Surface - 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PENJELASAN NOVA mengenai Orenda —sebagaimana yang bisa kita tebak— tidak bisa mencukupi rasa penasaran Raka. Gadis itu bilang, tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sana dan tidak sembarang orang pula yang bisa keluar dari sana. Inhalan dan bagaimana Jun bisa meninggal, mungkin bisa terjawab di tempat bernama Orenda itu.

Kursi yang Raka duduki terasa panas saking lamanya ia berdiam di sana. Apa yang terpampang di laptop-nya merupakan laman-laman zat aditif maupun sedatif yang bisa membahayakan nyawa seseorang. Botol inhalan yang ia temukan di kamar Jun ia letakkan di samping segelas air dingin yang embunnya telah membasahi meja. Cairan itu memenuhi tabung tak sampai setengahnya. Menerawangi botol itu, sosok Nova yang tengah membaca buku catatan di seberangnya tampak distorsi. Ia membuka tutup botolnya dan mencoba menuangkan beberapa tetes cairan itu ke dalam gelas namun Nova telah memanggilnya.

"Kamu ngapain?"

"Aku enggak bakal mati kalau minum ini 'kan?" Raka telah menuangkan cairan itu sebanyak tiga tetes ke dalam air minumnya. Pemuda itu mengambil gelasnya, memiringkan kepala, dan meyipitkan mata. "Kau bilang ini cara yang benar untuk menggunakannya."

"Ya, tapi kamu tidak akan mau melakukan itu."

"Kenapa? Kau bilang cara menggunakannya dengan dimasukkan ke dalam minuman atau semacamnya, bukan dihirup. Artinya orang-orang masih bisa hidup 'kan?"

"Ya, tapi jangan. Aku bukan ayahku yang tahu seluk beluk cairan itu. Informasiku terbatas."

Raka memainkan gelasnya, menghirup air yang baunya sedikit berubah, "Ceritakan, kalau begitu."

Nova terdiam, mengigit bibirnya. Ia menggelengkan kepala, "Aku bahkan tidak tahu pasti, tetapi yang jelas orang-orang menjadi aneh setelah meminum itu. Mereka tampak tidak punya masalah dan takkan bisa merasa sakit."

"Bagus dong," menghela napas jengah, Raka mendekatkan gelas ke bibirnya.

Dengan sigap, Nova merampas gelas itu dan membuang isinya ke lantai, "Jangan," desisnya.

Raka berdecak, menggaruk kepalanya frustasi dan mengumpat. Raka masih bersikukuh menanyakan alasan megapa dia tidak boleh meminum cairan itu bahkan meninggikan suaranya satu oktaf karena gemas, tetapi Nova tetap bergeming. Wajahnya penuh kerutan, mungkin mencari kata-kata yang tepat. Tetap saja, ia bungkam. Rasa penasaran Raka semakin menjadi.

Pergilah Raka ke kampus, meninggalkan Nova di kontrakan sendirian (meskipun Raka yakin tak lama lagi beberapa temannya akan datang berkunjung untuk numpang kerja atau sekadar nongkrong). Kabar seorang gadis yang tidur di kamar Iyas tanpa busana telah menyebar di seluruh penjuru gedung. Ketika Raka tiba di studio, beberapa temannya menanyai keberadaan gadis itu dan kenapa dia tidak dibawa ke kampus. Pemuda itu hanya bisa mengerjapkan mata dan ikut tertawa saja sambil mengatakan bahwa gadis itu tidak mau ikut bersamanya ke kampus.

"Yah, padahal aku mau lihat cewek cakep."

"Di sini juga banyak cewek cakep. Tinggal tunjuk satu. Masalahnya 'kan mau atau enggak ya?"

"Nah itu, lho, Ka. Itu."

Raka tertawa. Ia mungkin akan menggarap lagi batu litho-nya. Buntalan rambut sebesar jeruk bali milik Cecilia mengalihkan pandangan Raka dari apapun. Pemuda itu meremas rambut Cecilia. Sedang duduk tenang dan menggarap pelat tembaganya, perempuan itu langsung menepis tangan Raka. Ia menyipitkan mata dan hanya bisa menggelengkan kepala.

"Gimana cewek yang semalem bikin heboh kontrakanmu?"

Raka berdecak, menyulut rokok yang ia ambil dari saku celana. "Nyebar ceritanya cepet amat, dah," gumamnya. Mengutip apa kata pria bangkong semalam, Raka berkata, "Masih ada kok. Dia bilang, dia enggak berasal dari sini."

"Dari mana memangnya?"

"Floor," Raka bersandar ke meja, pandangan menghadap ke luar jendela.

Hari sudah senja namun langit tak lagi jingga. Awan kelabu yang tiba-tiba menutupi cakrawala membuat lampu lorong tampak lebih terang dari biasanya. Orang-orang pun tak begitu banyak berlalu lalang di hadapannya. Hanya ada sekitar dua sampai tiga orang yang berbincang di depan studio sambil duduk di atas pagar jalan.

"Kau pernah dengar tempat itu, Cel?"

"Emang ada?" tanya Cecilia, skeptis.

Raka mengangkat bahu. Ia takkan heran jika akan banyak hal aneh yang akan menyusul, mengingat sudah banyak pengalaman di luar logika yang Raka alami. Ia menjelaskan tabung inhalan yang ia temukan di kamar Jun dan reaksi Nova terhadapnya. Cel menaikkan alis, mendengarkan. "Kayaknya aku bakal ikut Nova ke Floor —ada ataupun enggak ada tempat itu."

"Serius?" tanya Cel, "Dan meninggalkan ini semua? Kuliah, teman-temanmu juga?"

Pemuda itu menghembuskan asap rokok dari hidungnya dan berkata, "Sepertinya iya. Lagipula gua bosan. Sadar enggak sih, kuliah tuh belakangan gini-gini aja? Floor, apapun itu, adalah sesuatu yang biasa aku eksplor lebih jauh lagi," dan juga kematian Jun, batin Raka. "Jadi, ya, aku akan...bertualang."

"Bertualang?" Cel mendengus geli mendengar pilihan kata Raka, "Emangnya kamu bocah? Siapa aku melarangmu pergi. Hati-hati, Ka, kamu 'kan enggak tahu apa-apa tentang tempat itu."

Raka menyeringai. Memang pengetahuannya masih nol, tapi ia yakin hal itu bukanlah masalah. Cecilia memang seseorang yang suka mengkhawatirkan banyak hal. Terkadang Raka merasa gemas, tapi sejujurnya ia senang mempunyai teman sepertinya. "Kalau-kalau aku enggak balik, kutraktir kau minum ya malam ini."

Pada akhinya Raka tidak melanjutkan menggarap batunya. Ia terlalu bersemangat untuk pergi ke Floor. Memang Nova belum mengatakan dengan pasti kapan 'bulan penuh' itu tiba. Tetapi, jika nalarnya tidak salah, setiap pertengahan bulan selalu bulan purnama. Mungkin takkan lama lagi.

Obrolan bersama Cecilia tak berhenti hingga Raka sadar bahwa satu jam lagi hari akan berganti. Ia nyaris lupa Nova masih ada di kontrakan dan Iyas sudah meneleponnya berkali-kali, mengomelinya karena menelantarkan gadis yang baru terluka itu. Turun dari sepeda dan membuka pagar rumah, terlihat motor Duta dan beberapa motor lainnya di pojok halaman serta jeep merah Iyas terparkir manis di bawah carport.

Meskipun banyak kendaraan terparkir di luar sana, anehnya kontrakan itu tampak tak ada penghuni. Semua lampu nyaris mati kecuali lampu di dekat tangga. Raka mengintip ke arah dapur dan ruang makan di mana teman-temannya lebih sering menghabiskan waktu, tetapi tidak ada orang; kompor pun tidak menyala. Raka mengernyit.

"Duta?" panggil Raka sembari menyalakan lampu ruang tamu. Tak ada jawaban. Ia heran ke mana perginya semua orang.

Menaiki tangga, tak tampak pula orang di lorong kecil menuju kamar tidur. Seluruh pintu tertutup rapat dan tak ada pula suara orang berbicara maupun lantunan lagu dari pengeras suara. Raka membuka kamar Iyas yang terletak paling dekat dengan tangga dan ruangan itu gelap. Seluruh barangnya tertata rapi sebagaimana watak Iyas, tetapi sepupunya tak terlihat di sudut ruangan manapun.

Teman kontrakannya tidak mungkin niat mengerjainya di larut malam begini 'kan? Ulang tahun Raka sudah lewat, lagipula bukannya terlalu kekanak-kanakan jika masih bermain seperti itu? Ada keraguan ketika Raka hendak membuka pintu kamar Jun. Kenangannya akan tubuh kaku Jun mengganggunya. Menarik napas dalam-dalam, ia membuka pintu dan lagi-lagi tidak ada batang hidung siapapun di sana.

"Nova? Iyas?" panggil Raka dan lagi-lagi tidak ada jawaban, "Ke mana dah orang-orang."

Raka merasa kecewa ketika tidak mendapati siapapun di kamarnya. Membuka jendela kamar, kekosongan yang berada di luar rumahnya terasa janggal. Tidak ada motor yang lewat, tidak ada bapak-bapak penjaga malam, bahkan tidak ada suara deru mobil dari kejauhan. Kesunyian ini lebih mencekam daripada keheningan kuburan.

Raka menutup pintu dan mengganti baju, mengabaikan seluruh kejanggalan ini. Setelah pemuda itu menyarungi tubuhnya dan mengambil posisi di atas tempat tidur, ia mengambil ponselnya. Raka kira ia akan mendapatkan pesan masuk dari sepupunya itu, tetapi tidak ada apa-apa. Yang tersisa hanyalah notifikasi telepon masuk yang tidak Raka angkat. Melihat bar sinyal yang kosong membuat Raka semakin heran.

Iyas dan Duta pun tidak bisa dihubungi, provider mengatakan mereka di luar jangkauan. Ketika Raka menghubungi Duta untuk kesekian kalinya, ia dapat mendengar suara bangkong yang tak enak di dengar dari arah jendela, "Nelpon siapa sih, Hiraka?"

Dengan cepat Raka menoleh. Rambut halus di tengkuknya berdiri. Ia tidak melihat pria berpakaian serba hitam yang sama dengan kemarin. Alih-alih Raka melihat seekor kucing hitam besar. Tidak sebesar harimau, tetapi lebih besar dari kucing domestik kebanyakan. Kali ini kucing yang bisa bicara! Hebat. Keanehan macam apa lagi yang akan Raka dapat nantinya?

"Masuk dari ma—"

"Kau membuka jendelanya lebar-lebar, tahu," ucap kucing itu sembari menjilati kaki depannya. Suaranya parau bagaikan kucing tua ingin kawin, "Aku bertaruh kau pasti bingung karena tidak ada orang di sini. Ke mana teman-temanmu, ke mana gadis yang nyaris mati itu, ke mana semua orang? Begini ya, biar kuberitahu saja, mereka semua ada di sini kok. Kaunya saja yang sedang tidak berada di sini. Paham enggak sih? Di sini cuma ada kau dan aku."

Kucing itu melompat ke atas tempat tidur Raka. Meski ukurannya besar, tetapi kucing itu bukanlah kucing yang gendut. Dengan ukurannya yang terlalu besar, kepalanya tampak terlalu kecil dengan panjang dengan bentuk tubuh yang tidak proporsional. Lebih ke arah mengerikan dibandingkan imut. Matanya hitam, tak memantulkan warna lain.

Raka tidak mau menepuk kepala kucing itu. Ia megambil jarak dengan memundurkan tubuhnya, bertanya, "Kau yang kemarin kan? Ngapain di sini?"

"Aku? Kemarin?" kucing itu tidak menjawab alih-alih omongannya semakin panjang, "Apa mauku? Mauku hanya ingin berbicara denganmu. Mungkin kau masih belum paham akan konsekuensinya karena telah menggagalkan ritual itu. Aku tidak bisa bertemu dengan gadis itu secara langsung. Entah kenapa lagi-lagi yang terhubung itu selalu kamu, tahu. Sayang sekali, padahal dia cantik. Dan sekarang aku harus bertemu lagi denganmu sebagai semacam perantara? Yang benar saja.

"Hei, Hiraka. Dengar ya, bulan penuh sebentar lagi dan ini tidak bisa main-main. Katakan padanya, aku akan menunggunya di titik nol. Kemudian kita akan pergi, ke tempat raksaka. Aku tidak tahu apakah kalian benar-benar pantas untuk melewati Huva Atma, tapi ya mudah-mudahan saja begitu. Suasana hati Masou sedang tidak baik, mungkin sebentar lagi mati, karena kau merusak ritualnya. Dia suka dengan mendengar rapalan yang diucapkan gadis itu kemarin dan kau memberhentikannya tepat sebelum berakhir. Padahal sedikit lagi lho, sedikit lagi! Kamu tahu rasanya ketika kau menyisakan kulit ayam untuk dimakan terakhir kali? Seperti itu rasanya. Kau memang sinting Hiraka. Sinting. Sinting. Sinting."

Perkataan kucing itu, tidak bisa Raka mengerti. Sama sekali. Ia meminta agar kucing itu kembali mengulang maksud perkataannya, tapi pemuda itu malah diomeli dengan suara parau yang bikin sakit telinga, "Kau tidak perlu mengerti segalanya Hiraka. Nanti juga kau akan paham sendiri. Percaya saja padaku. Pokoknya sampaikan pada Nova Sarojin, aku akan menunggunya di titik nol. Oke? Siang hari saja, mungkin. Sisanya mengerti. Siang hari. Titik nol. Ingat ya, Hiraka. Besok!"

Mengerjapkan mata sekali, kucing itu hilang. Mengerjapkan mata kedua kalinya, Raka dapat kembali mendengar suara-suara yang akrab di malam hari. Obrolan antara Nova dan Iyas terdengar dari kamar sebelah, begitu pula suara tukang ronda yang memukul-mukul tiang listrik dengan nyaring. Duta tengah duduk di meja hadapannya, mengerjakan sesuatu dengan laptop. Raka mengumpat dan berjalan ke dekat jendela yang kini tertutup. "Ta, kau liat kucing besar banget enggak tadi masuk kamar?"

Terkejut, otomatis Duta membalikkan badan. Bertanya-tanya kapan Raka masuk ke dalam kamar. Temannya itu tidak percaya mendengar jawaban Raka bahwa pemuda itu telah di sana sejak tadi. Raka tersenyum datar, cenderung jelek, dan tidak bisa memberikan penjelasan logis.

Mengetuk kamar Iyas, sepupunya membuka pintu. Ia dapat melihat Nova di atas kasur yang digerai di atas lantai. Lagi-lagi tengah menulis buku catatannya. Raka menepuk bahu gadis itu, mengajaknya untuk berbicara. Alisnya berkerut ketika Raka menceritakan kembali apa yang baru saja terjadi. "Di mana itu titik nol?" tanya gadis berkulit pucat itu.

"Bukannya di pusat kota sana, ya?" sahut Iyas yang sedang sibuk dengan ponselnya. Nova dan Raka menatap Iyas yang kembali menatapnya heran, "Lah, iya kan? Tempat Willem Daendles menancapkan pasaknya dan berkata, 'Ini akan jadi titik nol Kota Kembang!' [2] semacam itu?"

*

Mereka menunggu. Lama. Nova, seperti biasa, tak banyak bicara. Matahari telah berada tepat di puncak, membuat bayangan tak lagi memanjang. Jika gadis itu tidak menyuruhnya untuk pergi keluar rumah lebih cepat, Raka pasti sekarang masih santai di kontrakannya. Di mana pria bersuara bangkong itu? Menunggu mereka, jidatmu! Di sini hanya ada seorang berkewarganegaraan asing dengan topi fedora hitam di kepala yang tengah membaca koran. Selebihnya hanya kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di tengah jalan. Tidak ada tanda-tanda seseorang berpakaian serbahitam maupun kucing besar dengan ukuran tidak proposional itu.

Jika ini memang tempat yang dimaksudkan kucing itu, apa yang disebut titik nol bukanlah sesuatu yang tampak istimewa. Sebagai seorang pendatang, ia kira akan melihat sesuatu yang lebih 'wah' dibandingkan dengan sebuah penanda setinggi 50cm terbuat dari semen yang dicat merah-putih. Di atas penanda itu terdapat tulisan 'KKB0' yang dicat hitam terletak di depan sebuah setum berbahan bakar kayu.

"Mungkin dia enggak akan datang," ucap Raka sambil menghirup rokoknya, bosan. "Hei, Nova. Kau bilang ibumu tidak di sini, lantas di mana? Floor?"

"Mungkin. Aku tidak tahu pasti," jawab Nova, menenggak air mineral yang ia bawa dari kontrakan. Ia menambahkan orang berpakaian serbahitam itu merupakan salah satu cara untuk mengetahui keberadaan ibunya.

Mereka, para raksaka —begitu Nova menyebutnya— adalah orang-orang yang menujukkan jalan ke Floor melalui rute yang paling aman. Terowangan di bawah sana terlalu banyak cabang dan jika kita tidak ahli maupun kurang beruntung, sulit untuk keluar hidup-hidup.

"Kucing itu kemarin juga bilang sesuatu tentang raksaka. Seseorang bernama Masou yang marah karena rapalanmu berhenti tepat sebelum selesai. Apa mereka semacam dewa?"

Mengigit bibir, gadis itu menjawab, "Kurasa bukan. Mereka semacam penjaga gerbang —meskipun tidak bisa dibilang gerbang juga karena tidak ada gerbang secara nyata."

Penjaga gerbang? Penjaga gerbang dari apa? Apakah Floor begitu berbahayanya sehingga harus dijaga agar mereka tidak masuk ke sini, ke Permukaan Atas? Atau orang-orang seperti Raka yang tidak diinginkan oleh mereka? Pelik amat.

Menghela napas panjang, Raka bertanya-tanya kapan orang itu akan datang, si suara bangkong dengan mata sehitam malam. Menghirup rokoknya lagi, ia dapat melihat Nova yang mengibaskan tangan di depan hidungnya karena asap berbau itu. Ia menatap rokok berfilter itu kemudian menghisapnya sekali lagi dan mematikannya.

Pandangannya teralihkan dengan jalanan yang mendadak sepi. Tak ada suara kendaraan maupun langkah kaki orang-orang berlalu-lalang. Di siang yang terik di mana seringkali ada kemacetan yang bikin naik pitam, tak lagi terdengar suara klakson. Raka mengerenyit, keadaan ini tidak asing. Ia mencari-cari di mana kucing, maupun orang berpenampilan serbahitam itu. Alih-alih ia mendapati si pria berkewarganegaraan asing di sampingnya menyeringai lebar. Menunjukkan giginya yang buruk.

Berdiri, pria itu tinggi —bahkan untuk ukuran tubuh orang asing. Ia mengenakan setelan berwarna putih yang mencolok dan membuatnya terlihat amat nyentrik. Di bawah topi fedoranya, sepasang mata legam menatap mereka tajam dan tindik memenuhi wajahnya yang pucat.

Seringainya jelek ketika ia berkata seolah mengejek, "Aku dari tadi di sini, lho. Kalian benar-benar tidak sadar ya? Omong-omong penjelasan yang bagus, Nova Sarojin, nyaris sempurna."

Tubuhnya yang tinggi memandang mereka dengan posisi yang canggung. Ia mengeluh, "Ah penampilan ini benar-benar tidak efektif. Bikin repot saja."

Seperti cairan dalam lampu lava, tubuhnya memendek dengan gerakan yang aneh. Entah bagaimana setelan putihnya mengambil bentuk baru jaket bertudung yang warnanya pun berubah seolah-olah dicelup. Topi fedoranya bersatu dengan kerah bagian belakang dan proses perubahan itu tak memakan waktu lebih dari sepuluh detik. Penampilannya kembali seperti yang Raka temui dua hari yang lalu: serbahitam dengan jaket bertudung.

Pria itu menudingkan jari telunjuknya ke arah Raka dan Nova, kembali berkata dengan suaranya yang serak, "Sekarang kalian mau ikut atau tidak?"

*

Footnote:

[2] sebenernya ngomongnya bukan gini-gini amat sih. Sebetulnya Deandles waktu itu harus balik ke Belanda dan dia titip pesan: 'usahakan kalau saya kembali, di sini sudah dibangun sebuah kota'. Yah, kurang lebih. silakan cari tau sendiri untuk pemahaman lebih lanjut.


// AKU UDAH SIDANG LHO! sekarang tinggal beresin idup aja *lho* . maafkan dengan update-an yang lebih sedikit daripada biasanya. pertama karena chapter berikutnya letaknya ga di 'surface' lagi dan kedua daripada membuat pembaca menuggu kemudian kehilangan reader yah kayanya mending update meskipun sedikit. huhu. *agak menyesal hiatus :v*

Apa chapter berikutnya kita udah ke Floor? hoho bisa ya bisa tidak!

terimakasih untuk yang masih baca, ditunggu dukungannya berupa komentar maupun vote ya :)//

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro