7. Blood And Soul Part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Setidaknya ada 7 Original yang mati ditanganku malam ini. Jasad-jasad mereka terbengkalai di ruang tengah dengan mata kosong dan darah berceceran di mana-mana. Seluruh tubuh mereka utuh, hanya bagian dada saja yang berlubang. Inti kehidupan mereka kucabut begitu saja dan kubuang seperti sampah.

Aku memandang tangan dan pakaianku yang berlumuran darah. Sudah lama sekali.... aku tidak melakukan ini. Beratus tahun aku mencoba menghindari pertikaian, bahkan saat terjadi perang besar, aku bersembunyi di hutan, menjauhi kekisruhan. Padahal rekan-rekan sesamaku amat menyukai ini. Mereka suka menumpahkan darah. Mereka pun suka berbuat keji pada manusia. Tapi, aku tidak menyukainya, aku membenci semua ini.

Emosi aneh menyelimuti hatiku. Aku mengernyit saat merasakan cubitan-cubitan kecil yang menggelitik perasaanku. Iriana mengatakan, kami adalah makhluk yang tidak punya perasaan dan nurani. Salah besar. Kami bukannya tidak punya perasaan. Kami hanya... ah, bagaimana menjelaskannya, ya. Kutatap kembali mayat-mayat di sekitarku. Pertempuran di luar rumah ini belum usai. Aku masih mendengar teriakan, tembakan, juga cemohan serta ejekan. Sekelompok besar Aruna menyerang perkampungan ini. Mungkin ada 30-an atau lebih. Mengingat 7 sudah mati di tanganku, di luar mungkin masih ada banyak lagi. Desa ini benar-benar diserang habis-habisan.

Kalau aku keluar dan membantu manusia-manusia di sini untuk membantai kaumku, bisa-bisa aku dan Iriana mendapat masalah. Aku tidak yakin Iriana memberitahukan keberadaanku pada tetangga-tetangganya. Selain itu, aku tidak tahu persis situasi di luar. Keluar sembarangan hanya akan menambah masalah baru. Lebih baik aku diam menunggu ada 'tikus' yang terperangkap di sini, sehingga aku bisa membereskannya dengan mudah.

Kutatap mayat-mayat kaumku yang tergeletak tidak beraturan di ruang tengah. Pemandangan ini mengingatkanku pada hari itu. Hari di mana aku mengamuk dan membantai kaumku sendiri seperti orang gila. Tidak, itu tidak benar. Aku memang gila pada hari itu. Saat menemukannya mati di tangan salah satu Original, aku langsung menerjang dan membunuh pria keparat itu. Yang kemudian, disusul membunuh aruna-aruna lain. Semua kegilaanku baru berhenti ketika Gilang berhasil mengalahkanku. Tatapan jijiknya, ucapan kasarnya masih kuingat jelas sampai sekarang.

"Kau menjijikkan, Saka!" ucapan Gilang terngiang di telingaku. "Demi anak itu..., kau sampai membantai kaummu sendiri? Kau... dan Klaus benar-benar memuakkan."

Pertanyaannya membuatku terdiam. Dan kemudian, setelahnya, aku pergi.

Ah...

Aku ingat, kenapa aku cenderung mencintai tempat-tempat yang sepi. Aku ingat, alasan kenapa aku benci berada di keramaian, baik manusia maupun Aruna. Aku ingin menghindari itu. Jauh di lubuk hatiku, aku tidak ingin mengingatnya lagi.

Putri yang sangat kusayangi.

***

Setelah membersihkan tangan yang berlumuran darah, aku pergi ke ruang bawah tanah melalui pintu yang tadi dilewati Iriana. Di ruangan yang tidak terlalu besar, hanya berukuran 4 x 4 meter dan diterangi sebuah lampu, Arka duduk dengan kain tipis menyelimuti tubuhnya dan si Bibi mendekapnya. Anak itu kelihatan mengantuk, tetapi juga cemas dan takut bersamaan. Si Bibi pun kelihatan khawatir. Saat aku masuk, si bibi terlonjak kaget. Namun, begitu mengenaliku, ia kembali tenang.

"Paman Aruna!" Arka berseru senang, lalu berlari untuk memelukku. Selimutnya dilemparkan begitu saja.

Aku memegang kepalanya, menahannya supaya tidak memelukku.

"Paman?" dia mengernyit menatapku, heran kenapa aku tidak mau menerima pelukannya.

"Pakaian Paman kotor, terkena darah. Nanti pakaianmu juga kotor kalau kamu memeluk Paman," jelasku.

Sekarang bibir bocah itu cemberut, mengingatkanku pada sikap anak itu bila sedang merajuk.

"Arka nggak masalah. Nanti juga bisa dicuci," ucapnya.

Aku memutar mata. Bocah ini sama sekali tidak belajar untuk berhadapan dengan makhluk sepertiku. Akhirnya, kubiarkan dia memelukku----tepatnya kakiku, dan kudapati air mukanya terlihat lega.

"Apa di luar sudah aman, Paman?" dia mendongak padaku. "Kata Ibu, Arka dan Bibi nggak boleh keluar kalau Ibu belum datang ke mari."

"Kalau begitu, kita tidak bisa keluar. Karena Ibumu belum datang kemari."

Arka mendesah pelan. Dia kembali resah. "Apa... Ibu baik-baik saja?" tanyanya, lagi-lagi menatapku. "Arka takut...., Paman."

Aku tersenyum, lalu berjongkok di hadapannya. Kuusap kepalanya dengan lembut. "Ibumu akan baik-baik saja," hiburku. "Ibumu kuat. Dia akan kembali dan bisa menemanimu."

Untuk sesaat, kami hanya bertukar pandang. Kemudian, Arka melakukan sesuatu yang sama sekali tidak kusangka-sangka. Dia memelukku, memeluk leherku tepatnya.

"Arka takut... Ibu pergi ninggalin Arka seperti Ayah," katanya lirih. "Arka takut... Arka jadi sendirian. Selama ini, kalau Ibu pergi menghadapi Aruna, Arka selalu nggak bisa tidur. Arka selalu berdoa, supaya Ibu bisa pulang kembali dengan selamat." Anak itu mulai terisak, lalu menangis.

Si Bibi kelihatan panik. Dia sudah akan menenangkan Arka, tetapi aku memberinya isyarat untuk tetap duduk. Tanpa rasa kikuk, kugendong Arka dengan salah satu tanganku, sementara tangan yang lain balas mendekapnya.

"Arka nggak mau sendirian, Paman." Tangisan bocah itu makin keras. "Arka nggak mau jadi yatim-piatu." Dia meremas kemejaku.

Aku diam, hanya mengusap-usap kepalanya saja. "Tidurlah," bisikku. "Paman akan menjagamu sampai Ibumu datang."

Anak itu menggeleng kuat-kuat. "Arka nggak mau tidur. Arka mau tunggu Ibu."

Aku menghela napas. Baiklah, tak ada yang bisa kulakukan selain menggendongnya dan menenangkannya. Tapi aku yakin, kerewelan bocah ini tidak akan bertahan lama. Setelah lelah menangis, pasti dia akan tidur dan... tebakanku benar. Tidak sampai setengah jam, Arka sudah terlelap dalam dekapanku. Si Bibi lagi-lagi terlihat ingin mengambil Arka. Mungkin dia ingin menidurkan Arka di kasur, tetapi aku menggeleng.

"Tidak apa-apa. Kalau dia ditidurkan di kasur, bisa-bisa dia bangun dan rewel lagi," tolakku halus.

Wanita tua itu mengernyit, menatapku heran sekaligus tidak mengerti. Tentu saja. Manusia mana pun yang melihat ada Aruna yang rela menggendong anak manusia dan membiarkan pakaiannya dikotori ingus serta air mata bocah itu tentu akan merasa heran. Aku, yang notabene predator mereka, mau berbaik-baik dengan anak kecil? Baginya pasti sebuah keajaiban yang luar biasa.

"Bu....," Arka mengigau lirih. Mulutnya setengah terbuka di dadaku. "Ibu....," dia terisak tanpa sadar, kemudian kepalanya beralih ke sisi lain seolah mencari kenyamanan dalam pelukanku. "Yah..., Ayah---,"

Kata-katanya membuat hatiku disengat rasa pedih. Ayah. Panggilan yang tak pernah kudengar lagi selama ratusan tahun. Kueratkan pelukanku pada Arka. Aku.... ingin berlama-lama menikmati kehangatan ini.

***

Beratus tahun lalu, sebelum datang ke Indonesia dan berdiam di Jawa Timur, aku tinggal di Inggris. Di sana, aku memakai tubuh seorang Viscount bernama Tibault. Sebelum bertemu dengannya, aku hanyalah lelaki keji yang gemar menumpahkan darah dan menjebak banyak wanita untuk kubunuh. Aku tidak peduli pada nyawa manusia. Tidak sedikit pun. Bagiku, yang paling penting adalah ego serta kepuasanku. Selama aku senang, maka apa pun tak jadi masalah.

Namun, hari itu mengubah segalanya.

Saat sedang berburu, aku menemukan satu keluarga tewas terbantai di tengah jalan. Kiri-kanan yang masih berupa hutan serta barang-barang yang bertebaran di jalan tentu membuat siapa pun berpikir bahwa ini pekerjaan perampok. Tapi, bau ini dan luka di leher mereka tidak bisa menipuku. Orang-orang ini----keluarga ini mati karena dibunuh kaumku. Aku sudah ingin pergi dari tempat itu, ketika telingaku menangkap detakan samar di antara jasad-jasad yang ada. Kemudian, isakan kecil pun terdengar. Suara tangis bayi.

Aku menyambangi asal suara itu dan mendapati di dalam kereta, mayat seorang wanita duduk dalam posisi aneh dengan bayi dalam dekapannya. Dia terlihat melindungi bayinya dan di punggungnya terdapat lubang menganga yang diakibatkan tusukan tangan seseorang. Harusnya aku segera berbalik pergi. Tapi nyatanya, aku malah berlama-lama memandangi bayi itu ----bocah kecil yang usianya mungkin baru beberapa bulan.

Anak itu menangis nyaring sekali, sampai membuat telingaku bising. Aku memandangi anak itu. Sesuatu dalam diriku mulai bertarung dan itu membuatku merasa aneh. Sekilas... untuk sekilas saja, terbersit keinginan untuk mengambil bayi itu. Namun, akal sehatku kembali. Untuk apa aku memedulikan bayi manusia? Aku berbalik, hendak meninggalkannya. Baru beberapa langkah menjauhi kereta kuda, aku berhenti. Kegelisahan menyusup dalam hatiku. Tangisan anak itu semakin keras yang kedengaran seperti raungan. Akhirnya, mengabaikan makian sisi diriku yang lain, aku berbalik kembali ke kereta. Kupisahkan si bayi dengan mayat ibunya dan kutimang bayi perempuan itu hati-hati.

Anak itu masih menangis. Dia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya tak tentu arah, hingga membuatku jengkel. Saat aku berpikir untuk meninggalkannya, bayi itu berhenti menangis. Anak itu memasukkan salah satu tangannya ke dalam mulut dan menatapku. Mata birunya mirip seperti kelereng kaca yang begitu bening. Selama beberapa saat, kami saling menatap. Lalu... senyuman itu muncul.

Entah siapa yang sinting. Aku tidak merasa sedang menggoda anak ini, tetapi tiba-tiba saja bayi ini tersenyum dan tertawa padaku. Aku jadi bingung dibuatnya. Apa sih maksudnya anak manusia ini? Tadi menangis, sekarang tiba-tiba tertawa. Belum hilang rasa bingungku, bayi itu berceloteh.

"Da...Da...Da..," dia mengacungkan tinjunya ke arahku.

Apa tadi dia bermaksud mengatakan Dad? Salah satu alisku terangkat. Anak aneh, pikirku. Dan aku juga sinting. Aku memang merasa tidak waras ketika mengambil bayi ini dari ibunya.

Kemudian, aku pun membawa bayi itu pulang ke rumah.

Sampai sekarang, aku masih heran, bagaimana bisa... sesosok manusia paling lemah, yang tidak bisa apa-apa dan bergantung pada orang dewasa di sekitarnya, sanggup membuatku tidak waras dalam waktu singkat? Bayi itu... bayi dalam dekapanku, hanya dengan sekali bantingan saja dia akan mati. Tapi..., kenapa aku tidak sanggup membunuhnya? Bukankah, lebih baik dia berkumpul bersama keluarganya yang telah tewas? Anak ini akan bahagia bersama keluarganya.

Dan..., untuk pertama kalinya..., aku berkenalan dengan nurani yang ada di dalam diriku. Sejak saat itu, aku menyadari, aku bukan lagi aku yang dulu. Perasaan itu ada dan mulai berkembang menjadi benih yang menyesakkan.

***

Iriana berdiri diam di ambang pintu. Matanya terpaku padaku yang masih menggendong anaknya. Ia terkejut, ralat, sangat terkejut sampai tak bisa berkata apa-apa. Bibirnya setengah terbuka, tak percaya dengan pemandangan di depannya.

"Kau terlihat kacau," komentarku. Iriana memang kacau. Pakaiannya sobek di beberapa bagian dan darah keluar dari luka-lukanya. Wajahnya kuyu dan matanya terlihat mengantuk serta lelah secara bersamaan. "Sebaiknya kau bersihkan dirimu dulu."

Iriana hanya menatapku, lalu perhatiannya tertuju pada Arka. "Arka..."

"Anak ini hanya tidur," jelasku. "Kau tenang saja. Aku tidak akan berbuat macam-macam padanya."

Bibir Iriana terkatup.

"Berbenahlah. Obati lukamu. Anak ini bisa histeris kalau melihatmu kacau," kataku. "Bibi mungkin bisa membantumu."

Kami kembali saling menatap dan kali ini, aku tidak bisa membaca arti tatapan Iriana.

***

Bayi perempuan itu kunamai Katherine. Anak itu tumbuh menjadi gadis periang yang agak menjengkelkan, terutama kalau sedang merajuk. Walau mematuhiku, anak itu lebih sering membangkang. Dia suka sekali menguji kesabaranku. Kadang, satu teriakan saja tidak cukup membuat Katherine takut. Aku, Elder yang ditakuti Aruna lain, malah tidak ditakuti oleh anakku sendiri? Sejujurnya, itu melukai harga diriku.

Katherine sulit diatur. Dia suka berbuat seenaknya. Ketika dilarang bermain di sungai, dia malah pergi ke sungai dan pernah membuat jantungku hampir berhenti karena mendengar berita bahwa dia hilang terseret arus. Untunglah, kami lekas menemukan dan menyelamatkannya. Kalau dibilang, 'Jangan memanjat pohon', anak itu malah memanjat pohon yang berakhir dia patah tulang karena dahan yang diinjaknya patah. Berkat itu, aku uring-uringan selama sebulan dan memarahi para pelayan yang tidak bisa mengawasi Katherine dengan baik. Tapi, berkat itu juga, Katherine tidak berani lagi memanjat pohon. Dia sudah tahu bagaimana rasanya sakit saat jatuh dari pohon.

Dengan semua kenakalannya, Aku hampir menyerah mengasuh Katherine, tetapi... senyumnya..., keceriaannya membuat hatiku hangat. Anak ini... gadis kecil yang kuselamatkan ini membuatku merasa dicintai dan disayangi. Aku paling suka mendengarnya memanggilku 'Ayah' dengan nada riang yang melengking. Ekspresi cerianya saat memelukku setelah perjalanan dagangku yang lama, seolah menjadi obat yang membuat rasa lelahku hilang. Walau pun singkat, masa itu adalah masa paling membahagiakan dan berkesan di antara waktu hidupku selama ini.

Dan..., sekelompok Aruna gila merampas kebahagiaanku dalam sekejap.

***

"Paman nanti mau pergi?" pertanyaan Arka membuyarkan lamunanku.

Bocah kecil itu sudah terlihat tampan setelah makan dan mandi pagi ini. Aku sendiri masih kelihatan kusut serta bau karena belum berbenah. Iriana memintaku tinggal di ruang bawah tanah, karena kemungkinan akan ada anggota K3 lain yang memeriksa keadaan rumah ini. Aku menurutinya, tidak ingin mencari masalah.

"Iya," aku tersenyum ke arahnya.

"Ke mana?" bocah itu terlihat penasaran. Dia duduk di sampingku. Matanya membulat seperti kelereng kaca.

"Ke mana pun, ke tempat yang tenang," jawabku ringan.

Dahi Arka sedikit berkerut. Dia tampak memikirkan sesuatu. Kemudian, pertanyaannya membuat kedua alisku terangkat. "Kenapa Paman tidak tinggal saja bersamaku dan Ibu?"

"Itu tidak mungkin, Nak."

"Kenapa?"

"Karena aku dan kalian berbeda," jelasku. "Kamu tahu, kan, Paman ini Aruna. Dan Ibumu anggota K3. Tidak mungkin kita tinggal bersama dan lagi..., Paman tidak yakin, Ibumu mau hidup bersama seorang Aruna."

Arka memiringkan kepalanya, jelas-jelas terlihat tidak mengerti. "Paman memang Aruna, tapi... Paman orang baik," ucapnya polos.

Kepolosan yang benar-benar menyengatku.

"Kata Ibu, kita harus membantu sesama. Kita harus saling tolong-menolong. Kalau orang bersikap baik pada kita, maka kita balas berbuat baik padanya. Kalau ada orang berbuat jahat, kita harus menahan diri untuk tidak balas menjahatinya," lanjut Arka. "Paman baik. Arka ingin menolong Paman. Tinggallah bersama kami, Paman."

Ucapannya menohokku. Aku baik? Aku tidak sebaik yang dia pikirkan. Tanganku ini pernah membunuh banyak Aruna maupun manusia. "Arka...," panggilku lembut sambil mengusap kepalanya. "Ada berbagai jenis orang di dunia ini. Ada yang baik, ada yang jahat, ada juga yang berada di antara keduanya. Rata-rata, orang berada di antara keduanya. Namun, mereka terkadang memiliki kecenderungan lebih besar ke satu sisi. Entah itu sisi baik atau sisi jahat."

Arka menyimakku.

"Ada banyak kepentingan yang membuat orang bisa berubah-ubah, Nak. Jangan melihatnya dari satu sisi saja. Orang itu tidak bisa dilihat dari hitam atau putihnya. Setiap orang terkadang memiliki alasan untuk berbuat sesuatu," lanjutku. "Arka... anak yang baik dan cerdas. Belajarlah untuk menilai orang. Jangan mau dijebak atau pun dipermainkan oleh orang-orang yang ingin memanfaatkanmu."

Bocah itu masih diam, tetapi alisnya hampir bertaut. Dia mencoba mencerna informasi yang kuberikan.

"Arka jaga ibu baik-baik, ya. Jangan membuat Ibumu marah. Jaga kesehatanmu dan belajarlah yang rajin." Pesanku sambil melirik ambang pintu. Iriana berdiri di sana, sudah memakai seragam hitamnya. Matanya menatap lurus ke arahku. Meski air mukanya datar dan dingin, sorot matanya menyiratkan hal lain.

"Paman...," Arka memanggilku lagi. "Sebelum Paman pergi, Arka ingin tahu nama Paman. Siapa nama Paman?" tanyanya.

Bibirku terkatup sesaat. Nama? Aku punya banyak sekali nama. Tapi..., nama sejatiku hanya satu. "Ananta," jawabku. "Panggil saja Paman Ananta."

Wajah Arka berubah sumringah. "Arka panggil Paman, Paman Anant, ya?" tawarnya.

Aku mengangguk. Lagi pula, ini hari terakhir kami bertemu. Tak masalah dia mengetahui sebagian nama sejatiku.

***

"Aku punya hadiah yang bagus untuk Ayah."

"Hadiah apa?"

"Rahasia! Nanti kalau Ayah pulang, baru kuberikan."

Tawa kecil Katherine membuatku gemas saat itu. Anak itu kini sudah menginjak usia 14 tahun dan tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, usil, serta periang. Dia senang sekali membuatku penasaran, seperti tadi misalnya. Aku cuma bisa mendengus mendengar jawabannya. Setelah itu, aku pergi menuju gedung serikat dagang untuk memenuhi pertemuan anggota serikat.

Aku tidak tahu, pagi itu... adalah pagi terakhir aku melihat senyum dan keceriaan Kitty. Karena saat aku kembali ke rumah, situasi di sana sudah mirip seperti desa hantu. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan. Aku mengenali tubuh orang-orang itu. Semua penduduk desaku tewas terbantai dengan cara yang kejam. Dan... di rumah..., aku menemukannya. Kitty-ku, Katherine-ku tewas dengan luka mengerikan di leher. Dia tertelungkup di atas tempat tidur dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Matanya terbuka dan kosong menatap ke samping, sedangkan tangan kanannya mencengkram sebuah syal merah.

Aku membeku. Aku cuma bisa menatap jasad putriku tanpa bisa bicara apa-apa. Kemudian, ketika kesadaranku pulih, aku memeluk jasad Kitty dan menangis keras-keras. Air mata darah keluar dari sudut-sudut mataku. Untuk pertama kalinya, seumur hidupku, aku menangisi seorang manusia. Kitty-ku, Katherine-ku yang berharga.

Anakku....

***

Serum penenang dalam dosis besar membuatku pening dan lagi-lagi pingsan. Iriana mengatakan, bahwa dia perlu memberiku itu sebelum membawaku keluar dari desanya. Alasannya, supaya aku tidak mengetahui letak persembunyian desa ini. Yah..., kuterima alasannya dengan sennag hati. Toh, aku tidak peduli juga dia dan anggota K3 lainnya tinggal di mana. Asal bisa dibebaskan dari tempat ini, aku akan pergi sejauh mungkin dari manusia-manusia serta aruna.

Kukira, Iriana akan meninggalkanku begitu saja setelah mengantarku ke tempat tertentu. Aku tidak menyangka, dia menungguiku sampai aku benar-benar sadar dari pengaruh bius serum penenang. Saat mengamati di mana aku berada, aku sadar... dia membawaku ke pondokku sendiri, rumah yang kutinggalkan selama beberapa hari.

Seharusnya, rumah ini sedikit berisik dengan percakapan beberapa budak. Aku tinggal bersama 4 budak dan mereka benar-benar loyal serta mematuhiku. Tanpa kuberi perintah pun, mereka sudah menurut padaku. Namun, kali ini aku tidak mendengar suara apa pun. Bahkan, detakan jantung yang samar pun tidak. Sepenuhnya... pondok ini hening.

"Kalian membantai mereka?" kakiku turun dari atas sofa tempat Iriana membaringkanku. Senyumku mengembang tipis. "Kalian benar-benar ingin melenyapkanku, ya."

Iriana, yang duduk di seberangku, masih diam. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya menyiratkan ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan kepadaku.

"Johan berpikir, memasukkanmu sebagai daftar buronan adalah sesuatu yang mudah," katanya. "Dia kira, Aruna sepertimu bisa dibereskan dengan mudah. Tapi, dia lupa, sematan Elder pada dirimu pasti bukan sesuatu yang bisa membuat semuanya mudah. Dan kenyataannya... memang begitu."

Aku memandangnya.

"Budak-budakmu...," Iriana menatap sekeliling ruangan. "Aku mendengar dari orang-orang yang bertugas mengeksekusi mereka, kalau budak-budakmu benar-benar patuh dan loyal kepadamu. Mereka mengikutimu bukan karena perintahmu, mereka benar-benar mematuhimu. Aku jadi heran, apa yang kau ucapkan pada mereka sehingga membuat manusia-manusia itu dengan rela melepas kebebasan mereka?" salah satu alisnya terangkat.

"Penawaran?" aku mengendik tak acuh. "Pilihan?" aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke arah jendela yang ada di salah satu sisi pondok. "Aku memberikan mereka kebebasan."

"Kau.... aneh," cetus Iriana begitu saja. "Aruna sepertimu... Elder sepertimu..., kenapa kau tidak bersikap seperti kebanyakan Aruna? Kenapa... kau bersikap baik pada kami? Pada makhluk yang harusnya menjadi makananmu."

"Aku tidak bersikap baik pada kalian," aku tersenyum mengejeknya. "Aku hanya bersikap sesuai keinginanku."

Iriana menatapku tak percaya. "Di antara semua Aruna yang pernah kuhadapi, kaulah yang paling ambigu," komentarnya. "Yang paling membuatku tidak mengerti adalah..., bagaimana kau bisa bersikap selembut itu pada Arka? Aku benar-benar tidak mengerti dirimu."

"Kau tidak perlu mengerti tentangku," jawabku ringan. "Sudah kukatakan, aku hanya bersikap sesuai keinginanku. Aku hanya kasihan pada anakmu. Dia benar-benar sangat polos dan aku yakin, kalau kau tidak mendidiknya dengan benar, anak itu bisa mati muda."

Mata Iriana nyalang memperlihatkan amarah, tetapi langsung redup. Pengendalian diri yang baik.

"Jadi..., kau menungguiku bangun hanya untuk bertanya hal tidak penting seperti itu?" dalam sekejap, aku sudah berdiri di hadapannya. Jauh dari hematit dan perak, serta pengaruh serum penenang yang mulai hilang dari tubuhku membuatku mendapatkan kendali diri lagi. "Seharusnya kau langsung pergi setelah meninggalkanku di sini. Berdua saja dengan Aruna, apalagi seorang Elder, bukan tindakan bijak untuk manusia sepertimu, meski kau anggota K3." Aku menarik dagunya hingga mata kami saling bertatapan. "Kau lengah, Ana. Kau meremehkanku hanya karena melihatku iba." Taring-taringku memanjang. Kepalaku menunduk turun ke arah lehernya yang tertutup kerudung hitam. Namun, satu pertanyaannya membuatku terdiam.

"Ini... caramu mengusirku?"

***

Bau yang ada ditubuh Kitty-ku tidak akan pernah kulupakan. Bau Original keparat yang telah membunuh putri kecilku kuingat baik-baik. Aku memburunya, mencarinya ke seluruh pelosok Inggris. Dalam keadaan nyaris gila, setelah menemukannya, hal pertama yang kulakukan adalah... membantai kelompoknya. Aku membunuh semua pengikutnya, sebelum berakhir pada dirinya. Salah besar kalau dia mengiraku akan mengampuninya setelah dia berlutut memohon ampun padaku. Dia sudah membunuh Kitty-ku, anakku satu-satunya!

Bayanganku melihat masa depan Katherine lenyap begitu saja. Daftar nama pria-pria pelamar yang sedang kuselidiki pun kini tak berguna sama sekali. Anak itu sudah mati, semua kebahagiaan gadis itu hilang. Semua gara-gara bajingan tengik satu ini! Selama sebulan aku menyiksa Original itu dengan cara terkeji yang bisa kulakukan. Sialnya, sebelum aku puas melampiaskan kemarahanku padanya, dia sudah mati lebih dulu. Kemarahanku semakin menjadi melihatnya mati dan kewarasanku menipis. Aku menjadi brutal dan melampiaskan kemurkaanku pada aruna mana pun yang kutemui. Aku membantai, menyiksa mereka tanpa ampun, sampai Gilang menghentikan semua kegilaanku.

Dia menghajarku sampai kewarasanku kembali. Dia menghinaku hingga menyadarkan di mana aku seharusnya berada. Sejak saat itu, aku pergi. Aku menjauh dari keramaian. Aku menyendiri, berlindung di tempat-tempat yang sepi. Aku berusaha melupakan rasa sakit ini, rasa terluka ini. Aku ingin ketenangan, tanpa darah dan kematian.

Bayang-bayang kematian Katherine selalu menghantuiku ke mana pun aku pergi. Rasa sakit karena tak bisa menjaganya sering memancing penyesalanku.

Kedamaian yang kurindukan, tak pernah datang dalam hidupku.

***

"Apa kau sedang mengulur waktu supaya aku tidak membunuhmu?" bisikku jengkel. "Atau..., kau sedang mencari celah yang tepat untuk membunuhku?" tanyaku tanpa beralih dari hadapannya.

"Ya..., awalnya aku memang berpikir untuk membunuhmu." jawab Iriana. Ketenangan dalam suaranya membuatku gusar. "Setelah menolongmu, hal pertama yang kulakukan adalah mencari informasi mengenai dirimu. Saat tahu kau masuk daftar buronan dan ternyata juga seorang Elder, aku mulai bersikap hati-hati padamu. Makhluk seperti kalian, tidak bisa kupercaya."

Aku menarik diri, berdiri tegap di hadapan wanita ini. Mata kami saling berpandangan.

"Kukira, setelah menyelamatkanmu, aku bisa membereskanmu. Aku akan mendapat 2 keuntungan. Arka akan tetap patuh padaku dan misi komite pun terselesaikan," ucapnya. "Namun, setelah mengamatimu, aku mulai bertanya-tanya, kenapa kau bisa masuk daftar buruan kami?"

Aku masih diam, mendengarkan.

"Jawaban Johan sama sekali tidak memuaskanku, karena itu, aku sendiri tidak bisa memutuskan dengan bijak. Apa aku harus membiarkanmu atau membunuhmu?" matanya menatap lurus ke arahku. "Keraguan itu menggangguku. Tapi, mengingatmu sudah mau menjaga Arka, kukira... melepasmu akan membuat kita impas. Aku menolongmu dan kau pun sudah membantuku."

Iriana berdiri dari hadapanku. "Arka pasti akan membenciku seumur hidupnya kalau tahu aku membunuhmu. Anak itu jelas menyayangimu. Menghabisimu hanya membuatku kelihatan seperti wanita kejam."

Aku tertawa sinis mendengar ucapannya. "Jadi..., hanya karena Arka?"

"Bukan, 'hanya'," dia menatapku lurus-lurus. "Ini memang karena dia. Bukannya, kalau melakukan hal yang sama karena dia?" pertanyaannya membuatku terdiam telak. "Kau... bisa saja kabur dan pergi, atau membantai seluruh anggota K3 di desa itu tanpa ampun. Tap, kau tidak melakukannya. Kau membirkan kami. Kau bahkan tidak mencoba menimbulkan keributan di rumahku. Bisa kau jelaskan arti dari sikapmu selama ini?"

"Untuk?" aku memandangnya datar. "Aku benci keributan, karena itu... aku tidak mencoba membuat ulah di rumahmu."

Iriana menatapku tajam. "Teruslah berkelit, Anant. Teruslah lari dari semua alasanmu. Bahkan, tanpa mengetahui apa latar dari semua sikapmu ini, aku tahu... kau peduli pada kami. Kau peduli pada kehidupan kami. Kau coba menutupi semua itu pun percuma saja. Sikap angkuh dan menyebalkanmu itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan kepedulianmu dari kami."

Aku tertawa hambar. Bicara apa wanita ini?

"Jangan besar kepala hanya karena aku bersikap sedikit baik pada kalian, Manusia," kataku keji. "Jangan bersikap seolah-olah kau mengetahui semuanya tentangku."

"Baiklah..., kalau begitu, boleh aku minta satu hal padamu," dia memandangku berani. "Bisakah kau membunuhku sekarang juga? Lalu, ikut membunuh Arka dan Bibi?"

Permintaannya membuatku tercengang. Wanita ini... bisa-bisanya...

Matanya menatapku lurus-lurus, memandangku tanpa takut.

"Kenapa aku harus membunuhmu?" tanyaku tak acuh.

"Aku memiliki banyak alasan untuk tidak ingin hidup lagi."

"Kalau begitu, aku tidak akan membunuhmu," jawabku ringan. "Untuk apa aku membunuh manusia yang memang ingin mati? Itu sama sekali tidak menarik. Aku lebih suka membunuh manusia-manusia yang punya harapan hidup."

"Berarti, jadilah saksi kematianku," wanita itu menarik bilah belati dari balik mantelnya dan secepat kilat, aku menahan tangannya supaya belati itu tidak menembus tubuhnya.

"Kau gila?" desisku. "Kau mau meninggalkan Arka?"

"Aku sudah gila sejak suamiku tewas!" serunya marah. Kedua matanya berkaca-kaca. Sorot dingin dan tidak peduli dalam tatapannya runtuh, berubah menjadi kehampaan serta keputus-asaan. Kali ini..., aku benar-benar melihat dirinya yang asli. Sosok Iriana yang selama ini tertutupi oleh topeng ketegaran. "Aku sudah tidak waras setelah kaummu membunuh Irsyad!"

Aku diam, tetap menahan tangannya supaya belati itu tidak bergerak menancap jantungnya.

"Keadaan Arka pun semakin tidak stabil. Aku semakin takut kehilangan anak itu. Keadaannya yang lemah dan sakit-sakitan selalu membuatku was-was di medan perang. Aku tak bisa berhenti memikirkannya barang sedetik pun," air matanya mengalir. "Anakku satu-satunya, hadiah yang diberikan Tuhan untukku dan Irsyad... dalam kondisi... cacat. Selama ini aku berusaha bertahan untuk merawatnya. Tapi..., aku merasa tidak kuat lagi."

"Tekanan dalam pasukan, kondisi Arka yang tidak menentu, belum lagi biaya untuk merawatnya, semua membuatku nyaris gila," wanita itu memukuli dadaku, mencoba melepaskan tangannya yang kucengkram. "Berulang kali, aku bahkan berpikir untuk membunuh Arka....," ucapannya membuatku terbelalak. "Tapi..., tiap melihatnya, aku... tidak sanggup."

"Aku lelah dengan kehidupan ini. Aku ingin berhenti," Iriana meraup senggenggam kain kemejaku. "Aku ingin mati. Aku ingin membawa Arka bersamaku juga, tapi... aku tidak sanggup."

"Egois sekali kau sampai bicara begitu," komentarku dingin. "Aku sudah hidup cukup lama untuk melihat banyak kehidupan. Dan... aku pernah melihat sebuah keluarga yang hidupnya jauh lebih mengenaskan darimu, tetapi si ibu dari keluarga tersebut memilih bertahan melanjutkan kehidupannya bersama anak-anaknya."

Iriana memberontak lebih keras.

"Jangan menyerah, Ana," ucapku. "Bukan seperti ini sosok Ibu yang dilihat Arka."

Kemudian, dengan satu pukulan, aku berhasil menjatuhkannya. Wanita itu pingsan dalam pelukanku. Dengan cobaan seperti ini, wajar kalau Iriana depresi. Banyak orang yang depresi dalam masa ini. Kehidupan yang jauh dari kata tenang, ketakutan yang selalu menghantui, kekejaman yang tidak pernah berhenti, semua ini membuat siapa pun pasti tertekan dan depresi.

Aku beranjak dari dalam rumah sambil membopong Iriana. Mengejutkan, berat wanita ini ternyata ringan sekali. Kemudian, kubawa wanita ini kembali ke rumahnya.

***

Kedamaian tak pernah datang dalam hidupku selain waktu itu, saat Katherine singgah dalam perjalananku. Dialah... satu-satunya yang memberikan rasa manis dalam hidupku yang hambar. Walau singkat, kehidupanku bersamanya adalah waktu terindah yang pernah kumiliki. Rasanya..., aku ingin kembali ke masa itu, masa di mana aku melihat senyum dan tawanya. Kitty-ku...

"Sampai kapan kau akan melarikan diri, Saka?" pertanyaan itu membuat perhatianku teralih.

Sudah susah payah aku bersembunyi di sudut-sudut hutan, tapi... lagi-lagi aku berhasil ditemukan. Di puncak tebing, aku duduk di tepi jurang, menatap ke arah lautan pepohonan yang dinaungi sinar rembulan.

"Sepertinya tidak ada tempat yang benar-benar tenang untuk kudiami," aku mendesah frustasi tanpa menoleh ke arah orang itu.

"Selama pertikaian ini berlanjut, tidak akan ada ketenangan, Saka. Tidak juga kedamaian," ucapnya.

"Yah...," aku berdecak. "Keangkuhan serta kearoganan kaum kita dan ambisi kaum manusia sudah lebih dari cukup untuk membuat kita saling membunuh satu sama lain, sampai kita sama-sama musnah," desisku.

"Kau tidak ingin ikut menghentikannya?" tanyanya dingin.

Aku diam.

"Kau terus saja melarikan diri dari kehidupan nyatamu. Sampai kapan kau akan berbuat begini?" tanyanya. "Cepat atau lambat, kau harus kembali ke kenyataan, Saka. Kembali pada statusmu dan memegang kendali nyata."

"Supaya anjing-anjing itu tidak terlalu merongrongmu dan berbalik menjilatku?" cibirku. "Aku lelah dengan semua itu, Gilang."

"Kau pikir, aku tidak lelah? Aku sama lelahnya sepertimu."

Bibirku terkatup.

"Bertindak tidak sama dengan diam saja, Saka. Berbuatlah sesuatu kalau kau memang menginginkannya," ucapnya. "Meski itu dibayar dengan nyawa sekalipun, setidaknya... kau tidak perlu tenggelam dalam rasa penyesalan."

Aku masih tetap diam.

"Sakananta," panggilannya membuat tubuhku menegang. Nama sejatiku...

"Kau punya banyak pilihan, tapi kali ini... kau harus berbuat sesuatu."

Aku tak menjawabnya, tidak juga menoleh ke arahnya. Kemudian, Gilang pergi, meninggalkanku dalam kesunyian.

Berbuat sesuatu? Jangan bercanda. Aku sudah tidak ingin berbuat apa-apa saat ini. Kupejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam. Sosok Katherine membayang dalam kepalaku, bersama bayangan Arka dan Iriana. Mataku kembali terbuka.

Orang-orang yang sudah lelah berjuang. Kutatapkesenyapan malam yang hening. Sepertinya..., malam ini pun... aku harus melihatmereka...

============================

Note:

Akhirnya..., Blood And Soul selesaaaaiiii!! \(^__^)/

Ini adalah cerbung fanfict terpanjang yang pernah saya bikin. Saya harap, 3 part Blood And Soul bisa menghibur dan dinikmati semuanya.

Awalnya, saya berpikir untuk menjadikan cerpen ini sebagai kisah cinta antara si Elder dengan Iriana, lalu membunuh Arka. Namun, pikiran itu tersingkir begitu saja, ketika saya mengerjakan part ke-2nya. Rasanya nggak cocok kalau bikin si Elder jatuh cinta kilat pada Iriana. Ceritanya malah kelihatan konyol kalau kayak gitu.

Akhirnya..., saya pun memutuskan membuat jalan cerita yang seperti ini. Begitulah kisah hidup Sakananta. Elder yang aslinya perasaannya lembut. He...., apa nama Sakananta kedengaran aneh? Tadinya mau saya kasih nama Ananta aja, tapi kok rasanya kurang marem. Sedikit ngikutin pakemnya penulis asli Aruna series, saya pun ambil nama menambahkan kata Saka. Bingung juga sih, mau pake nama Cakra atau Saka, tapi... ambil nama Saka saja yang lebih sederhana. Nama Ananta sendiri sengaja saya ambil, karena mengingatkan saya pada tokoh (kalau nggak salah putra resi kasyafi dan adithi) Ananta, sang Naga yang memilih menyendiri dan menjadi seorang resi. 

Setelah ini, mungkin saya akan kembali mengunggah cerpen-cerpen yang pernah saya buat dulu. (^__^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro