Chapter 12 - "Janji"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

YUKI

"Tadaimaa." Ootonashi menyapa begitu kami berada diluar rumahnya. Aku sempat melihatnya nampak menepuk kepalanya menyesali apa yang dilakukannya. Tak memberikanku kesempatan bertanya apapun, dia segera membuka pintu rumahnya dan menutupnya begitu aku masuk. Saat membuka pintu geser yang menghubungkan ruang keluarga dengan lorong, Aku bisa melihat Ibu-nya Ootonashi dan si kembar sedang berbicara, nampak serius. "Sedang kumpul?"

"Tadi kami-"

"Tidak ada apa-apa," potong Ibunya dengan cepat.

Ootonashi mengangguk paham, lalu memalingkan wajahnya ke arahku, yang membuatku tersentak. "Nah, aku keluarkan alat tulis dulu. Kau disini saja." Lagi-lagi dia tak memberikanku kesempatan berbicara, dia malah langsung berlalu di kamarnya, meninggalkanku dan ketiga keluarganya di ruang tamu dalam kondisi yang canggung. Maksudku, apa yang perlu dicanggungkan? Ibunya tak bisa melihatku, dan si kembar yang lucu itu tidak akan mengatakan hal-hal yang membuatku kaget--terkecuali jika aku masih belum tahu mengenai kelebihan mereka dan jika aku tidak berada dalam kondisi seperti ini.

Suasana di ruang tengah sangat hening. Hanya ada suara si kembar Ootonashi yang berbisik-bisik dan suara arwah yang mendesis panjang dari luar.

Aku kaget sekali saat melihat Ibunya Ootonashi menatap ke arahku, aku sempat memiringkan kepalaku, mengira bahwa dia mungkin melihatku. Aku yang sedang berdiri pun memutuskan untuk duduk--tidak sepenuhnya duduk juga, sebab aku tidak bisa merasakan empuknya sofa itu.

"Yuki, kau disini?" tanyanya yang membuatku salah tingkah.

"...Uhm, iya?"

Kulirik si kembar yang berbicara itu pun mengalihkan pandangannya ke arahku dan ke arah Ibunya bergantian. Ada jeda panjang yang membuatku ragu.

"Kaa-San, kok nggak dilanjutin? Yuki-Nii sudah dengerin tuh," tegur Akato sambil menatap ke arahku. Sedangkan Momo hanya menganggukan kepalanya mengiyakan.

Ibunya menggeleng, lalu tersenyum tipis. "Tolong jaga Yume, yah."

Aku terdiam sejenak. "...Ya," jawabku setelah jeda agak lama.

"Nah, ayo mulai." Ootonashi datang dengan alat-alatnya yang penuh ditangannya, lalu meletakan alat-alatnya di atas meja.

Aku mulai membantunya mengerjakan karangan Bahasa Inggris. Katanya, dia diminta menerjemahkan dongeng Cinderella di kertas yang sudah disiapkan. Ootonashi melirik ke kaca jendela yang mengeluarkan suara cakaran sejenak, namun tak dihiraukannya lagi setelah itu.

"Selesai!" serunya memekik riang.

"...Buat tanda kalau cerita itu sudah selesai."

"Hah? Apa?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya bingung.

"Tambahkan huruf D dan N, di bawah sana," terangku sambil menunjuk posisi di kertas yang kosong ditengah-tengah.

"Mengapa harus menambahkan huruf D dan N?" tanyanya semakin bingung.

"Karena ceritanya sudah selesai, dan tidak dilanjutkan lagi. Yah, selesai sampai di sana," terangku, tapi sepertinya dia belum mengerti. "...The End, Ootonashi, seperti apa yang akan terjadi dengan setiap orang nanti." Aku kembali melanjutkan. "Dan, DN-ku sudah dekat."

Aku bisa melihat jelas bagaimana tubuhnya menegang saat aku mengucapkannya, lalu dia menunduk dalam. Tiba-tiba saja aku merasa bersalah. "Sudahlah, lupakan yang kuucapkan barusan. Itu hanya dua kata yang biasanya kutulis setelah tugas Bahasa Inggris-ku selesai. Sensei selalu menyukai apa yang tertulis di akhir." Ootonashi masih menunduk, kukira dia masih mencerna kata-kataku, dan detik berikutnya, aku tahu kalau itu salah.

"Aku ke kamar dulu," ucapnya sambil membereskan barang-barangnya dan meninggalkan ruang keluarga dengan cepat.

Aku sama sekali tidak mengerti.

*

Aku benar.

Saat Ootonashi mengumpulkan tugasnya, Ellie-Sensei benar-benar memuji karangannya. Tunggu, maksudku bukan di bagian itu. Sensei memuji akhirnya, seperti bagaimana dia memuji akhir milikku dulu.

"Kau tidak salah menuliskannya kali ini. Dan aku tidak tahu, dua huruf ini akan kau gunakan juga, Ootonashi," ucapnya sambil menutup bukunya dan meletakannya di atas meja. "Aku menyukainya, dua huruf itu."

Ootonashi masih diam ditempatnya, hanya mulutnya yang melengkung senyum kaku. "Uhm, Kalau begitu, Saya permisi...."

Ootonashi berjalan ke kelas, aku hanya bisa mengikutinya tanpa berani berkata apapun. Sudah sejak kemarin, kami sama sekali tidak berbicara sepatah katapun. Dia terang-terangan menolak berbicara denganku. Saat sudah selesai makan malam kemarin, Ootonashi langsung buru-buru meninggalkan ruang makan dan ke kamar. Begitupun saat di ruang makan tadi pagi, dia sama sekali tidak mau menatap ke arahku.

Dia marah?

Tiba-tiba langkahnya terhenti, lalu dia mendongkak menatapku yang sedang melayang mengikutinya. "Aku orang yang tak tahu berterimakasih," sahutnya. Aku hanya mendengarkan saja, tanpa berani berkomentar. "Aku belum membantumu, dan kukira belum ada hal yang bisa dibalas," ucapnya lagi. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini akan berakhir. "Kukira, sebaiknya, kau tinggalkan saja aku."

"...Aku tidak bisa," balasku pelan, tapi aku yakin, orang yang memiliki kelebihan sepertinya pasti bisa mendengarkanku. "Aku sudah berjanji."

"Janji? Ibuku tidak mendengarmu, jadi itu masih bukan janji!" Dan Ootonashi yang rupanya mendengarkan hal kemarin itu nampak murka. "Janji itu, saat seseorang mengucapkan dan seseorang mendengarkan!"

"Bukan. Janji itu, saat seseorang benar-benar bertekad akan melakukannya dalam dirinya," ralatku.

"Aku sudah berjanji dengan Ayahmu juga, dan kukira kami cukup berhubungan dengan baik."

"Dua orang berhubungan baik itu, karena saling menguntungkan. Kalau cuma sepihak yang diuntungkan, itu bukan hubungan baik. Itu namanya parasitisme," ucapnya yang membuatku benar-benar terdiam. Memang, bisa saja aku membalas ucapannya itu. Tapi, ucapannya benar, dan ucapannya itu benar-benar seperti sedang menceritakan keadaan yang kualami. "Dan maaf, aku tidak ingin menjadi parasit!"

Dia melangkah cepat meninggalkanku, namun aku secepatnya menyusulnya--saat melihat satu arwah mendekat ke arahnya. "Kenapa kau bisa berpikir kalau aku tidak membutuhkanmu?" tanyaku begitu sampai di sampingnya, menyimpulkan apa yang kudengar dari kata-katanya tadi.

"Kau mengatakannya, kemarin," jawabnya tanpa menolehku. "Kau secara tidak langsung mengatakan itu. Aku tahu."

"Baiklah, ayo saling berhubungan baik," sahutku yang akhirnya membuatnya menoleh ke arahku. Matanya menatapku tidak senang, seolah tak mempercayai kata-kataku. "Aku membutuhkanmu."

Ootonashi menghela nafas. "Apa aku harus mengakui kalau aku juga membutuhkanmu?" tanyanya yang membuatku tersenyum tanpa sadar. Akhirnya, dia tidak marah lagi. "Asalkan kau berjanji, kau akan memanfaatkanku dengan baik."

"Setuju."

Dan kami berjanji.

*

Kami tidak akan sampai kemari, jika tiba-tiba saja Ootonashi tidak bergegas dan membuatku mengejarnya seperti ini. Maksudku, aku tidak tahu apa yang merasukinya, seorang gadis tiba-tiba saja mendekat ke arahnya, berbisik padanya dan menghilang begitu aku memutuskan untuk mendekatinya. Tapi sepertinya Ootonashi tampak baik-baik saja, dia masih benar-benar memiliki raganya.

Wajahnya pucat dan dia menatapku gelisah. Saat aku menatapnya, dia hanya bisa terang-terangan menghindari kontak mataku. Kukira kami sudah berjanji beberapa jam yang lalu, bahwa kami akan saling memanfaatkan dengan baik. Lalu mengapa dia....

"Kenapa?" tanyaku saat kami berada dalam kereta, satu-satunya tempat dimana dia akan diam dan keretanya yang bergerak. Dia masih nampak ngos-ngosan, meskipun sudah hampir beberapa menit kami berada dalam kereta.

Dia menatapku gugup, lalu memalingkan wajahnya. "Tidak apa-apa."

...Mengapa dia tidak mempercayaiku?

Kalau saja dia tidak dalam posisi berdiri karena kereta penuh, kurasa aku akan terus mendesaknya untuk berbicara.

Saat kereta berhenti di peberhentian yang sering kudengar akhir-akhir ini, Ootonashi melangkah tanpa ragu keluar, lalu kembali berlari lagi, membuatku mau tak mau ikut menyusulnya.

"Kau yakin kau tidak apa-apa?" tanyaku saat dia masuk lift dalam rumah sakit dan ngos-ngosan disana. "Apa ada yang mengejar kita?"

"Aku tidak apa-apa," ucapnya lagi. Sorot matanya yang menatap ke arah pintu lift harap-harap cemas membuatku semakin curiga. Apalagi saat dia segera berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Dan aku harus mengejarnya, lagi.

"Kau yakin?" tanyaku sekali lagi, saat kami sudah berada di pintu kamarku. Ada dua penjaga berjas hitam di depan sana, dan Ootonashi diminta menunjukkan kartu identitas di depan mereka.

"Bolehkah aku masuk?" tanya Ootonashi dengan nada penuh penekanan. "Apa kalian sudah memeriksanya?" tanyanya lagi yang membuatku serasa membatu di tempat. Selain karena belum pernah melihatnya berbicara begitu, aku yakin, ada sesuatu yang membuatnya begitu yakin dengan keadaanku di dalam sana.

"Tidak bisa, Nona. Hanya beberapa orang yang boleh mengunjunginya."

"Kalau begitu, buka saja pintunya!"

Dan aku menembusi pintu, melihat keadaan di dalam sana.

Ya, Ootonashi tidak pernah salah.

Aku masih bisa mendengar perdebatan mereka di luar, dan seorang pria berpakaian serba hitam, nampak sedang tergesa-gesa membereskan alat-alat yang di taruh di nakasnya. Sedikit banyak, aku bisa menebak apa yang hendak dilakukannya terhadapku.

Dia berniat menyuntikku dengan ehm..., apa itu namanya?

Euthanasia?

Tepat saat lelaki itu sudah berbalik dan keluar dari jendela--mungkin tempat ia masuk juga, pintu kamarku bertepatan terbuka.

"...Kemana dia?" tanya Ootonashi sambil mengerut bingung menatapku.

***TBC***

16 Juni 2016, Kamis

a/n

Ini panjang ga ya? Duh duh duh. 

Dan ya, seperti itu...

Oh and..., thanks for #4 Paranormal two days ago <3

Dan jangan kecewa yak, pembaca. Sejak awal saya sudah bilang kalau huruf DN itu gaada spesial-spesialnya. All of your imagination beyond too high from expectation. And I'm so sorry to made you feel that way.

But, It's okay, DN's meaning isn't only that. Keep reading, guys.

Salam, Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro