🐣25. Maaf

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah hampir dua minggu Sora tak datang melayat ke makam orang tuanya. Hari ini bersama penyesalan yang ia pendam akan tercurahkan kepada jasad yang telah terkubur. Dibelainya dua buah batu nisan yang mengapit tubuh itu.

"Maaf." Sora tahu kata itu tak bisa menggantikan semua yang sudah ia perbuat. Sudah pasti mereka yang tengah duduk di akhirat memendam emosi.

Andai keduanya masih menapak kaki di dunia, pasti segala jenis kekecewaan sudah dilontarkan pada anak semata wayangnya tersebut.

Sora tahu, ia benar-benar tidak tahu diri. Bukan membahagiakan kedua orang tua, tetapi justru merusak kepercayaan yang mereka berikan. Betapa jelas ingatannya soal kasih sayang tanpa henti yang ia dapat dulu.

"Ayah, Bunda, Sora minta maaf. Sora jahat, udah ngekhianati kepercayaan kalian." Pelupuk matanya tak lagi sanggup menampung segala beban. Pikirannya benar-benar penuh akan rasa sesal. Ia juga tak tahu mengapa semua ia lakukan.

Terlintas sebuah bayangan di kepala gadis berusia enam belas tahun tersebut. Gambaran indah dan damai tentang hidup di bumi pertiwi.

Bertahan dalam uang yang tak banyak, meminjam uang pada tetangga demi mencukupi kehidupan sehari-hari.

Dulu, ekonomi yang rendah bukanlah sebuah persoalan, karena memiliki kebahagiaan yang kaya. Namun, di saat bahagia melanda, sebuah kabar buruk justru menghantui keluarga Sora.

"Bunda minta maaf udah nyusahin kalian. Penyakit ini datang juga bukan karena kemauan Bunda." Lina meminta maaf bersama air mata yang berlinang.

"Nggak apa-apa, Bunda. Nanti kita berjuang bersama-sama, ya. Bunda harus sembuh, kalau Bunda pergi, nanti nggak ada yang masakkin Sora makanan enak lagi," rengek gadis berusia belasan tahun itu.

Lukito hanya diam—pusing memikirkan dana. Tak mungkin membiarkan sang istri meninggal begitu saja, tak 'kan rela ia dan anaknya melepas kepergian orang yang paling dicinta.

Berkat penyakit kanker stadium tiganya itu, keluarga mereka dibuat semakin hancur. Setiap hari harus berpikir darimana uang yang bisa mereka dapatkan untuk biaya pengobatan.

Gaji Lukito tak akan cukup untuk membiayai semua. Jumlahnya berkisar pada rata-rata buruh pada umumnya.

Sampai akhirnya semesta lebih memihak pada yang kuasa. Nyawa Lina harus direnggang begitu saja, bahkan dengan kejam pula Lukito dibuat celaka saat pergi ke tempat kerja.

Lukito benar-benar dalam kondisi yang tak layak lagi dilihat. Sebagian wajahnya hancur karena tamparan aspal. Luka yang tak bisa sembuh itu terpaksa harus ikut berbaring di atas wajah Lukito dalam balutan kain kafan.

"Bunda, Ayah, kenapa kalian tinggalin Sora? Sora harus tinggal sama siapa? Sora nggak punya siapa-siapa lagi!" Sora terus menangis seraya menatap dua buah keranda yang mengapit tubuhnya sekarang. Tak lagi ada asa untuk membayangkan masa depan yang cerah. Semuanya menjadi gelap gulita.

Doremi Nada Angka—sepupu dari Sora—yang hanya terpaut beberapa tahun lebih tua—menepuk bahunya pelan. Mengajaknya untuk tinggal di satu atap yang sama. Namun, pada akhirnya gadis itu menolak, dan hanya menerima sokongan dana dari Bu Doremi. Walau pada saat memasuki SMA, Sora mulai belajar mandiri—bekerja di supermarket.

"Sabar, Dek. Kamu harus ikhlas. Mungkin Tuhan mau Sora hidup lebih mandiri." Doremi masih berusaha menenangkan walau paham rasanya tak memiliki orang tua. Semua harus dibuat rela, karena seberat apa pun kehendak kita untuk melepas, segalanya akan pergi di waktu yang tak tertebak.

"Maaf, Sora kotor. Nggak seharusnya Sora duduk di sini dan minta maaf sama kalian." Sora mengusap air matanya kasar sembari melirik ke kedua makam sang ayah dan bunda.

"Sora nggak tau, setiap liat dia, rasanya Sora mau aja nurut apa yang dia suruh, padahal itu bisa ngehancurin hidup Sora sendiri. Sekarang ... semuanya udah hancur, nggak bisa diperbaiki lagi." Ia bercerita. Dirinya benar-benar tidak bisa dikendalikan saat kedua pasang mata bertemu, apalagi saat mengingat kejadian paling ia tunggu di tempat itu.

"Maaf Sora udah bohongin diri sendiri, udah ngehancurin perasaan semua orang." Mungkin sekarang rasa sesal itu datang, tapi ... saat kedua tatap mata bertemu, ia benar-benar tak bisa mengendalikan. Cinta adalah satu kata yang mampu mendeskripsikan semua. Semuanya sudah terlanjur dan harus dipertanggungjawabkan.

Tak lama, akhirnya gadis ini bangkit dari posisi. Melempar senyum pada dua buah batu nisan yang tak tahu lagi kapan ia lihat. Jam kerjanya sudah memaksa untuk pergi. Tidak bisa berlama-lama menikmati suasana sepi dalam sendiri.

"Bye ... Yah, Bun. Sora mau berangkat kerja dulu."

💊💊💊

Sudah beberapa minggu Nusa tak menampakkan diri di ruang eskul. Biasanya ia merupakan siswa paling teladan. Enggan bolos eskul karena terlalu cinta, bahkan terlambat pun tak pernah.

Sejak saat itu pula para anggota menjadi semakin jarang berlatih. Berkumpul saja bisa dihitung menggunakan jari, bahkan di grup pun tak ada yang bertanya soal nasib eskul choir ke depannya.

Bu Doremi sebenarnya agak pasrah, tapi ... ah, akan ia cari Nusa untuk meminta kepastian. Membujuk pria itu supaya mau kembali mengurus. Lagi pula masih banyak murid lain yang menguasai tanda baca dan juga penggunaan kalimat efektif untuk menjadi pengganti Ziva.

Guru eskul choir itu terus menyusuri satu sekolah, hingga akhirnya ia berhasil menemukan keberadaan Nusa. Masih dalam keadaan yang berantakkan, tak memiliki harapan hidup.

Bu Doremi menjentikkan jari di udara—bersyukur karena akhirnya bisa menemukan raga itu lagi. Sudah hampir sebulan mereka tak bertemu, bahkan terdengar kabar di ruang guru bahwa nilai-nilai yang selama ini diraih Nusa harus menurun cukup drastis.

Bu Doremi melangkah cepat, ikut duduk di samping Nusa. "Nusa," panggilnya.

Lantas Nusa menoleh, berpura-pura menyungging senyum serta anggukkan sebagai rasa hormat.

"Iya, Bu? Ada apa?" tanya Nusa sedikit berbeda. Agak lemas dan tak bergairah. Kini, di pikirannya hanya ada kamar. Bisa membaringkan tubuh dan bermain game online untuk melupakan segala pertanyaan Zidane dan Nissa tentang pernikahan yang harus segera diselenggarakan.

"Kamu kenapa?"

Nusa masih menutup mulut. Untuk apa ia bercerita pada seorang guru? Memang Bu Doremi adalah salah satu guru yang paling ia suka, tapi keyakinannya tak mampu berkata bahwa semua rahasia akan terjamin di dalam raga wanita muda tersebut.

"Nusa," panggilnya sekali lagi. Lembut. Tanpa amarah sedikit pun terdengar dari suara Bu Doremi. "Bagaimana nasib eskul choir?"

Nusa diam. Tak terlintas sedikit pun nama itu. Semua pikirannya berpusat pada Ziva. Teringat jelas momen ketika gadis itu hendak menjawab, tapi seorang perempuan datang menghancurkan segalanya.

Bu Doremi semakin berpikir keras. Jika cara seperti ini tidak berhasil membangkitkan semangat ketua eskul ini, cara apalagi yang harus ia pakai?

Ah, iya, otak cemerlangnya seketika bekerja.

"Saya bingung sama sepupu saya—sahabatnya Ziva. Dia berubah."

Bu Doremi kembali mengungkit, dan tentu saja hal itu berhasil membuat Nusa terpecah dari lamunan.

Hayooo itu si Sora kenapa berubah juga depan Bu Doremi? Terus itu siapa yang Sora maksud? Apa jangan-jangan Sora beneran jatuh cinta sama Nusa?

Hahahaha tebak yuk

Happy reading, Bebsky!

Lav u,

Bong-Bong ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro