21. PERTEMUAN PERTAMA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kenapa yang vote sepi dan yang komen nggak ada? Apa cerita ini membosankan?

Ayo vote dan komen dong.

Desember 2023

“Jadi begitu, bagi kalian kami ini kafir.” Rion tersenyum getir. Dosen hukum warisnya dahulu menyampaikan materi kuliah mengenai hak waris antara muslim dengan non muslim. Pada prinsipnya, sekali pun terikat hubungan keluarga, muslim dengan non muslim tidak dapat saling mewarisi. Ada solusi untuk permasalahan ini, yakni dengan hibah, hadiah, maupun wasiat.

“Ya, waktu itu aku asal nyeplos aja, nggak mikirin perasaan Mama.” Jeanne menunduk, tampak menyesali kejadian belasan tahun lalu. “Aku takut aja nggak punya rumah lagi. Mau tinggal di mana?”

"Kalau saya sudah jadi advokat nanti, bisa bantu kamu memperjuangkan hak," janji Rion.

"Yang bener?" Kesedihan di mata Jeanne berganti binar antusias.

"Ya."

"Tapi bayarannya jangan mahal-mahal." Jeanne lantas berpikir. "Atau aku cicil bayarannya sekarang aja?" Jeanne maju, bermaksud mencium Rion.

"Ck! Kamu ini. Nggak capek apa?" Rion membekap bibir Jeanne. Kalau dilanjutkan, bisa bahaya.

"Bercanda, bercanda. Lama-lama perih juga ya keseringan disodok." Jeanne meringis. Kewanitaannya dirambati rasa tidak nyaman karena menuruti nafsunya sendiri.

"Semua yang over dosis memang nggak baik." Rion mengingatkan.

Jeanne tampak termenung. Dilihat dari samping, terutama kalau diam, Rion mengakui wanita ini manis juga.

"Kak Rion kenapa tetap jadi Katolik? Nggak mau pindah agama aja?" tanya Jeanne tiba-tiba.

Rion menggeleng, tak tahu jawaban pastinya.

“Kamu sendiri, kenapa memilih jadi Muslim, bukan Katolik?”

“Aku nggak mau jadi minoritas,” aku Jeanne jujur.

"Kamu lebih suka dimadu?" tanya Rion.

Jeanne mengembuskan napas. "Yah menurutku dimadu lebih baik daripada dijadikan selingkuhan tanpa dinikahi. Aku kenal orang tua temenku yang Kristen juga punya selingkuhan."

“Semisal kamu di China, bakal jadi atheis?”

“Mungkin.” Jeanne mengangkat bahu. “Emang di China ada yang punya agama?”

“Nggak tahu juga ya, saya belum pernah ke China.”

“Dasar.” Jeanne menyentuhkan bahunya ke bahu Rion lalu terkekeh.

Mau tak mau, Rion ikut tertawa. Jeanne menyukainya, teramat suka. Rion tidak sebuta itu sampai gagal memahami perasaan Jeanne. Wanita ini terlalu jelas, bagaikan buku yang terbuka. Tidak ada misteriusnya sama sekali. Rion memikirkan berbagai pertanyaan, hanya saja terlalu takut mengatakannya. Namun rasa penasarannya sangatlah besar.

“Jeanne, sejak kapan kamu suka saya?” tanya Rion akhirnya.

***

Juli 2014

Sekitar dua bulan lalu, Iman datang ke kontrakan baru Cicilia. Di antara sanak famili Maulana, Iman terhitung kalem. Satu kali dia mengemukakan keberatan atas pernikahan adik ipar bungsunya. Akan tetapi Maulana bersikeras menikahi Cicilia di gereja tanpa kehadiran satu pun anggota keluarga Sueb Tohir.

Sejak menikahi 'wanita kafir', Maulana seperti dibuang oleh keluarga besar. Cuma Iman yang sesekali menjenguk. Terkadang membawa uang sebab pada masa awal pernikahan, kondisi finansial Maulana dan Cicilia belum mapan. Maulana kerja serabutan. Kadang membantu membangun rumah tetangga, kadang membetulkan pompa air, kadang menyervis motor. Apa saja asalkan halal.

Cicilia menduga Iman tak terlibat perselisihan keluarga Tohir Sueb lantaran statusnya cuma kakak ipar. Apa pun itu, Cicilia berterima kasih atas bantuan Iman dan kedatangannya selalu disambut sukacita.

Cicilia pikir Iman berkunjung tanpa niat jahat seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi dia salah sangka. Kedatangan Iman berbeda tujuan.

"Noura sudah masuk SMA tahun ini. Masuk pesantren lebih bagus daripada tercemar pergaulan yang nggak karu-karuan." Iman menyodorkan brosur pesantren.

Cicilia mengambil karton berwarna-warni itu, membacanya seksama. Dia baru tahu pesantren masa kini banyak jenisnya. Ada yang berkonsep modern dan bekerja sama dengan universitas di Mesir, Uni Emirat Arab, sampai Saudi. Satu hal yang Cicilia sesalkan letak pesantren semuanya jauh, malah tidak ada satu pun yang berkedudukan di Jakarta. Jelas sudah keluarga almarhum suaminya berniat menjauhkan dirinya dengan putri kandungnya.

Andaikan yang datang ke rumah adalah Zubaidah, Cicilia maklum meskipun kakak iparnya itu mungkin akan mencak-mencak. Justru karena Iman yang menawarkan, Cicilia kecewa.

"Pergaulan buruk bagaimana, Bang? Bang Iman tahu sendiri SMP Jeanne itu negeri. Anaknya baik-baik."

"Lo kan sibuk ngurus katering, mana sempat ngawasin anak? Perempuan lho Noura ini. Kalau laki-laki belangsak kagak ada bekas. Lah perempuan?" sahut Iman. "Bagusan masuk pesantren, ada ustazah yang ngawasin 24 jam. Solat lima waktu. Ngaji kagak putus. Dijamin Noura agamanya begini." Iman mengacungkan dua jempol.

Cicilia menggigit bibir. Tanpa sadar dia meremasi brosur-brosur itu. "Apa Mpok Zubaidah yang suruh Bang Iman ke sini?"

"Ngapa jadi bawa-bawa Zubaidah? Kagak lah. Gimana juga, Noura ponakan gue. Bukan kandung, tapi sebagai uwak dan sesama Muslim, gue berkewajiban mengingatkan."

"Aku udah masuk SMA negeri, Wak." Jeanne sejak tadi menguping pembicaraan uwak dengan ibunya. Gemas karena Cicilia tidak berani melawan frontal.

"Eh elo, Noura. Sini salim." Iman mengulurkan tangan sebagaimana kebiasaan keluarga.

Jeanne mengabaikan Iman. "Aku nggak mau masuk pesantren. Alfatihah aja nggak bisa nulisnya."

"Tuh kan, makanya Uwak saranin lo nyantri biar paham ilmu agama. Emak lo kan kagak bisa ngajarin ilmu agama yang bener."

"Aku udah belajar agama di sekolah. Mama nggak perlu ngajarin lagi."

"Tapi ilmu agama lo kurang dalam, Noura."

"Sumur kali, Wak." Jeanne menanggapi cengengesan. "Eh, aku mau tanya deh, ustaz pasti masuk surga nggak?"

"Jeanne!" Cicilia menyergah. Anaknya sudah kelewatan.

Muka Iman mendadak pasi. Keponakannya ini masih kecil tapi pertanyaannya sering tak terduga.

"Cuma Allah swt yang bisa mutusin orang masuk surga atau kagak."

"Nah!" Jeanne tersenyum puas, "pelacur aja bisa masuk surga hanya gara-gara kasih minum anjing. Besok-besok aku mau bikin kandang babi di belakang rumah. Nggak cuma kukasih minum, tapi juga kukasih makan. Lumayan, akhir bulan Mama masak babi kecap."

Jeanne menertawakan leluconnya sendiri, tapi Iman memasang tampang tegang.

Cicilia tahu putrinya cuma iseng. Sejak menikah dengan pria Muslim, Cicilia tak pernah lagi masak sesuatu yang dilarang agama suaminya. Kalaupun kangen makan daging babi, Cicilia akan ke kawasan Kelapa Gading sendirian. Banyak Chinese food berbahan babi dan mengandung arak dijual.

"Lo... lo... kasih makan Noura pakai daging B2?" Iman berdiri karena syok berat. Matanya melotot dan dadanya berdebar cepat.

"Nggak, Bang. Nggak pernah. Sumpah," ucap Cicilia.

Cicilia dan Iman berdebat panjang gara-gara Jeanne. Hubungan baik mereka terputus. Namun Jeanne tidak peduli. Dia memang ingin keluarga ayahnya menyingkir saja agar mereka hidup tenang.

***

Dua bulan kemudian, tepatnya awal Juli, Jeanne tetap masuk SMA Negeri dekat rumah. Setiap murid kelas 10 yang baru masuk diminta mengikuti MOS.

Cicilia bercerita zamannya SMA dulu, senior terutama dari kalangan OSIS menjadikan MOS sebagai ajang balas dendam. Junior dikerjai habis-habisan, diminta membawa barang-barang 'ajaib'. Anehnya, 90% siswa baru bisa memenuhi perintah.

Cicilia sendiri berjuang membawa satu pot tanaman rukam. Bersama ibunya atau nenek Jeanne, Cicilia berkeliling sampai pinggiran Bekasi mencari buah langka khas Jakarta. Dulu dia kesal pada seniornya yang dianggap kejam. Namun kini efeknya terasa. Cicilia tidak mudah putus asa menghadapi masalah. Mentalnya terlatih. Kawan-kawan seangkatannya lebih tangguh dibandingkan generasi sekarang.

Jeanne menganggap angin lalu cerita itu. Dia telanjur senang menyandang status baru. Anak SMA. Keren kan. Seragamnya putih abu-abu, ada yang sudah punya KTP bahkan SIM. Satu lagi, anak SMA bisa pacaran.

Selama mengayun langkah menuju sekolah baru, senyum Jeanne tak berhenti terukir. Hari ini dia masih menggunakan seragam SMP, kemeja putih berlogo OSIS kuning dan rok biru gelap. Jeanne mengalungkan name tag oranye di leher.

Dari jarak 200 meter, segerombolan anak-anak baru ditemani orang tuanya sudah berkumpul di gerbang hijau yang tertutup. Baru pukul 6 tapi keramaian dari kaum senasib sudah terasa.

Jeanne merangsek kerumunan, berkenalan dengan Zahwa, Santika, dan Evi. Langsung akrab pada menit pertama sebab sama-sama tak diantar orang tua.

Malu-malu pada mulanya. Jeanne menceritakan SMP-nya. Sekolah negeri tak jauh dari rumah. Tak lupa menanyakan nilai ujian nasional masing-masing.

Tengah asyik bercerita, Honda CBR biru menggeram meminta jalan. Pengemudinya yang tidak mengenakan helm, langsung turun dari motor besar itu membuka gerbang.

Mulut Jeanne terbuka. Rahang bawahnya seakan terlepas dari kuncinya. Si pengendara motor ini pastilah seniornya. Jangkung sekali. Tampak mencolok di keramaian.
Matanya sedikit sipit, tapi tidak seperti Tionghoa. Kulitnya putih bersih sedikit kemerahan. Hidungnya mancung tapi kokoh. Rambutnya dipotong cuff, tipis di samping dan sedikit bervolume di puncak kepala. Bibirnya merah muda. Jeanne menebak pembuluh seniornya dialiri darah ras Kaukasoid.

"Kakak itu merangkap satpam ya? Kok dia yang buka gerbang?" tanya Zahwa.

Suara kawan barunya tak terdengar, padahal berdiri tepat di samping Jeanne. Seisi dunia seakan terhisap pesona sang senior.

Zahwa mengikuti arah pandang Jeanne lantas berkata nyinyir, "Dasar lo, lihat yang bening dikit langsung kesambet."

"Bukan bening dikit, ini bening banyak," sahut Jeanne.

"Sayang Kristen," keluh Santika menimpali.

"Tau dari mana?" tanya Zahwa.
"Rabun mata lo? Itu nggak lihat gantungan kunci di tasnya salib?"

Semua mata segera mencari benda yang dimaksud Santika. Setelah menemukan kebenarannya, Zahwa dan Evi kompak mendesah kecewa.

"Yang Kristen emang harus disayang," timpal Jeanne tidak nyambung.

"Heh, ngomong apa lo? Dosa tau!" Santika mengingatkan.

"Emang lo Tuhan, bisa nentuin orang dosa atau masuk surga?" balas Jeanne tidak peduli.

"Lah, dikasih tau."

Senior ganteng itu selesai membuka gerbang. Dia berbalik hendak menaiki motor. Jeanne tidak melepaskan incarannya, malah sibuk mencari bordiran nama di kemeja putih laki-laki itu.

"Hilarion Praharsa," guman Jeanne.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro