Surface - 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

NOVA MENGGIGIT bolpen yang ia pakai. Tutupnya sudah bopeng di sana-sini, tidak lagi berbentuk lancip seperti sejam yang lalu dan gadis itu kini kebingungan. Hari menjelang tengah malam, tetapi ia masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang diberikan Masou pada mereka.

Gadis itu cepat-cepat menulis kembali perkataan Cy tepat setelah mereka keluar melewati pintu raksasa itu. Keriuhan malam di Kota Kembang membuatnya sedikit bingung. Tangannya gemetar ketika menuliskan kata-kata di jurnal yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tulisannya tidak sebagus biasanya, tetapi setidaknya masih bisa terbaca. Raka tampak kebingungan dan juga terkejut karena ia menggerutu mengenai pintu yang hilang dan bagaimana hal semua itu bisa terjadi.

Nova sendiri tidak tahu jawabannya. Pintu di belakangnya hanyalah sebuah pintu toko sepatu yang telah tertutup. Gadis itu kemudian mengacungkan jurnalnya tepat di hadapan wajah Raka, memintanya untuk memecahkan teka-teki ini.

Mungkin perkataan Sang raksaka bukanlah sebuah teka-teki. Tetapi kata-katanya terlalu berbelit sehingga gadis itu tidak bisa tidak menganggap perkataannya sebagai omongan biasa. Mereka menaiki kendaraan umum dan memilih untuk duduk berdua di samping supir. Ketika supir itu memutuskan untuk berhenti dan menunggu penumpang yang lewat untuk naik, Nova mengetuk-ngetukkan bolpennya di lembaran buku jurnalnya.

"Besok...," gumam gadis itu. "Kalau kita tidak berhasil menemukan Cyrus besok, kita harus menunggu sebulan lagi untuk bisa ke Floor."

"Tapi kau sendiri 'kan belum sampai sebulan di sini," sanggah Raka, "dan seingatku Cy bilang, 'dengan legal hanya bisa pergi ke sana sebulan sekali.' Pasti ada cara lain; cara ilegalnya."

Ia mengingat orang asing yang membantunya pergi ke Permukaan Atas beberapa hari yang lalu. Tetapi entah mengapa wajahnya tidak terlihat begitu jelas, suaranya pun ia lupa bagaimana. Nova tidak yakin apabila ia bisa menemukan orang itu lagi jika mereka tidak berhasil menemukan Cyrus esok hari.

Raka meminjam jurnalnya, melafalkan kata-kata itu berkali-kali seolah-olah sedang merapalkan mantra. Bulan penuh, cakrawala jingga dengan abu-abu sebagai batasannya. Tiang besi dan puluhan cahaya kuning juga putih.

"Mereka seharusnya memberi tahu waktu dan lokasi 'kan? Jika dia bilang cakrawala jingga, apakah dimaksudkan sebagai waktu senja?"

Terkesan, gadis itu mencondongkan tubuhnya, "Bagaimana dengan 'abu-abu sebagai batasannya'?"

Raka memainkan janggut dengan mulut mengerucut. Pemuda itu duduk di dekat jendela, sementara Nova berada di antara supir dan Raka. Pemuda itu mengulurkan tangannya melewati pundak Nova dan menepuk bahu si pengendara angkutan kota itu.

"Kang," panggilnya, "permisi, tahu tempat di Kota Kembang yang bisa ngeliat matahari terbenam enggak ya?"

"Hah?" supir angkot itu menoleh, menghembuskan asap rokok yang membuat Nova terbatuk, "Sekarang? Sudah gelap, Mas."

"Besoklah, Kang."

"Saya sih enggak tahu. Saya seharian di jalan, mana merhatiin matahari. Tahu-tahu mah adzan weh," dia tersenyum penuh arti. Di ujung matanya tampak keriput-keriput halus ketika ia menambahkan, "Mau pacarana ya?"

Berada di antara mereka membuat Nova kebingungan. Pacaran? Mikir apa orang itu?

Raka menaikkan alisnya dan ia tak bisa menahan senyum, "Enggaklah, Kang!" ucapnya, entah kenapa, dengan nada yang lebih tinggi.

Supir angkot itu tertawa dan meracau perkataan yang gadis itu tak mengerti. Ia menghisap lagi rokoknya dan kali ini menghembuskan asapnya ke luar jendela. Pandangan menerawang sesaat pria itu terpecahkan dan ia kembali menatap Nova dan Raka bergantian. "Biasanya kalau sudah malam suka ada saja yang nongkrong di situ tuh, di atas."

"Atas?" tanya Nova. Gadis itu lebih kebingungan karena tidak bisa mengikuti pembicaraan mereka. Melirik Raka, wajah pemuda itu tampak serius, menunggu perkataan si supir angkot selanjutnya.

"Iya, di atas. Jembatan layang!"

Raka dan Nova bertukar pandang; pemuda itu menyeringai penuh percaya diri, tampak bangga dengan kemampuannya. Nova mengambil buku catatan yang masih dipegang oleh Raka kemudian ia menuliskan catatan di pinggir kata-kata itu. Ia merasa lebih tenang jika sudah mencatat segalanya. Setelah menunggu sekitar lebih dari sepuluh menit, mobil itu kembali berjalan dan Raka kembali mengobrol dengan si supir.

Ketika mereka akhirnya memutuskan turun dari angkor, Nova masih membayangkan dua teka-teki yang masih belum terjawab. Jika tempat dan waktu sudah terjawab, apa gunanya tiang besi dan ratusan cahaya itu? Lagipula kata kunci mengenai waktu senja dan juga jalan layang masih berupa praduga. Nova sendiri tidak tahu betul apa sebenarnya maksud dari perkataan Sang raksaka.

Raka memanggilnya, menanyakan apakah pakaian yang digunakannya sudah cukup dengan cuaca di Floor. "Lu pakai mantel tebal begitu," tambahnya, "Apa Floor memang sedingin itu?"

Mengamati pemuda itu dari atas ke bawah, Nova bisa mengatakan bahwa Raka tidak akan mati kedinginan; Floor bukanlah kutub selatan yang suhu udara siangnya saja di bawah nol derajat. Raka mengenakan celana pendek dan juga sepatu bot dengan tinggi di atas mata kaki. Jaket hitam berbahan parasut itu tampak tipis dan mungkin tidak akan cukup menghangatkan tubuhnya. Buff yang selalu ia pakai di leher pun tidak akan berpengaruh banyak. Gadis itu menyarankan agar Raka membawa jaket yang lebih tebal.

Setibanya di rumah, Raka menghempaskan tubuhnya di sofa terdekat. Iyas dan Duta masih belum pulang dan kontrakan tampak gelap gulita. Nova mengambil segelas air dan duduk di samping Raka.

Meminumnya, gadis itu memainkan gelas di tangan, bertanya, "Apa kamu tidak gugup?"

"Kenapa harus gugup?" Raka malah balik bertanya, menatap Nova dengan posisi tubuh tengkurap, "Aku justru semangat —melupakan kejadian di tempat Masou tadi, sih. Tempat baru, misteri, pergi meninggalkan ini semua, bertualang. Kenapa harus gugup?"

Nova sedikit takjub dengan perilaku Raka yang mau mengambil resiko sebesar apapun. Ibunya memang belum sempat ia temui, tetapi untuk pergi ke Permukaan Atas seorang diri membutuhkan waktu berhari-hari supaya tekadnya bulat. Orang asing itu bahkan merupakan seseorang yang secara tidak langsung memaksanya untuk pergi. Dalam tindakannya ia merasa sedikit menyesal dan itu membuat dirinya cukup kesal. Anehnya, Raka langsung bertindak, tak peduli dengan segala macam ancaman yang menanti.

"Sang raksaka bilang kalau mereka selalu mengawasimu juga."

"Ah, perkataan mereka berbelit, kadang suka tidak masuk akal. Kau sendiri bagaimana?" tanya Raka, "Bukannya itu adalah tempat asalmu, ya? Rumah. Kenapa harus gugup jika hanya pulang ke rumah?"

Nova tersenyum kecut. Pemuda itu tidak tahu apa saja yang sudah Nova alami selama ini. Jelas saja ia merasa gugup. Mengingat luka di perutnya membuatnya sadar bahwa Nova sendirian saja bisa celaka, apalagi jika bersama orang lain. Ia membahayakan. Dan rumah... mempunyai rumah sudah menjadi impiannya sejak dulu: bersama ibunya, menatap senja sambil bercanda tawa dengan secangkir teh di hadapannya. Tapi itu tetaplah angan-angan. Ibunya masih menghilang.

"Kamu enggak ngerti, Ka," Nova tersenyum pahit, "Aku sudah bilang aku berbahaya dan aku tidak mau menyakiti siapapun, termasuk dirimu."

"Yeah? Tenanglah, aku belum terluka karenamu kok. Jangan terlalu dipikirin," Raka mengubah posisinya menjadi telentang, memandangi langit-langit. "Buat apa mikirin hal terlalu jauh ke depan kalau kau enggak bisa menikmati waktu sekarang?"

"Karena masa depan lebih penting, 'kan?"

"Yep, tapi kau ini hidup di masa depan apa di masa kini?" tidak ada penekanan apapun dalam perkataannya; tidak terdengar marah maupun kesan menuduh. Ia mengatakan hal itu begitu yakin seolah itu adalah pegangan hidupnya dan Raka hanya memandang langit-langit, tanpa berkedip.

Tetap saja, Raka tidak mengerti.

Nova memeluk lututnya, mengistirahatkan kepala di atas sana. Pikirannya berkeliaran, memikirkan perjalanannya ke Permukaan Atas yang tampak sia-sia. Ia hanya ingin kehidupan yang normal, tanpa dikejar-kejar oleh orang yang berbahaya, tanpa harus berlindung di balik orang lain. Ibunya berkata bahwa ia akan kembali, tetapi ia pergi sudah lebih dari dua minggu. Wajar jika anaknya cemas 'kan?

Karena masa depan lebih penting. Dan ia benar-benar menginginkan kehidupan yang normal.

"Lah, enggak dikunci, toh," Nova mengalihkan pandangannya ke pintu ketika sepupu Raka menunjukkan batang hidungnya. Iyas melepas sepatunya dan menyapa Nova ketika melongokkan tubuhnya ke dalam ruangan. "Aku kira enggak ada orang, soalnya lampu depan belum nyala sih."

"Ah, aku lupa," Raka berdiri dan menyalakan saklar lampu di dekat tangga. Iyas memberikan sekantong plastik hitam pada sepupunya mengatakan bahwa itu makan malam yang Raka titip untuk dibelikan.

Duduk di sofa tempat Raka membaringkan tubuhnya tadi, Iyas bertanya, "Cecil bilang kamu mau bertualang, Ka?"

"Yah, semacam," Raka kembali dari dapur dengan dua buah piring di tangannya. Pemuda itu memindahkan makanan yang dibelikan Iyas ke atas sana kemudian memberikannya pada Nova, "Nih, sate padang."

"Ngapain, Ka? Emang kamu Sherina?"

"Ya enggak, nanti judulnya 'Petualangan Hiraka'-lah!" Raka menyeringai kemudian mengambil satu suapan lontong beserta satenya. "Tapi kayanya aku tetep butuh hansaplast, biar bisa disangka keren."

"Terserah," caci Iyas, menggelengkan kepalanya. Membenarkan kacamatanya, ia kembali bertanya, "Terus berangkatnya kapan?"

"Besok."

Terkejut, perempuan itu bertanya banyak hal kepada Raka. Ia tampak panik dan juga cemas sekaligus, tetapi Raka menanggapi kecemasan sepupunya dengan jawaban super santai. Apa lagi dengan alasan utama Raka pergi karena bosan membuat sepupunya tampak cemas 1000%.

Pemuda itu berkata, "Kalemlah, kau bukan emak gua, Yas."

"Iya, tapi kan si tante nitipin kamu ke Aku! Kamu tahu sendiri emakmu bawelnya kayak apa waktu kamu hobi kabur-kaburan pas zaman SMP dulu. Terus entar kalau dia datang aku mesti jawab gimana?"

Nova meletakkan piringnya di atas meja dan berjalan ke dapur untuk mengambil gelas air minum. Sementara itu pembicaraan kedua sepupu itu masih berlanjut, "Bilang aja lagi mencari jati diri."

"Ih, anjir, kamu tuh bukan ababil lagi, Ka!"

"Justru karena bukan ababil, ini pilihanku kok," Raka menunjuk dirinya dengan sate yang belum dimakan, "Tenang, Yas, kita sama-sama udah gede. Aku bisa jaga diri. Pastikan saja kalau emak memang datang atau menanyaiku. Kalau kau yang ngomong, dia pasti bakal ngerti."

Wajah Iyas tertekuk. Perempuan itu tampak tidak bisa menerima perkataan Raka dengan tulus. Nova tidak begitu mengerti, tetapi kedua sepupu itu tidak terlihat seperti sepupu. Mereka tampak begitu dekat layaknya saudara kandung.

"Kalian begitu dekat ya," komentar Nova.

Iyas menoleh dan tersenyum padanya. Pertemuan pertama mereka tidak normal layaknya perkenalan biasa antara dua orang asing. Pagi itu Iyas tampak terkejut sekaligus marah ketika melihat Nova berada di kamarnya, tanpa pakaian. Perkataannya seringkali pedas, tetapi ia seseorang yang berhati lembut.

"Keluarga kami kecil, Nova" katanya, "menjaga satu sama lain sudah harus menjadi suatu kewajiban."

Raka menghabiskan makan malamnya kemudian pergi ke dapur untuk menyimpan piring kotor. Sementara Raka bersih-bersih, Iyas menyandarkan tubuhnya di sofa. Perempuan itu mengerucutkan bibir, tampak berpikir.

Ketika Raka kembali ke ruangan ia bertanya dengan suara lirih, "Kamu pergi bukan karena masih penasaran dengan kematian Jun 'kan?"

Pemuda itu tidak mengambil posisi duduk lagi, alih-alih ia berjalan mendekati sepupunya, menepuk kepala Iyas, dan mengacak-acak rambut ikalnya. Tanpa berkata apapun, Raka naik ke lantai dua, menuju kamarnya, meninggalkan Iyas yang telah berkaca-kaca.

Kedua sepupu itu tidak bicara banyak lagi keesokan harinya. Nova memerhatikan perempuan itu menunjukkan kekesalan dari matanya, tapi tak ada hal yang bisa ia perbuat. Ketika Raka memutuskan untuk pergi, ia sudah mengemas barang-barangnya ke dalam tas ransel. Pakaian yang pemuda itu kenakan kurang lebih sama. Raka menuruti saran Nova agar mengenakan jaket yang lebih tebal. Masih ada waktu sekitar dua jam hingga matahari tenggelam dan hari itu Iyas tidak pergi ke mana pun. Ia berada di ruang makan dengan laptop yang dinyalakan, mungkin sedang mengerjakan sesuatu.

Raka tengah mengenakan sepatunya sementara Nova -yang telah selesai mengenakan sepatunya sejak tadi- berdiri tak jauh darinya. "Kamu enggak pamit dulu?" Raka memandangnya dengan alis berkerut, tampak heran, "Iyas," jelas Nova.

"Enggak usah, nanti kan aku juga balik lagi."

"Bukannya dia terlihat agak marah, ya?"

"Hah? Masa iya?" tanya Raka, bingung. Nova tidak paham apakah memang orang ini tidak sensitif atau memang bodoh. Jelas-jelas sepupunya itu kesal dengan tidak berbicara kepada Raka 'kan?

Pemuda itu melihat kakinya kemudian menghela napas. Ia memandangi arah pintu ruang makan dan kembali lagi beralih ke sepatunya yang sudah terikat. Ia berdecak kemudian mengambil langkah lebar-lebar menuju ruang makan.

Ia tidak masuk ke dalam sana, namun kata-katanya terdengar sampai telinga Nova, "Yas, tenang, aku bakal balik. Jaga kontrakan ya."

Gumpalan kertas terlempar sampai luar ruang makan. "Aku bukan satpam!" serunya. Mungkin Iyas bermaksud melempar Raka sebagai target, tetapi meleset. Iyas menghampiri Raka, memukulnya keras di kepala, kemudian memeluknya erat, "Ya, kamu harus baliklah, Nyet!"

*

Satu pertanyaan yang tidak Iyas utarakan saat itu dan Raka cukup tahu akan konteksnya adalah, sampai kapan? Raka tidak tahu berapa lama ia akan pergi. Meskipun ia mempunyai keinginan untuk kembali, tetapi apakah ia bisa untuk pulang nanti?

Raka dan Iyas memang sudah seperti saudara kandung. Iyas sering dititipkan di rumah karena ibunya yang seringkali masuk ke rumah sakit. Kanker merenggut nyawa orang tuanya itu, dan sang ayah pada akhirnya selalu sibuk bekerja, meninggalkan Iyas di rumah tante beserta pamannya, ditemani dengan Raka sang sepupu. Intensitas pertemuan mereka yang sering, menyebabkan orang tua Raka menganggap Iyas sebagai anak mereka sendiri. Usia mereka tidak berbeda jauh, hanya memiliki selisih setahun dan Iyas-lah yang lahir terlebih dahulu. Hidup sepupunya keras dan mungkin membuatnya menjadi seorang perempuan tangguh, kasar, dan sedikit rapuh.

Ia tidak tahu bagaimana perasaan Iyas sebenarnya sebelum Nova menyuruhnya untuk berpamitan. Ketika Iyas memeluknya, ia berbisik dengan suara gemetar, "Kalau kamu sampai kenapa-kenapa, Ka...," ia tidak menyelesaikan kata-katanya.

Ia menghela napas, mengingat jawaban yang diberikan pada kakak sepupunya itu bukanlah sebuah jawaban yang menenangkan. Bukan berarti Raka menganggap remeh hal ini, tetapi ia yakin dirinya akan baik-baik saja.

"Apa Iyas tidak apa-apa?" tanya Nova, memecah lamunan Raka. Mereka memutuskan untuk berjalan kaki mengingat masih banyak waktu menjelang senja. Sore itu cerah tak berawan, memajang langit biru di kaki langit. Rambut burgundi Nova tampak berkilau di bawah cahaya keemasan sore itu.

"Yep."

"Sungguh?"

Raka mengencangkan tas ranselnya, tersenyum penuh arti, "Pertama kali kita bertemu, kau tidak mau berbicara apapun. Sekarang kau mencemaskan orang lain yang baru kau kenal? Kenapa orang-orang selalu mencemaskan orang lain, huh?"

"Iyas keluargamu, dia pasti berharga untukmu 'kan?" seorang supir angkot baru saja menekan klaksonnya, memanggil mereka untuk masuk. Nova menolaknya dengan anggukan. Ia menambahkan, "Kamu pasti berharga untuknya."

"Ya. Tapi dia sudah dewasa, aku juga sudah dewasa. Iyas bisa menjaga dirinya sendiri begitu juga denganku. Enggak perlu terlalu mengkhawatirkannya," Raka melihat Nova yang mencengkram liontinnya dan gadis itu mengalihkan pandangannya, "Yang terpenting sekarang adalah di mana Cyrus."

Nova mencemaskan teka-teki mengenai tiang besi dan ratusan cahaya yang belum terjawab, tetapi Raka tidak begitu menggubrisnya. Ia yakin bahwa kalimat kedua itu bukan petunjuk prioritas mereka, karena yang menjadi prioritas mereka adalah menemukan Cy dan mereka sudah mengetahui keberadaannya...kurang lebih.

Sejak mereka berjalan keluar dari perumahan, dua puluh menit telah berlalu. Mereka tidak memilih jalan utama yang lebar. Meskipun begitu, Raka baru menyadari akan banyaknya jajaran mobil di sepanjang jalan. Kendaraan umum, mobil pribadi, bahkan pengendara motor berhenti dan tak bisa bergerak sama sekali. Sebuah mobil sedan hendak menyalip dan mengambil jalur yang bukan miliknya, tetapi kebodohan itu malah membuat keributan di badan jalan satunya. Klakson ditekan menimbulkan kebisingan, pengendara mobil melongokkan kepala dari jendela, memaki dengan murka.

Raka merasa pernah mengalami hal ini sebelumnya, hanya saja ia kini tidak lagi mengendarai sepeda. Mungkin pilihannya untuk berjalan kaki benar. Kemacetan ini terlalu panjang dan terlalu memakan waktu. Bahkan berjalan setengah jam kemudian, mobil-mobil yang hanya bisa menunggu dengan jengah pun tidak kunjung maju. Suara klakson saling menyahut, tetapi tidak senyaring dan membuatnya sakit telinga. Setelah mereka melewati trotoar besar yang mulai dipenuhi dengan pedagang kaki lima, lampu jauh dari kendaraan yang terjebak macet itu mulai dinyalakan. Raka dapat melihat lampu berwarna biru, merah dan jingga berkelip tanpa henti.

Mereka mempercepat langkah, cukup kesal dengan motor-motor gila yang mulai naik trotoar dan nyaris menyerempet mereka. Sebuah mobil pemadam kebakaran dan dua buah mobil polisi menghalangi perempatan jalan di bawah jembatan layang. Raka tahu tidak ada kobaran api di sekitar mereka dan ia pun tahu tidak ada mobil atau motor terguling tanda terjadinya kecelakaan. Tidak ada orang yang berjalan terpapah karena patah tulang atau apapun itu dan juga tidak ada anak yang menangis karena syok. Hanya saja semua orang menengadahkan kepalanya, meringis penuh kengerian.

"Sepertinya kita menemukan Cyrus," Nova memegang tepi sikut Raka, mengarahkan dagunya ke atas sana.

Langit tak lagi berwarna jingga, warna nila mulai menyeruak menyelimuti kota, dan mungkin bintang pertama sudah terlihat di ujung sana. Mengikuti arah pandang gadis itu, seorang pria tengah berdiri di tepi pagar jembatan layang seolah-olah hendak melompat. Warna hitam yang membentuk sosok itu bukanlah sebuah siluet, tetapi memang seluruh pakaiannya sehitam malam.

Polisi memasang pembatas jalan, meminta pengendara mobil untuk mengalihkan perjalanannya melewati rute lain. Belum lagi dengan lamanya lampu lalu lintas untuk berganti warna menjadi hijau, usaha para polisi itu tidak membuahkan apapun. Seorang petugas damkar memegang toa, menyalakan sirenenya dan meminta pria itu untuk turun. Mereka mungkin cukup depresi karena tidak ada yang mengenakan tangga untuk membawa Cyrus turun dengan paksa..

Mengejutkannya, suara Cyrus cukup lantang di tengah hiruk pikuk ini, "Tidak ada yang mau bunuh diri, demi Tuhan-ku dan Tuhan-mu! Ya ampun. Apa salahnya melihat matahari tenggelam, hah? Semua orang suka dengan matahari tenggelam. Itu romantis 'kan? Kalian sudah dibutakan dengan rutinitas jadi tak tahu rasanya menikmati langit jingga sekali-sekali ya? Bulan Oktober yang sering dilanda hujan ini tumben-tumbennya tampak cerah, tahu. Kau tidak sadar apa hei, pak polisi?"

Cyrus yang berdiri diam kini melangkahkan kakinya, masih tetap di tepi jembatan layang yang hanya lebarnya kurang dari sejengkal tangan. Setiap langkah yang ia ambil menimbulkan suara orang-orang yang menahan napas, takut akan hal yang paling buruk terjadi.

"Saya minta Anda untuk turun, Pak! Tidak ada yang mau menyakiti Anda dan tidak ada yang mau melihat Anda terjatuh!"

"Dia benar Cyrus 'kan?" Nova menelan ludah, matanya memandang pria itu dengan penuh kengerian sama dengan orang-orang di sekitarnya, "Dia sedang apa?"

"Cari perhatian?" Raka tidak tahu jawaban yang lebih bagus daripada itu.

"Aku sedang menunggu seseorang, Pakpol!" serunya belasan meter dari atas tanah.

Pihak berwajib mengerutkan alis, mendengarkan suara dari woki-toki dan kembali bersuara melalui toa, "Anda bisa menunggu orang di tempat yang jauh lebih normal, Pak! Sekali lagi kami minta Anda untuk turun dengan hati-hati!"

Cyrus melangkah lagi dan lagi-lagi orang menahan napas karenanya, "Aku bisa mengamati mereka dengan baik kalau begini. Sudah atau belum mereka sampai di tempat pertemuan," Ia mencodongkan tubuh, memindai orang-orang di bawah sana kemudian menuding Raka dan Nova dengan telunjuknya, berseru, "Tuh! Mereka di sana! Lebih mudah, kan? Kan?"

Dengan cepat semua orang mencari-cari siapa orang yang ditunjuk oleh orang gila di atas sana. Memandang Raka dan Nova, mata penduduk sipil dipenuhi dengan penuh amarah dan juga tuduhan seolah-olah mereka yang telah membuat seluruh keributan ini. Di sela-sela cacian dan umpatan yang berkeliaran di telinganya, Raka terpikir untuk mengambil langkah lebar-lebar, kabur dari sana. Tetapi pikiran Raka tidak bertahan lama karena terbuyarkan oleh jeritan seorang perempuan.

Cy melompat.

Semua orang menjerit, beberapa berlari keluar dari kerumunan. Pak polisi terpaku dan sayangnya, pemadam kebakaran tidak menyediakan trampolin untuk tempat mendarat yang baik. Mereka berlari ke sana ke mari seperti semut yang ditiup dan kehilangan jalurnya. Tak ada jeritan dari mulut Cyrus dan ia tidak mencoba untuk melawan gravitasi sama sekali. Ia tampak tenang dan bahkan tertawa layaknya seorang maniak. Cy memutar tubuhnya dua meter sebelum menyentuh tanah. Menginjak kepala seorang petugas pemadam kebakaran, ia mendarat dengan sempurna.

Langkahnya ringan ketika ia berjalan meninggalkan polisi yang bertukar pandang kebingungan di belakang. Seringainya jelek, gigi buruknya terlihat semakin jelas seiring Cy berjalan mendekati posisi Raka dan Nova. Orang-orang mengambil ponsel mereka, merekam kejadian itu tanpa henti dan mungkin tak lama lagi berita sinting ini akan menjadi topik utama di internet: 'Orang Lompat, tapi Terbang dan Selamat'. Yah, Raka tak bisa memikirkan judul artikel yang lebih norak daripada itu.

"Kalian harus tanggung jawab," ucap Cyrus sambil merangkul mereka, menarik mereka menjauh dari kerumunan. "Kalian telah membuatku menunggu, tahu. Sebagai catatan, menunggu itu membosankan."

Raka melirik ke belakang. Para masyarakat sipil terus berkomentar, memandangi mereka dengan rahang yang jatuh ke tanah. Beberapa di antaranya mulai memanggil-manggil nama Tuhan meminta kejelasan.

"Kau bakal membiarkan keributan ini?"

"Keributan apa? Bagus kan jadi ribut? Biar ada yang diurus," ucap pria itu sambil membawa mereka memasuki halte yang tak pernah terpakai.

Suara huru-hara di belakang mereka lambat laun meredam dan ketika mereka keluar dari halte tersebut, Raka merasakan suasana di sekitarnya yang berubah rancu. Ia selalu ingat sensasi aneh ini: terlalu tenang, terlalu hening, terlalu gelap, dan terlalu nyata.

*

//Siapa yang pernah nonton Petualangan Sherina? *tunjuk tangan* Inget banget doi meskipun ga luka, nempelin hansaplast di mana-mana biar dibilang keren (atau mungkin gaya, aku lupa) hahaha

Entah kenapa aku seneng menarasikan hubungan Iyas-Raka yang begitu akrab. Well, family is everything, no? Dan entah kenapa aku juga seneng bisa menceritakan kegilaan Cyrus di chapter ini. Terimakasih masih membaca, terimakasih para pembaca tersayang. Bintang dan komentarmu akan sangat berarti!

Maaf dengan gif yang kebanyakan, lagi...lagi pengen aja. Chapter berikutnya suprisingly hampir 4300 kata, semoga kamu ga bosen bacanya. See ya!//

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro