17. DEKORASI YANG MENGGODA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hello Sexy Readers, mulai Mei 2024, saya bakal update Jeanne-Rion setiap hari. So, ditunggu vote dan komennya.

🎄🎄🎄

Desember 2023

Sofa kulit cokelat dan meja kayu jati. Peliturnya sedikit pudar, membuktikan Cicilia membiarkannya lapuk dimakan usia. Seluruh perabotan warisan Opa dari pihak Cicilia menjadi saksi sebuah peristiwa besar. Tiga tahun lalu di ruangan ini, Haikal Mahardika menikahi Jeanne Noura secara siri. Foto pernikahannya tergantung di dinding. Di dalam foto, Jeanne berkebaya putih, duduk di sebelah Haikal. Dipisahkan meja kayu jati, paman Jeanne dari pihak ayah menjabat tangan Haikal, menikahkan mereka berdua. Mas kawinnya simbolik saja, tiga gram emas dalam bingkai yang dihiasi bunga.

"Nggak ada yang berubah," gumam Jeanne.

Rion berdiri di belakang Jeanne. Seingatnya baru dua atau tiga kali menginjakkan kaki di rumah ini semasa SMA. Benar kata Jeanne. Tidak ada yang berubah selain keberadaan foto pernikahan itu.

"Jeanne, kamu datang kok nggak bilang-bilang?" Wanita berparas blasteran Belanda-Maluku keluar dari pintu yang membatasi ruang tamu dengan ruang dapur katering. Cicilia menyongsong putri tunggalnya. Tangannya terentang seperti siap memeluk, akan tetapi Jeanne berdiri mematung di tempatnya.

Bahagia, merasa bersalah, dan sedih. Jeanne terlampau kesulitan menanggung emosi yang berkecamuk dalam hatinya.

"Lama nggak ke sini," ucap Cicilia seraya mencium puncak kepala Jeanne. "Mama kangen."

"Katering Mama berkembang pesat," ucap Jeanne tersekat. Setitik rasa bangga pada menyertai kata-katanya, meski terbit berjuta penyesalan.

Sepeninggal ayahnya, Jeanne sempat hidup susah. Luntang-lantung dari rumah sanak famili ke sanak famili lainnya menumpang tinggal. Jika ibunya sanggup membeli rumah sendiri, artinya kerja keras mengorbankan keringat dan air mata berbuah manis. Walau untuk mencapai semuanya, Jeanne ikut mengorbankan dirinya sendiri.

"Mama makasih sekali sama kamu, Jeanne. Kalau bukan karena kamu..." Cicilia mendekap Jeanne sekali lagi.

Jeanne bisa melanjutkan ucapan Cicilia. Pikiran ibunya memang mudah ditebak. Hanya saja Jeanne sedang tidak dalam mood mengungkit masa lalu, terutama karena ada Rion. Semua orang pernah merasakan kesulitan hidup dalam kadar berbeda. Rion pun sekarang tidak baik-baik saja. Terlalu berlebihan jika nanti Jeanne dan Cicilia bertangisan mengenang saat kondisi finansial mereka terpuruk.

"Aku nggak bisa bantu banyak. Cuma ini..."

"Jangan bilang gitu. Kamu bantu lebih dari cukup. Sangat banyak, sampai Mama nggak akan bisa membalasnya," ucap Cicilia sarat rasa bersalah.

Jeanne tersenyum getir. Ibunya benar, semua kesuksesan Cicilia harus Jeanne bayar mahal. Meski tidak secara langsung turun tangan mengelola bisnis, perannya memperbesar katering justru tak ternilai.

"Kamu pakai hijab sekarang." Cicilia membelai pashmina Chanel yang menutupi kepala Jeanne.

"Mas Ikal yang suruh," sahut Jeanne. Lebih dari menyuruh, Haikal memaksanya disertai ancaman. Semua demi kepentingan politik semata, agar 'keponakan yatim piatu yang dirawat Bapak Haikal dan Ibu Saras setelah kematian orang tuanya' terlihat alim. Begitulah Haikal memalsukan identitas Jeanne bila kebetulan dirinya kepergok wartawan. Hanya orang terdekat Haikal dan segelintir orang partai yang tahu pasti siapa Jeanne sesungguhnya. Karyawan Cicilia pun diberi peringatan tegas jangan sampai membuka mulut mengenai status Jeanne kalau mau selamat.

"Kamu cantik pakai hijab."

Jeanne tahu ibunya tidak mengucapkan pujian dari hati terdalam. Ustaz kerap menyinggung kewajiban wanita mukmin salah satunya adalah menutup aurat. Jeanne tahu, hanya saja belum ingin melakukan sekarang. Apa daya, dirinya bergantung sepenuhnya pada Haikal. Kalau mau hidup berkecukupan, Jeanne harus menuruti semua sabda suaminya.

"Kamu sibuk sekali ya, Nak, dampingi Pak Haikal kampanye makanya jarang ke sini?" tanya Cicilia.

Jeanne tersenyum miris. Semua karena Haikal. Berbagai alasan dia ciptakan demi mencegah kedatangan Jeanne ke rumah ibu dan keluarga besarnya. Haikal takut Jeanne terpengaruh keyakinan mereka jika sering bertemu apalagi sampai ikut perayaan hari besar. Miris bukan mengingat Haikal paling lantang menyuarakan pentingnya toleransi antar agama.

"Ada tamu." Cicilia menyadari putrinya tidak datang sendiri.

"Nah, Mama masih ingat kan?"

"Kamu..." Cicilia mencoba mengingat, "kalau nggak salah teman SMA-nya Jeanne ya?"

"Kakak kelasku, Ma," ralat Jeanne.

"Tante." Rion menunduk sopan lalu menyalami Cicilia.

"Oh, iya, iya. Yang ngenterin kamu hujan-hujan itu kan?"

"Mama masih ingat," kata Jeanne.

"Ingat banget. Waktu itu kamu mau nikah sama Pak Haikal. Hujan besar pula. Kamu malah keluar malam-malam. Mama kira kamu mau kabur."

Rion tersenyum tidak enak hati mengingat kejadian itu. Jeanne mengabaikannya. Semua sudah lewat. Jeanne malah mengamati setiap sudut ruang tamu. Keningnya berkerut.

"Kok belum pasang pohon Natal, Ma?" tanya Jeanne.

"Mama nggak sempat, Nak. Banyak pesanan. Ini Mama mau berangkat ke Bidakara sama yang lain."

"Rumah kosong dong, Ma?"

"Ada Alda sama Mariska," Cicilia menyebutkan admin customer service dan akuntan usaha kecilnya.

"Kalau gitu selama Mama pergi, aku dekor rumahnya ya?" Jeanne menawarkan diri. Lagipula dia merindukan masa kecilnya ketika ayahnya masih sehat dan perbedaan adalah hal yang indah dalam keluarganya.

"Bener mau dekor? Pohon sama hiasanya ada di gudang semua lho."

"Beres, Ma. Ada Kak Rion yang bantuin aku."

***

Bukan Jeanne namanya kalau tidak menyusahkan. Sepeninggal Cicilia dan sebagian besar staf katering, Jeanne memaksa Rion menggeret kardus berisi perlengkapan Natal dari gudang. Tentu saja Jeanne tidak ikut membantu. Layaknya nyonya besar, Jeanne berdiri mengawasi Rion berkeringat membongkar isi gudang kemudian membawa kardus yang berisi dekorasi Natal ke ruang tamu.

"Kak Rion harus ngedekor yang bagus lho," titah Jeanne.

"Saya sendirian? Kamu nggak bantuin?"

"Nggak lah. Kan tadi aku udah bayar Kak Rion. Jadi Kak Rion harus kerja buatku." Jeanne tersenyum jahat mengungkit transferannya.

Jumlah yang Jeanne berikan sangat besar. Rion tidak menyesal sekalipun imbalannya adalah dia harus rela disuruh-suruh dengan congkak oleh Jeanne.

"Aku cuma butuh ini." Jeanne mengambil lampu LED yang ada baterai di dalamnya. Saat tombol on digeser, lampu itu menyala. Jeanne mengangguk puas lalu menghilang di pintu menuju dapur khusus untuk rumah, bukan dapur katering.

Rion mengembuskan napas lega. Setelah sejak kemarin Jeanne memepetnya dan sedikit membuat risih, akhirnya sekarang dia bebas. Rion menikmati momen sendirian ini. Cuma mendekorasi ruang tamu dengan hiasan Natal, perkara mudah buatnya. Rion setiap tahun melakukan bersama keluarga di rumah.

Pertama, Rion mengeluarkan pohon Natal dari kardus. Dia harus mendirikannya dan memekarkan daun-daunnya. Rion menggeser pohon cemara imitasi itu ke sudut ruangan.

Berikutnya Rion memerlukan lampu. Salah satunya diambil Jeanne tadi entah untuk apa. Rion mengorek kardus lain. Untunglah dia menemukan lampu warna-warni. Rion mengelilingi pohon Natal dengan lampu itu.

Ibunda Rion selalu mengusung tema berbeda setiap tahun. Terkadang merah dan emas. Terkadang ungu. Terkadang biru dan silver. Rion mencari hiasan gantung di kardus. Kebetulan Cicilia menyukai warna merah. Terkesan cerah ceria. Rion memutuskan tahun ini temanya merah saja. Dia menggantungkan bola-bola merah dan Santa claus di pohon.

Rion mengusap dagu seraya berpikir. Ada yang kurang. Maka dia kembali mengaduk kardus. Cicilia menyimpan slinger beraneka jenis dan warna. Merah dan emas tidak pernah salah. Karena hiasan gantungnya sudah merah, tak ada salahnya menambahkan warna lain. Rion memilih slinger emas.

Rion mengangguk. Belum sebagus dekorasi di mal-mal terkemuka, tapi untuk sesuatu yang dia kerjakan sendiri boleh lah.

Rion melepas sarung bantal sofa lalu menggantinya dengan sarung bantal tema Natal. Meja konsol yang kosong diberikan miniatur Yesus, Maria, orang majus, gembala, dan beberapa domba sehingga menyerupai kandang Natal.

Dua jam Rion menyelesaikan semuanya sendirian, hingga grandfather clock berdentang dua kali. Rion menjatuhkan diri ke atas permadani. Perutnya berkeruyuk ribut. Seharian Rion belum makan. Dia ingat Jeanne juga belum sarapan.

Rion menceluk sakunya untuk mengambil ponsel. Daripada merepotkan Jeanne yang dia yakin tidak bisa masak, order makanan secara online lebih masuk akal.

"Jeanne, kamu mau makan apa? Saya pesankan dari Gofood!" teriak Rion.

Jeanne tidak menyahut. Rion tunggu sejenak. Mungkin wanita itu sedang tidur atau malah nonton film di kamar. Rion menggulir jemari di layar ponsel, mencari makanan sesuai seleranya.
Ketika tengah asyik memilih, ponsel Rion terenggut dari genggamannya. Dia berdecak.

"Jeanne!" protes Rion.

Alangkah terkejutnya Rion. Jeanne telah berdiri di hadapannya tanpa terbungkus satu helai benang. Lampu LED yang tadi diambilnya, kini meliliti tubuh mulus itu, bercahaya layaknya pohon Natal. Buah dadanya yang bulat dan padat menantang sempurna. Jeanne mengenakan topi Santa Claus. Lipstiknya merah merona. Tangan kanan membawa piring berisi choco chips soft cookies. Tangan kirinya membawa segelas susu.

"Apa kamu jadi anak baik tahun ini Hilarion Praharsa?" goda Jeanne seraya mengerlingkan sebelah mata dengan genit.

***

Yang mau marathon baca, silakan ke Karyakarsa. Sudah sampai bab 65 di sana. Tapi yang mau nungguin di Wattpad, stay tuned ya. Bakal update setiap hari selama bulan Mei.

Love,
💋 Bella 💋




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro