🐣27. Cowok Lain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ziva sudah tak tahu lagi bagaimana nasib kisah cintanya bersama Nusa. Ia hanya bisa pasrah pada semesta. Terus merutuki lelaki berengsek itu setiap hari mungkin sudah menjadi kebutuhan bagi Ziva.

Menampilkan wajah bahagia selama beberapa minggu terakhir di sekolah, lalu menangis ketika sudah sampai di rumah. Hanya itu yang ia lakukan setiap hari.

Cinta pertama yang ternyata tak seindah ekspektasi, semuanya suram seperti kenangan pahit bersama mantan. Tunggu sebentar, memang Ziva punya mantan? Oh, iya, tidak. Jadi, ia juga tak boleh menggunakan perumpamaan yang tidak bersangkutan saat sedang bercerita.

Gadis itu hanya bisa berharap kelak hubungan antara Nusa dan Sora bisa bahagia walau tak ikhlas sebenarnya doa itu dirapal. Memang ia sendiri pun bingung kenapa sampai bantu bicara pada Tuhan, tapi anggap saja itu perbuatan baik yang bisa ia lakukan agar bisa masuk surga.

"Ayo ... Ziva, lo harus bisa move on! Ngapain coba tangisin cowok najis kayak gitu? Sayang air mata lo," ucap Ziva untuk menyemangati diri sendiri. Sudah cukup air matanya terus terkuras deras, tapi hatinya justru semakin memburuk.

Jari-jari kurus kering itu mulai berjalan ke atas layar ponsel miliknya. Menekan sebuah aplikasi yang sudah tak lama dilihat sejak bertemu Nusa. Yap, para jari dan mata rela menahan nafsu melihat cogan di luar sana. Cukup satu yang harus Ziva perjuangkan, yaitu Nusa. Tapi sayangnya itu hanya berlaku sementara waktu saja.

Tampak seorang lelaki tampan di sana bernama Nazril. Karena jarinya pun bisa diajak kerja sama, mereka berdua akhirnya match.

Berharap aja dia lebih ganteng dari Nusa di kehidupan asli, Ziv, batin Ziva pasrah.

Halo, salam kenal. Aku Nazril dari sekolah tetangga, sapa cowok tak dikenal itu melalui aplikasi kencan.

"Hai," balas Ziva yang mendadak jadi perempuan tak agresif, sebab ia masih ragu pada ketulusan hati seorang cowok yang baru saja dikenal. Hatinya masih belum bisa menerima dengan sempurna jika harus menggantikan posisi Nusa. Memang itu adalah hal yang bodoh, tapi tak tahu kenapa itu terjadi.

"Kamu cantik, boleh nggak aku minta WA kamu biar kita kenalannya lebih gampang?" Benar-benar langsung pada intinya, tapi hal itu berhasil membuat Ziva setuju. Tak tahu kenapa kedua jempolnya justru mengetik angka berjumlah dua belas miliknya.

Sampai yang bermula hanya dari aplikasi kencan, mereka benar-benar pindah ke aplikasi  chatting tersebut.

Dilanjutkanlah perbincangan di antara keduanya, dan Ziva rasa, ini bukan perkenalan yang buruk.

"Kamu tinggal di mana?" tanya Nazril penasaran.

Ish kepo, untung ganteng! batin Ziva. Walau pada akhirnya gadis itu tetap menjawab, "Di rumah Ziva."

Di balik layar ponselnya pula Nazril menepuk jidat. Gemas rasanya. Benar memang jawaban Ziva barusan, tapi bukan itu yang ia harapkan. Banyak opsi lain seperti menyebutkan alamat rumah, siapa tahu Nazril bisa mampir usai pulang sekolah.

"Maksudku, alamat rumah kamu."

"Ya Tuhan ... kok cowok ini aneh? Kepo banget! Masih lebih mending Kakak Ganteng, sih, walau galak dan berengsek, ah ... tapi lo harus move on, Zivanna!" Ziva tampak bimbang untuk melanjutkan perbincangan, tapi bagaimana bisa semua rasa sedihnya bisa hilang kalau tidak terlampiaskan pada pria aneh satu ini?

Tunggu ... apa jangan-jangan manusia ini mau menculik Ziva lalu mengurung di gudang dan ternyata ia adalah orang suruhan Sora? Tapi untuk apa Sora melakukan itu semua? Karena takut Nusa kembali ke pelukkan Ziva? Aduh, harus hati-hati sepertinya.

Ziva menggelengkan kepala cepat. Memusnahkan segala pikiran negatif yang tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Kata Bu Doremi, 'Kalau pikiran kita negatif, maka yang datang pun akan negatif.'

"Ziva?" panggil Nazril saat menyadari pesan di WhatsApp miliknya menunjukkan dua buah centang berwarna biru.

"Ya ... di bumi kalo Nazril mau tau lebih lanjut. Ada di tempat Nazril berpijak sekarang."

Nazril akhirnya menyerah. Lagi pula untuk apa juga ia mengetahui alamat gadis bersurai hitam ini? Masa iya datang ke rumahnya untuk melamar secepat itu? Atau mungkin sebatas ingin tahukah? Ah, Nazril ... apa yang kamu lakukan? Bukankah pada pertemuan pertama harus terlihat sempurna demi memikat hati sang perempuan?

"Okay. Kalau aku tinggalnya di hati kamu. Percaya, nggak?" tanya Nazril lagi supaya gadis itu terus membalas.

Ziva mengernyit. "Ternyata nggak segampang itu buat baper sama cowok lain. Gue masih belom bisa move on. Masih pengen balik sama Kakak Ganteng."

"Maaf, gombalan kamu nggak bikin Ziva meleleh."

"Kamu geli, ya, sama aku?" Nazril sadar. Memang semua yang ia ucap itu tak ada faedah. Terlalu terlihat tidak profesional dalam urusan cinta. Apakah mungkin Nazril harus berakting sebagai cowok pendiam yang disukai oleh banyak perempuan?

Di balik layar ponselnya Ziva mengangguk tak sadar diri. Ingin rasanya melempar ponsel itu ke sembarang arah supaya ada alasan bahwa ponselnya rusak karena terjatuh dari ketinggian. Tapi sayang, Mela pasti mengeluarkan jurus mitosnya.

Tiba-tiba saja layarnya menunjukkan bahwa ada telepon masuk dari seorang lelaki tampan itu. Jika dilihat dari foto yang ia gunakan, tampaknya Ziva tahu sekolah mana yang Nazril duduki. Namun, sudah beberapa kali dicoba untuk mengingat, ingatan itu tak juga kembali.

Dengan terpaksa Ziva mengangkat, lalu menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Biarkan saja cowok itu tahu rasa! Menelepon di saat perasaan sedang tidak baik-baik saja.

Memang, sih, Ziva pikir dengan mengunduh aplikasi kencan, hatinya akan sembuh. Bisa menemukan cowok tampan lain yang kaya raya, tapi sayang ... itu hanya mimpi.

Ziva melangkah turun ke meja makan. Sudah ada Hardie dan juga Mela yang puas menyantap hidangan di atas meja.

Dengan raut wajah jahil pula Ziva memberikan ponsel itu pada Mela sembari berbisik, "Ma, Ziva mau jadi anak berbakti. Jadi, sebelum dapet pacar, Ziva mau suruh ngomong sama Mama dulu."

Mela mengangguk, kemudian membuka suara. Tentu saja Nazril terkejut. Suara yang ia dengar tadi itu imut, lalu kenapa sekarang jadi menyeramkan seperti guru BK?

"Halo, kamu calon pacar anak saya—Ziva?"

Nazril meneguk salivanya susah payah, sepertinya pria ini salah memilih perempuan. Baru saja berniat menghabiskan perbincangan di telepon, tetapi justru Ziva menghadapkan pria itu pada wanita berwujud singa ketika emosinya meledak.

"Kok diem?"

"I-i-iya, T-an-te!"

"Kamu kenal anak saya darimana dan kenapa bisa suka sama dia?" Mela menginterogasi.

"Karena anak Tante cantik dan menggemaskan."

"Kalau dia sudah tua, apa kamu bakal tetep cinta sama muka dia yang jelek dan keriput?"

Nazril mengiyakan. Ia adalah tipe yang setia, maka dari itu semua akan dibuat menjadi sebuah tanggung jawab. "Tentu."

"Prestasi kamu di sekolah apa? Apa kamu berbakti terhadap kedua orang tua? Apa contohnya?"

"Juara tiga, dong, Tan! Tapi ... dari bawah. Pinter, 'kan, saya? Kalau masalah berbakti, sih, nggak usah ditanya, Tan! Saya selalu baik hati, rajin menabung, dan suka menolong ke orang tua saya."

"Jangan dekati anak saya lagi!" Mela langsung menjauhkan sang ponsel dari telinganya, lalu mengembalikan pada sang pemilik.

Ziva tertawa setelah beberapa hari ini berpuasa dari rasa bahagia. Hormon endorfin yang selama ini bersembunyi, kini berani menampakkan diri.

Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar. Terdengar ketukkan pintu dari luar. Sudah ada Nusa dan juga Bu Doremi yang siap menjemput gadis itu ke tempat tinggal Sora.

Hardie membuka pintu, lalu ketika melihat seorang wanita muda yang ia kenal sebagai salah satu guru di SMA Alderra, dengan segan wanita itu dipersilahkan masuk. Nusa mengikuti dari belakang.

Ziva menatap kedatangan mereka seolah tak terima rumahnya diinjak oleh manusia tak pantas. Salah, bukan mereka. Hanya Nusa yang sekarang ini tampak seperti sampah. Tidak, kok, Ziva bukan ingin berbicara kasar, tapi sesuatu yang sudah menyakiti dan tak lagi dibutuhkan, patut dibuang, 'kan?

"Selamat pagi, Bapak. Saya Doremi—guru ekskul choir dan seni musik di sekolah. Boleh saya bertemu Ziva?"

Hardie mengangguk ramah, kemudian segera menyuruh putrinya itu untuk ikut bergabung di sana. Disusul Mela pula dari belakang.

"Bu Doremi ngapain bawa dia ke sini? Maaf, rumah Ziva jadi kotor kalo diinjek cowok itu."

Hardie dan Mela membelalak lebar mendengar ucapan putrinya yang tak pantas itu. Baru saja emosinya mau diledakkan, tapi untung tertolong oleh guru berkucir satu itu. Tapi sebentar, bukankah kemarin Ziva sampai melompat kegirangan karena bisa belajar sama Nusa?

"Ada sesuatu yang penting, Ziva. Semua harus dibicarakan. Tapi ada baiknya kita jangan bicarakan di sini. Pak Hardie, Ibu Mela, saya mau ajak Ziva pergi sebentar. Boleh?"

"Memang mau membicarakan soal apa, ya, Bu? Apa orang tuanya benar-benar tidak boleh ikut campur?" tanya Mela curiga.

"Ini masalah pertemanan, Bu. Ini juga lebih bersifat pribadi untuk Ziva, Nusa, dan juga Sora."

Mela setuju. Itu artinya Hardie pun akan ikut mengatakan hal yang sama. Baiklah jika itu sudah menyangkut pertemanan, Mela akan membiarkan putrinya pergi. Walau mungkin saat sudah pulang nanti, dan ada sesuatu yang terjadi, sudah pasti kuping Ziva dibuat panas.

"Ziva nggak mau," tolaknya mentah-mentah. Untuk apa ia ikut jika tujuan guru eskul itu hanyalah menyatukan hati yang sudah terbelah menjadi dua? Ziva tak mau menyiksa diri sendiri lagi, Ziva sudah berusaha mencari pria lain walau tak nyaman sebenarnya.

"Ziva ...!" seru Mela penuh penekanan.

Ziva menggeleng seraya mencari alasan. "Ziva nggak mau! Ziva ngantuk!"

"Gue minta maaf, tapi lo harus liat semuanya. Lo bakal kaget. Lo emang nggak bakal percaya kalo denger gue ngomong." Akhirnya Nusa ikut bersuara. Ya ... walau memang ia sendiri pun tak yakin soal kejelasan sang hubungan, tapi masalah ini harus selesai.

Otaknya mulai mencerna. Apa itu artinya semua hujan di hidupnya akan pergi dan berganti posisi dengan pelangi?

"Ibu mohon Ziva. Kalau nanti Ziva tidak suka atau kecewa, Ziva boleh minta Ibu bujuk Bu Happy supaya bisa lebih sabar sama kamu."

Ah, jika sudah dikaitkan dengan Bu Happy, sudah pasti Mela semakin setuju dan ikut memaksa sang putri untuk ikut pergi.

"Cepet, Zivanna! Demi Bu Happy, kamu harus berjuang biar citranya bagus!" ucap Mela sembari mendongakkan kepala. Penting sangat itu untuk menjadi anak baik di depan guru, bisa supaya nilai sifatnya ditulis sempurna atau mungkin ada penambahan nilai buat nilai yang masih merah.

"Ya-ya udah Ziva ikut." Bibir si gadis berambut sebahu perlahan maju beberapa senti. Sudahlah, daripada terus diceramahi dan kemungkinan besar dipermalukan depan tamu, lebih baik ia menurut.


Gimana kalian suka? Hayo itu kelanjutan hubungan Ziva sama Nusa gimana? Kira-kira mau dibawa ke rumah Sora ngapain yaaaaa? Apa jangan-jangan🌚

Btw Nazril ini tuh tokohnya AzuraRyn , hayuk dibaca juga ceritanyaaaaa. Bagus tau, apalagi ada reira. Kasian banget sial mulu🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro