Chapter 1 - "Permen Peach"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lelaki itu duduk di ayunan taman. Wajahnya menatap ke arah tanah yang tengah dilukis oleh setiap pergerakan kakinya, dan juga daun-daun coklat yang kering di musim gugur. Wajahnya datar, tangannya mengenggam rantai ayunan. Sesekali matanya menengok ke arah lain, banyak anak-anak riang yang berlarian sana-sini. Box pasir, luncuran, jungkat-jungkit dan tiang-tiang pemanjat.

Jam di taman pun berdetang saat jarum panjangnya menunjuk ke angka duabelas. Lampu taman bahkan sudah dinyalakan meskipun hari masih menunjukan pukul empat sore. Hal ini dikarenakan langit sudah tampak gelap dan dipenuhi awan hitam yang menutupi matahari. Langit yang kelam, seperti yang tengah dirasakan oleh lelaki itu.

Saat meratapi langit, terdengar suara seseorang menangis. Tidak sulit bagi lelaki itu untuk mencari sumber suara, sebab lelaki itu sudah menemukannya begitu dia mengangkat kepalanya dan menatap lurus.

Sepasang anak kecil.

Gadis kecil itu menangis, membuat anak lelaki di depannya itu nampak panik dan mencoba menenangkannya.

"Momo,"

Gadis kecil kecil itu menangis makin menjadi saja, membuat anak lelaki itu makin panik.

Lelaki sedaritadi memperhatikan mereka berdua pun berjalan ke arah mereka berdua. Saat anak lelaki itu menyadarinya, wajahnya berubah waspada. Begitupun gadis kecil yang kini dibelakang anak lelaki itu terdiam dari tangisnya.

Lelaki itu menatap mereka dengan senyuman tipis tergores dibibirnya. Ia berjongkok, menyejajarkan pandangannya pada kedua anak itu.

"Ada apa?"

Kedua anak itu terdiam, menatap satu sama lain. Dahi mereka mengerut, sesekali melirik lelaki itu bersamaan. Keduanya seperti tengah bertelepati, saling bertanya apakah mereka perlu menjawab pertanyaan lelaki itu.

"Mengapa kau menangis, Momo?" tanyanya.

Gadis kecil itu menerjapkan matanya menatap lelaki itu dengan tatapan gelisah, lalu menjawab pada akhirnya. "Momo dan Akato tersesat," jawabnya dengan suara parau habis menangis.

"Kalau tersesat, seharusnya kalian bertanya," balas lelaki itu sembari tersenyum tipis. Lelaki itu memindahkan tasnya ke depan, lalu mengeluarkan beberapa permen rasa peach kepada mereka. "Ini untuk kalian. Aku akan membawa kalian pulang, tidak perlu menangis lagi, ya?"

Saat lelaki itu mengulurkan tangannya , bocah lelaki yang bernama Akato itu menarik Momo menjauh darinya. "Momo! Okaa-San kan pernah bilang, kita tidak boleh sembarangan mengikuti orang yang tidak di kenal." Akato mengingatkan dengan suara kecil mencoba berbisik, tetapi rupanya lelaki itu dapat mendengar pembicaraan mereka.

"Tenanglah, Akato. Aku bukan orang jahat yang hendak menculik," ucap lelaki itu, senyuman masih melekat di bibirnya. "Dari seragam kalian ..., sepertinya kita bertiga satu sekolah, kan?"

Momo melirik logo dikantung kanannya dan kantung kanan lelaki itu. "Sepertinya kita bisa mempercayainya, Aka. Dia memakai seragam yang sama dengan Yume-Nee."

"Yume? Nama kakak kalian Yume?" tanya lelaki itu dengan sedikit penasaran. Saat keduanya mengangguk, lelaki itu kembali berkata, "Aku kenal kakak kalian. Dia sekelas denganku."

Wajah mereka berdua berubah cerah, keduanya meloncat kegirangan. "Benarkah?!"

Lelaki itu mengangguk dengan pasti, lalu mengandeng tangan Momo di kanan dan Akato di kiri. "Apa kalian ingat alamat rumah kalian?"

Momo dan Akato mengangguk, lalu memberitahu alamat mereka pada lelaki itu.

"Bagaimana Yume-Nee di sekolah?!" tanya Momo antusias, permen rasa peach itu sudah masuk ke mulutnya dan matanya yang masih sembab itu memancarkan keingintahuan.

Sebenarnya, lelaki itu tidak terlalu mengenal gadis yang dibicarakan oleh Momo. Lelaki itu baru menyadari keberadaannya saat pergantian tempat duduk bulan lalu. Gadis yang bernama Yume itu mempunyai kepribadian yang penutup. Di pagi hari gadis itu selalu datang bertepatan dengan lonceng berbunyi, di jam makan siang dia selalu menghilang entah kemana dan saat jam pulang, gadis itulah yang berjalan paling cepat untuk meninggalkan kelas.

Lelaki itu pernah mencoba menyapanya saat pergantian tempat duduk hari itu, entahlah gadis itu yang tidak mendengar atau dia merasa terganggu dan memutuskan untuk tidak mengubris perkataannya.

Lelaki itu juga pernah mendengar orang-orang membicarakan sosok gadis itu, pokoknya desas-desus yang menyatakan bahwa gadis itu adalah orang yang sangat aneh. Semua gosip-gosipnya bahkan berlabel 'aneh'.

Bagaimana tidak? Wajah gadis itu selalu datar dan pucat, rambutnya panjang menutupi wajahnya setiap dia menunduk, dan dia tidak akan mengeluarkan suara jika Sensei tidak menyuruhnya membaca teks atau menjawab pertanyaan.

"Uhm, menurutmu kakakmu bagaimana?" tanya lelaki itu membalikkan pertanyaan, dia tidak akan tega berbohong dengan anak-anak yang masih polos itu tentang apa yang ada di pikirannya.

"Yume-Nee adalah kakak terbaik yang ada di dunia ini!" Akato akhirnya berbicara setelah sedaritadi diam mencurigai lelaki itu.

"Momo juga berpikir begitu!" balas Momo riang. "Yume-Nee selalu mengantar dan menjemput kami saat di sekolah. Kadang Momo merasa bersalah saat melihat Yume-Nee kecapekan saat sampai di kelas kami."

Lelaki itu mengernyit. "Jadi seharusnya kakakmu yang mengantar kalian? Apa dia tahu kalian tersesat?"

Kini Akato dan Momo menggeleng gelisah bersamaan.

"Apa kalian menghafal nomor Kakak kalian? Atau nomor rumah?" Keduanya lagi-lagi menggeleng bersamaan. "Kalau begitu kurasa kalian harus pulang secepatnya."

Lelaki itu mengangkat Momo digendongannya, lalu mengendong Akato di punggungnya. "Pegangan yang erat, para Ootonashi(s)."

*

Gadis itu panik bukan main saat dia diberitahu oleh Sensei TK sejam yang lalu. Adik kembarnya menghilang! Para Sensei di TK turut membantu mencari adik-adiknya, namun sudah setengah jam, gadis itu tidak mendapatkan pemberitahuan bahwa adik-adik kembarnya sudah ditemukan.

Beberapa mata menatap gadis itu dengan senyuman sinis. Tatapan yang biasanya dapat menganggu gadis itu pun tak dipedulikannya ditengah kepanikannya.

Sekarang, prioritasnya adalah adiknya, Akato dan Momo.

Dia tidak tahu bagaimana jadinya jika kedua adiknya itu kenapa-napa. Dia juga tidak tahu bagaimana mengabarkan berita buruk ini kepada Okaa-San. Sungguh, gadis itu sama sekali tidak berniat membuat Okaa-San khawatir. Tapi inilah yang terjadi, dia menyembunyikan kegelisahannya seorang diri.

"Akato! Momo!" serunya menyerukan nama kedua adiknya setengah frustasi.

Jika sampai terjadi apa-apa dengan kedua adiknya, Dia ..., tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya. Sampai kapanpun.

Nyaris saja gadis itu memekik saat dilihatnya seseorang menatapnya dengan mata melotot dan bibir terkoyak lebar itu berlari kencang seolah berniat menabraknya. Barulah saat orang itu sudah melewatinya tanpa menyentuhnya sedikitpun, gadis itu menatapnya datar dan dengan nada yang mengejek.

"Arwah tidak bisa menyentuh manusia."

Entahlah arwah itu mengerti perkataannya atau tidak, yang jelas dia membalas ejekan gadis itu dengan senyuman sinis penuh arti.

Gadis itu melirik ke lantai, dimana tiga wajah menatapnya dengan penuh sindiran. Wajah mereka memiliki bercak darah yang berbeda letak dan posisinya. Rupa mereka tidak sama, hanya warna kulit mereka yang putih pucat saja yang mendominasi di atas aspal hitam.

Gadis itu memperhatikan sekelilingnya lagi, dia berada di tengah jalan penyeberangan dimana orang-orang lalu lalang tak memperhatikannya. Gadis itu kembali mencari keberadaan adiknya itu dengan melangkah ke arah yang berlawanan dengan para penyeberang itu.

Arwah yang duduk tenang di jok belakang salah satu mobil yang tengah berhenti, menatapnya dengan senyuman tajam. Arwah setengah badan yang mengantung di pohon melambaikan tangan ke arah gadis itu dan juga arwah anak kecil yang berada di gendongan pejalan kaki.

Dimana mereka, batin gadis itu gelisah.

Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ponselnya yang hanya berisikan beberapa kontak keluarganya saja. Layarnya menuliskan nama orang yang paling tidak ingin dihadapinya saat ini.

Okaa-San is Calling.

Ragu-ragu, gadis itu mengangkat ponselnya, dengan tangan dan suara yang bergetar.

"H-halo?"

"Yume? Kapan kau pulang?"

Gadis itu mengigit bibir bawahnya, makin gelisah dengan pembicaraannya dengan Ibunya. "S-sebentar lagi,"

"Pulanglah, Nak. Ada temanmu yang datang ke rumah dan mengantarkan Aka dan Momo."

Kegelisahan yang tadi sempat menyerunya, kini diganti dengan perasaan lega yang amat mendalam. Tanpa sadar gadis itu menghela nagas lega dikarenanya.

"Aka dan Momo sudah kembali?"

"Iya, makanya kamu cepat pulang." ujar Ibunya. "Tunggu-lah Yume sebentar, Nak."

Gadis itu sempat mengernyit, barulah dia sadar bahwa Ibunya bukan berbicara dengannya, tetapi orang yang ada di seberang sana. Kemungkinan adalah orang yang membawa Akato dan Momo kembali.

"Maaf, saya harus pulang." Suara lelaki terdengar dari seberang sana, membuat gadis itu sontak menerjapkan matanya bingung. Rasanya dia pernah mendengar suara lelaki itu. Ya, gadis itu merasa yakin. "Kalian, jangan pergi-pergi sendiri lagi. Tunggu Kakak kalian, karena dia pasti menjemput kalian."

Hening beberapa saat sebelum akhirnya terdengar suara Ibunya. "Terima kasih, hati-hati di jalan."

"Sayonara, Nii-San!" Terdengar suara Momo dan Akato yang mengucapkan salam kepergian tamu. Hanya mendengar suara dua anak itu, gadis itu makin menghela lega.

Untunglah mereka tidak apa-apa.

Gadis itu pun berbalik arah menuju stasiun kereta api.

*

Begitu gadis itu kembali ke rumahnya dan disambut dengan riang oleh Akato dan Momo. Keduanya sudah memakai piyama, sepertinya baru saja selesai mandi.

"Yume-Nee!" seru mereka berdua dengan begitu antusiasnya di depan pintu, bahkan sebelum gadis itu melepaskan sepatu dan kaos kakinya. "Okaerinasai!"

"Tadaima," balas gadis itu tersenyum tipis begitu selesai meletakan sepatunya dalam rak. "Mengapa kalian pulang tanpaku?" tanya gadis itu sedikit datar, sebenarnya hanya menegaskan kepada adik-adiknya bahwa dia marah.

"Gomenasai, Yume-Nee," ungkap keduanya menunduk, merasa bersalah. "Tadi ..., Ume-San menyuruh kami mengikutinya," ucap keduanya bersamaan.

"Ume-San? Siapa dia?" tanya Ibu mereka memotong dari pintu geser penghubung lorong dan meja makan.

Gadis itu menghela nafas, lalu masuk ke lorong, diikuti oleh adik-adiknya. "Ume-San itu arwah yang selalu mengikuti kami sejak seminggu yang lalu. Aku tidak tahu dia malah memanfaatkan kesempatan disaat aku menjemput mereka lebih terlambat untuk mecelakakan mereka." Gadis itu menatap adik-adiknya bergantian. "Bukankah Okaa-San sudah bilang tidak boleh mengikuti orang asing, Aka, Momo?"

Keduanya menunduk menyesal. "Tapi kalau tadi kami tidak mengikuti Nii-San yang tadi, mungkin kami tidak bisa pulang." Akato menyambung, lalu dibalas dengan antusias oleh Momo.

"Iya, Nii-San tadi baik sekali, Yume-Nee. Katanya dia dan Yume-Nee sekelas."

Gadis itu mengernyit bingung, saat diliriknya Ibunya dan Ibunya mengangguk, barulah gadis itu mengerti. Orang yang menyelamatkan mereka, huh?

"Oh ya?"

"Iya, Yume-Nee. Dia memberikanku permen ini," seru Momo dan Akato memamerkan bungkusan permen peach mereka.

Permen peach.

Gadis itu tersenyum tipis. "Kalau Yume-Nee bertemu dengan Kakak itu, aku akan memintanya menemani kita pulang bersama, ya?"

Tentu saja gadis itu berbohong. Sebab, dia saja tidak tahu siapa orang yang telah menyelamatkan adik-adiknya. Lagipula, gadis itu tidak pernah berbicara dengan siapapun di kelasnya.

Karena kemampuannya, dia dapat mendengar setiap hal-hal aneh yang orang-orang selalu berikan kepadanya. Indera keenamnya mendengar setiap tuturan kata mereka yang selalu merendahkannya. Gadis itu juga yakin, tidak ada yang mau berteman dengan orang aneh sepertinya.

"Ayo, kita makan dulu," ujar gadis itu membujuk adik-adiknya yang meloncat kesenangan setelah mendengar janji kakaknya.

"Itadakimasu," sahut mereka berempat bersamaan.

Ayah mereka sudah menelepon mengabarkan bahwa beliau akan pulang sedikit terlambat dari biasanya, karena itulah mereka tak perlu lagi menunggunya. Dalam kondisi menghadap ke arah jendela, gadis itu tiba-tiba tersedak saat melihat sesosok makhluk yang berlumuran darah dan dia menempelkan tangan dan wajahnya yang berdarah-darah itu di kaca jendela.

Makhluk-makhluk itu memang tidak bisa memasuki dalam rumahnya, itu karena Ayah mereka sudah memberikan penangkal sejak mereka tinggal di sana. Tapi tetap saja melihat dari luar terlihat menjijikan.

Gadis itu bangkit, dan menutup tirainya.

"Begini lebih baik."

***TBC***

7 April 2016, Kamis

*

a/n

Walah, maaf malah duluan mempubliskan DN tanpa mengumumkan kemenangan voting. Jadi, iya, DN memang menang suara daripada LFS 1.
Saya selaku author meminta maaf sebesar-besarnya untuk para reader yang sudah memilih LFS 1, tapi saya harus berlaku adil.

BTW, kamu ketemu cerita ini dimana? :)

LFS 1 akan dipublishkan setelah LMP tamat, oke? Dan maaf sebesar-besarnya, jika anda adalah pembaca LMP, saya minta maaf disini atas keterlambatan updatenya. Pikiran saya benar-benar kosong dan saya nggak tahu mau nulis apa di chapter 53.

Dan, selamat datang di cerita ketiga saya. Saya punya banyak stok chapter untuk DN, jadi kalian tidak perlu khawatir jika saya terkena writer's block seperti yang terjadi setiap saya mengetik LMP, cerita ini sudah hampir tamat di microsoft word saya, tapi bahasanya masih hancur dan perlu perbaikan yang banyak.

Maklumin jika alurnya mainstream karena ini cerita saya pas kelas sepuluh. ><

Salam, Cindyana H

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro