Menambatkan Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kak Johan datang padaku besoknya. Ia membawakanku bunga mawar merah muda. Warna favoritku. Ia menanyai kondisiku mengapa aku melukai diriku sendiri. Sejujurnya ini agak berlebihan aku hanya menusukkan jariku dengan jarum tapi seolah aku melakukan tindakan pelukaan diri yang besar.

Aku hanya tersenyum getir menerima bunga tersebut dan kini ia menanyaiku hal yang menjadi bahasan Yang Mulia Ratu kemarin denganku.

"Hadiah apa yang kau inginkan? Adikku."

Aku tentu saja menggeleng. Tidak ada hal yang kuinginkan lagi di dunia ini. Selain aku dapat hidup dengan baik dan semuanya damai seperti ini.

"Kau tidak butuh apapun? Kakakmu ini tentunya akan rela pergi ke manapun untuk memberikan hadiah pada satu-satunya adik perempuannya."

Aku hanya tersenyum lagi, andai kak Johan tahu apa yang paling kuinginkan. Namun, begitu aku melihat tanda burung di telapak tanganku ini--aku tahu tidak semua orang bisa melihat ini, contohnya saja dokter dan Yang Mulia Ratu kemarin tidak menyadari tanda ini--,aku jadi yakin dengan sesuatu.

"Kalau aku meminta perjanjian sihir, apa kak Johan bisa mengabulkannya?"

Kak Johan sedikit terdiam dengan permintaanku.

"Kau tahu kan, aku tidak memiliki bakat mana sedikit pun."

Aku mengangguk dan hanya dapat menghela napas.

"Tapi aku pernah mendengar gulungan yang bisa membuat perjanjian, meski tentu saja ada karmanya bila salah satu dari pelaku perjanjian tidak memiliki mana."

Aku tahu mengenai demikian. Suatu hal yang berkaitan dengan sihir memang memiliki nilai karma, karena akar dari sihir adalah kekuatan gelap yang berasal dari raja Iblis. Namun, pengguna sihir belum tentu antek-anteknya karena percabangan sihir sudah cukup jauh. Berbeda dengan kekuatan suci dengan kekudusannya--yang mana lingkupnya lebih kecil penggunaannya tetapi itu yang membuatnya murni.

Aku memiliki mana sihir dari jalur Ibuku. Meski tidak cukup kuat untuk sekadar menyihir sesuatu setidaknya kalau untuk perjanjian sihir aku bisa menerima karmanya.

"Ya, Aku tahu itu kak. Tapi, bagaimana cara mendapatkannya?"

"Untuk mendapatkannya itu mudah saja. Percayakan pada kakakmu ini. Tapi yang aku pertanyakan. Kau menginginkan apa dari kakakmu ini? Atau dari kerajaan ini, sampai kau menyakiti dirimu sendiri seperti itu?"

Andai menangis itu mudah, dapat menceritakan masalahku atau andai aku dapat kembali mengulang waktu dengan manis. Aku rasa aku tidak akan menyakiti diriku sampai seperti ini.

Aku menggeleng dan memeluk kakakku dengan erat. "Aku tidak bisa menceritakannya, kak Johan. Selama aku tidak menyakiti diriku bukankah itu cukup, bukan?"

Meski aku berkata demikian. Nyatanya aku tidak melakukan apa yang kukatakan.

Besoknya, kak Johan pergi keluar kerajaan. Mungkin ke menara penyihir untuk bertemu dengan Kael atau entah bagaimana. Hanya saja, di waktu itu aku menggunakan kesempatan itu untuk mencoba yang terakhir kalinya.

Seperti yang kupahami ketika mataku terolesi bawang yang harusnya merah dan berair. Itu tidak merah atau berair yang berarti kutukan yang diberikan kepadaku memiliki sihir penyembuhan serta mencegah untuk mengeluarkan air mata.

Namun, apakah itu bisa menyembukan sesuatu yang terlukai dengan sihir? Sihir melawan sihir.

Aku memaksa pelayanku--pelayan lain yang kuketahui tidak memiliki konektivitas dengan yang mulia ratu--membeli beberapa barang mencurigakan di pelelangan. Ia tidak memiliki bakat sihir. Namun, aku punya. Aku bisa mengenali sesuatu yang memiliki sihir, meski tidak bisa sihir.

Yang kudapat dari usahanya mencari barang mencurigakan di pelelangan adalah beberapa barang yang membuatku tidak habis pikir.

Sisir peninggalan Dame Lorona.

Panah tua terkutuk.

Cermin perak.

Di antara tiga benda mencurigakan itu, bukan hal seperti sisir atau pun panah tua yang memiliki nama mencurigakan. Nyatanya cermin perak itu yang memiliki sesuatu yang kusadari itu adalah sihir.

Aku tidak tahu apa sihirnya, hanya saja cermin itu punya suatu suara berisik dan membuat ingin melihatnya terus. Mungkin itu adalah sihirnya, jadi kupecahkan kaca tersebut dan suara itu hilang.

Bukan hilang tapi lebih seperti teredam karena begitu bagian-bagiannya di dekatkan, suara itu masih terasa berisiknya.

Ini sudah cukup larut malam. Kupastikan Sofia sudah tidak berkeliaran di lorong ke arah kamarku atau pun keberadaan pelayan pelayan lainnya juga. Aku memecahkan kaca ini dengan panah terkutuk. Ujung panahnya sudah cukup aus, tetapi kusadari satu hal yang membuatnya diberi nama seperti ini. Ini karena ujung panah itu beracun yang bahkan sampai melelehkan sedikit bagian kaca yang kupukulkan dengannya.

Aku tidak menyangka aku memegang sesuatu yang mematikan seperti itu di tanganku. Untung saja aku hati-hati.

Begitu kaca itu pecah. aku memegang salah satu bagian yang besar dengan kain cukup tebal.

Aku sedikit ragu-ragu tetapi tidak ada pilihan lain. Lebih cepat lebih baik, sakitnya sebentar, itu pikirku. Jadi aku melakukannya dengan cepat yang membuatku kemudian langsung berteriak dengan kesakitan sangat cepat.

Aku tahu Sofia langsung kemari, beberapa pelayan juga, bahkan kemudian ada dokter yang tergopoh-gopoh, dan kemudian datanglah kakakku, Willy, yang paling cepat datang malam ini.

Aku tidak tahu apa yang dilakukan dokter karena aku pingsan tetapi meski sekesakitan....

Air mataku tidak keluar.

Meski sihir pencegah air mataku dengan penyembuhan tidak berhasil.

Terlebih, ketika aku bangun mataku nyeri dan aku hanya melihat menggunakan satu mata.

"Tuan Putri!" Itu Sofia kala ia mendapatiku bangun dan duduk di ranjang. Ia memegangi badanku seolah aku baru saja mengalami kecelakaan parah di seluruh tubuhku. terlebih air mukanya tak karuan seolah semalaman menangis sembari menungguiku.

Aku disodori minum dan diberitahu kalau aku tidak sadarkan diri dua hari karena pendarahan di mataku. Bahkan Sofia menangis sesegukan sembari terus terus menanyaiku apa yang tidak kuceritakan padanya.

Kupeluk dirinya dan menenangkannya karena memang tidak ada yang bisa diceritakan, apa masalahku, karena memang tidak bisa diceritakan. Terlalu rumit soalnya. Lagipula yang terjadi padaku saat ini adalah buah dari asumsiku sendiri. Sedikit melukai hati dan harapanku tetapi tidak sampai membuatku menangis atau barangkali memang aku tidak bisa menangis.

Menjelang sore setelah aku bangun siang tadi, Yang Mulia Raja dan Ratu menjengukku bersama dokter. Dokter menggeleng usai melihat mataku yang dilepas penutupnya.

Bisa dipastikan hilang harapan.

"Apa dengan kekuatan suci tidak bisa?" Yang Mulia Ratu menatapku gundah meski ia bertanya hal tersebut pada dokter di sampingku.

"Tuan putri memiliki mana sihir, itu tidak bisa disembuhkan oleh sesuatu yang suci."

"Kalau sihir?" Yang Mulia Raja berganti menanyainya karena dari segi ilmu kedokteran katanya aku tidak mungkin bisa disembuhkan.

"Hal tersebut masih mungkin, tetapi hamba belum pernah tahu kasus penyembuhan dengan sihir untuk sesuatu yang parah seperti ini yang mulia."

Aku setuju dengan pernyataanya terlebih mekanisme sihir seringkali berhubungan dengan karma dan persyaratan persyaratan lainnya.  Seperti kalau perjanjian harus ada yang memiliki mana lah kalau tidak harus pakai kertas sihir, atau menyembuhkan tetapi harus ada harga yang dibayar dengan sesuatu seperti tumbal.

Ya, memang mengerikan. Makanya jarang orang menyembuhkan dengan kekuatan sihir. Kalau aku menggunakan penyembuhan dari orang suci, itu sama saja aku meracuni diriku karena aku memiliki darah atau mana sihir.

Yang Mulia Ratu memeluk Yang Mulia Raja seakan menangis. Raja berusaha menenangkannya dan kemudian meminta semuanya keluar.

"Di sini, aku ingin mengobrol denganmu sebagai seorang Ayah. Bisakah kau juga mengobrol denganku sebagai anak?" Yang Mulia Raja duduk di ranjangku ia ingin menjangkauku.

"Apakah karena kau tidak ingin ditunangkan dengan seseorang dari Kerajaan Elegor? Makanya kau melukai mata indahmu? Aku akan membicarakannya lagi dengan Yang Mulia Ratu nanti,"katanya lagi yang membuatku tidak percaya. Bahkan, aku belum mendengar rencana pertunanganku ini.

Aku berusaha senyum dengan tenang meski mataku masih nyeri ketika pipiku sedikit menekannya--aku pikir aku akan minta dosis pereda nyeriku ditambah ke dokter--dan yang Mulia Raja dihadapanku kini menjadi Ayahku. Ayah yang sangat jarang sekali dapat kutemui, karena kebanyakan aku menemuinya sebagai Yang Mulia Raja. Mungkin dulu saat aku lebih kecil aku ingat dapat sering main menemuinya dan di pangkuannya.

"Ayahku tersayang. Aku tidak apa-apa. Tapi bisakah aku meminta sesuatu?"

"Apa yang tidak untuk putriku yang paling cantik ini." Ia mengelus puncak rambut perakku sepanjang bahu ini dengan lembut. Namun, selembut apa pun itu, aku tidak bisa mengungkapnnya. Pengalamanku telah bercerita, terlebih Ibuku juga yang memintanya.

"Bawa pemimpin menara penyihir kemari," kataku.

Terlepas dari apakah bisa menyembuhkanku, ada sesuatu yang memang perlu dibahas lagi. Kepalaku sudah dingin atau barangkali beban kepalaku sudah berkurang dengan rusaknya satu mataku. Sekaligus tercerahkan kalau yang ia ucapkan benar. Jadi, aku harus mengobrolkan sesuatu dengannya.

Ini penting. Sangat penting.
~
1318 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro