d u a b e l a s

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat langit sudah gelap, Rudy mengajak Aya untuk menghirup udara luar dengan mengendarai sepeda motor milik Baskoro. Sekalian membelikan makanan yang diinginkan mama.

Jangan harap jika Aya akan memeluk erat Rudy dari belakang, ia hanya duduk tenang di belakang sembari menatap penjual makanan di pinggir jalan.

"Sekalian kita cari makan, ya? Kamu mau makan apa?" tanya Rudy sambil menatap Aya dari kaca spion.

Aya terpaksa mencondongkan tubuhnya ke depan agar ucapannya bisa didengar Rudy dengan jelas. "Nggak makan di rumah aja, Mas? Nanti Mama sama Papa gimana?"

"Ya, sekalian kita beliin. Mau makan di mana dulu?"

"Nggak beli singkongnya dulu?"

"Nanti aja kalau udah mau pulang. Kita jalan-jalan dulu sekarang."

Aya yang menyunggingkan seulas senyum bisa ditangkap Rudy melalui kaca spion. Karena bukan hanya dia yang terluka dengan ucapan Laras, Aya pasti juga merasakannya meski tanpa bilang padanya.

"Kalau gitu terserah Mas aja," ucap Aya pada akhirnya. Ia paling malas untuk menentukan pilihan makanan, biasanya ia akan makan apa saja yang sudah ada di hadapannya.

Sang pengemudi mengangguk siap. Ia melajukan motor ke tempat favorit saat masih remaja dulu. Hanya saja tempatnya sudah sedikit banyak berubah seiring bertambahnya tahun.

"Bakso Malang? Emang nggak ada makanan lain, Mas? Tiap hari udah hidup di Malang sampai rumah juga tetap nyarinya makanan asli Malang." Aya terkekeh saat melihat tulisan besar yang ada di depan toko.

"Kenapa? Kamu nggak mau? Kita cari tempat lain aja kalau gitu." Rudy yang hendak menyusul Aya turun dari motor tidak jadi dan bersiap menghidupkan mesin kendaraan itu kembali.

Namun, Aya segera menghentikannya dengan berkata, "Eh, nggak apa-apa, Mas. Di sini aja, dari tadi udah muter-muter nggak jelas juga buat nyari tempat makan."

"Ya, udah. Menunya juga banyak, kok. Kamu bisa pilih mau yang mana."

Aya mengangguk. Saat berjalan memasuki warung bakso legendaris di Singosari tersebut tangan Rudy menggenggam tangan istrinya. Aya yang merasakan kehangatan itu tak bisa menolak, tidak ada alasan jika tengah berada di luar kota Malang.

"Mau duduk di mana?"

Saat Rudy menoleh, Aya menunjuk tempat dekat jendela dengan dagu. Sudut yang selalu Aya cari saat sedang makan di luar. Rudy bergegas menuju tempat yang Aya mau sebelum ada pelanggan baru yang menempatinya.

Setelah mendapatkan tempat, Rudy mempersilakan Aya untuk memilih menu terlebih dahulu.

"Aku bakso campur aja, Mas. Minumnya jeruk anget," kata Aya yang tampaknya tak ingin terlalu lama memilih menu.

"Udah? Nggak mau cobain yang lain?" Tawaran Rudy hanya dibalas gelengan oleh Aya.

Kemudian Rudy memanggil salah satu pegawai untuk memesan menu. "Saya pesen bakso campur satu, bakso beranak satu, sama tambah tulang sumsumnya satu. Terus minumnya jeruk anget dua, Mas."

"Baik, Pak. Ditunggu dulu, ya." Rudy tersenyum ramah saat pegawai itu pergi.

"Banyak banget, Mas. Itu sekalian buat yang dibungkus?" tanya Aya dengan wajah terkejutnya.

"Mumpung lagi makan di sini biar kamu juga bisa rasain enaknya bakso legendaris ini. Kalau kamu suka, nanti tiap pulang ke rumah, kita makan di sini."

Aya hanya menurut saja. Sambil menunggu pesanan datang, Aya berselancar ke dalam dunia maya.

"Rudy?" Rudy yang dipanggil, tapi Aya juga ikut mengangkat kepalanya. "Gimana kabarnya? Udah lama banget nggak ketemu, tumben makan di sini?"

"Hai, kabar baik. Lagi kangen aja jadinya mampir. Kamu baru pulang kerja?" Tatapan Rudy tertuju pada pakaian rapi yang digunakan perempuan cantik di hadapannya.

"Iya, nih. Nggak tahu tiba-tiba pingin makan di sini, eh, tahunya ketemu kamu. Terus ini siapa?" tanya perempuan itu sambil menunjuk Aya.

"Oh, kenalin. Dia Aya, istri aku. Aya, kenalin dia Tika, temen sekolah dulu."

Kedua perempuan itu saling berjabatan, tapi ada yang aneh dengan tatapan Tika pada Rudy.

"Istri? Wah, ada yang nikah tapi nggak undang-undang, ya? Udah lama? Oh, ya. Aku boleh gabung di sini nggak? Biar sekalian ngobrol sama kalian."

"Silakan, Mbak. Kayaknya di tempat lain juga mulai penuh," jawab Aya sambil menggeser tubuhnya agak ke pinggir.

"Makasih." Tika tersenyum dan duduk di sampingnya Aya. Namun, pandangannya masih sesekali tertuju pada Rudy yang sekarang tampak semakin tampan dan seksi.

"Permisi." Rudy meminggirkan tangannya saat pesanan mereka sudah datang. Ia menyodorkan mangkuk berisi bakso beranak pada Aya, lalu ia sendiri mengambil mangkuk yang berisi bakso campur. Satu mangkuk lagi ia biarkan di tengah meja. Tak lupa ia menambahkan pesanan untuk dibawa pulang. "Silakan dimakan," ucap pegawai sebelum berlalu meninggalkan meja.

"Makasih, Mas," ucap Aya pada pegawai.

"Ini satunya buat siapa? Pas banget ini bakso kesukaan aku," kata Tika sambil menunjuk bakso tulang sumsum.

"Makan aja, Mbak. Tadi emang Mas Rudy pesen lebih," jawab Aya karena Rudy diam sambil menatap ke arahnya.

"Wah, makasih banget, ya. Jadi nggak perlu nunggu lagi, deh." Tika tersenyum lebar pada Aya dan menunduk ramah pada Rudy.

Aya mulai menyantap bakso setelah memasukkan bahan pelengkap lainnya. Perasannya jadi tak nyaman karena tampaknya Tika bukanlah seorang teman biasa untuk Rudy saat sekolah dulu. Lihat saja, Rudy yang jadi banyak menunduk dan tak banyak mengeluarkan suara.

"Kata teman-teman, kamu udah punya rumah sendiri di Malang, ya?" Tika memecah keheningan dengan pertanyaan pada Rudy.

"Iya, alhamdulilah hasil dari keringat sendiri."

"Nggak percuma orang kayak kamu sukses di masa muda. Pas sekolah juga cuma kamu yang paling kreatif di kelas. Kalau aku kapan-kapan main ke Malang, boleh mampir nggak? Sekalian mau lihat, sebagus apa sih rumah kamu."

"Silakan, Mbak. Rumahnya juga nggak jauh dari jalan raya, kok." Aya kembali menjawab dengan banyak pertanyaan terlintas di pikiran. Terlebih siapa Tika sebenarnya?

Mereka tetap melanjutkan makan malam dengan suasana canggung masing-masing. Aya yang memang pendiam, hanya menyimak apa saja yang ditanyakan Tika pada suaminya. Apalagi yang mereka bahas tentang politik, Aya tak paham hal tersebut. Jadi ia menyibukkan diri dengan bermain ponsel.

Untungnya Rudy juga mengerti keadaan, setelah makanan mereka habis dan pesanan untuk dibawa pulang sudah siap. Ia berpamitan untuk pulang pada Tika. Selama perjalanan, Aya tetap seperti tadi, diam sambil mengawasi jalanan yang kali ini punya kegelisahan meningkat.

Aya hampir menegur Rudy yang tiba-tiba berhenti di pinggi jalan. Ia sudah cepat-cepat ingin sampai rumah untuk beristirahat, tapi urung karena melihat gerobak bertuliskan singkong keju.

Tanpa sadar ia menelan saliva melihat singkong berwarna sangat cantik dan merekah. Pesanan Rudy pertama ia sodorkan pada Aya.

"Cicipi dulu, biar nggak ngiler pinggir jalan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro