2 | Melelahkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terbangun, ketika suara alarm berhasil mengakhiri tidurku. Hujan kemarin malam cukup besar dan lantai terasa dingin seperti es, apalagi aku tidur hanya beralaskan karpet dan selimut yang tipis. Sepertinya aku harus membeli selimut yang baru, setelah mendapat gaji bulan ini.

Tidak, aku harus membatalkan keinginan ini. Uangku tidak akan cukup untuk membeli selimut baru. Setelah membayar uang kos bulan ini dan UKT semester tujuh, sisa uangnya masih harus aku gunakan untuk kehidupan sehari-hari.

Boro-boro membeli selimut, aku bahkan terancam dropout karena tidak mampu membayar kekurangan hadir di kelas.

Apa ada hal di dunia ini yang tidak memerlukan uang?

Aku sangat percaya pada pepatah 'apapun dapat dibeli dengan uang.' Tidak ada gunanya meratapi nasib menyedihkan ini. Tidak ada orang yang bisa aku bagikan tentang keresahanku setiap harinya.

Dulu sekali, aku pernah meminta kepada Tuhan. Apakah dia bisa membunuhku seperti sebuah seni ketika bulan muncul? Atau menarik nyawaku akibat tak memiliki uang untuk makan. Aku tidak meminta untuk masuk surga. Mati adalah tingkat tertinggi untukku bersyukur.

Namun sekarang, aku hanya ingin bertahan hidup. Menjalani hari-hariku yang monoton, mirip kaset putar yang selalu menyimpan rekaman dalam diam.

Perutku keroncongan, padahal jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Jika aku makan sekarang, aku akan lapar lagi di jam tiga sore. Namun, aku tidak bisa menolak 'kan? Apalagi hari ini harus ke kampus karena ujian. Dengan terpaksa, aku menanak nasi dan menggoreng telur untuk mengisi perutku yang sudah bernyanyi meminta untuk segera diisi.

Sambil memasak, aku memandangi ember penuh air hujan, karena atap kos bocor, bekas hujan badai kemarin malam.

Memang, sial adalah kata yang sangat melekat di kehidupanku. Untung saja hari ini telur yang digoreng tidak menghitam, jadi sarapan kali ini cukup nikmat. Pagi yang baik, untuk mengawali hari Senin dengan senyuman.

Aku bergegas, menuruni anak-anak tangga dari lantai lima. Untungnya kampus aku tidak terlalu jauh dari kos.

"Lama!" kesal Gemi padaku. Dia mungkin sudah menunggu 20 menit di parkiran mobil. Padahal aku tidak memintanya untuk menunggu, tapi dia yang berinisiatif. Kenapa dia melampiaskan marahnya padaku?

"Maaf." Hanya itu yang bisa kukatakan pada Gemi. Dia adalah satu-satunya teman yang menempel padaku layaknya perekat kertas. Aku tidak ingat, entah kapan kami memiliki hubungan pertemanan yang baik.

Gemintang Zahra Purnama, gadis imut dengan rambut panjang yang bergelombang. Aku senang memanggilnya Gemi. Dia gemar mengenakan aksesoris lucu dan pintar merias wajah. Sangat berbeda dengan aku yang selalu tampil urakan. Lihatlah penampilannya sekarang, orang-orang mungkin mengira dia akan tampil di layar lebar dengan kecantikannya hari ini.

"Lo tuh gila Ara, tahu 'kan hari ini matkulnya bu Iriani?" Aku tahu itu, aku hanya telat bangun.

Menghadapi dosen seperti bu Iriani yang killer tentu menguras banyak tenaga, aku juga perlu mempersiapkan mental untuk menghadapi kelas hari ini.

"Seharusnya, kalau lo sudah tahu, lo berangkat aja sendiri. Gue mah bisa jalan ke kampus, paling cuma sepuluh menit." Terkadang aku tidak mengerti cara pikir Gemintang. Dia bersikap pengertian tapi terkadang suka menuntut.

"Gue gak mau sendirian datang ke kampus, apalagi ketemu sama si Dilan." Gemintang cemberut ketika menyebutkan nama Dilan.

Dilan itu mantan pacar Gemi. Mereka baru putus tiga hari yang lalu. Dia mahasiswa fakultas Kedokteran dan sangat terkenal seantero kampus kami. Jarak gedung fakultas Dilan dengan fakultas kami sejujurnya jauh, tapi semua penduduk di kampus pasti mengetahui berita berakhirnya hubungan mereka.

Mungkin karena mereka berdua orang yang sama-sama terkenal. Siapa juga yang tidak penasaran dengan kisah mereka? Entahlah, apakah menjadi terkenal itu kerugian atau keuntungan.

Jujur, terkadang aku pun bisa merasakan kekesalan Gemi yang setiap hari harus menanggapi rasa penasaran orang-orang. Semua memberikan pertanyaan yang sama padaku, tentang bagaimana kisah Gemi dan Dilan mengakhiri hubungan mereka, hanya karena mereka tahu, Gemi dan aku cukup dekat.

Tentang kuliah, aku dan Gemi adalah mahasiswa fakultas Seni Rupa, jurusan Seni Rupa Murni. Kelas-kelas kami dipenuhi dengan cat warna, kanvas, tanah liat, serta barang-barang dan alat berat seni lainnya. Untungnya, lokasi fakultas kami tidak jauh dari parkiran kampus.

Begitu kami tiba, tidak banyak orang yang berpapasan dengan kami. Keberuntungan lain, kami juga tidak terlambat. Aku suka ketika kata 'beruntung' ada di kehidupan aku.

Ketika bel kampus berbunyi, Bu Iriani memasuki kelas dan ia segera memberitahukan kami tentang pameran ketiga sekaligus terakhir untuk kami mahasiswa yang duduk di semester enam. Pameran seperti ini selalu diselenggarakan untuk menunjang perkembangan kreativitas kami.

"Selama tiga bulan ini, saya harapkan kalian dapat menciptakan sebuah karya yang indah. Karena pameran kali ini tidak hanya dibuka untuk mahasiswa kampus kita, tetapi terbuka untuk umum. Siapa tahu, kalian bisa mendapatkan kesempatan emas dan bisa menjual karya kalian. Kalian juga bisa mengangkat karya dari pameran sebelumnya, tapi harus dimodifikasi. Ibu akan menunggu karya-karya hebat kalian, selamat berkreasi." Pengumuman yang cukup menggiurkan aku.

Aku pernah mendengar dari kakak tingkat, kami bisa menghasilkan pundi-pundi uang jika berhasil menjual karya. Pameran kali ini bisa menjadi ladang uang bagiku, untuk membeli selimut wol yang tebal dan kasur lipat yang empuk. Membayangkan tidur dengan kasur saja membuatku terlena. Aku harus optimis pasti bisa menghasilkan uang di pameran kali ini.

"Amara Faranisa Aurelia," Aku segera mengangkat tanganku ketika bu Iriani memanggil namaku untuk mengisi presensi.

Yah, itulah namaku, Amara Faranisa Aurelia. Aku adalah seorang anak yang berjuang hidup sendirian, karena kedua orang tuaku telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu.

***

Biar aku beritahu, 'beruntunglah kalian yang masih diberikan modal dan uang jajan oleh orang tua kalian, karena hidup mandiri jauh dari kata bebas.' Kalian tidak percaya?

Aku tidak bisa bebas bermain ke cafe, karena tidak punya cukup uang untuk membayar secangkir americano. Aku tidak bisa bermain ke pasar malam atau berlibur ke gunung Bromo, karena harus membayar tagihan setiap bulan. Beruntung, aku tidak memiliki utang.

Aku juga tidak bisa tidur enak seperti kalian. Setelah lelah menghadapi perkuliahan, aku harus mengais rezeki dengan kedua telapak tanganku sendiri. Jadi, jangan bertingkah seolah kalian bisa hidup tanpa orang tua kalian. Karena saat itu terjadi, kalian hanya bisa menangis, tanpa ada satupun yang mau menghibur kalian.

Aku tidak menyalahkan kalian, aku juga tidak iri pada kehidupan yang dijalani orang lain. Aku hanya cemburu, karena kalian punya tempat untuk pulang dan merasa aman. Sejujurnya, mungkin kehidupan kalian lebih bebas dari yang kalian duga.

"Terima kasih sudah datang ke Alfomart." Setiap hari aku mengatakan kalimat ini, hingga ratusan dan ribuan kali. Untung saja, perusahaan retail seperti ini mau mempekerjakan karyawan dengan ijazah SMA. Apalagi pekerjaan ini dilakukan secara shift, jadi aku bisa melakukannya sambil berkuliah. Meski gajinya pas-pasan, masih lebih baik dibanding kekurangan 'kan?

Biar aku beritahukan hal menguntungkan lainnya tentang pekerjaanku ini. Aku bebas mengambil makanan yang ada, selama makanan itu sudah kadaluarsa, aku bisa hidup lebih irit lagi.

Begitulah kisah kehidupanku. Sebanyak apapun caraku untuk meromantisasi kehidupan, aku tidak akan pernah bisa berbohong tentang dunia kapitalis ini. Memang melelahkan menjalani semuanya, tapi mari bertahan hingga matahari kembali terbit.

___
Dear Hanoly,
Selamat membaca di cerita ini. Cerita ini masih bertemakan fantasi. Hanya saja latar tempat yang author gunakan adalah negara kita tercinta, Indonesia > 3 <

Inspirasi dari cerita ini, author ambil dari "Yin, Yang" berasal dari filsafat Tiongkok. Yin dan Yang adalah konsep fundamental dalam filsafat Tiongkok yang merujuk pada dua aspek komplementer dan berlawanan yang ada di alam semesta dan dalam kehidupan manusia. Konsep ini berasal dari ajaran Taoisme dan juga menjadi bagian integral dari tradisi Kebijaksanaan Tiongkok, termasuk filsafat Konfusianisme dan Budaya Tionghoa secara umum. konsep Yin dan Yang juga merujuk pada ide perubahan dan dinamika dalam alam semesta. Menurut filsafat Taoisme, siklus alam semesta dan kehidupan manusia dipengaruhi oleh interaksi yang terus-menerus antara Yin dan Yang.

Seperti cerita sebelumnya, tentu saja semua pengetahuan dan beberapa unsur di cerita author, selalu berjibaku pada penasihat terbaik author. AI (Alias kecerdasan buatan hehehehe).

Author rasa, di setiap kehidupan orang, tidak ada yang benar dan salah. Semuanya tergantung perspektif. Semuanya hanya ingin keseimbangan di dalam hidup. Jadi Author berharap, cerita ini dapat merepresentasikan keinginan author. Tidak apa-apa untuk menjadi tidak baik-baik saja > <

Abaikan pesan author ini jika kalian merasa terganggu, See ya!

Salam hangat,
Maggilie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro