas Jeanne yang kosong.

"Banget!" cetus Jeanne tanpa basa-basi lantas menenggak minumannya.

"Kenapa kamu nggak suka dia?"

Jeanne berdecak. "Ya gitulah, pencitraan terus. Awas kena prank."

"Prank gimana?"

"Di depan publik kayak orang bener, nggak tahunya zonk," cibir Jeanne kesal.

Musik semakin berisik. Goyangan pengunjung kian meliar. Laki-laki itu menyodorkan tangannya.

"Mau turun?"

Jeanne menggeleng. "Gue mau minum saja. Pusing."

"Lo minum vodka bakal semakin pusing."

"Gitu ya? Biar nggak pusing minum apa dong? Wedang jahe?" Jeanne terbahak atas leluconnya sendiri lantas cegukan.

Perlahan laki-laki asing itu menyusupkan tangan ke balik jasnya. Ketika tangan itu keluar, bungkusan plastik berisi pil terselip di jemarinya. "Gue biasa minum ini."

Cukup. Ini tidak bisa dibiarkan. Laki-laki ini berbahaya. Bisa saja dia pengedar narkoba. Benda di tangannya kemungkinan obat terlarang.

"Permisi, Neng." Rion menyeruak di antara Jeanne dan laki-laki asing. Untung jaket hijau ojek daringnya belum dilepas. "Tadi pesan ojek kan?"

"Hah?" Mata Jeanne agak merah. Dia sudah mabuk.

Tekad Rion membawanya keluar dari sini semakin kuat.

"Iya, saya tungguin si Eneng nggak muncul-muncul. Jadi saya susulin. Ayo, Neng."

"Tumben ojek online masuk kemari," celetuk si laki-laki.

"Biasa, Om. Saya langganan mangkal di sini. Udah hafal kelakuan mbak-mbak tamu. Kalau pelanggan mabuk malah saya gendong." Rion meminta ampun dalam hati karena sudah berdusta.

Laki-laki kenalan baru Jeanne memasukkan pil kembali ke balik jasnya. Kentara sekali mau menyembunyikan sesuatu.

"Kak Rion ngapain ke sini?" Jeanne mengenenali Rion.

"Kalian saling kenal?" Laki-laki kenalan Jeanne bertanya.

"Bisa aja si Eneng. Nama saya Agus, kan kelihatan di aplikasi." Rion lantas menoleh pada laki-laki asing itu, "Si Eneng udah mabok. Saya bawa dulu."

"Biar sama saya saja," kata si laki-laki asing.

"Jangan, Om. Saya butuh duit. Kalau nggak anterin orderan, nanti kena suspend nggak bisa narik seharian." Rion mengambil tangan Jeanne untuk dilingkarkan ke bahunya.

"Gue bayar." Laki-laki asing mengeluarkan dompet dari balik saku jasnya.

Rion mengabaikan. Kegigihan laki-laki ini semakin meyakinkannya untuk kabur membawa Jeanne secepatnya.

Sempoyongan, Jeanne mengikuti Rion. Dengan langkah terseret, Rion mengucapkan permisi pada kerumunan manusia yang tengah berdansa.

"Khawatir ya?" Jeanne cekikikan. "Udah nggak marah dong?"

Mana mungkin Rion melupakan hinaan Jeanne begitu saja. "Kalau saya jahat, bisa saja saya biarin kamu dimangsa predator tadi," dengusnya.

"Ooooh, jadi nyusulin ke sini cuma karena Kak Rion orang baik?" ejek Jeanne. "Bukan karena ada perasaan ke aku?"

Fokus Rion tertuju pada Jeanne. Menggeretnya lumayan butuh tenaga. Oleh karenanya Rion biarkan Jeanne mengoceh semaunya.

"Kak Rion," bisik Jeanne di telinga Rion.

"Jangan bicara, Jeanne." Rion mengingatkan.

"Tapi aku belum bayar minumannya."

Rion membuang napas. Cobaannya begitu berat. Rion tahu harga munuman pesanan Jeanne. Di kantongnya tidak ada uang sebanyak itu.

"Kalau gitu kita harus segera kabur dari sini sebelum dikejar satpam."

***

Sepi banget ya. Kalian bosan kah baca cerita ini? Komen dong biar aku tahu kesan kalian.

Love,
💋 Bella 💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro