15. MELUBER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Desember 2023

Tirai jendela kamar terbuka. Sinar keemasan matahari mencuri masuk. Berkasnya berkilauan membungkus tubuh sang bidadari yang berdiri di depan jendela. Megah dalam kecantikannya.

Gaun sutra tipis berhias manik berpendar. Segala yang membayang dari baliknya sungguh indah. Pinggang yang ramping, lengan yang langsing, dan buah dada bulat dengan puting meruncing. Senyum dari bibir merah jambunya bagai kelopak mawar tersungging.

"Kak Rion, ambillah hadiah Kakak."

Suaranya merdu merindu. Musnah sudah kemampuan Rion untuk berkedip. Lupa pada keinginan selain menghamba pada sang bidadari.

"Ha-hadiah?" tanya Rion.

"Ya, hadiah karena sudah menyelamatkanku."

"Saya melaksanakan kewajiban."

"Kewajiban apa? Aku bukan istrimu. Kamu nggak pernah suka aku kan? Lalu kenapa nggak kamu biarkan saja laki-laki asing kemarin malam membawaku?"

"Aku... Aku..."

"Pssttt..." Sang bidadari menempelkan telunjuk lentiknya di bibir Rion. "Kakak nggak punya kewajiban apa-apa. Aku cuma bisa membalas dengan ini, memberikan diriku."

Sang bidadari meraih tangan Rion, menuntunnya menyentuh surga di sela tungkai jenjangnya.

"Aku nggak bisa. Kita belum menikah," tolak Rion diserbu rasa berdosa.

"Salahkah saling memberi?" tanya Sang bidadari. Dia sendiri membelai kejantanan Rion.

Rion tersadar sejak tadi tidak mengenakan apa-apa. Otot tubuhnya terpampang tanpa busana.

Sorot sayu sang bidadari menatap kejantanan Rion. Menyiratkan dahaga teramat sangat.

"Kita saling memberi ya, Kak Rion."

Segala yang ada pada Rion terasa melumer. Kepalanya bagai tak bertulang sebab mengangguk begitu saja.

Kejantanan Rion takluk dalam genggaman sang bidadari. Jemarinya menguasai tempo. Belaian lembut berangsur kasar dan cepat. Menghantar rasa nikmat yang merambat.

Rion mengusap liang surgawi sang bidadari. Halus dan lembap. Telunjuk dan jari tengahnya tahu ke mana menuju. Keduanya bekerja sama mengaduk, membentuk pusaran.

"Ahhh..." Sang bidadari mengerang. Api gairah tak lantas membuatnya lupa bahwa dia punya pekerjaan.

Kejantanan Rion menegang. Urat-uratnya bertonjolan. Batangnya tegak dan berukuran maksimal. Segalanya semakin panas.

"Gagahi aku sekarang," mohon sang bidadari seraya mengangkat satu kaki.

***

Mata Rion terbuka. Sedikit tak rela mengakhiri mimpi yang menggelisahkan. Pangkal pahanya nyeri belum sempat menuntaskan yang sudah dimulai.

Harga diri Rion luruh. Lagaknya menolak tawaran Jeanne menjadi pemuas nafsunya dengan bayaran lumayan. Semalam Rion malah melakukan secara gratisan. Dalam tidur pun sempat-sempatnya bermimpi melanjutkan memadu gairah. Munafik, Rion sungguh munafik.

Akan tetapi, benarkah mimpi belaka, sebab rasa di batang kejantanannya terlalu nyata? Rion mendesah pelan saat mengintip. Di balik selimut, dia tidak mengenakan sehelai pakaian.

Percuma menyangkal semalam dirinya tidak melakukan apa-apa, bahwa adegan yang tak dapat dilupakan hanya khayalannya semata, bahwa nikmat yang dia rasa cuma halusinasi belaka. Fakta begitu terang benderang. Saat dia menoleh ke kanan Jeanne tergolek tanpa busana.

Pelan-pelan Rion beringsut bangun, bermaksud membersihkan diri.

"Sial," umpat Rion melihat kejantanannya tegak. Mimpi bersama bidadari membangunkannya.

"Kak," bisik Jeanne parau, ikut terjaga.

Saking terkejut, Rion melompat ke samping. Bukankah tadi Jeanne masih tidur, kenapa tiba-tiba ada suara?

"Kak, mau ke mana?" bisik Jeanne masih bergelung dalam selimut. Matanya separuh terbuka.

"Saya mau ke kamar mandi," ucap Rion gugup.

"Habis itu?" tanya Jeanne.

"Pergi, Jeanne. Kerja."

"Cari uang?" tanya Jeanne.

"Saya bukan kamu, Jeanne. Ya harus kerja cari uang."

"Jangan pergi." Jeanne menggapai tangan Rion.

Rion membasahi kerongkongan. "Maaf, tapi saya nggak bisa tinggal lama-lama."

Jeanne menyingkap selimut. Seperti Hawa sebelum makan buah terlarang dalam Kitab Kejadian, tubuhnya telanjang.

Ya Tuhan, Rion tidak buta. Dia juga tak mau berdusta. Jeanne jelmaan bidadari. Indah bagai pahatan. Putih, mulus, dan lekukannya sempurna. Sepasang payudara menggantung laksana buah ranum. Putingnya menantang untuk dipetik. Turun ke bawah, area V yang tidak ditumbuhi bulu menggoda dijelajahi.

Jeanne berjalan pelan. Rion tidak ingat sang bidadari menghapus make up setelah mereka bergumul dalam dosa. Namun Rion menyukai wajah polos tanpa riasan ini. Jeanne bagaikan bidadari suci yang mengunci mata Rion hingga lupa cara berkedip.

Sang bidadari dalam mimpi berdiri di hadapan Rion. Rambutnya berantakan tapi di situlah daya tariknya. Satu tangannya menyentuh pipi Rion yang dingin.

"Sebelum pergi, kita puasin dia dulu." Jeanne menyorot kejantanan Rion yang terangguk-angguk.

Rion mundur hingga kakinya tak lagi menemukan jalan. Punggungnya menyentuh dinding. Dia takut melakukan hal di luar batas sekali lagi.

"Saya...."

"Nggak usah malu. Kakak normal kok." Jeanne merangsek maju. Dadanya menempel ke dada Rion. Tatapannya menyimpan berjuta harap. Ketegasan yang Rion siapkan melumer. Ujung kejantanan Rion menusuk perut Jeanne. Laki-laki itu gugup.

Jeanne berjinjit. Lengannya mengalungi leher Rion. Seharusnya Rion menghempas tubuh itu ke lantai, akan tetapi dia bertindak sebaliknya. Jemarinya merengkuh pinggang ramping itu.

"Making love yuk, Kak. Kayak semalam."

"Kamu ingat?" Rion terperanjat.

"Aku cuma sedikit mabuk, tapi nggak amnesia."

"Saya nggak mau kita mengulang kesalahan yang dulu," desah Rion melawan keinginan hewaninya. Sungguh, dia ingin segera menerkam leher jenjang Jeanne dan meleburkan diri mereka. Namun sisa-sisa akal sehatnya melarang.

"Nggak pernah ada kesalahan. Aku rela diperawanin Kak Rion meskipun tanpa cinta."

Rion membuang muka. Rasa bersalah yang terpendam bertahun-tahun membuncah.

Jeanne memaksa Rion menoleh. "Aku cuma istri ketiga. Nggak rela kalau keperawananku diambil kakek tua itu."

"Kakek tua itu suami kamu."

"Bodo amat. Aku cuma mau Kak Rion."

Ibu jari Rion mengusap bulir bening yang mengaliri garis wajah Jeanne. "Kenapa kamu gini sama aku?"

"Nggak tahu. Banyak yang lebih ganteng, lebih kaya, dan lebih terkenal dibanding Kakak, tapi aku cuma maunya sama Kakak."

Rion meraup bokong Jeanne, memerangkapnya ke jendela kaca. Sinar matahari masuk, mewujudkan adegan dalam mimpi Rion.

"Jangan takut, Kak Rion," bisik Jeanne meyakinkan. "Mas Ikal nggak akan ngapa-ngapain. Dia jaga reputasi sebelum pilpres." Mata Jeanne berpijar. Bibirnya membuka.

Tak lagi berpikir panjang, bibir Rion menyambar bibir Jeanne. Lidah mereka bergumul dalam gairah. Saling menyesap dan menjelajah.

Tungkai Jeanne melingkari pinggang Rion, mencari keseimbangan selama memuaskan hasrat. Udara hangat berembus mengenai pipi Rion.

Perpotongan leher Jeanne jenjang. Halus dan sexy. Rion mengecup ceruknya hingga Jeanne kembali mendesah.

Rion mendudukkan Jeanne pada batas tembok dan jendela. Seakan tahu isi benaknya, Jeanne membuka lebar kakinya.

Rion mendongak mencari persetujuan. Jeanne memberikan senyuman tipis.

Telunjuk dan jari tengah Rion menyusup, mengusap liang senggama Jeanne yang basah dan licin. Jemari itu sibuk mengeksplorasi.

"Ngggh..."

Pinggul Jeanne meliuk gelisah. Dia meremas payudaranya sendiri bergantian.

Rion tergoda. Dia melahap puting wanita itu lantas mengisapnya kuat hingga puncak dadanya kian merah.

"Kak..." Jeanne mendesah panjang.

Rion berlutut, mengendus kewanitaan Jeanne. Tidak ada bau anyir sama sekali. Harum peonny dan mawar damaskus memanjakan indra penciumannya.

"Suka?" tanya Jeanne.

Terkadang jawaban verbal tidaklah perlu. Rion merunduk untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya. Lidahnya mencerup rakus kewanitaan Jeanne.

Punggung Jeanne melengkung. Isapan dipadu permainan jemari Rion menggetarkan seluruh syarafnya.

Selama pernikahan dengan Haikal, dia lah yang selalu melayani. Haikal tak pernah peduli pada Jeanne. Cuma Rion yang mau membalas kebaikan Jeanne setelah memberikan kenikmatan semalam.

"Kak Rion." Jeanne melenguh. Rion sudah mengacaukan dirinya hingga tak sanggup berpikir apa-apa selain menuntaskan gairah secepatnya.

Rion merayap naik menuju gugusan payudara. Menyerbu kembali puting Jeanne berulang kali.

Jeanne meremas rambut Rion, lemah tak berdaya di bawah kendalinya. Matanya memejam. Mulutnya melagukan rintihan.

Rion membelai wajah pasrah nan manis itu. Ada daya tarik tak terkatakan pada diri Jeanne yang pada akhirnya membuat Rion menyerah.

Kejantanan Rion tegang tak tertahankan. Jemarinya menuntun batang itu memasuki Jeanne.

"Ah..." Jeanne memejamkan mata ketika Rion menyetubuhinya.

Kejantanan itu timbul tenggelam menimbulkan bunyi bertumbukan.

Rion ingin mewujudkan fantasi dalam mimpinya. Dia angkat tubuh Jeanne dalam gendongan dan menahan dengan lengannya.

Jeanne memeluk erat laki-laki itu. Kakinya menggantung di samping tubuh Rion. Erang sepasang insan bersahutan.

"Ah!" Jeanne membenamkan kukunya di kulit Rion yang tergapai.

Ketegangan akibat rangsangan terurai cepat. Bersama Rion, Jeanne selalu menggapai klimaks yang magis. Bagai tenggelam dalam lautan candu, Jeanne dilingkupi rasa bahagia.

Rion kerap menghindar, membantah kalau dia mencintai Jeanne. Lalu kenapa sikapnya seperti laki-laki yang larut pada cinta yang dalam? Memuja Jeanne begitu rupa dan mengupayakan kepuasannya?

Entahlah, Jeanne tak punya jawaban atas pertanyaannya. Waktu terlalu singkat. Sejenak Jeanne membuang logika. Bercinta tak membutuhkan akal sehat.

Liang senggama Jeanne semakin basah dan licin. Kecipak melodi peraduan dua kelamin dalam tempo cepat bagaikan harmoni orkestra.

Tak lama kemudian, Rion menyusul. Ledakan beruntun bagai membelah tubuhnya. Cairannya muntah, meluber ke lantai.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro