6th Floor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KEPINGAN KENANGAN mengenai dirinya dan Indhira kembali ke permukaan. Dadanya sesak. Ini kali pertama Raka mengecup lembut bibir perempuan itu. Ia merasa bersalah karena telah mengatakan hubungan mereka sebatas pertemanan. Akan tetapi, jauh di lubuk hati terdalam, tidak akan ada kata 'biasa saja' jika sudah terlalu dekat dengan seorang gadis.

Raka kembali memeluk Indhi, membelai rambutnya yang terasa halus di jemari. "Aku enggak ingat kau hilang Dhi. Apa gara-gara aku?"

Indhira menarik tubuhnya, menyeka air mata yang menggenang, "Bukan. Bukan kok."

Ia melepas pelukan Raka dan duduk di pinggir teras, membiarkan kakinya menggantung di antara sela-sela jeruji. Raka duduk di sampingnya, menyandarkan keningnya pada pagar besi yang terasa dingin.

Perempuan itu menggenggam jeruji pagar, menyusun kata-kata, "Meskipun sudah dua tahun, tapi.... Kamu ingat ibuku sudah meninggal 'kan?" Raka mengangguk, perempuan itu melanjutkan, "Ayah tiriku, melihatku dengan tatapan yang berbeda semenjak mama meninggal."

"Maksudmu?"

"Dia menyentuhku," jawab Indhi. Raka hanya bisa mengerutkan alis meminta keterangan lebih lanjut. Gemas, Indhi berkata, "Kenapa kamu enggak pernah peka sih? Dia menyentuhku seperti kau menyentuhku!"

"Apa?" Raka terdengar bodoh; tidak tahu apa yang mesti dikatakan. Memikirkan seorang ayah mencium anaknya ke arah sana membuat Raka bergidik geli, bahkan jijik. "Ew, sakit. Terus kau kabur? Enggak mencoba cerita hal itu ke siapapun?"

"Ke siapa, Ka? Kamu? Iyas? Yang bener aja? Walaupun aku cerita, toh kalian enggak bisa berbuat apa-apa," suara Indhi sedikit meninggi.

"Kau bisa...tinggal dengan kami," ujar Raka sembari merapatkan jaketnya.

"Ya? Tidak semudah itu," Indhi balik bertanya, "Bayangkan kamu ini perempuan dan berada di posisiku. Apa yang akan kamu lakukan?"

Apa yang akan Raka lakukan? Mudah melakukan apapun karena ia laki-laki. Namun bagaimana seorang perempuan bersikap? Mereka bukan lagi anak SMA yang bisa dibantu guru untuk setiap masalah. Tidak mungkin juga dia bercerita ke dosennya 'kan? Menjelaskannya ke seluruh teman di angkatan? Bisa-bisa hal ini malah jadi bahan gunjingan. Membawanya ke polisi? Psikolog? Raka tidak punya kenalan yang bekerja di bidang itu. Semua hal yang Raka lakukan mungkin hanya akan memperkeruh keadaan.

"Aku enggak tahu," gumam Raka, menyerah.

"Makanya Ka, aku enggak punya pilihan selain kabur," ucap perempuan itu. "Aku mencoba memotong nadiku. Aku enggak bisa. Aku benci rumah itu dan kabur. Seseorang memberikanku selembar pamflet, menawarkan 'kehidupan baru'. Bukan pilihan bagus, tapi aku terlalu frustasi untuk berpikir."

"Lalu kau dibawa ke 'kehidupan baru' di Orenda dan keberadaanmu lenyap?"

Indhira mengangkat bahu, "Mungkin. Aku enggak paham."

Indhi berkisah kala ia kali pertama datang ke Floor. Ia kira perempuan itu akan datang sendirian, nyatanya lebih dari sepuluh orang berkumpul di tempat yang tertera pada selembaran itu. Bulan tak penuh, dan hujan mengguyur sepanjang hari. Wajah-wajah yang muncul di sebuah gudang senjata yang tak lagi tak terpakai bukanlah wajah mencurigakan layaknya kriminal, melainkan mereka yang tampak kehilangan semangat hidup bagaikan bunga layu.

Mereka diminta untuk berbaris dua banjar dan menunggu hingga seorang pria berhidung bengkok datang dan memberikan introduksi. Selamat datang pengalaman baru, katanya, selamat tinggal masa lalu. Benar-benar slogan yang norak, pikir Indhi. Namun iming-iming dunia baru di benaknya membuat ia sangat ingin pergi dari sana secepat mungkin.

Bersama belasan orang sisanya, Indhira memasuki sebuah ruang yang ia kira adalah gudang. Rasa sedikit kecewa muncul karena tempat itu tidak seperti sebuah wahana dalam pikirannya. Banyak pintu menuju ruang lain hingga ia tidak tahu menahu lagi mengenai keberadaannya. Gudang itu terasa lebih besar. Sebuah ritual kecil ia lakukan atas permintaan seorang rekan si hidung bengkok: meminum satu sloki cairan yang ia kira adalah alkohol —terlalu kental, terasa seperti obat batuk, dan tidak enak untuk disebut alkohol. Tak lama ia hilang kesadaran dalam waktu entah berapa lama.

Ketika Indhi terjaga, situasi di hadapannya bagaikan mimpi. Ibunya masih hidup, berdiri sembari tersenyum lembut; membuat Indhi sontak menangis. Ia tidak tahu apakah ini mimpi atau ia benar mati. Ia hanya bisa menikmati masa-masa yang takkan bisa lagi dinikmati dua kali: tak ada ayah tiri, hanya dia dan ibunya yang menyambut pagi. Saat itu ia tidak bisa membedakan yang mana realita. Ia hanyut ke dalam bayang-bayang indah dalam dunia itu. Sebuah dunia utopis, dunia yang ideal.

Indhi terdiam cukup lama, beberapa kali melihat Raka dari sudut mata. Namun mulut pemuda itu terkatup rapat, tetap diam memandangi Indhira. Perempuan itu melanjutkan, "Tapi, suatu hari mendadak gelap seperti mati lampu. Tak ada mama, tak ada kehidupan ideal itu lagi, dan aku tidak bisa melakukan apapun. Rasanya lemas, seperti habis donor darah, tetapi dengan cara yang salah."

Sensasi dingin menjalar dari tulang punggungnya, membuat Indhi terlalu lunglai untuk menggerakkan segala sendi. Ia kira ia benar mati. Jujur saja, ia sudah siap untuk melihat sang maut. Otot kecilnya memakai tenaga yang tak seberapa, tak bisa membedakan yang mana yang di balik kelopak mata maupun yang ada di hadapannya. Ruangan terasa hangat dengan hembusan napas orang-orang di sampingnya. Ketika ia mencoba untuk menoleh, ada sesuatu yang menahan tengkuknya: sebuah selang yang menempel di bagian belakang lehernya. Berat dan tak nyaman, terasa dikekang.

"Kamu tahu itu apa?" pertanyaan Indhira dijawab dengan gelengan singkat, "Itu pipa, selang, apapun. Benda itu menyedot entah apa pada diriku ini dan aku tidak bisa bergerak."

"Lantas bagaimana kau sampai sini?" tanya Raka penasaran.

"Saat listrik mati, aku tidak bisa melihat apapun. Anehnya tak ada pula suara orang-orang panik karena kejadian itu. Terlalu hening, terlalu mencekam, terlalu mengerikan," sepuluh detik ia terdiam sebelum melanjutkan, "Tapi saat itu aku melihat cahaya —bukan, bukan cahaya ilahi, mungkin senter— aku berusaha memanggil orang itu, tapi suaraku terlalu parau. Untungnya dia menghampiriku."

"Siapa?"

"Entahlah, dia tidak banyak bicara. Waktu kutanyakan itu pada Dee, dia mendeskripsikannya sebagai otak dari permainan yang sedang berjalan. Berkacamata dan matanya tampak sayu. Dia mengarahkan senternya padaku dan membantuku untuk pergi. Ia memotong selangnya, membawaku ke sini ke tempat Dokter Dee dan Dokter Kei. Aku tidak begitu ingat secara rinci apa yang ia bicarakan. Dia bilang dia ingin menghentikan segala kegilaan ini. Singkat cerita aku tinggal di sini sejak saat itu."

"Kau enggak mencoba untuk pulang?"

Indhi mendengus, "Dengan orang itu di sana? Enggak, makasih."

Perempuan itu membaringkan tubuhnya di atas lantai, memandang langit malam. Suaranya mengecil saat ia berkata, "Tetapi sesungguhnya aku pernah mencoba pulang. Dokter Dee membantuku, bahkan menemaniku. Aku pergi ke kontrakanmu, Ka. Iyas yang membukakan pintu, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak kenal denganku dan menganggapku orang gila. Rasanya menyedihkan. Makanya aku lebih memilih tinggal di sini, memulai hidup baru."

"Dan melupakan teman-temanmu di sana?" tanya Raka.

"Kalian yang melupakanku, Raka. Dan hal itu terjadi karena aku pergi ke tempat bernama Orenda itu —setidaknya itu yang dijelaskan oleh Dokter Dee. Entah zat apa yang masuk ke dalam tube itu. Dia mengekstrak dopamin dan menyerap memori-memori yang muncul lalu," Indhi mengangkat tangannya, "eksistensiku lenyap."

"Huh," Raka terheran-heran. Ia ikut berbaring, merapatkan kembali jaketnya. Udara dingin malam itu terasa kering dan sangat menusuk tulang, namun suasana hening seperti ini memudahkannya untuk berbicara panjang lebar. Ia mengingat lingkaran berwarna gelap kecil di tengkuk Indhi dan menanyakan hal itu padanya.

Indhira menjawab, "Marka itu tidak bisa hilang. Aku sudah lelah untuk mencoba menutupinya dengan apapun kecuali syal. Tetapi setidaknya, aku satu di antara mereka yang selamat."

"Di Huva Atma aku melihat mayat —orang, entahlah— yang mempunyai tanda seperti itu di bagian belakang lehernya dan kau bisa saja berakhir seperti itu?"

Indhira mengangguk.

"Gila apa."

Tempat bernama Floor ini benar-benar sinting. Sebagian pertanyaannya telah terjawab, hebatnya malah menimbulkan pertanyaan baru. Ia tidak bisa berlama-lama lagi untuk istirahat, diam bukanlah nama tengahnya.

"Apa yang terjadi dengan temanmu?" tanya Indhi memecah lamunan Raka. "Kamu bilang temanmu meninggal. Apa aku kenal dia?"

"Jun. Kau masih ingat, Dhi?"

"Jun? Jun Mahardika?" tanya Indhi tidak percaya, ia kini bertumpu dengan satu lengan, menatap Raka dengan mata terbelalak, "Bohong 'kan?"

"Aku menemukan jasadnya," jelas Raka, "wajahnya sudah kehilangan warna."

Pemuda itu mencoba memaparkan segala hal yang ia tahu mengenai kematian Jun meskipun bisa dibilang sangat sedikit. Petunjuk satu-satunya adalah botol ruska yang ia temukan di kamar Jun. Barulah sekarang ia ketahui asal muasalnya. Indhira tidak yakin betul apa efek samping mengonsumsi ruska dalam satu teguk. Buruk, bisa jadi, tetapi mencabut nyawa mungkin bukan salah satu akibatnya. Ia mengusulkan untuk menanyakan hal itu kepada Dee atau Kei yang akan Raka lakukan esok hari.

"Maaf," ucap Indhi, melipat kakinya dan menyandarkan keningnya pada teralis, "Tapi kenapa kamu mau berbuat sejauh ini hanya untuk mengetahui apakah Jun benar bunuh diri atau bukan? Maksudku, dengan kamu pada akhirnya tahu penyebab kematian Jun tidak akan membuatnya kembali hidup 'kan? Bukankah seharusnya kamu bisa menikmati masa kuliahmu seperti orang kebanyakan?"

"Kampus gitu-gitu saja. Aku bosan melihat obrolan yang terus berulang. Lebih baik jika cari hal baru," cibir Raka, "Jun memang tidak akan kembali lagi, tapi jika kecurigaanku benar, setidaknya dia bakal tenang di alam sana. Semoga saja."

"Dan kalau salah?"

"Aku punya ini, sebuah pengalaman gila."

Indhira tersenyum, "Kamu enggak berubah. Terima kasih, Raka, sudah bicara denganku. Enggak apa 'kan kalau kamu tidur di dalam klinik lagi? Aku mau kembali ke kamar."

Ada kasur dan selimut saja sudah cukup baginya, hanya saja Raka belum mengantuk. Ia ingin menghabiskan sebatang rokok terlebih dahulu sebelum membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tak lama setelah Indhi beranjak dari duduk, Raka tersadar sesuatu dan menanyakan hal itu sebelum dia masuk ke dalam.

"Kalau kita memang sudah begitu kenal sejak lama, kenapa kau seperti menjaga jarak tadi? Bukankah normalnya kau berlari dan memelukku erat-erat?"

Perempuan itu tertawa, "Kejadian dengan ayah tiri membuatku cukup takut untuk dekat dengan seorang laki-laki. Aku enggak tahu apakah kamu masih ingat atau bagaimana. Lagipula aku masih sayang dengan tubuhku."

Menyalakan pemantik rokoknya, Raka akhirnya kembali menghirup nikotin dan membalas ucapannya, "Kata cewek yang tinggal dengan dua pria dewasa."

Indhira menggigit bibirnya, berpikir, "Bagaimana bilangnya ya... Dokter Dee dan Dokter Kei itu 'sepaket'. Paham 'kan? Tidak usah khawatir, aku aman kok di sini." Sebelum menutup pintu teras, Indhira mengucapkan selamat malam, meninggalkan Raka yang berkedip kebingungan.

*

Raka tidak bisa tidur. Meski sudah berbaring di atas kasur, memandang langit-langit, dan berkali-kali memejamkan mata, ia kerap terjaga. Waktu telah menunjukkan pukul dua. Matanya sudah lelah namun tubuhnya kerap berenergi. Saking bosannya, ia ragu untuk mengisap rokok setelah melihat persediaan terakhirnya telah remuk.

Banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi apa daya bulan masih belum kembali ke balik horizon, Raka tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Sebuah lemari buku terletak tak jauh dari meja makan; ia memilah buku yang sepintas terlihat. Ia merapatkan selimut sembari duduk di lantai dan membuka lembaran buku.

Ia mendapati jajaran buku filosofi yang taka sing di deretan rak kedua. Merasa sudah cukup bekal teori di bangku kuliah, Raka tak berlama-lama di bagian itu. Sedikit banyak ia tahu judul-judul buku yang bertengger di rak itu, membuatnya bertanya-tanya dari mana asalnya. Aneh-aneh saja, pikir Raka sembari membaringkan tubuh di atas lantai.

Sebuah buku berbordir perak menarik perhatiannya; tak menyangka buku itu adalah sebuah buku catatan. Lembar demi lembar penuh bertulisan tangan, terkadang menemukan beberapa gambar anatomi tumbuhan dan juga manusia. Secarik kertas yang Selembar kertas yang telah menguning jatuh mengenai hidungnya, membuat Raka terbangun, mau tak mau.

Kertas itu terlipat rapi dengan bercak kecoklatan karena termakan usia. Membalikkannya, tak terdeteksi coretan tinta maupun pensil, benar-benar licin seperti langkah pertama untuk membuat origami, hanya saja bagian belakang kertas itu terlihat disobek dengan sengaja. Seiring Raka membuka lipatan kertas itu, ia bisa membaca secarik surat yang ditujukan ke seseorang berinisial D.

Tak ada lanjutannya. Apakah surat ini merujuk pada Nova? Raka ingat ketika mereka berada di museum, antek-antek itu meminta sesuatu dari punggung gadis berambut burgundi itu. Satu lagi misteri, huh. Menarik, pikir Raka kembali melipat secarik kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku celana, berpikir bahwa pasti surat ini telah dilupakan karena hanya menjadi sebatas pembatas buku belaka. Mungkin nanti akan berguna, mungkin.

Kepingan puzzle dalam perjalanannya belum terangkai dengan rapi. Jun, Nova, Orenda, ruska, Floor...pasti ada kaitannya satu sama lain. Namun pemuda itu tidak tahu, belum, lebih tepatnya. Raka kembali berbaring, menutupi wajahnya dengan buku yang ia ambil barusan, memejamkan mata. Sejauh mana ia akan terlarut dalam masalah yang ia buat sendiri?

Kalau sampai akhirnya kamu tahu benda apapun itu nantinya, terus apa? pertanyaan Iyas waktu itu muncul lagi dalam benak Raka, membuatnya kembali berpikir.

Ia tidak punya rencana. Raka sudah tahu apa isi botol itu, tetapi informasi mengenai kematian Jun masih nihil. Seharusnya pertanyaan Iyas waktu itu bukan apa, melainkan bagaimana. Ah, tetap saja ia tidak bisa berpikir ke sana. Apa yang akan Raka lakukan, balas dendam? Kalau memang Jun meninggal karena bunuh diri mau bagaimana lagi?

Mengerang, Raka gemas dengan pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya. Ia jadi teringat Iyas yang pasti akan mengutukinya dengan sebutan Bodoh atau kata-kata serupa. Apa Raka sebodoh itu? Setiap orang pasti membuat salah. Begitulah hidup 'kan?

Tak sadar dengan fajar yang telah menyingsing, ia terkejut ketika Dokter Kei menyentil pipinya. Pria itu berjongkok di samping Raka, memiringkan dan menggelengkan kepala seolah-olah melihat kebodohan.

"Kalau kau sudah sehat, mestinya bilang. Jadi kita tidak akan merapikan kasur di klinik itu," ujar pria berambut perak dengan penuh sarkasme, "Bagaimana juga caranya kau bisa tertidur pulas di sini?"

Raka menyipitkan mata, menyesuaikan matahari yang masuk dari jendela. Pemuda itu tak sadar bahwa tidurnya hanya berlapiskan selimut tipis yang ia bawa dari klinik. Bukunya terjatuh ketika Raka bangun, pegal-pegal di tubuhnya terasa lagi.

"Aku ketiduran?" tanya Raka sambil memegang kepalanya, menarik napas dalam-dalam.

"Menurutmu?" Kei mengulurkan tangannya yang disambut oleh Raka.

Masih kebingungan, Raka mencium aroma kopi yang Dee seduh di ruang makan. Kepalanya pening karena dibangunkan mendadak.

Menanyakan waktu, pria itu menjawab bahwa sekarang sudah pukul tujuh pagi. Raka melipat selimutnya, lalu duduk di samping Kei. Ia tak berkata apapun, mengumpulkan nyawa. Saat pria berambut perak itu menanyakan apa yang Raka lakukan hingga terlelap di sana, Raka menjawab seadanya.

Seseorang menaiki tangga. Menoleh, ia mendapati Indhira yang tersenyum padanya dan berkata pada Kei bahwa hari ini gadis itulah yang akan membuatkan sarapan.

"Kau harus sering bangun pagi," komentar Dokter Kei setelah berkeluh kesah mengenai makanan Dee yang rasanya tidak begitu enak. Gadis itu hanya tertawa, suaranya terdengar cukup tinggi dan menyenangkan di telinga.

Indhira masih mengenakan pakaian tidurnya, membuka pintu kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan makanan. "Kukira kamu akan bangun siang, Ka," ucap gadis itu menghadap ke arah jendela, membelakangi Raka.

"Aku ketiduran,"

"Di sini?" Indhira balik bertanya, "Hebat."

"Terkadang lantai lebih nyaman dibandingkan kasur," tutur Raka bercanda sambil meregangkan tubuhnya.

"Kalau Dee bangun, aku yakin dia akan mengomelimu," Dokter Kei menyesap kopinya kemudian menyuruh Raka untuk membuat kopi jika ia mau.

Raka menuruti Kei, lagipula ia haus. Toples yang berisi kopi giling terletak di salah satu kabinet dekat lemari es. Ia menunggu air dalam ketel mendidih dan mendengar sang dokter serta Indhi berbicara mengenai keseharian mereka yang masih asing di telinganya.

"Kapan Kres akan ke sini?" tanya Kei masih duduk di kursi meja makan.

Raka mengambil sendok tak jauh dari bak cuci piring, melihat Indhira memecahkan lima butir telur dan mencampurnya dengan susu. "Tidak tahu. Mungkin dua atau tiga hari lagi," perempuan itu melempar cangkang telur ke tempat sampah, menyalakan kompor lalu mengambil mentega di kabinet terdekat. Indhira balik bertanya, "Kenapa?"

"Persediaan sudah mau habis 'kan? Lagipula ada yang mau kubicarakan dengannya."

"Kalau ternyata Kres malah datang besok," perkataan Indhira terhenti ketika ia meminta Raka untuk mengambilkan keju di dalam lemari es. Perempuan itu tampak tidak kerepotan berbicara dengan Kei mengenai hal serius sembari memasak. Raka tak habis pikir bagaimana wanita bisa tampak piawai dengan pekerjaan-pekerjaan yang mereka lakukan sekaligus. Ia melanjutkan, "bukannya kau harus datang ke Haven? Para patcher membutuhkanmu."

    
Pria itu menggaruk kepalanya. "Enggak kok. Mereka punyamu, Dhira. Lagipula kau akan ditemani seorang sukarelawan."

Kei menatap Raka dengan penuh arti, membuat Raka tak jadi menyesap kopi yang baru ia seduh. "Apa?" tanya pemuda itu tak paham.

"Aku yakin kau akan bertanya macam-macam, Raka," ujar Kei sambil tersenyum miring. Indhira, di lain sisi mengambil piring, meletakkan telur dadar yang baru matang dan meletakkannya di atas meja. Perempuan itu melipat kedua tangannya di depan dada, memiringkan kepala tampak mengamati perkataan Dokter Kei dengan baik.

"Daripada kami menjawab pertanyaanmu yang takkan ada habisnya," lanjut Kei, "Lebih baik kalau kau mengalami dan mempelajarinya secara langsung. Pengalaman adalah guru terbaik, ingat?"

"Tapi aku tidak tahu apa-apa."

"Bayi juga tidak tahu apa-apa. Tapi dia belajar," jelas Kei, "tapi sekarang dia hampir tahu segalanya. Pengalaman, Raka, pengalaman."

"Tapi—"

"Kami bergantung padamu," potong Kei seenaknya sambil mencengkram kedua bahu Raka. Pemuda itu tidak bisa membedakan yang mana senyuman serius maupun bercandanya, keduanya tampak serupa. "Lagipula," tambah Kei, "kalau kau mau makan ya harus kerja 'kan?"


*

//Halo! Aku hampir ragu bisa update minggu ini wahaha. Maaf agak telat, pas mau publish anehnya ga ke save dari tadi huhu. Sebagai catatan, sebetulnya aku nulis surat di atas pake bahasa inggris dulu yang ternyata lebih singkat dan lebih enak dibacanya jadi here's the english version of the letter

Anyway terimakasih banyak yah, para pembaca tersayang, untuk bintang dan komentarnya. Sebentar lagi kejutan di 10k akan datang. Kutunggu di lain waktu!//

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro