25th Floor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AIR MATA, isakan, serta tubuh gemetar Indhira membutakan seluruh indra yang Raka punya. Perasaan sedih, takut, dan amarah ketika ia menemukan tubuh kaku Jun menerpanya bagai ombak laut malam. Pemuda itu menjatuhkan tas ranselnya, berlari menuju pria yang menodong pistol ke kepala Indhi. Tanpa memikirkan risiko lebih, Raka menarik pakaian sosok itu, menghantam tinju ke pelipisnya. Di saat yang sama pula, sosok bermasker gas itu menarik pelatuk, secara tidak sengaja menembakkan peluru ke udara di tengah jeritan Indhira.

Rekan sosok bermasker gas itu berbalik, hendak menyelamatkan temannya. Akan tetapi, suara tembakan membuatnya jatuh. Tiga tembakan dan dia tak lagi bernyawa. Sementara itu kepalan tinju Raka terus diayunkan, begitu keras hingga tangannya terasa kebas; begitu lantang sehingga menulikan pendengarannya.

Tak terdengar lagi sosok yang ia pukuli meminta ampun. Tak bisa pula ia menyadari bahwa tindakannya telah melewati batas. Wajahnya terasa panas, Raka menggeram bagai orang kesetanan; tidak memperdulikan buku jarinya yang ngilu dan hangat karena darah. Semua amarah dan rasa kecewa ia lampiaskan. Raka tidak mau lagi kehilangan orang yang berarti bagi dirinya.

Sentuhan kecil di pundaknya membuat Raka tersentak. Tinjunya terhenti di udara ketika melihat pria berambut perak berkata, "Cukup, Raka. Dia sudah tidak sadarkan diri."

Terengah, pemuda itu berdiri perlahan. Masker gas telah lepas dari wajah pria itu, menunjukkan lebam di sana-sini. Mata Raka bergerak liar, mendapati sosok Indhira yang tengah memeluk dirinya sendiri dengan rasa takut dan air mata yang mengalir. Bolak-balik Raka melihat Indhira dan pria yang Raka hajar itu.

Secara normatif, Raka tahu apa yang ia lakukan itu salah. Namun jauh di lubuk hati terdalam, anehnya, ia merasa puas.

Kei mengikat kaki dan tangan pria yang Raka hajar pada kursi di dalam ruang inap mereka. Tidak mempertanyakan dari mana Raka datang maupun membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan di ruang utama itu, Dee fokus mengobati si pengendara bernama Kres sementara Indhira berkali-kali menyalakan pemantik api yang tak kunjung tersulut.

Raka membantu menyalakan pemantiknya. Rokok yang telah terselip di bibir Indhi langsung ia dekatkan. Sekalinya tersulut, perempuan itu menghisap rokoknya lama dan menghembuskan asap setelah tubuhnya tak lagi gemetar gelisah. Mulut Indhira terkunci, kecemasan masih terlukis jelas di wajahnya.

Menarik lengan Raka, Indhi tanpa berkata-kata meminta pemuda itu untuk mendekat. Indhi menenggelamkan wajahnya di bahu Raka dengan tubuh gemetar. Perlahan, Raka menepuk punggungnya, menenangkan perempuan itu. Yang terjadi beberapa menit di belakang merupakan pengalaman yang mengerikan. Suara berdesing, jeritan, pukulan menjadi sebuah melodi akhir. Orang-orang saling membunuh, Raka bahkan hampir membunuh seseorang. Kenapa mudah sekali mengambil nyawa seseorang?

Anehnya, Raka tidak menemukan sosok Nova sama sekali; membuatnya bertanya-tanya kenapa pintu yang ia buka membawanya ke sini.

"Apa Nova pernah ke sini?" tanya Raka masih mengelus punggung Indhira.

"Ya," jawab Kei, menarik kursi dan duduk menghadap pria yang tak sadarkan diri, "Dia enggak lama pergi setelah kau datang. Ke timur."

Belum sempat Raka bertanya lebih lanjut, Kres meminta maaf, "Maafkan klinikmu menjadi berantakan begini, Dok," Kres meringis saat Dee membersihkan luka di wajahnya, "Aku ceroboh."

"Ini bukan salahmu, Kres," Dee mengambil perban dari kabinet, memotongnya ke ukuran yang lebih kecil, "Mungkin kau sedang sial saja. Bagaimana bisa kau tertangkap?"

Kres terdiam cukup lama, membuat ruangan diselimuti kesunyian. Membuka mulutnya, Kres menjelaskan, "Setelah aku mengantar Nova dan orang botak itu ke sini, aku pergi ke Haven. Aku tahu kalian melarangku untuk pergi ke sana, tapi aku harus memastikan apakah mereka baik-baik saja. Nyatanya tidak, tempat itu mengerikan."

"Menyedihkan mungkin lebih tepat," celetuk Raka mengingat pengalamannya di Haven selama beberapa hari silam.

"Tadinya menyedihkan, sekarang...semua rata oleh tanah."

"Bagaimana dengan penduduknya?" tanya Raka, mengingat beberapa orang yang gugur setelah sosok bermasker gas datang, "Mereka selamat 'kan?"

"Mungkin hanya sebagian," sahut Kei yang terus mengamati pria yang tak sadarkan diri itu, "Sisanya berhasil diyakinkan untuk mengevakuasi diri. Susah sih, tapi ada saja orang yang memilih untuk mati."

Asap, reruntuhan, dan abu adalah hal yang tepat untuk menggambarkan keadaan Haven. Saat Kres turun dari pagnanya dan melihat keadaan di atas, pemuda itu hanya terdiam. Jika Tuhan memang ada, pemuda itu berkali-kali menyebut nama-Nya, berharap apa yang ia lihat tidaklah nyata. Pertahanan dirinya tidak optimal, ia terlalu larut mencari tanda-tanda kehidupan.

Aula tengah tempat orang-orang biasanya berkumpul pun sudah rata dengan tanah. Puing-puing bangunan hancur, berwarna hitam karena bekas terbakar. Kres hanya bisa mengamati, bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Ia belum menemukan satu jasad pun, baik yang tertimbun maupun yang nampak di atas tanah. Haruskah ia terus menjeajah atau kembali ke pagnanya? Belum tekadnya bulat, langkah Kres terhenti.

Tiga orang berdiri membelakanginya, tampak berdiskusi. Mendekat, Kres tidak tahu bahwa orang-orang itu adalah antek-antek Orenda. Mereka berbalik ketika Kres memanggilnya. Mereka mengenakan masker gas, tak menampakkan sama sekali wajah di baliknya.

Langkah Kres tertahan. Pengendara Pagna dan Orenda jarang memiliki masalah. Orenda membuang tubuh-tubuh kaku yang telah diperas reptiliumnya ke Huva Atma dan pagna dengan suka rela menyantap hidangan makan malam itu. Secara tidak langsung, para pengendara pagna diuntungkan. Mereka tidak perlu membuang uang lebih untuk mencarikan makan tunggangannya. Tentu saja dengan syarat menutup mata dan mengunci mulut terkait fenomena orang-orang mati itu.

Mayoritas pengendara tidak memperdulikan hal itu. Mereka diam karena pembunuhan masal itu tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Sebuah simbiosis mutualisme; di sana pulalah hubungan mereka berhenti. Hanya saja, Kres pernah menjadi seseorang yang Orenda buang. Mau tak mau rasa takut dan dendam masih bersemayam di hatinya.

"Kenapa ada seorang rider di sini?" tanya salah seorang sosok bermasker gas itu, "Bukannya semua pengendara sudah dibilang tidak perlu datang ke tempat bernama Haven ini lagi?"

"Di mana pagnamu, wahai pengendara?" tanya sosok bermasker gas lainnya, "Seorang pengendara tanpa tunggangannya...ganjil."

"Dia di bawah," jawab Kres, meminta penjelasan lebih mengenai apa yang terjadi dengan Haven; bagaimana bisa kota kecil itu hancur.

Alih-alih menjawab, pria bermasker gas itu saling tatap, dan bertanya waspada, "Bukankah sudah mendapat suruhan dari atas agar para rider tidak perlu datang ke Haven lagi? Informasi itu sudah seharusnya menyebar ke seluruh rider kan?"

Kres menyipitkan mata. Jika memang ada pemberitahuan mengenai penutupan jalur, Kres pasti mendapatkan informasinya. Lagipula, ia pergi dari Floor tidak lebih dari dua belas jam dan untuk menjalankan sebuah protokol baru biasanya membutuhkan waktu satu hari penuh. Orang-orang Orenda tidak akan peduli apalagi menyebutkan atasan-atasannya baik di Floor maupun pusatnya di Watchend.

"Siapa kalian?" tanya Kres, menyadari ada yang ganjil dengan keberadaan mereka. Apa yang terjadi setelahnya, tanpa memberikan penjelasan lebih, kurang lebih adalah reaksi yang menjadikan Kres berada di klinik Dee dan Kei sekarang.

Kres meringis lagi, mengakhiri ceritanya, "Aku sama sekali tidak melihat King dalam perjalanan ke sini. Mereka bilang mereka tahu hal-hal yang kita ketahui dan memintaku membawa mereka pada kalian, Dok."

Dee dan Kei saling tatap. Sementara Dee menutup mulutnya dan fokus mengobati Kres, dokter berambut perak itu menyeringai lebar.

Ia berjalan ke kabinet terdekat, mengeluarkan sebuah kotak penuh dengan alat-alat yang Raka tak ketahui namanya. Ia pun mengambil meja dorong berkaki tipis dengan baki di atasnya. Sembari bersiul, Kei menjajarkan benda-benda itu di atas sana, sesekali mengarahkan benda-benda itu ke lampu.

"Kau ngapain sih, Dok?" tanya Raka heran. Ibu jarinya digerakkan searah jarum jam pada punggung Indhira, menenangkannya.

"Dia bilang, dia ingin bertemu kita 'kan? Jadi ya, ini dia, 'bertemu'. Dia bilang, dia tahu hal-hal yang kita ketahui? Bah, kita lihat saja sejauh mana dia tahu hal-hal itu. Jika dia sudah tidak berguna, tinggal akhiri saja hidupnya. Semudah itu."

"Dokter itu...kejam ya," celetuk Raka.

"Sekarang, mau itu manusia, bukan manusia, bahkan hewan sekalipun; hidup atau mati, hampir tidak ada bedanya." Ujar Kei, "Kau bilang aku kejam? Coba ngaca, kau pun hampir membunuh orang ini kalau tidak kuhentikan tadi."

Raka tertegun. Kei ada benarnya juga. Namun, Raka pikir tidak masalah menghabisi nyawa orang untuk melindungi orang lain. Ia tidak merasa salah; perjalanan ini mungkin telah mengubahnya. Pikirannya teralihkan ketika Indhira menarik ujung kaos Raka, mengisyaratkan untuk keluar dari ruang inap klinik itu.

Melihat Dee, Kei, dan pengendara itu sibuk dengan kepentingannya masing-masing, Raka mengangguk; meninggalkan bunyi klik pelan saat pintu tertutup. Di ujung lorong menuju ruang tunggu, keadaan klinik itu masih kacau balau. Dua tubuh tak bernyawa tergeletak di sana dengan genangan merah yang mulai menyeruak bau amis. Raka memposisikan Indhi agar berdiri membelakangi pemandangan mengerikan itu. Indhi sudah mengalami banyak hal; membuatnya panik dan frustasi adalah keinginan terakhir Raka.

Sebutan namanya membuat konsentrasi Raka kembali pada Indhi. Di samping kecemasan dan ketakutan yang tergurat di wajahnya, perempuan itu berkata lirih, "Makasih, Ka."

Raka terdiam, mengerjapkan matanya berkali-kali. "Aku cuma kebetulan tepat waktu. Telat sedikit saja, mungkin aku akan kehilangan dirimu."

Indhi mengulurkan tangannya, memegang pipi Raka. Sentuhannya terasa lembut, membuat hati Raka sedikit mencelos, "Makanya aku berterima kasih."

"Tidak. Jangan. Jun meninggal karena aku terlambat."

"Sekarang kamu malah menyalahkan diri sendiri. Itu bukan salahmu!" Indhi menurunkan tangannya, seutas senyumnya pun hilang. Perkataannya penuh kekhawatiran, "Bagaimana kamu bisa datang ke sini? Kukira kamu mencari jawaban atas kematian Jun?"

"Ya. Ya. Ada beberapa jawaban, tapi masih banyak kepingan puzzle yang belum ditemukan. Lagipula, ceritanya panjang. Intinya, aku mencari Nova dan pintunya membawaku ke sini."

Indhi memiringkan kepalanya, "Pintu? Pintu apa? Dee dan Kei juga menceritakan tentang pintu saat Nova berada di sini."

"Apa pintu yang disebut oleh Kei sama dengan pintu yang dimaksud oleh para raksaka?" tanya Raka.

Indhi mengangkat bahu, "Entahlah, tapi sepertinya tidak."

Perempuan itu menjelaskan bahwa dalam kisah Kei, Flint pun kurang lebih menanyakan hal yang sama. Jika para raksaka menjaga pintu-pintu itu agar tidak dimasuki sembarang orang, pintu ini terlepas dari itu semua. Jika beruntung, siapapun dapat memasukinya entah membawa tubuh kita ke dimensi sebelah mana.

Mungkin itu sebabnya Masou menghilang, pikir Raka.

"Waktu itu mereka bertemu dengan seseorang bernama Hacket. Dia menemukan sebuah pintu yang membawanya ke Permukaan Atas dan menganggap bahwa dunia itu adalah dunia yang paling indah yang pernah dia temukan. Tujuh tahun yang lalu, jumlah patcher tentu saja tidak sebanyak sekarang dan Hacket ingin membawa mereka kembali pulang."

"Jadi, Orenda sudah melakukan hal ini sejak tujuh tahun yang lalu?" Raka baru menyadarinya.

"Bahkan nampaknya jauh sebelum kita lahir. Sedih ya? Bahkan sebelum kita lahir ada saja orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya. Kukira di masa itu, dengan kondisi yang lebih baik dari sekarang mereka akan merasa jauh lebih...senang?"

Raka mengangkat bahu. "Mereka ya mereka; kita ya kita. Aku tidak bisa bilang dulu lebih baik daripada sekarang."

Indhi memandangi Raka sejenak; mengangkat bahunya. Melanjutkan obrolan mereka sebelumnya, perempuan itu menceritakan apa yang Flint inginkan dari Hacket dan juga akses yang ia miliki ke Permukaan Atas: menggulingkan Orenda.

"Akan tetapi, dia tidak bisa semena-mena menggulingkan Orenda dengan bar-bar. Orenda sebuah perusahaan besar; menyangkut hidup banyak orang pula. Dia tidak mau menghancurkan sesuatu untuk kepuasan pribadi saja. Ia mau memberikan solusi; sebuah substitusi ruska sehingga tidak perlu mengumpulkan dan bermain dengan nyawa orang-orang yang tidak berdosa."

Flint membutuhkan massa untuk mengubah stigma, pola pikir, bahkan bagaimana Floorian bertingkah laku. Area Lingkar Dalam yang dipenuhi oleh kalangan menengah ke atas bisa jadi merupakan area kota yang paling aman, tapi sesungguhnya tidak juga.

"Ingin jadi pahlawan dengan membuat huru-hara ya," Raka menyimpulkan, "Tapi, sekarang orang itu menghilang kan? Bagaimana dia bisa mendelegasikan misinya?"

"Tato di punggung Nova," jawab Indhira, "Simbol dan kode yang tertera di sana sangatlah rumit, untungnya Kei menemukan hari di mana Flint akan menjalankan operasi terakhir itu. Kei dan Hacket pun mempunyai tato yang sama di salah satu bagian tubuhnya."

Raka menarik napas, menyandarkan tubuhnya di dinding. Semakin lama ia menyelam, sulur yang mengikatnya terasa semakin erat saja, "Kamu pikir, kematian Jun ada kaitannya dengan ini semua?" tanya Raka pada akhirnya.

"Kenapa kamu jadi ragu?" tanya Indhira, "Kamu sempat yakin bahwa kematian Jun ada hubungannya dengan ini semua kan?"

"Ya, tapi aku tidak menemukan jawaban dari kenapanya. Kenapa Jun mati? Apa yang dia lakukan? Apa yang dia dengar? Apa yang dia lihat?"

Menyipitkan mata, Indhira berkomentar, "Kamu datang sejauh ini, tapi enggak memikirkan alasan itu lebih jauh lagi? Kamu enggak berubah ya, Ka."

"Berisik," cibir Raka sedikit tersinggung akan candaan temannya itu.

Petunjuknya selama ini hanyalah botol ruska dan secara impulsif ia mencari tahu mengenai asal stimulan itu. Ya, Raka menemukan jawabannya. Raka pun mengungkap fakta-fakta yang sebaiknya ia tidak perlu tahu; mau tak mau membuatnya menjadi sebuah pion yang entah dimainkan oleh dalang yang mana. Bisa-bisanya Raka melupakan hal krusial ini. Apa motif di balik kematian Jun? Kenapa Jun sampai terbunuh —jika memang ia dibunuh.

Raka merengut, meraba dagunya yang mulai ditumbuhi janggut. "Menurutmu apa yang bisa membuat seseorang terbunuh?"

Indhira memiringkan kepala, "Kecelakaan?" tanya perempuan itu.

"Enggak, enggak. Jun meninggal bukan karena kecelakaan," Raka terdiam sejenak, "Kecuali, dia tidak sengaja melihat sesuatu atau mungkin mendengar suatu hal yang tidak boleh ia ketahui. Menurutmu itu mungkin enggak?"

"Entahlah, sepertinya kata 'mungkin' itu sudah enggak bisa dipakai lagi," Indhira menyilangkan lengannya, "Tapi aku tidak tahu pendapatmu itu benar atau salah. Memangnya tidak ada kemungkinan lain? Kamu sudah mencari tahu semua alternatifnya?"

"Aku berusaha, Dhi, tapi sesungguhnya aku banyak mendapat informasi yang enggak ada hubungannya dengan Jun," Raka melirik tubuh-tubuh tak bernyawa itu, terbesit segala pengalamannya di Antarkasma. "Ujung-ujungnya ini bukan sekadar kematian Jun."

Ruska, Orenda, Flint, Makhluk-makhluk Yang Terlupakan, Raksaka, Nova, juga dirinya ternyata merupakan bagian dari kumpulan puzzle itu. Para Raksaka mengawasi dan menjaga Raka, bahkan sebelum ia bisa berjalan. Mereka bilang, mereka membuat janji. Bagaimana jika Raka adalah jaminan antara raksaka dan siapapun itu yang membuat perjanjiannya?

Mungkinkah dia dibunuh oleh para raksaka jika orang itu tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik? Untuk apa? Menggulingkan Orenda? Jangan-jangan Jun meninggal karena mengetahui suatu hal yang berhubungan dengan dirinya?

Berdecak, ia tidak mau memikirkan lebih jauh lagi. Kerutan di dahinya semakin dalam. Sial, semuanya akan lebih mudah jika ini semua tidak terjadi. Tapi apa yang akan Raka lakukan? Menjalani kehidupannya kuliahnya yang itu-itu lagi? Dia nampaknya akan mati dalam kebosanan.

Pikirannya teralihkan ketika mendengar suara hentakan lantang dari ruang rawat pasien. Ruangan digelapkan dengan sebuah lampu sorot diarahkan ke pria yang baru sadar itu. Sosok pria bermasker gas yang diikat di kursi tampak terkejut dan berontak Masker gasnya dibuka, menampilkan kantung matanya yang legam serta pupil yang mengecil. Wajahnya pucat —nyaris biru bahkan—, tampak tegang, dengan kerutan penuh keresahan. Mulutnya terikat kain, menahan suara yang keluar. Meskipun bibirnya tampak pecah-pecah dan kering, kain yang menutup mulutnya terlihat basah oleh air liur. Panik, marah, bingung sulit dibedakan dari ekspresi orang itu.

Berada di hadapan pria asing itu, Kei duduk di depannya dengan mulut terkatup rapat. Membiarkan dia kehabisan energi dengan suara yang teredam dan gerak tubuh yang tak leluasa. Sepuluh detik berlalu, pria itu terengah kehabisan energi. Pandangannya beralih dari sosok Kei ke ruangan yang ia tempati.

"Tawanan? Cih, kenapa kalian tidak bunuh saja aku?" ucap orang itu setelah Kei membuka ikatan pada mulutnya.

Kei menyeringai, "Bunuh? Enak saja. Banyak hal yang harus kulihat dan kau jawab sebelum aku mempermainkan hidupmu." Pria berambut perak itu mengambil senter kecil dari sakunya, memutar di tangannya sembari berjalan mendekati sang tawanan.

Tatapan penuh kedengkian orang asing itu berikan pada Kei namun sang dokter tidak menghiburnya. Alih-alih, Kei mengarahkan senter yang ia pegang pada matanya, membuat ia mendesis dan mendelik sekaligus.

"Mata merah, pupil mengecil, bibir kering, kesabaran bersumbu pendek...," dokter itu bergumam, mendeskripsikan dan menganalisa fisik pria itu. Tak lama ia tertawa, melengking bagaikan seorang maniak, "Ha! Setelah bertahun-tahun berurusan dengan para patcher, ternyata orang-orang Orenda itu melakukan hal biadab lainnya juga!"

Raka yang sedari tadi berdiri di ambang pintu hanya memerhatikan Kei bermonolog, seolah-olah tengah bermain peran di atas sebuah panggung sandiwara yang hanya ia sendiri bisa pahami alur ceritanya.

"Masker ya, masker! Kukira mereka sok elit dengan tidak mau menghirup udara yang sama, tapi ternyata hanya untuk menutupi wajahnya yang sudah rusak ini. Ha-ha!"

Orang itu geram sementara Kei tetap sibuk mengutarakan isi kepalanya. Melihat tingkah laku rekannya itu, Dee menanyakan hal yang ingin ditanyakan semua orang, "Ada apa Kei? Kenapa sehisteris itu?"

"Kau enggak bisa lihat, apa, Dee?!" Kei menyugar rambutnya, "Orenda tidak memberinya ruska, alih-alih reptilium mentahan! Lihat apa yang terjadi dengannya, wajahnya yang rusak ini hanya ditutupi oleh masker gas saja. Berapa banyak antek-antek Orenda yang menggunakan masker gas? Kenapa harus reptilium; bukan ruska? Siapa yang memberikanmu reptilium?"

Mendekatkan wajahnya ke pria itu, Kei disambut dengan geraman. Ia menaikkan dagu orang itu, mengamati lagi tanda-tanda medis. "Kau ini bekerja untuk siapa?" desisnya, "Ceritakan semuanya."

Orang itu meludahi Kei, menolak menjawab, "Bunuh saja aku."

Mengusap wajahnya, seringai Kei semakin lebar, "Oh, enggak perlu khawatir. Aku akan melihat isi kepalamu seperti apa kok."

Menghela napas, Dee menggaruk bagian belakang kepalanya. Rekannya itu tampak memaklumi tingkah laku Kei yang sedikit tidak manusiawi dibandingkan biasanya.

Indhi, tampak khawatir, berbisik, "Kei enggak apa-apa?"

"Oh, Kei seperti ini bertahun-tahun yang lalu," ujar Dee tenang, "Cuma ilmuwan sinting yang hobi bedah kepala orang. Kalau kamu tidak suka darah lebih baik jangan di ruangan ini, Dhira."

"Kurasa aku sudah cukup melihat orang mati hari ini," Indhi menarik napas, "Tapi situasi di luar juga tidak enak untuk dilihat...."

"Biar aku temani ke atas," Kres menawarkan diri, "Aku butuh minum."

Kala pintu tertutup, kala yang sama juga terdengar jeritan si antek Orenda itu. Dia meraung, sakitnya tak tertahankan. Entah apa yang Kei lakukan terhadap orang itu, Raka tidak bisa melihat dengan jelas saat tubuh Kei yang menutupi pandangannya.

"Kukira kau tidak suka dengan pemandangan seperti ini," ujar Dee dengan pandangan tetap ke arah Kei.

"Kebal?" Raka mendengus, mengangkat bahu, "Kalau aku enggak bisa melihat hal seperti ini mana bisa aku melihat hal lain yang lebih parah lagi? Dunia ini sinting, begitu pula dengan dunia yang lain."

"Dunia yang lain?" Dee tampak penasaran. Terdengar lagi jeritan orang itu serta Kei yang tertawa

"Antarkasma."

"Kau pernah ke sana?" mata Dee melebar, memberikan seluruh perhatiannya pada Raka. "Bagaimana rupanya?"

Raka menggeleng, "Kacau. Ibaratnya mungkin seperti muntahan kucing," mengabaikan wajah kebingungan Dee atas perumpamaan yang diberikan Raka, pemuda itu melanjutkan, "Kau pasti tahu suatu hal mengenai perjanjian yang dibuat oleh raksaka 'kan?"

"Sedikit," jawab Dee namun penjelasannya tidak begitu menghibur Raka. Ia hanya menceritakan apa yang sudah ia ketahui dari Indhira: alternatif ruska maupun reptilium dan cara menutup pintu. Tidak kurang, tidak lebih. Tidak ada hal mengenai Raka, tak ada hal mengenai teka-teki dan janji yang disinggung Celene. Berdecak, pertanyaan yang masih bersemayam di kepalanya ini tak kunjung terjawab.

"Apa?" tanya pria itu melihat gelagat gelisah Raka.

"Kau masih ingat temanku yang meninggal?" mendapati anggukan dokter itu, Raka melanjutkan, "Kukira ini hanya sekedar mati karena ruska, tapi nampaknya lebih dari itu. Semua ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan. Semua hal yang kutemui saling berkaitan, tapi di sisi lain tidak bisa menemukan alasan spesifik kenapa Jun yang meninggal dunia."

"Kau ingat bagaimana dia meninggal?" Dee bertanya kritis sekali lagi, "Sobatmu itu tidak diautopsi, Hiraka. Kau bisa menjelaskan hal yang lebih spesifik lagi, tidak?"

"Apa maksudmu, Dok?"

"Mengonsumsi ruska bisa mencabut nyawamu, tapi tidak secara instan. Kau bisa mati, tapi sebenarnya membutuhkan waktu cukup panjang hingga hal itu terjadi. Umumnya efek samping itu baru timbul ketika dosis ruska di tubuhmu sudah terlalu tinggi, tapi sekali lagi, itu sangat jarang ditemukan. Secara teori, jika memang dia meninggal karena ruska, temanmu itu bisa jadi gagal jantung.

"Hal utama yang bisa kau lihat adalah pupil korban yang mengecil, bibir yang kering, serta mata dan kulit iritasi. Namun hal yang paling jelas adalah kulitnya akan berwarna biru."

"Pucat?" Raka memastikan.

"Bukan, biru," Dee berkata dengan tegas, "Keungu-unguan. Nova bisa jadi pucat, tapi dia tidak biru. Paham bedanya? Temanmu itu biru atau tidak?"

Raka menggeleng. "Lalu kenapa ada botol ruska di dekat tubuhnya? Bagaimana dia bisa meninggal? Tidak ada darah, tidak ada apapun. Seseorang pasti telah membunuhnya, tapi gimana?" Raka terdengar frustasi.

"Apa memang temanmu itu sudah meninggal?" Dee kembali bertanya.

Wajah Raka menekuk dalam; tidak mungkin Jun masih hidup. "Aku datang ke pemakamannya. Aku melihatnya dikubur. Itu tubuhnya, dan itu wajahnya. Bukan orang lain."

Dee memiringkan kepala, matanya masih terpaku pada sosok Kei yang masih menyiksa si antek Orenda. "Tapi, sekali lagi, tidak ada autopsi. Siapa yang bisa menduga kalau Jun yang dikubur adalah Jun yang kau kenal?" ucapnya datar.

Terhenyuk, Raka mendesis, "Jangan buat aku berpikir ke sana, Dok."

Tidak mungkin kan? Jun meninggal. Raka lihat prosesi pemakamannya dari awal sampai akhir. Ia lihat tubuhnya dikafani. Ia lihat semuanya. Jun sudah kembali ke tanah; dia tidak lagi hidup, dia tidak mungkin hidup.

"Kalau kau pikir tidak mungkin, apakah yang sekarang kau alami ini bisa diproses dengan nalar?" Dee sekali lagi bertanya. Sudut matanya beralih pada Raka, tatapan tajam pria itu menusuknya.

Sial.

Antek Orenda itu menjerit lagi, kali ini raungannya semakin keras; membuyarkan segala pikiran yang ada di kepala Raka. Kekehan Kei terdengar mengganggu. Ia tidak pernah melihat seseorang menikmati menyiksa orang lain. Di satu sisi, Raka pun sempat merasakan kenikmatan itu.

"Kalau kau enggak jawab, jarimu yang lain akan hilang."

Dokter sinting itu sudah mengambil ancang-ancang. Benda apapun yang tengah Kei pegang tampak tajam dan berwarna merah karena darah. Rasa ngeri yang melilit perut Raka disambut antek orenda yang meraung-raung minta berhenti, "Leprechaun! Leprechaun! Semuanya untuk tua bangka sial itu!"

Siapa?

*

//halo...er.. aku masih hidup. Kapan terakhir saya update? Dua bulan? Sebulan yang lalu? Saya aja sampe lupa. Di masa-masa vakum itu saya terus dapet notifikasi ada yang ngasi vote dan juga masukkin Floor ke reading list-nya masing-masing. Saya mah cuma mau bilang makasih banget dengan sepenuh hati. Antara kasian karena terjebak update yang lama, tapi saya-nya juga seneng ini cerita masih ada yang baca. Ehehe. Makasih ya, makasih lho. Sumpe.

Btw saya kasian sama Raka. Kalian kalo jadi Raka bakal gimana sih? Balik lagi ke Permukaan Atas seolah-olah tidak tahu apa-apa atau bunuh diri? ahahah. Yaudah gitu aja, sampai jumpa kapan-kapan ya :] //

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro