🐣23. Kesedihan Tanpa Henti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ziva sudah berusaha 'tuk tidak mengingat berbagai kejadian buruk tadi pagi. Tapi mengapa pikiran itu nakal? Ia justru melakukan hobinya, yaitu kembali berputar di kepala Ziva hingga gadis itu merasa pusing.

Tubuh mungilnya itu meringkuk di atas kasur. Berlian berharganya pun masih senang untuk bertamasya di sana.

"Sora, kenapa harus Kakak Ganteng gue yang lo pake? Kenapa nggak sama Kak Biru aja? Lo tau, 'kan, gue sayang sama dia?" Ziva masih sesenggukkan. Semburan angin dari ac yang menempel di dinding kamar pun seolah tak mampu membuat tubuh itu terasa dingin. Kebal rasanya.

"Kakak Ganteng, kenapa harus Sora? Kenapa nggak cewek lain aja? Emang aku kurang apa di mata Kakak? Aku terlalu jelek, ya? Terlalu bodoh dalam bidang akademis? Tapi nilai aku sekarang udah membaik, loh." Ziva tersenyum miris sambil menatap boneka Ice Bear yang ia letakkan di samping bantal.

"Bara," panggil Ziva pada boneka kesayangannya. Betul, nama itu ia ambil dari nama tengah Nusa yang dirasa memukau hati. "Emang Ziva pantes, ya, dikhianatin sahabat sendiri? Oh, iya, Ziva lupa. Kata Mama, anak yang nggak berbakti kayak Ziva gini tuh pasti menderita. Iya sekarang terbukti, kok. Ziva emang buruk, nggak boleh punya orang-orang yang tulus sebelum Ziva bisa dikatain berbakti sama Mama."

Ziva terus menganggap bahwa dirinya tak pantas untuk menikmati dunia. Merutuki diri sendiri adalah satu hal yang fokus ia lakukan sekarang hingga kedua matanya terpejam.

Memasuki sebuah layar hitam pekat yang ia rasa adalah sebuah penenang dari segala permasalahan yang ada.

"Ziva," panggil Nusa sembari menatap gadis itu penuh arti.

"Iya?" Kapan lagi Nusa bisa memanggil dengan nada manis seperti itu? Jika boleh meminta izin pada semesta,  Ziva pasti ingin menghentikan waktu supaya bisa menikmati rasa bahagia berdua tanpa ada gangguan.

Nusa tak lagi menjawab.

"Kakak Ganteng mau ngomong apa?"

"Nggak apa, gue suka aja nyebut nama lo."

Ziva membelalakkan mata, lalu mencubit pipi cowok di sebelahnya itu cukup kencang. Seketika dalam hitungan detik, Nusa menyesal sudah memperlakukan Ziva layaknya seorang pacar. Gadis itu justru kambuh.

Nusa menatap wajahnya datar.

"Kakak Ganteng gemesin soalnya kayak aku."

"Hm."

"Ih, kok marah?" tanya Ziva panik. Apakah cubitannya tadi terlalu kencang? Aduh, apa jangan-jangan lapisan kulit pipi milik Nusa akan copot dan wajahnya akan berubah seperti zombie?

Sontak Nusa terdiam untuk yang kedua kalinya, supaya gadis itu terlihat semakin penasaran.

"Maaf, Kak." Ziva menunduk. Wajahnya penuh dengan penyesalan. Ternyata ia sudah salah memperlakukan seseorang. Tak seharusnya semua itu dilakukan demi menjaga perasaan satu sama lain.

"Hahaha ...." Terdengar gelak tawa yang cukup kencang. Tak jauh. Hanya berkisar beberapa senti. Betul, itu adalah suara Nusa.

"Kok serem ketawa sendiri?" Ziva meletakkan telapak tangannya di pelipis Nusa.

"Lo lucu, baperan."

Ziva berdecak.

Sampai akhirnya di saat itu pula, ada sebuah bayangan samar. Ia memberikan sebuah permen berbentuk hati. Hanya satu buah. Nusa meraihnya secepat kilat.

Beberapa jarinya sibuk merobek bungkus plastik permen tersebut. Dikeluarkannya permen itu dari sang tempat berlindung, lalu dijepit dengan kuat menggunakan sepasang jari jempol dan juga telunjuk Nusa.

"Mau suapin aku?" tanya Ziva sok tahu.

Perlahan sepasang jari itu merobek permen berbentuk hati tersebut. Beberapa butir gula pun jatuh berhamburan tak tahu ke mana.

"Kok disobek?" Ziva bingung. Bukankah bentuknya lebih bagus apabila disatukan?

"Maaf kalo udah bikin lo baper akhir-akhir ini." Nusa melempar salah satu permen hati yang sudah ia bagi dua itu ke sembarang arah, kemudian meletakkan bagian satunya di atas telapak tangan Ziva. "Ini jawaban dari gue waktu lo nanya kapan kita pacaran. Gue cuman kasian sama lo, dan itu semua sebagai wujud terima kasih karena udah sayang sama Zea."

Air matanya lagi-lagi lolos begitu saja. Ya ampun, kenapa membalas kasih sayang untuk Zea saja sampai harus berbuat manis dulu baru menyakiti? Apakah memang cinta semain-main ini?

"Maaf, gue selama ini cuman bohongin perasaan lo aja, karena Sora jauh lebih baik daripada lo. Dia pinter, baik, kalem, nggak pecicilan dan malu-maluin." Nusa semakin memperjelas ucapannya. Baiklah, Ziva harus mengetahui ini semua agar semua menjadi jelas. Tak akan ada lagi yang mengejar, melainkan saling menjauh demi menghindar dari dosa.

"Lagian gue juga udah ngelakuin hal yang enggak-enggak, dan itu semua demi nikah sama Sora. Secinta itu gue sama dia di belakang lo." Senyum Nusa kembali terlukis. Membuat Ziva yang sudah rapuh menjadi semakin hancur.

Kelopak matanya terbuka secara paksa saat mendengar sebuah ketukkan pintu yang cukup keras dari luar sana, apalagi ketika mendengar Mela terus membanding-bandingkan Ziva dengan Sora di hadapan Rilla—sepupunya.

"Tante nggak tau itu anak kenapa murung banget hari ini, tapi Tante jamin besok bakal ada panggilan lagi dari Bu Happy. Kamu ajarin Ziva, ya, biar pinter kayak Sora." Telinga Ziva dapat mendengar dengan jelas.

Hahaha ... pintar seperti Sora. Rasanya Ziva ingin tertawa kencang. Tak ada gunanya memiliki otak yang cerdas jika sikapnya enggan menunjukkan kualitas diri. Lucu memang, kepintaran selalu dijadikan tolak ukur, dan biasanya hal itu justru menjadi pembelaan walau tak ada arti.

Rilla mengangguk paham. Walau memang dirinya sepertu seorang tukang jaga sang sepupu, tapi ya sudahlah daripada disumpah serapahi oleh si tante.

"Makanya Rilla kalau di rumah yang berbakti, ya, biar makin cerdas." Mela mengusap puncak kepala Rilla lembut, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Rilla sendirian di depan pintu kamar Ziva.

Saya udah berbakti, Tan. Tapi tetep masuk IPS, batin Rilla pasrah. Kemudian ia mengetuk pintu kamar Ziva pelan. "Gue masuk, ya."

"Siapa?" Ziva mengusap air matanya kasar, kemudian berpura-pura tersenyum saat membuka pintu. Benar, ada sepupunya yang datang tanpa diundang. "Oh, Rilla. Lo ngapain ke sini? Belajar aja atau pacaran sama Reda, biar bisa masuk IPA. Gih, pulang."

"Oh, gitu. Gue diusir, nih?" tanya Rilla sembari berjalan masuk ke dalam kamar Ziva.

Tanpa mempedulikan kehadiran Rilla yang sudah duduk di pinggir ranjangnya, Ziva kembali meringkuk di atas kasur sambil memeluk erat Bara. Matanya berusaha dipejamkan, tapi mengapa selalu gagal untuk kembali ke layar hitam tadi untuk mengganti saluran?

Ziva menoleh sedikit. Ternyata Rilla masih tak peka juga dengan apa yang Ziva katakan tadi. Sudahlah ... biarkan saja gadis itu sampai jenuh dengan sendirinya, kemudian pergi.

"Lo kenapa? Mau dikeluarin dari sekolah sama Bu Happy?"

Ziva menggeleng cepat. "Nggak apa-apa, kok."

"Udah kerjain PR belom? Kerjain, dong, biar pinter kayak anak IPA."

Ziva tertawa kecil. Di mata Rilla, murid di jurusan IPA itu pasti pintar. Namun, ia tak tahu saja akan perilaku Nusa yang sebenarnya. Ia siswa IPA, pintar di akademis seperti Sora, tapi sayangnya ... perilaku justru berbalik dengan apa yang terpikirkan.

Anjir dicuekkin lagi, batin Rilla kesal karena tak mendapat sahutan dari gadis itu.

Tak lama, Ziva kembali ke dalam keadaan yang sebenarnya. Tak lagi kuat jika harus berpura-pura tersenyum di depan Rilla. Hatinya tak selaras dengan apa yang otaknya perintahkan. Ziva tak mau terjebak dalam kepalsuan lebih lama. Bergelut dengan segala macam air mata mungkin lebih penting sekarang demi membuat emosinya lebih stabil.

"Lo nangis, Va?" Rilla jadi panik. "Sini cerita sama gue makanya. Jangan dikacangin."

"Menurut lo, orang bodoh kayak gue tuh pantes bahagia nggak, sih? Apa karena gue bodoh, jadi gue nggak berhak?"

Tunggu ... baru pertama kali ia melihat Ziva menangis. Ziva yang biasanya tak mempunyai urat malu, kini semuanya berbeda. Rilla tercengang.

Belum sempat Rilla menjawab, Ziva sudah kembali membuka mulut. "Nggak jadi, deh. Gue salah orang. Biasanya lo selalu ngebela orang pinter, jadi harusnya gue nanya ke Weka aja, hehe ...."

Rilla memutar bola matanya malas. Ia bahkan tak tahu akar permasalahannya di mana, tapi gadis ini sudah menjelek-jelekkan dirinya begitu saja. "Bukan gitu, Va. Semua orang itu pinter, mereka cuman males aja," bela Rilla.

Ziva tertawa, kemudian kembali mengusir Rilla. Nyatanya jikalau Ziva bercerita soal Nusa dan juga Sora, pasti Rilla akan membela mereka. Sebab di mata Rilla, orang pintar tak pernah salah.

"Udah ... Rilla pulang aja."

Rilla melipat kedua tangannya di depan dada seraya bangkit dari kasur. "Belom sepuluh menit gue di sini, udah diusir lagi. Ya udah mungkin lo butuh waktu sendiri. Tadinya gue mau ngajak lo jalan, tapi tuh muka galau banget. Gue ajak kapan-kapan aja. Bye...!"

Ziva bersyukur, akhirnya Rilla benar-benar pergi. Ia tak butuh siapa pun. Ziva hanya ingin tenggelam dalam kesendirian, merutuki diri sendiri sampai puas, dan mungkin terus menangis sampai air matanya mengering hingga malaikat pencabut nyawa datang menjemput  dari dunia yang fana.

"Tuhan ... kalo Ziva meninggal, Ziva mau bobo aja di pangkuan malaikat selamanya. Ziva nggak mau lahir lagi ke dunia, soalnya semua orang itu jahat."

Dadanya terasa sesak. Walau sebenarnya sesak yang ia alami masih belum sebanding dengan beberapa remahan hati yang pergi melarikan diri tak tahu ke mana. Mungkin ... sekarang hatinya juga sudah meninggal. Tersisa raga dan jiwa yang masih nyaman untuk tinggal di dunia walau kerap menjerit tiap waktu.

"Sekarang rasanya hidup Ziva kayak sebatang kara. Rilla nggak peka, Regan pasti malah ngomel kayak mama. Emang, ya, kalau kita sedih itu paling susah dimengerti orang lain." Air matanya berlari semakin kencang. Melirik ke arah sekitar—merasakan kehampaan yang begitu dalam.

Kalau saja ia memiliki orang tua seperti milik Nusa, pasti hidupnya akan bahagia. Mempunyai adik seperti Zea juga boleh, bisa menghibur setiap saat. Tapi sayang ... apa yang kita inginkan tak selalu mau menjadi milik kita. Entah apa maksud semesta, tapi kata orang, rencana-Nya adalah yang terbaik walau mungkin Ziva tak merasakan itu.

Ini Bara-nya Ziva


Hush jan salfok sama anjing kiyut itu.

Cieee ada Rilla-nya saturasisenja . Jodoh, kita udah so sweet yaw🤣. Tokoh utama kita sepupuan uwuuu

Hayo kalian baca IPS Naik Tahta gih biar tau Rilla kayak gimana fanatiknya sama IPA. Ucul tau ceritana

Btw ini perasaan bongbong waktu revisi bab ini

Astaga kok makin nyebelin ya😭, udah gitu masa ada bawangnya 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro