5. Blood And Soul part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih sekaligus maaf pada @diahsulis. Bukan maksud saya untuk menjiplak karyanya atau apa, ya. Tapi... saya benar-benar nggak tahan untuk melampiaskan semua pemikiran ini.

Jadi begini..., saya suka sama ceritanya Blood and Sword, Blood and Faith. Kedua cerita tersebut unik, menarik, walau awalnya saya muak dengan adegan berdarah-darah di beberapa bagian cerita. Tapi, lama-lama saya bisa menikmati ceritanya. Namun, beberapa hari terakhir ini pikiran saya enggak tenang. Masalahnya, karena terlalu menghayati cerita, beberapa kali saya mimpi yang enggak-enggak.

Ketika membaca chapter Boiling Rage, saya mimpi ngelihat kepala orang dipenggal trus dibawa di dalam tas bikin saya ngeri setengah mati, sampe-sampe saya ketakutan & lari-lari ke masjid buat nyari pertolongan. Terus, sehari kemudian, saya mimpi ditusuk-tusuk pisau. Habis itu, 2 kali berturut-turut mimpi ketemu Nara.

Bagi saya, ini udah nggak normal (TT____TT)

Karena itu, sebagai katarsis supaya pikiran saya kembali tenang, saya berupaya untuk melampiaskan kekaguman saya pada ceritanya kak diahsulis dengan membuat cerpen ini. Karena 2 novel si Kakak bau-baunya Blood dan sesuatu, maka... judul yang saya ambil pun saya sesuaikan dengan kedua novelnya, Blood and Soul.

Saya mohon maaf, kalau cerita ini kurang sempurna atau kurang bagus. Enjoy, it! (^^)9

=========================================

Dari dulu aku suka ketenangan. Karenanya, aku selalu memilih tempat tinggal di daerah-daerah yang sepi, seperti di tepi hutan atau di tengah perbukitan. Aku benci keramaian. Maka dari itu, kota, perkampungan, atau pun tempat lain yang sekiranya dihuni banyak manusia atau pun Aruna sering kuhindari. Bahkan, ketika undangan pertandingan Jayasrata datang ke kediamanku, terang-terangan aku tidak datang ke sana. Biar saja Gilang atau Elder lainnya yang menang, aku tidak peduli. Berada di keramaian membuatku muak.

Namun, kini..., kesunyian yang kucintai terasa amat menyedihkan. Tak ada lagi ketenangan dalam keheningan ini, yang ada justru sebaliknya, kepahitan. Aku menatap mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarku. Bau anyir darah tercium kental di udara. Beberapa jam yang lalu, mayat-mayat ini masih berupa manusia hidup yang berupaya mengeksekusiku. Namun, sekarang mereka tak ubahnya sekumpulan onggokan daging yang tak berguna.

Dari pakaian yang mereka kenakan, aku tahu, orang-orang ini adalah anggota Komite Keamanan Khusus wilayah Madiun. Selama ini, aku selalu menghindari pasukan K3. Selain merepotkan, berurusan dengan pemburu itu melelahkan. Aku tidak suka itu. Tapi hari ini, keadaan memaksaku untuk berhadapan, bahkan membunuh sekelompok pasukan yang berupaya mengeksekusiku. Aku tak tahu alasan pastinya kenapa mereka mengincarku. Tapi, aku yakin, ada Elder lain yang jauh lebih berbahaya dariku yang lebih pantas untuk mereka bunuh.

Apa aku kedengaran seperti pengecut?

Aku suka ketenangan. Aku benci dengan segala macam pertikaian dan peperangan antara manusia dan Aruna seperti ini. Kuakui, aku pun tidak terlalu menyukai manusia, tapi bukan berarti aku suka membunuh makhluk-makhluk itu seenak hatiku sendiri. Kebanyakan Elder menganggapku sebagai lelaki pengecut dan sering memandangku rendah. Gilang pun pernah memandangku demikian. Aku masih ingat dengan jelas tatapan jijiknya ketika bertemu muka denganku puluhan tahun lalu. Dia menganggapku sebagai makhluk sinting yang aneh. Apa dia tidak sadar, kalau dia pun sama sintingnya sepertiku?

Dengan kesombongannya, keangkuhannya, tidak banyak Elder atau pun Aruna lain yang menyukainya. Ah..., sebentar, kami memang tidak saling menyukai. Kami hanya percaya pada diri kami sendiri.

Angin berembus dan menggerakkan dahan-dahan pohon, sehingga menimbulkan suara lembut yang menentramkan. Hutan ini benar-benar cocok sebagai tempat pemakamanku. Dikelilingi mayat-mayat para manusia yang menginginkanku mati, aku duduk bersandar di bawah sebuah pohon yang sangat rimbun. Rasa sakit menyerang setiap inci tubuhku, ketika aku mencoba bergerak sedikit saja.

Peluru-peluru hematit sialan yang ditembakkan orang-orang ini membuat tubuhku menolak menyembuhkan diri. Akibatnya, luka-luka akibat peluru-peluru tersebut tetap terbuka dan mengalirkan darah yang cukup banyak. Pakaianku hampir sepenuhnya berwarna merah karena luka-lukaku dan tanah yang kududuki sudah basah karena terus-terusan menyerap darahku.

Aku menghela napas, menatap ke arah langit yang terlihat dari celah-celah dedaunan. Cerahnya langit sungguh berkebalikan dengan keadaan menyedihkan di tempat ini. Saat mencoba menggeserkan punggung supaya bisa duduk lebih tegap lagi, rasa nyeri langsung menusuk setiap bagian tubuhku. Aku mengernyit, berusaha menahan kesakitan ini. Kalau peluru-peluru hematit ini tidak segera dikeluarkan, aku benar-benar akan mati konyol di sini. Namun, bagaimana caranya aku mengeluarkan puluhan peluru yang bersarang di tubuhku, sementara untuk menggerakkan tangan saja aku tidak mampu?

Rasa haus membakar tenggorokanku. Kalau saja ada mangsa di sini...

Aku berdecak pelan, mendadak merindukan budak-budak yang kutinggalkan begitu saja di rumah. Membayangkan bisa menyesap darah mereka, membuat penderitaanku makin menjadi-jadi. Tapi, kalau keadaanku sekarat seperti ini, mereka pasti juga akan sama sekaratnya sepertiku. Sayang sekali...

Kupejamkan mata, berusaha menikmati detik-detik akhir hidupku. Setelah selamat dari peperangan dan hidup dengan selayaknya, sekarang aku akan berakhir seperti ini? Menjengkelkan. Kalau tahu akhir hidupku se-mengenaskan ini, aku akan berbuat lebih banyak. Mungkin, aku bisa membuktikan pada Elder-elder lain bahwa aku tidak sepengecut yang mereka pikirkan. Aku juga bisa menunjukkan kalau aku setara seperti mereka. Lagi-lagi aku tersenyum kecut. Penyesalan selalu datang terlambat.

Namun, keputusasaaanku berubah menjadi kewaspadaan ketika mendengar sepasang suara dari kejauhan. Suara cempreng khas anak kecil dan suara lembut seorang wanita. Ada dua orang yang sedang menuju ke mari, ke tempat ladang pembantaian yang baru saja kulakukan. Aku mengernyit ketika mendengar percakapan mereka seputar makan malam, tugas rumah, bahkan... obat-obatan. Angin berembus lembut, membawa aroma mereka padaku. Aku menelan ludah mencium wangi ini. Pikiranku langsung melayang-layang untuk menikmati darah segar yang masih hangat dari leher manusia hidup. Sayangnya, rasa sakit lagi-lagi menikamku dan membuyarkan semua bayangan kenikmatan darah manusia yang masih segar. Peluru-peluru sialan ini harus segera dikeluarkan!

Ketika aku membuka mata, pekik tertahan keluar dari mulut mereka.

***

Anak kecil itu menatapku dengan mata hitamnya yang bulat. Aneh, dia sama sekali tidak takut padaku, bahkan setelah ibunya menjelaskan bahwa aku adalah makhluk yang berbahaya----makhluk dari kaum yang membunuh ayahnya. Bocah lelaki itu memperhatikanku lekat-lekat. Sinar matanya menyiratkan antara kekaguman, rasa penasaran, sekaligus rasa ingin tahu. Dia menoleh ke arah ibunya.

"Ibu bilang semua orang yang terluka harus ditolong, tidak peduli dia dari suku apa pun atau jenis kelamin apa pun. Tapi, kenapa Ibu tidak mau menolong Paman ini?" bocah kecil yang kutaksir berumur antara 5 - 7 tahun itu menunjukku tanpa segan. Kalau saja dia tahu seberapa menakutkannya diriku, dia pasti tidak akan melontarkan pertanyaan seperti itu pada ibunya.

Aku melirik ke arah wanita berkerudung abu-abu yang berdiri di belakang anak itu. Mata gelapnya memandangku dingin dan kedua tangannya menahan pundak anaknya, seolah-olah kalau dia tidak melakukan itu, puteranya akan berlari padaku.

"Dia berbahaya, Arka. Kita tidak bisa menolongnya," jawabnya dingin.

Air mukanya datar, tanpa ekspresi.

"Kenapa?" bocah itu masih saja bertanya.

Anak itu benar-benar bodoh, ya? Aku menatap si bocah yang kini balas menatapku.

"Paman ini terluka. Kalau kita tidak menolongnya, paman ini bisa mati," ucapannya benar-benar polos sekaligus mengingatkanku bahwa sekarang aku sekarat.

"Biarkan saja dia mati," jawab si ibu dengan santainya, yang entah kenapa membuatku jengkel. Apa aku berharap ditolong? Matanya memperhatikan sekeliling dan terlihat miris menyaksikan potongan-potongan tubuh tercecer di sana-sini. "Ayo pulang. Tidak baik lama-lama di sini." Wanita itu mengajak anaknya pergi.

"Arka nggak mau!" si bocah menolak gandengan tangan ibunya. "Kalau Ibu nggak mau menolong Paman ini, Arka nggak mau ikut pulang."

Bocah polos dan tolol. Aku tertawa dalam hati melihat Ibu dan anak itu saling menatap dengan kekeraskepalaan masing-masing. Lucu rasanya, saat maut menari-nari di dekatku, aku disuguhi drama nyata dari kehidupan sepasang manusia.

"Pulang, Arka!" si ibu berkata lebih tegas.

"Nggak!" bocah itu tetap menolak. "Ibu yang ngajarin Arka supaya menolong siapa pun. Tapi, kenapa Ibu nggak mau menolong Paman ini?" lagi-lagi bocah itu menunjukku.

Tanpa kusadari, seringai tipis terbentuk di wajahku. Bocah ini benar-benar menarik.

"Ya Tuhan, Arka...," si ibu mendesah sambil memijat pangkal hidungnya. "Dia ini Aruna, Nak. Dan Arka tahu siapa mereka...," wanita itu menunjuk ke arah manusia-manusia yang kubunuh. "Mereka ini anggota Komite Keamanan Khusus. Arka ingat, apa yang ibu jelaskan tentang Aruna yang dikejar anggota Komite?"

Keraguan mulai terlihat di wajah bocah lelaki itu. Pelan-pelan, dia menatapku kembali. "Jadi.... Paman ini jahat?" tanyanya dengan suara kalem.

"Ya," si ibu menjawab tanpa ragu-ragu. "Dia ini Aruna jahat."

Rasanya kejengkelan kembali berkobar di dadaku ketika mendengar tuduhan yang seenaknya dilempar ibu anak itu padaku.

"Bagaimana kalau aku mengatakan, mereka yang jahat sedangkan aku tidak?" kutatap tajam wanita berkemeja gelap itu. "Bagaimana kalau kenyataannya mereka yang bersalah, sedangkan aku tidak? Apa kalian akan membiarkanku mati konyol di sini?"

Si ibu tercengang mendengar pertanyaanku, sementara bibir anaknya membulat takjub.

"Paman bisa bicara," ujarnya.

Tentu saja, memangnya aku bisu. Aku menyeringai ke arah anak itu, memperlihatkan taring-taringku yang panjang. "Bahkan anakmu masih memiliki hati nurani dibandingkan dirimu," komentarku.

"Nurani?" wanita itu tersenyum mengejek. "Memangnya kalian punya nurani?"

Sialan, wanita ini malah mengajakku berdebat.

"Setahuku, kalian sama sekali tidak punya nurani. Bukannya kami cuma makanan kalian?" cibirnya.

Aku terdiam. Sebagian besar kaumku memang berpikir demikian.

"Ayo Arka, kita pulang. Nggak perlu memikirkan Paman ini lagi," wanita itu menarik tangan anaknya dan mengajaknya pergi.

Namun, bocah itu lagi-lagi menolak ajakan ibunya. Dia justru mendekat ke arahku. Bagus..., berdirilah di dekatku supaya aku bisa menyambar lehermu, Nak.

"Arka!" buru-buru wanita itu menahan anaknya supaya tidak berjalan lebih jauh lagi. "Kenapa Arka nggak nurutin kata-kata Ibu?!" tegurnya marah.

"Arka nggak mau Ibu jadi pembohong," bocah kecil itu menatap ibunya sendu. "Ibu yang ngajarin Arka, supaya Arka menolong siapa pun yang terluka atau sekarat. Tapi, kalau Ibu nggak menolong Paman ini, gimana Arka bisa percaya sama Ibu? Ibu nggak nepatin kata-kata Ibu sendiri."

Sebenarnya..., berapa usia bocah itu? Aku mengernyit heran. Ibunya terlihat sangat gusar mendengar kata-kata anaknya. Kemudian, perhatiannya tertuju padaku. Matanya nyalang, menyiratkan kemarahan sekaligus rasa frustasi. Lalu, aku melihatnya merogoh sesuatu dari tas kecil yang terikat di pinggangnya. Dia mengambil sebuah botol berisi cairan bening serta jarum suntik. Aku tercekat. Sepertinya..., kedua benda itu bukan sesuatu yang baik untukku.

Tanpa berkata-kata, wanita itu berjalan ke arahku. Dia sama sekali tak takut berdekatan denganku. Aku sedikit berjengit saat jarum suntiknya menusuk kulitku dengan kasar. Wanita sialan, kalau tidak ingin menolongku, bisa kan, dia menyeret anaknya pergi? Bukannya malah memberiku suntikan aneh dengan cara kasar seperti ini.

"Kalau bukan karena anakku, aku tidak akan sudi menolongmu," geramnya keki.

"Aku juga tidak minta ditolong," balasku santai. "Anakmu saja yang terlalu tolol."

Tangannya menyambar lengan kananku yang lunglai dan mencengkram kuat-kuat luka yang diakibatkan peluru hematit. Brengsek, dia membuatku mati-matian harus memasang wajah tangguh meski aku ingin meringis memintanya melepaskan lenganku yang sakit.

"Arka terlalu kecil untuk paham sepicik apa makhluk sepertimu," desisnya. Tanpa menoleh ke anaknya, dia berkata, "Jangan ke sini, tetap di sana, Nak!"

Hebat. Dia tahu kalau anaknya hendak menyambangi kami? Apa wanita ini benar-benar manusia? Tapi baunya memang manusia.

"Seharusnya kau membekalinya pengetahuan lebih dalam mengenai makhluk sepertiku," aku menyeringai ke arahnya. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Pusing yang kurasakan makin berlipat-lipat. "Agar nantinya dia----," kata-kataku tidak pernah tuntas, karena kesadaranku sudah jatuh ke dalam kegelapan.

***

Ibu dan anak ini benar-benar aneh.

Mereka benar-benar menolongku. Si Ibu membawaku ke rumahnya yang ternyata berada di sebuah perkampungan. Agak aneh memang, ada perkampungan di tengah hutan seperti ini, seolah-olah... perkampungan ini memang sengaja disembunyikan. Yah, aku bisa tahu karena wanita itu sendiri yang mengatakannya. Sehari setelah aku sadar, dalam keadaan seluruh tubuh hampir diperban, wanita itu masuk ke kamar dan membantuku mengganti perban. Tanpa sungkan, dia mengatakan ancamannya supaya aku tidak seenak hati keluar dari ruangan ini, karena... penduduk desa ini kebanyakan adalah anggota K3 divisi Intelijen.

Bagus..., aku terjebak bersama sekelompok orang yang ingin membunuhku. Wanita itu pun kemungkinan anggota K3 juga. Sekarang aku memahami arti sorot mata tidak takutnya ketika kami bertemu. Tapi, dengan kondisi tubuh seperti ini, bagaimana aku melawannya? Rumah ini jelas-jelas ditanami hematit dan perak, membuatku sulit bergerak. Penyembuhan yang terjadi di dalam tubuhku pun bergerak lamban, selamban proses pemulihan diri manusia. Walau sudah seminggu tinggal di rumah mereka, tubuhku benar-benar belum pulih.

Aku benci tidak berdaya.

Aku meneguk sampai tandas darah di dalam gelas yang selalu disediakan di kamarku. Sehari 3 kali, seorang wanita paruh baya berambut kelabu biasanya mengantar segelas darah segar kepadaku. Dia tidak bicara padaku, tidak menatapku, dan hanya mengantar minuman padaku. Biasanya, setelah meletakkan gelas berisi darah di meja kecil yang ada di sudut kamar, wanita itu buru-buru pergi dan mengunci pintu dari luar.

Sialan. Sekarang aku jadi tahanan manusia. Usai menghabiskan makananku pagi ini, aku beranjak menuju jendela yang tertutup tirai putih tipis. Ruangan kecil yang didominasi warna putih ini awalnya sedikit memuakkan untuk dilihat, tetapi... setelah berhari-hari dikurung di sini, aku jadi terbiasa dengan warnanya yang monoton. Dari balik jendela berteralis hematit itu, aku melihat pasangan ibu dan anak yang menolongku sedang berlatih.

Setiap pagi, selama 2 – 3 jam, mereka biasa berlatih bela diri di halaman samping rumah. Lumayan..., aku sedikit mendapat hiburan dalam keseharianku yang membosankan. Si Ibu yang kuketahui bernama Iriana----aku pernah mendengar ada tamu yang memanggilnya begitu, tampak sungguh-sungguh ketika melawan anaknya sendiri. Tentu saja dia tidak memakai kekuatan penuh, tetapi setiap serangannya cukup membuat anaknya kesakitan. Beberapa kali kulihat bocah polos itu mengaduh-aduh karena tongkat yang dipakai ibunya berhasil mengenai titik-titik vital tubuhnya dengan mudah.

"Ibu kan sudah bilang, lakukan serangan efektif. Gerakan Arka tadi memang kelihatan bagus, tapi sama sekali tidak memberi manfaat kalau berhadapan dengan musuh," Iriana menegur putranya.

Wanita itu benar-benar tegas sekaligus keras pada anak lelakinya. Tapi, di balik itu, aku bisa melihat kasih sayangnya yang begitu besar pada Arka. Jika terjadi sesuatu pada anak semata wayangnya, aku tidak akan heran kalau Iriana akan mengamuk dan kalap melakukan apa pun.

"Arka kan juga mau kelihatan keren, Bu," bocah itu duduk di atas rerumputan dengan wajah cemberut.

Keren lalu mati? Bocah ini benar-benar harus disadarkan supaya tidak polos-polos sekali. Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan memperhatikan mereka lebih seksama.

"Arka...," Iriana menghela napas. "Yang paling penting dalam pertarungan adalah keselamatan. Ibu yakinkan, justru orang yang tidak ingin tampil keren, biasanya malah bisa bertindak keren."

Woa..., nasehat yang pintar. Dia tidak menjelaskan secara berbelit-belit, tetapi memancing anaknya untuk tertarik menyimak.

"Benar, Bu?" mata Arka terlihat berbinar.

"Ya," Iriana tersenyum lembut. "Sekarang, dengarkan Ibu baik-baik dan lihat bagaimana cara Ibu bertarung."

Arka mengangguk patuh. Dia kembali berdiri dan memasang kuda-kuda. Kemudian, mereka kembali berlatih bersama. Arka mengikuti gerak-gerik ibunya dengan baik, meski gerakannya sedikit terganggu oleh batuk yang terlalu sering. Anak itu sakit-sakitan. Jantungnya tidak berdetak normal, begitu juga dengan suara nafasnya. Oleh karena itu, Iriana tidak pernah memberikan latihan fisik berat pada anaknya dan mengajarinya serangan-serangan efektif yang bermanfaat untuk mempersingkat waktu pertarungan.

"Arka masih kuat?" Iriana berhenti menyerang puteranya yang kini tengah memegangi dadanya. Nafasnya jelas-jelas seperti orang tercekik. Dari dalam kamar pun, aku bisa melihat anak itu kesulitan bernafas dan wajahnya sudah pucat pasi.

"Kita istirahat dulu, ya," Iriana menyuruh anaknya duduk dan Arka menurutinya. "Ibu ambilkan obatmu."

Arka mengangguk pelan. Iriana masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi sambil membawa sebuah botol berisi kapsul merah serta segelas air. Wanita itu membantu Arka meminum obatnya. Setelah itu dia mengusap-usap punggung puteranya. Arka menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Bocah itu melakukannya beberapa kali sampai nafasnya kembali teratur, meski wajahnya masih terlihat agak pucat.

"Maaf, ya, Bu...," ucap Arka dengan nada sedih. "Arka selalu bikin Ibu khawatir. Arka sekarang sudah nggak apa-apa. Maafin Arka yang sakit-sakitan ini, ya, Bu."

Iriana mengusap kepala anaknya kemudian merengkuhnya dalam pelukan. "Jangan bicara begitu," ujarnya lembut. "Arka itu hadiah terindah yang diberikan Tuhan buat Ayah dan Ibu. Apa pun yang terjadi pada Arka, Ibu tetap sayang Arka. Karena itu, kalau Arka senyum, Arka bahagia, Arka senang, itu sudah cukup untuk Ibu."

Cih, kata-kata yang memualkan. Mau tak mau aku ingin muntah mendengar kalimat itu. Ucapan Iriana terdengar terlalu sentimentil di telingaku.

Arka balas memeluk ibunya. "Arka sayang Ibu. Ibu adalah Ibu terbaik yang Arka punya. Arka janji... akan berusaha sekeras mungkin untuk membahagiakan Ibu."

Senyum merekah di bibir Iriana. "Kalau begitu..., Arka sehat selalu, ya."

Pemandangan itu benar-benar memuakkan. Aku beranjak dari depan jendela, tidak tahan lama-lama melihat momen kebersamaan Ibu dan anak tersebut. Kubaringkan tubuh di atas ranjang datar yang persis seperti ranjang rumah sakit. Gara-gara kesembronoanku, aku bisa merasakan darah merembes dari beberapa luka yang terbuka. Kupejamkan mata rapat-rapat dan yang terbayang dalam kepalaku malah sosok Ibu dan anak tersebut. Percakapan mereka, interaksi keduanya bersliweran di dalam kepalaku. Dilihat dari mana pun, keduanya saling menyayangi.

Danhal itu membuatku tidak senang sama sekali.    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro