30th Floor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DERAP KAKI RAKA menggema di jalanan yang mulai sepi. Ia tidak peduli dengan segelintir orang memandangnya heran. Mungkin Raka sudah terlambat, mungkin juga tidak. Ia hanya mau memastikan apakah perkiraannya benar.

Jun masih hidup.

Jika ia beruntung, Jun mungkin masih berada di Giyarim. Jika yang dikatakan Nova benar, mereka akan bertemu di tempat apapun itu dengan sahabatnya sekarang. Mempercepat larinya, pemuda itu pun tiba di alun-alun kota.

Napasnya terengah, ia menyeka keringat yang menuruni kening. Kerumunan orang yang menyemuti area itu sudah tidak seramai tadi. Dua jam telah berlalu dan beberapa tenan sudah mulai menutup kios: kios tempatnya Jun membeli makanan tadi. Seorang perempuan di balik kios terkejut ketika Raka berlari ke arahnya seolah-olah hendak menerkam dan memakannya hidup-hidup.

"Maaf, kami mau tutup," perempuan itu tampak khawatir. Ia memegang tuas untuk menutup bagian depan kios dengan tangan gemetaran.

Raka menahan kanopi itu, "Jangan! Jangan! Jangan tutup tokonya! Saya cuma mau nanya satu hal!"

Perempuan itu tampak geram, ia bahkan naik ke atas kursi untuk menghalangi Raka, "Kalau kau mau tanya tentang bumbu rahasianya, tidak akan kami beri tahu!"

"Apa?" Raka mendelik, "Rasanya saja enggak enak, buat apa saya tanya bumbu rahasia segala?!"

"Apa katamu?!" pekikan perempuan itu menulikan Raka.

Tersentak, Raka tidak sadar bahwa perempuan itu mendorongnya menjauh dari kios. Di saat yang sama pula kanopi kios itu terayun dan mengenai kepalanya. Telinganya berdesing, pandangannya gelap sesaat dan Raka pun jatuh ke tanah.

Segala caci maki ia keluarkan dari mulutnya, tak peduli ada berapa orang yang mengelilingi dia serta menyaksikan keributan itu. Suara tinggi perempuan itu semakin mendekat, ia terdengar panik dan meminta maaf berkali-kali. Pandangan Raka sedikit kabur.

"Hei, kau enggak apa-apa?" suara laki-laki, langkah kakinya mendekat. Mengerjapkan mata berkali-kali, Raka sudah bisa melihat secara normal lagi, "Apa yang terjadi, Sayang?"

"A-aku tidak sengaja. Dia tiba-tiba lari ke arahku dan bilang kalau makanan kita tidak enak. Lalu...la-lalu...," suaranya mulai pecah.

Raka mengerang, menopang tubuhnya agar terbangun. Panas menjalar di kepala, beruntung kesadarannya tidak hilang, "Bukan, maaf, itu salahku," Raka mencoba menjelaskan, "Saya cuma mau bertanya sesuatu."

Perempuan penjaga kios itu sudah menutup tokonya dan membawa sebotol air dingin kepada Raka. Ia meminta maaf sembari memberikan minuman itu dan berdiri di belakang kekasihnya. Kebisuan di antara mereka membuat suasana semakin canggung.

Raka mengerjapkan mata, mengangkat botol air mineral itu tinggi-tinggi, "Makasih, sekarang aku jadi ingat mau tanya apa: Apakah kalian tadi melayani seseorang yang berambut cepak, lebih tinggi dariku mungkin sekitar 175cm, memakai jaket bomber hitam dengan dua garis putih di kedua tangannya?"

"Ciri-ciri orang itu terlalu umum, tahu. Kamu pikir kedai kami ini buka cuma sebentar atau bahkan enggak laku?" perempuan itu tetap ceriwis dan ngotot.

Raka mengerling, "Lupakan saja kalau begitu," ujar pemuda itu.

"Tidak, tidak, tunggu," kekasihnya tampak berpikir, "Ya memang deskripsinya terlalu umum, tapi aku melihat seseorang seperti itu. Yang membuat dia mencolok adalah kulitnya berwarna biru."

"Biru?" ulang Raka.

"Ya, biru. Selama dua hari terakhir dia selalu ke sini, membeli menu yang sama juga. Apa dia orang yang kau cari?"

"Kau tahu di mana dia tinggal?" tanya Raka.

"Tidak, aku hanya bertemunya dua kali," ujar pria itu lalu menunjuk jalan di mana Raka mengejar sosok itu tadi, "Tapi, dia selalu pergi ke sana setelahnya."

"Oke, terima kasih," Raka mencoba berdiri dan mencari kesimbangan, "Satu pertanyaan terakhir: apa seseorang dengan kulit biru sering dijumpai di sini?"

"Lumayan, tapi sekarang jumlahnya tidak sebanyak itu lagi. Kita tahu penyebab seseorang berkulit biru karena penyakit," laki-laki itu terdiam sejenak, "Ini pengetahuan umum, masa' kau tidak tahu?"

"Ha-ha, ya, saya lupa," jawab Raka, mengerjapkan mata, "Coba ingatkan saya, apakah itu disebabkan oleh konsumsi ruska yang berlebihan?"

"Ruska? Tidak...tidak. Kau tahu, dalam segala makanan selalu ada sedikit ruska di dalamnya dan itu membuat kita tetap baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk terjadi jika ada ruska."

Raka mendengus, tidak ada hal yang buruk jidatmu.

Kulit biru, huh, pikir Raka. Dee sempat mengatakan perihal itu. Jika meninggal karena ruska, ada kemungkinan mereka gagal jantung dan kondisi yang bisa terlihat langsung adalah kulitnya menjadi biru. Tapi, sosok itu masih hidup. Ini tidak masuk akal. Semua hal begitu kontradiktif. Sialan.

Raka bertemu lagi dengan persimpangan jalan buntu itu. Ia mengikuti jalan yang menjauhi plaza dan lagi-lagi jalan buntu. Berdecak, pemuda itu menaiki krat-krat kayu yang menumpuk di sudut jalan dan mamandang santreo kota dari atas atap.

Giyarim memang kota yang kecil. Di balik tembok buntu itu saja sudah terlihat lagi menara jam tempat mereka pertama kali masuk. Raka tertegun. Jika di balik foto Akbar adalah adalah titik koordinat, siapapun yang menulisnya pasti akan ke sana. Dan untuk ke sana sudah pasti—

Ia melompat turun dan berlari lagi, tak peduli bahwa rasa lelah di tubuhnya sudah hampir mendekati batas. Sekilas Raka melihat orang yang sama memandangnya heran. Beberapa di antara mereka bahkan berteriak mengomentari Raka yang dari tadi berlari mondar-mandir. Ia tak peduli.

Stasiun pemberhentian itu hampir kosong. Sebelum terhubung ke bagian bawah di mana para pagna tertidur dan jalur-jalur operasional lainnya, Raka hanya menemukan dua orang pendatang dan para pekerja shift malam. Tanpa pikir panjang, Raka lagi-lagi menyerbu petugas pertama yang ia lihat.

"Apa kau melihat seseorang berkulit biru datang ke sini?"

"Maaf?" petugas itu berusaha sopan meskipun wajahnya menyiratkan sebaliknya.

"Seseorang berkulit biru," ulang Raka, mengatur napasnya.

"Ini pusat informasi, bukan tempat pencarian orang hilang," jawab si petugas, memalingkan wajah, "Maaf tidak bisa bantu."

Raka mengerling. Perhatiannya teralih pada petugas kebersihan yang curi dengar. Ia mengangkat tangannya, dan mencoba membuka obrolan, "Aku melihatnya. Kulitnya begitu biru sampai kukira di mayat hidup."

"Bagaimana perawakannya? Apa kau ingat?" tanya Raka. Anggukan petugas kebersihan itu, membuat Raka membelalakkan matanya. Sontak ia mencengkram bahu petugas itu, "Cerita!"

Si pria petugas kebersihan terhuyung, ia mencengkram sapunya semakin erat; terlalu takut untuk mengutarakan pikirannya. Petugas kebersihan itu menjawab terbata, "Di-dia...lebih tinggi daripada dirimu dan ra-rambutnya juga lebih rapi dari dirimu. Dia membawa tas ransel besar, mungkin berisi perbekalan."

"Ka-karena kulitnya yang kelabu, aku tidak sadar kalau terus memerhatikannya," Tangannya menunjuk pada salah satu peron di salah satu persimpangan air mancur di bawah sana, "D-dia pergi ke sana!"

Raka mengikuti area yang petugas kebersihan tunjuk; orang-orang sudah mulai mengantre masuk ke dalam kereta dan takkan lama mereka akan pergi meninggalkan kota transit ini. Matanya terbelalak. Pemuda itu mengambil langkah lebar ke arah lift dan beruntung segera membawanya turun.

Tak peduli sekian banyak orang yang ia tabrak, Raka berlari mengitari air mancur menuju peron yang dituju. Seorang petugas memberhentikan Raka karena ia tidak memiliki tiket, "Aku cuma mau ketemu orang!"

"Tidak ada tiket, tidak bisa masuk," petugas itu sudah mengambil baton dari sabuknya, siap menghajar Raka jika ia membuat kerusuhan.

Menghela napas panjang, gelagatnya menunjukkan seolah ia bersiap untuk pergi. Tentu saja, dugaan penjaga itu salah. Raka menerobos mereka, menggunakan bahu untuk upaya bertahan. Raka kira para penjaga itu lengah. Dugaannya salah besar.

Pria-pria berotot dan berbadan besar itu meraih raka semudah mereka mengambil permen dari toples. Dadanya menghentak lantai, tangannya ditekuk di belakang, terkunci. Setelah rontaan Raka kian mereda, si penjaga memaksanya berdiri, mewanti-wanti agar tidak melakukan hal bodoh lagi dan membawanya menjauh dari peron.

Menatap petugas itu geram, Raka tahu bahwa Jun —atau siapapun dia— ada di peron itu. Dia pasti bisa mendengarnya dengan baik. Ketika penjaga itu perhatiannya teralihkan sejenak, Raka menarik napas dalam-dalam, berteriak senyaring yang ia bisa, "Jun!! Aku akan menemukanmu! Balik badan, kau, sialan!"

"Bocah ini," desis petugas keamanan, "Kalau kau membuat keributan lagi, kau bisa kami tahan. Paham?!"

Raka tidak mendengar. Matanya tertuju pada satu sosok pemuda sepuluh meter di hadapannya: berjaket bomber, membawa tas ransel besar; cocok seperti yang diucapkan petugas kebersihan tadi. Sosok itu menghentikan langkahnya menuju gerbong tepat Ketika Raka meneriaki nama Jun. Detik yang sama dengan peluit dibunyikan, sosok itu menoleh.

Tak tampak ekspresi apa yang pemuda itu tunjukkan. Raka hanya mau memastikan apakah benar sosok itu adalah sahabatnya yang ia kira sudah meninggal. Tetapi, para petugas keamanan itu kerap menariknya menjauh. Segala caci maki dan umpatan keluar dari mulut Raka dan petugas keamanan itu tidak menggubrisnya. Matanya terbelalak ketika sosok itu mengangkat tangannya yang terkepal, cukup lama sehingga Raka —di tengah-tengah kerusuhannya dengan para petugas itu— dapat melihatnya.

Ketika peluit kereta dibunyikan lagi, sosok itu sudah masuk ke dalam gerbong. Di satu sisi beban besar terangkat dari dadanya dan di sisi lain kepala pemuda itu bagaikan ditimpa ratusan batu bata bertuliskan kekecewaan. Petugas itu menariknya menjauh dari peron dan mendudukinya di depan air mancur.

"Sudah kubilang seharusnya pemeriksaan tiket dilakukan sebelum mereka naik lift saja. Yang begini bikin repot," gerutu petugas itu namun Raka tidak mengindahkannya.

Jun masih hidup. Jun masih hidup. Jun masih hidup, sialan!

Belum lima detik petugas itu mengalihkan wajahnya, Raka kabur dari pihak yang berwenang. Orang-orang berlalu-lalang hanya bisa mengernyitkan dahi, heran. Akan tetapi, petugas keamanan luntang-lantung mengejarnya, memecah malam yang tadinya sunyi menjadi hiruk pikuk karena ulah seseorang dari antah berantah.

Memasuki ruang penyimpanan, tergantunglah sebuah seragam jumper petugas kebersihan di balik pintu. Tong sampah dan perkakas kebersihan tersusun rapi, sebuah kartu nama juga tersemat pada seragam itu; membuahkan ide dari kepalanya.

Meski jantungnya berdegup kencang, Raka menahan seringainya ketika bisa melewati para petugas keamanan serta kebersihan begitu mudah. Dalam waktu singkat, dengan petugas keamanan yang masih mencari dirinya, Raka sudah berada di stasiun dan bersembunyi di mana para petugas kebersihan membuang sampah-sampahnya. Raka melepas jumper dan meletakkannya di atas tong sampah, berharap ada salah satu karyawan yang akan mengambilnya. Jika memang Giyarim salah satu kota transit terbesar, mereka seharusnya memperketat keamanan ini.

Memasuki kamar penginapan, pemuda itu mendapati Luke tertidur di lantai dan Kres telah terlelap dengan kacamata yang masih terpasang di wajahnya. Sementara itu, pintu penghubung kamar Nova terbuka lebar. Sosok Nova tidak terlihat mengisi kasur yang ada di sana namun derit pintu kamar mandi membuatnya tersentak.

Nova tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Gadis itu tidak menyadari Raka yang berdiri di ambang pintu, terlalu sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Mengenakan terusan di atas lutut berwarna putih, seluruh kulit pucatnya menunjukkan tato yang terajah di tubuhnya. Ia tidak menyadari keberadaan Raka hingga pemuda itu memanggilnya.

"Air panasnya pasti enak, ya?"

Nova mengerjapkan matanya, menyeka air yang menuruni pelipisnya, "Kukira kamu tidak akan kembali lagi."

"Kukira juga begitu," Raka kira jika sosok yang ditemuinya memang Jun, perjalanannya akan selesai di situ. Nyatanya, takkan ada kata 'selesai' dalam waktu dekat ini. Ia bersandar di ambang pintu, "Hei, Nova, apa kejadian yang paling tidak bisa diprediksi dalam hidupmu?"

Gadis itu menyampirkan handuknya di bahu, mengerjapkan matanya berkali-kali, "Otakmu ketinggalan di mana?"

"Lho, kenapa? Pertanyaanku serius!"

"Kau menanyakan itu padaku?" gadis itu menggelengkan kepalanya, berjalan ke arah tempat tidur dan berkata, "Usiaku tujuh belas tahun, Raka. Apakah kamu pikir wajar aku menjadi seorang buron? Apakah kamu pikir wajar mempunyai tato sebanyak ini di tubuhmu?"

"Tapi tatonya manis lho di tubuhmu. Kulit pucat dan tinta gelap itu membuatnya kontras, tahu," Raka berusaha menghibur, "Bagus."

Nova menyipitkan matanya, "Tidak! Maksudmu apa sih bicara itu?"

"Sori," pemuda itu mengikuti Nova dan duduk di ujung kasur. Raka tidak sadar bahwa gadis itu memandangnya dengan kerutan alis yang begitu dalam, "Kukira, melihat seseorang yang telah mati dan ternyata masih hidup adalah sebuah mukjizat. Kemungkinan besar Jun masih hidup."

"Jun? Alasan utama kamu datang ke sini?" Nova menarik selimut dan memeluk bantal, menumpu dagunya di sana.

"Orang-orang bilang aku menyangkal kematiannya. Tapi, mereka salah. Jun masih hidup dengan pemakaman atas namanya. Bahkan ada tubuh yang dikubur!" Raka mengerang melempar pas foto Akbar di atas kasur, "Kurang gila apa?"

Nova meraih pas foto itu, bergumam, "Dan dia memiliki koordinat ayahku.... Ada hal yang ingin kutanyakan padamu, Raka."

Raka mengedikkan dagu, mempersilakan Nova untuk melanjutkan. Belum sempat gadis itu berbicara, rautnya berubah lelah seolah-olah melihat suatu hal yang tidak diinginkan. Mengikuti arah pandang gadis itu, si Botak ternyata telah berdiri di ambang pintu, tersenyum miring."Selalu ada kesempatan dalam kesempitan, huh?" ujar Luke.

"Selalu ada anjing penjaga di manapun Nova berada, huh," balas Raka, "Kami cuma mengobrol."

"Dan aku cuma menonton kalian mengobrol," jawab Luke sembari menunjuk tempat Raka duduk, "Kau seharusnya tidak duduk di sana."

"Kau pun seharusnya tidur," kata Raka.

"Aku enggak akan tidur sampai berada di kasurmu sendiri. Tadi itu aku cuma pura-pura, tahu."

"Luke, aku sudah cukup besar untuk menjaga diriku sendiri," Nova mengerang, memposisikan bantal dan menarik selimutnya, "Kalau kalian mau bertengkar, terserah, tapi jangan di sini! Aku mau tidur."

"Dengar apa yang Tuan Putri katakan?" Raka beranjak dari duduknya; membasuh tubuh lalu mengakhiri hari.

Sejatinya, Raka penasaran apa yang hendak gadis itu tanyakan. Bahkan sejak di tempat makan tadi, nampaknya ada satu hal yang tertahan untuk disampaikan. Setiap bulir air panas yang membasahi rambut dan menjatuhi tengkuknya membuat segala kejadian hari itu menghilang sesaat. Ketika Raka mematikan kran pancuran airnya, pemuda itu bertanya-tanya kenapa pula tulisan di balik foto Akbar sama dengan koordinat di punggung Nova.

"Ayo, kita harus pergi," kalimat pertama yang Raka dengar saat ia terjaga membuatnya kebingungan. Matanya masih lengket, arwahnya masih menyangkut di dunia mimpi.

"Hah?" Raka terdengar bodoh. Nampaknya baru semenit yang lalu ia terlelap.

"Bangun, Bodoh," Kres mengusap wajah Raka dengan tangannya yang basah. Sontak, pemuda itu mengumpat karena terkejut.

Kres, Nova, dan Luke sudah berkemas untuk berangkat. Rasanya baru juga sekejap Raka memejamkan mata, kenapa belum-belum sudah harus terjaga lagi? Raka mengerang dan berguling ke samping, ingin meminta waktu lagi untuk tidur. Namun tentu saja rekan perjalannya itu tidak akan setuju.

Dengan mata yang lengket Raka berkemas, mengenakan jaketnya serta mencuci muka di wastafel. Karena penginapan mereka yang tak begitu jauh dari stasiun, meskipun fajar belum menyingsing, area tersebut sudah ramai dengan manusia. Orang-orang dengan banyak bawaan siap pergi menggunakan kereta maupun pagna. Para pengendara yang baru tiba dengan mereka yang hendak berangkat pun saling menyapa satu sama lain.

Di satu sisi Raka bersyukur bahwa petugas-petugas yang ia temui sekarang berbeda dan lebih sedikit dengan semalam. Setidaknya ia tidak akan tertangkap dan menghambat perjalanan ini. Mereka menuruni lift dan berjalan ke peron dengan Kres yang berada di depan. Semuanya tampak lancar ketika si pengendara memberikan tiket mereka. Namun tatapan seorang petugas keamanan tampak tajam ketika melihat Raka. Raka hanya tersenyum, semanis yang ia bisa, karena sekarang ia memiliki tiket dan petugas itu tidak memiliki hak untuk menangkapnya.

Bagaimana petugas itu melihat Raka rupanya mengusik Nova. Ketika mereka sudah masuk ke dalam gerbong dan duduk di dua pasang kursi berhadapan, gadis itu pun membuka mulutnya, "Petugas keamanan tadi nampaknya begitu sebal melihatmu, Ka."

Raka mengedepankan tas ranselnya, meraba dagu yang terasa kasar di jemarinya, "Semalam...yah, malam yang panjang."

"Aku tidak tahu kalau kau...ke arah sana," sahut Kresna tanpa berpikir panjang disambut dengan Luke yang mendengus, "Makanya kau masih pengen tidur ya? Sakit enggak sih?"

"Ha?" Raka mengerutkan alis dan menanggapinya bercanda, "Ya, semalam memang liar, sih. Pria-pria itu sangat kasar. Aku nyaris tidak diperbolehkan untuk keluar. Jika kurang cermat, pasti aku sudah diborgol dan akan diajak main sampai malam-malam berikutnya."

"Abaikan aku sudah bertanya," Nova memalingkan wajahnya yang merah.

Raka tertawa, "Kalau kau mengambil sudut pandang yang berbeda, sebenarnya itu semua benar. Aku hampir tertangkap karena mau menerobos peron ini demi mengejar sosok yang... aku sendiri enggak tahu dia seseorang yang kukenal atau bukan. Tapi, aku berhasil kabur dan terima kasih kepada Kres yang sudah membelikan tiket ini jadi...yah, begitulah."

"Kau berhutang banyak sekali padaku, Raka," ujar Kresna.

"Kalau aku tahu bagaimana caranya mendapatkan uang di dunia ini, hutangmu pasti kubayar!" Raka memeluk tas ransel dan memejamkan mata.

Meskipun begitu, tidur tidaklah mudah. Rekan perjalanannya tak lama pun mendengkur sementara Raka merasa perutnya bagai dikocok dengan garpu. Rak tak bisa tenang. Jendela kereta tampak kebiruan dengan fajar yang mulai menyingsing pun tidak bisa membuatnya lebih lega. Pemuda itu memejamkan mata sejenak dan kala ia membukanya, matahari telah melewati horizon, menampakkan cahaya keemasan yang tembus melalui jendela; menumpahkan warnanya pada Nova yang masih terlelap di hadapannya.

Raka tidak sadar bahwa Nova mewarnai rambutnya menjadi lebih gelap. Tidak lagi burgundi, tetapi coklat gelap. Cahaya keemasan yang mengenai rambut terkadang menunjukkan warna kemerahan dari hasil pengecatan rambut yang tidak merata. Ketika Nova tertidur, segala garis kegelisahannya lenyap. Nampaknya Raka tidak akan bosan memandangi wajah gadis itu lama-lama.

Luke terbatuk meskipun matanya masih terpejam. Menarik napas panjang, Raka berjalan menuju bordes, tak luput dengan satu kotak rokok di kantong celananya. Ia tidak peduli bahwa tidak diperbolehkan merokok. Apa yang ia pikirkan? Bahwa ini akan segera berakhir? Bahwa di saat ia bertemu Jun dia bisa pulang ke Permukaan Atas? Bukannya ia mau mengungkap kebenaran?

Raka tidak siap.

Setiap nikotin yang ia hirup serta asap yang ia hembuskan melegakan pikirannya. Belum-belum sudah lima belas menit berlalu. Membuang puntung rokoknya ke dalam kloset, Raka pun keluar dan mendapati Nova yang bersandar di dinding. Gadis itu melirik Raka dari balik bulu matanya.\

"Sori lama," Raka mengedikkan dagunya, "Pakai saja."

"Tidak, aku tidak mau ke toilet," Nova menarik lengan jaket Raka, "Aku...."

"Tentang kemarin 'kan?"

Gadis itu menggigit bibir; kerutan penuh kekhawatiran muncul lagi di keningnya, "Kertas. Secarik kertas," Nova merogoh kantong jaket dan mengeluarkan secarik kertas yang sudah menguning, "Di mana kau mendapatkan ini?"

Raka hampir lupa kalau ia menyimpan kertas itu di dalam dompetnya, "Klinik Dee dan Kei saat terpisah darimu; waktu itu aku bosan, membaca buku lalu kertas ini jatuh. Kupikir ini tentangmu —karena ada nama Kirana di sini. Ini tentangmu kan?"

"Ya, ini tulisan tangan ayahku, sama persis dengan catatan tentang tatoku," gadis itu tampak muram, "Kupikir Pa menyembunyikan lebih banyak hal lagi dari diriku dan mungkin hal ini ada kaitannya denganmu juga."

Gemas, Raka menyentil kening gadis itu, "Berhenti mengerutkan dahi seperti itu. Saat kau tidur, kau terlihat lebih tenang. Ini bukan beban yang harus kautanggung sendirian, tahu."

Wajah gadis itu memerah, mengusap keningnya sembari menunduk. Nova berkata lirih, "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tidak tahu harus cerita apa ke siapa...dan aku tidak tahu apakah siap bertemu dengan Pa nantinya."

"Sebagai permulaan," Raka melipat kedua tangannya, "Kau punya anjing penjagamu."

Nova terkekeh, "Luke bukan anjing! Dia punya...kondisi tersendiri."

"Begitu pula dengan kita. Kita di sini karena suatu alasan 'kan? Itu pilihanmu untuk menceritakannya pada siapa," Raka mengacak-acak rambut Nova, "Sudahlah, enggak usah banyak pikir. Lakukan apa yang kaupikir harus lakukan. Kalau mau marah, ya marah; mau nangis ya nangis; kalau mau menonjok seseorang ya tonjok saja."

Nova merapikan rambut, wajahnya masih memerah, "Ngomong sih gampang. Memangnya kau bisa menonjok ayahmu sendiri?"

"Kalau aku di posisimu, mungkin saja. Dia memperlakukanmu sebagai sebuah aset, membuatmu marah, dan tidak peduli akan tujuan hidupmu sama sekali,"­ Raka merunutkan satu persatu, "Dia mungkin tidak menganggapmu sebagai seorang anak. Aku mungkin akan membencinya sampai ubun-ubun."

Nova tampak muram, "Yep," gadis itu mengakui, "benar."

Ekspresi gadis itu membuat Raka sedikit khawatir, "Sori, enggak maksud membuatmu lebih sedih," ujar pemuda itu sambil menepuk kepalanya lagi.Ketika Raka tiba di kursi mereka, Luke menaikan alisnya. Melihat gelagat Luke, pemuda itu mengarahkan tangannya pada Nova, "Dia masih utuh! Percayalah sedikit," Raka menghela napas, "Kalian merasa kalau kereta ini tiba-tiba kosong enggak sih?"

"Normal kok," jawab Kres, mengambil botol minum, "Tidak ada yang mau pergi ke Ragni di pagi dan siang hari. Cuacanya terlalu panas —kecuali untuk penduduk asli sana. Masih ada empat jam lagi sebelum sampai tujuan dan akan melewati enam stasiun. Kau enggak lupa membawa perbekalan yang diminta kan?"

"Ada kok," jawab Raka.

"Bagus."

Empat jam terasa selamanya. Raka bisa saja tidur, tapi lama kelamaan suhu di dalam kereta terasa sangat panas seolah-olah AC tidak lagi berfungsi dengan baik. Berkali-kali ke kamar mandi untuk mengusap wajahnya dengan air pun tidak lagi berpengaruh banyak. Bahkan Ibu Kota kalah panas dengan tempat yang mereka tuju sekarang.

Stasiun demi stasiun sudah mereka lewati namun terasa semakin jauh. Penumpang semakin sedikit, bahkan gerbong yang mereka tempati sudah tidak ada orang lagi selain mereka. Raka bosan setengah mati. Perutnya kembung karena terhidrasi. Meski masih dalam satu gerbong, ia pindah dari satu kursi ke kursi lain dan membuat Luke terganggu dengan tingkahnya.

Pemandangan di luar jendela pun semakin suram untuk dipandang. Tanaman hijau berkurang, tanah semakin gersang, langit pun semakin menyilaukan. Raka sudah membuka jaketnya dari tadi dan tidak lama lagi, nampaknya ia juga akan membuka kaosnya. Begitu pula Luke, Kres, dan Nova, mereka pun telah menanggalkan lapisan terluar pakaiannya. Tak heran banyak orang yang tidak mau datang ke tempat bernama Ragni itu. Kereta yang membawa mereka saja tidak bisa menahan panas di luar.

"Ah, ternyata memang enggak mungkin," gumam Kres, "Kereta ini memang tidak pernah bisa mengakomodir perjalanan ke Ragni dengan baik."

Pemuda berkacamata itu meraih satu tas jinjing berukuran besar dan mengeluarkan gumpalan kain dari dalam dan membagikannya pada Nova, Raka, serta Luke. Kres berkata, "Ganti pakaian kalian dengan ini. Para rider memiliki stok jubah serta pakaian untuk suhu panas seperti di Ragni."

"Aw, kau perhatian sekali," komentar Raka.

"Aku cuma berpikir panjang," Kres menanggapi, mengedikkan dagunya pada Nova, "Jangan tinggalkan dia sendirian, oke? Kita tidak tahu apakah memang kita sudah benar-benar aman dari Orenda atau belum."

Rasanya aneh mengenakan pakaian dari Kres. Berwarna cerah dan terbuat dari katun, dalam segi fungsi baju itu terasa jauh lebih nyaman dan dingin. Lapisan terluar berupa jubah dan tudung, sementara bagian dalamnya adalah tunik serta celana katun lebar untuk kepentingan sirkulasi udara. Hanya saja, Raka memodifikasinya sedemikian rupa supaya memudahkan bergerak.

Ketika mereka bergantian mengganti baju, kereta sudah tiba di dua stasiun terakhir; empat puluh menit sebelum tiba di Ragni dan akhirnya mencari koordinat itu. Namun lamanya mereka di stasiun ini membuat Raka merasa awas.

"Apa kau pikir, keretanya berhenti lebih lama dari yang seharusnya?" tanya Raka ketika ia kembali dari gerbong lain. Rasa bosan yang menguasai, tidak dapat menahan keinginannya untuk mengelilingi gerbong dan menghitung jumlah manusia yang masih terangkut dalam kereta itu, "Sudah dua puluh menit keretanya berhenti, biasanya cuma lima."

Kres menyetujui. Raut wajahnya yang datar terus mengamati luar jendela, mengantisipasi keadaan apapun.

"Apakah orang-orang Orenda itu sudah sampai sini juga?" desis Nova, khawatir. Akan tetapi, tidak ada orang yang mau menjawab asumsi gadis itu.

Mereka tidak tahu. Berpikir optimis, orang-orang Orenda yang mengejarnya bahkan petugas border di Floor sudah mereka habisi. Tapi, secepat apa kabar bisa terbang ke sana ke mari? Apakah kerja mereka sudah serapi itu untuk menutupi jejak?

Tak lama, kereta kembali berjalan. Suara mesin serta rel yang beradu ditimpali dengan derap kaki yang kian nyaring di kereta yang nyaris kosong ini. Pintu menuju gerbong terbuka dan masuklah tiga manusia. Warna pakaian yang nyaris sama tak membuat mereka merasa lega. Perawakan besar dengan senjata api di tangan serta helm dan masker gas yang menutupi wajah secara penuh membuat mereka waspada. Raka memelototi ketiga orang itu berjalan mendekati kursi Nova.

Tangan pemuda itu otomatis memegang belati yang disematkan di pinggang ketika mendengar salah seorang di antaranya berkata sangat pelan namun siap mencabik jika diperlukan, "Kau Nova Sarojin 'kan? Aku datang untuk menjemputmu."

*







//Halo! Ternyata chapter terkahirnya panjang dan akan dibagi dua. Hahaha. Maap. Oya, cuma mau ngabarin kalau diriku membuat project nulis menanggapi pandemi ini bersama teman-teman di luar watty. Silakan mampir ke profil ku dan cari cover ceritanya yang ini

udah, gitu aja. Makasih banyak sudah membaca yaa! Jangan lupa berikan bintang juga. Aku padamu selalu hueheuehue. Luv luv luuv//

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro