Chapter 22 - "Fakta Lain yang Terungkap"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

YUKI

"Mereka berdua sudah keluar, apa kita harus mengikuti mereka?" tanyaku sigap, mengeluarkan kepalaku untuk melihat keadaan luar berkali-kali.

Aku berdiri di antara pintu, seolah setengah diriku terbelah di pintu itu. Tentu saja aku tidak mau tubuh Yume diambil alih secara tiba-tiba oleh arwah yang sedang tersesat. Aku tidak mengerti, mengapa Ayahnya Yume berani menjamin bahwa Putrinya akan baik-baik saja di luar sana. Maksudku, dia sedang bersama dengan seorang pembunuh. Atau mungkin calon pembunuh karena aku belum mati dan mungkin akan mati karena ulahnya.

Kupikir, setelah bercerita panjang-lebar kemarin malam, mereka akan mempercayai Yume.

Aku bahkan masih ingat dengan apa yang dikatakannya kemarin, "Kanata saat SD, pernah hampir menusuk perut teman sebangkunya dengan gunting hanya karena temannya tidak mau memberikannya kertas origami."

Dan kupikir semua itu sudah terjawab cukup jelas. Kanata memang orang yang ambisius dan sangat perfeksionis. Aku khawatir pada Yume yang berada di luar sana, sendirian. Karena mungkin Kanata bisa saja menyembunyikan benda tajam di dalam jas mahalnya.

"...Tenanglah, Yuki," gumam Ayahnya Yume tanpa terlihat gelisah sedikitpun. "Kenapa malah kau yang panik tak karuan seperti Ayahnya?"

"Kanata tidak akan segan-segan, Paman. Dia bisa merencanakan apa saja."

Aku kembali mengeluarkan kepalaku, Yume disana menatap ke arah Kanata dengan sorot datar. Beberapa saat kemudian ponselnya berbunyi, entah apa yang dibicarakan oleh Kanata dengan lawan bicaranya di telepon sampai-sampai wajah Yume berubah sedrastis itu.

"Paman, aku keluar sebentar...."

Aku segera keluar, Yume disana nampak mendengarkan dengan serius begitupun aku. Aku hanya mendengar jeda yang panjang di seberang sana, belum sempat mendengar apa-apa.

Wajah Kanata berubah datar, lalu menaruh ponselnya kembali ke sakunya.

Aku melirik ke arah beberapa CCTV milik tetangga yang tidak termasuk bagian dari perencanaan, baiklah, mungkin dengan itu aku tidak perlu terlalu cemas soal Yume. Beberapa arwah yang mendekat, tampak menjauh tanpa minat begitu melihat keberadaanku yang menatap mereka dengan tatapan datar.

"Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanya Yume dengan nada angkuh, ingin rasanya memperingatkannya tentang nadanya itu. Maksudku, angkuhnya sangat-sangat terbaca sekali.

Kanata menatapnya sama datarnya, "kalau begitu Paman juga akan langsung ke intinya...," Kanata mengeluarkan kertas kecil dari saku jasnya. "...Ceritakan padaku."

...apa yang sedang mereka bahas disini?

Yume menatapnya dengan tatapan yang sering dilemparkannya pada siapapun yang menyapanya di kelas. Apa itu namanya? Tatapan yang menyatakan bahwa dia benar-benar terganggu dengan keadaan ini, meminta siapapun menjauh dan jangan mendekati bentengnya.

"Ceritakan soal apa, Paman?" tanya Yume dengan tenang.

Kanata menatap manik Yume dalam-dalam, "soal Akato dan Momo..., dan dirimu."

Aku bisa merasakan bagian di daerah jantungku terasa untuk ke sekian kalinya. Astaga, apa yang sebenarnya baru saja terjadi disini?

"Kami? Keponakan Paman Kanata yang-"

"Yume!" potongnya tidak senang, "Ceritakan pada Paman sejujur-jujurnya, Paman tidak akan marah."

Dia baru saja memotong pembicaraan Yume seolah membenci jawaban Yume setengah mati. Bagaimana mungkin dia tidak marah? Pembual yang hebat, kan?

Aku mendekat ke Yume. "Ada apa?" bisikku.

Yume melirikku kilat, mungkin hanya beberapa milisecond, lalu kembali menatap tatapan Kanata yang kini menatapnya bengis, penuh kecurigaan disana.

"Paman jadi aneh begitu menerima telepon. Ada apa, sih?"

Jadi penyebabnya karena telepon tadi? Uh, seharusnya memang kami tak membiarkan Yume bersama orang ini sendirian.

"Tidak apa." Kanata melirik beberapa sudut dengan sedikit gelisah. CCTV dari bagian belakang milik tetangga sebelah Ootonashi, CCTV depan dan beberapa CCTV dari kejauhan sana. "Sepertinya, Paman harus kembali."

Tatapan Yume berubah sedikit, "Ah, baiklah, Paman."

"Paman titip salam ke Ayah dan Ibumu."

Setelah itu, dia melangkah ke mobil hitamnya, dan langsung menancapkan gasnya tanpa memberi sapaan apapun lagi. Setelah berbelok, Yume dengan buru-buru membuka pintu, di sana kami mendapati Ayahnya Yume sudah bersiap-siap dengan kunci mobil di tangannya.

"Ayo, Yume," Ayahnya membuka kunci mobil dan mengunci rumah.

Ada apa ini sebenarnya?

*

Mobil sedan abu menancapkan gas dengan kecepatan 80 km/jam. Aku tidak bisa memakai sabuk pengaman, maka yang kulakukan adalah duduk di dalam mobil itu dan berkonsentrasi penuh agar jangan terseret keluar mobil (berhubung karena aku masih bisa menembusi benda padat). Dengan kecepatan yang seperti itu, aku tidak menjamin bahwa mereka akan menangkap Kanata dan bisa menghindar dari polisi yang mungkin berjaga di persimpangan. Entahlah.

Mobil hitam di depan kami juga bergerak dengan kecepatan yang cepat.

Kalau boleh jujur, aku merasa sangat terkesan dengan kebaikan yang dilakukan oleh mereka.

"...Ini sebenarnya ada apa?" Aku akhirnya memberanikan diri membuka suara setelah sedaritadi acara kejar-kejaran berlangsung sampai saat ini.

Yume berbalik ke belakang, tersenyum tipis. "Kau tahu? Saat arwah duduk di jok belakang, itu tandanya apa?"

Aku menaikan alisku, "apa?"

Yume menunjuk mobil di depan kami--mobil Kanata, "berarti arwah itu punya dendam terhadap pemilik kendaraan itu."

"Eh-tapi aku tidak punya dendam dengan kalian." Aku mengucapkannya dengan kaku, memalukan.

Ayahnya Yume tertawa cukup keras, "Ya, kami tahu. Nah, coba lihat ke sana." Ayahnya menunjuk keberadaan mobil Kanata--seperti yang dilakukan Yume.

Aku mencoba mempertajam mataku, aku bisa melihat seorang gadis berambut panjang sebahu duduk di jok belakang mobilnya...tunggu, aku merasa familiar dengannya. Aku tidak mampu melihat wajahnya sepenuhnya saat perbelokan terjadi, tapi aku yakin bahwa aku pernah melihatnya.

Siapa?

"Aku dengar saat Kanata masih menjadi pekerja biasa sebelum bisa bekerja dengan Ayahmu seperti ini," Ayahnya Yume melirik spion dan menatapku sejenak, "dia menanam saham dan melakukan kontrak dengan beberapa orang yang bergabung."

Ah, aku tidak mengerti soal apa yang dilakukan Kanata, tapi memangnya itu ada hubungannya dengan itu?

"Tapi dunia bisnis itu penuh resiko. Kalimat dikontrak telah diubah sedemikian rupa. Beberapa pihak yang sudah mengorbankan banyak harta di dalam sana, menjadi korbannya."

Yume mendesis di samping Ayahnya, "Otou-San, langsung saja ke intinya. Yume juga tidak mengerti."

Ayahnya terkekeh, "Iya. Itu Putri dari keluarga Fujihara, salah satu yang keluarganya juga mengalami kerugian besar karena ulah Kanata yang memanipulasi kontrak."

Fujihara...

Fujihara?

Yume berbalik, "hm, Ibunya Chizuko depresi setelah Ayahnya Chizuko pergi meninggalkan keluarganya. Ibunya Chizuko tidak pernah bercerita soal Suaminya yang telah tewas setelah bunuh diri kepada Chizuko. Pikiran Ibunya sering tidak jernih, makanya dia sampai menghukum Chizuko seperti itu." Yume menghela nafasnya, "Menyedihkan, aku tidak tahu kalau keluarga kita memiliki hubungan yang dekat dengan monster seperti Kanata."

"Hush, Yume, dia masih Pamanmu." Ayahnya menegurnya.

"...Tapi, kalau orang besar semacam Kanata melakukan hal seperti itu, bukankah seharusnya ada yang meliput soal keburukannya?" tanyaku.

Aku ingat betul saat Otou-San muncul di majalah bisnis dan diduga telah menghabiskan sekitar sekian ratus juta yen untuk proyek terbarunya. Padahal kenyataannya tidak. Dan seharusnya, reporter-reporter yang tertarik dengan issue dunia bisnis segera mencium kedok busuknya, bukan?

"Itu aib keluarga, kejadiannya juga sudah lama," gumam Ayahnya pelan. "Memang salah, demi nama baik, dia menutupinya dengan serapat mungkin."

Memikirkan bahwa orang semengerikan itu ada disekitar Otou-San setiap harinya, membuatku ngeri.

Bukti itu harus secepatnya ada. Aku tidak mau ada sesuatu yang terjadi dengan Otou-San.

"...Apa Kanata tidak curiga kalau kita mengikutinya?"

Ayahnya Yume menjawab dengan tenang, masih mengikuti mobil di depannya. "Ya, tidak akan. Dia tidak mungkin melihat kita lewat film yang gelap ini. Aku membeli mobil ini diam-diam, tidak ada seorangpun yang tahu soal keberadaan mobil ini selain keluarga kami. Garasi tua itu rupanya berguna," dia terkekeh.

"...Lalu, kira-kira dia mau kemana?"

Kali ini Yume yang menjawab, "Ke rumahnya, huh? Sudah berapa lama dia tidak muncul di sana?" tanyanya dingin.

Aku langsung merasa bahwa Yume ini sebenarnya memiliki dua kepribadian. Mengesankan.

"Lalu, tadi Kanata berbicara apa di telepon?" tanyaku setelah sekian lama memendam pertanyaan yang membuatku amat penasaran.

"Oh itu. Sebelum rencana untuk mencelakakanmu terjadi, mereka memata-mataimu dulu, dan tidak ada tanda-tanda kita pernah berteman." Yume memutar bola matanya. "Lalu, anak buahnya mencurigai Akato, Momo dan aku yang..., berbicara sendiri saat pertama kali aku menjengukmu."

[Dedicated to Chapter 6 akhir dan 7 awal]

*

Benar saja, mobil hitam itu telah berhenti di depan sebuah rumah tua yang halaman rumahnya terparkir beberapa mobil. Ramai sekali tempat ini. Sepatu mereka bahkan terlihat bertumpuk dan berantakan dari sini. Pintu kaca itu terlihat tebal dan berembun sedikit dikarenakan cuaca dingin hari ini.

Yume tadi sempat menjelaskan bahwa mereka akan datang ke rumahnya. Rumah Kanata. Biasanya mereka menghabiskan waktu disana karena rumah itu dulunya pernah ditinggali oleh Kakek buyut mereka. Rumah itu sudah berdiri selama berpuluh tahun dan masih menjadi tempat yang penting bagi keluarga mereka hingga saat ini.

Karena ini keluarga dari pihak Ibunya, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan bisa melihatku.

Yume dan Ayahnya membuka pintu untuk keluar, aku memutuskan untuk menembus platform mobil saja. Fujihara sudah tidak terlihat di dalam mobil hitam itu. Setelah mengangguk bersamaan, Ayah Yume dan Yume melangkah masuk, aku hanya mengikuti mereka dari atas.

"Tidak usah datang kau, dasar pembawa masalah!"

Aku tersentak saat mendapati sebuah slipper meluncur dan memantul ke arah dinding. Kulihat Yume dan Ayahnya bahkan tidak repot-repot untuk merasa heran sepertiku. Ada apa ini?

"Pergi kau! PERGI! Sedetikpun aku tak pernah mengharapkan kepulanganmu!"

Kulihat disana, Kanata keluar dari rumah dan bersitatap kembali dengan Yume dan Ayahnya. Ekspresinya sudah berubah drastis, amat sangat drastis. Ekspresi terluka? Kesepian? Aku harus menyebutnya apa? Karena jujur, semua luka itu seolah bercampur aduk menjadi satu, namun amarah di matanya itu membuatku membatalkan simpatiku terhadapnya. Memang aneh, dia yang membuatku seperti ini, mengapa aku harus merasa iba padanya?

"Yume, ah, kau datang juga." Senyumnya itu amat terpaksakan. Kulihat urat di tangannya sudah tercetak jelas, dia mengepalkan tangannya dan menahan emosinya dengan sangat dipaksakan. Ada pula Fujihara di belakang sana, yang memutuskan untuk berhenti disana tanpa niat mendekat daripada menghilang saat bertemu dengan Yume dan aku, perpaduan yang cukup untuk membuat semua arwah menghilang. "Panggilkan Momo dan Akato, Paman ingin bicara."

"...Tidak perlu, bagaimana kalau bicara denganku sekali lagi?" tanya Yume dengan berani.

Aku sampai melotot tak percaya ke arahnya. Yume baru saja mengatakan hal gila! Ini benar-benar diluar perkiraanku. Yume benar-benar nekat dan berniat kuat mendapatkan buktinya hari ini, sepertinya.

"Ah, kami hanya akan membicarakan soal kado mereka tahun ini." Sangat dipaksakan, dia tiba-tiba saja menjadi aktor terburuk yang pernah kulihat sepanjang masa.

"Mereka tidak butuh kado darimu, Paman."

Ayahnya Yume buru-buru menahan Putrinya yang sepertinya hampir saja mengungkapkan seluruh kebenciannya terhadap Kanata. "Sepertinya, kita harus bicara di luar," ucapnya saat masih mendengar suara jeritan mengusir di dalam sana saat mendengar Kanata berbicara.

"Pergi kau, dasar pembawa sial!" seru seorang wanita tua yang melangkah terpatah-patah, ditahan beberapa orang yang berani menahannya sekuat tenaga.

Aku baru pertama kalinya melihat seorang Nenek marah karena Okaa-San pernah bercerita bahwa semua orang tua akan ramah pada anak-anak (saat itu aku merasa takut dengan Nenek sihir. Dan lagipula Kanata bukan anak-anak lagi).

Tanpa aba-aba, Nenek tua tadi melemparkan vas kaca yang ada di altar dan melemparnya dengan cepat ke punggung Kanata tanpa bisa dihindari olehnya. Vas itu pecah berkeping-keping, tapi sepertinya jas yang tebal itu mampu melindungi punggungnya, karena tidak terlihat darah yang merintik ke bawah seperti yang kuperkirakan.

Ayah Yume langsung menarik Kanata keluar, Yume sempat melirik ke arah Ibunya dan mengangguk pelan saat Ibunya menatapnya penuh keingintahuan. Si kembar berada di pelukan Ibunya dan menatap kejadian itu dalam diam, tanpa berani bertanya apa-apa. Sepupu Yume yang lain, yang masih kecil seperti Akato dan Momo juga menyaksikan itu. Aku tidak tahu bagaimana orangtua mereka akan menjelaskan itu pada mereka nantinya.

***TBC***

25 Desember 2016, Minggu.

a/n

Merry Merry Christmas! Ceritanya pas pula kan lagi natal <3

Ini pertama kalinya saya ngetik DN sechapter sepanjang ini. Dikit doang sih, gabisa dibandingin sama SA yang sekali up bisa 3000an, cuman 1700 hiks.

Pengen banget namatin ini dalam enam hari. Tapi mustahil hiks~

Oh ya, bagaimana menurutmu chapter hari ini?

Gimme ur comment <3

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro